Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 004

"Bungsu!!" Datuk Maruhun berseru kaget.
"Bungsu!" Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru.

Dan tiba-tiba kelima mereka dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.

”Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi juga melumuri kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk menunjukkan tempat ini?” Datuk Maruhun membentak.



Anak muda itu hanya menarik nafas panjang. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, menatap kelima lelaki orang kampungnya itu dengan tenang. Dan ketenangan ini membuat kelima mereka rasa akan muntah saking jijik dan berangnya. Yang memegang tombak tiba-tiba mengangkat tombaknya dan menghayunkan pada si Bungsu. Namun samurai di tangan si Jepang bergerak. Tombak itu potong dua sebelum sempat dilemparkan.

"Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau kami sumpahi. Laknat jahanam!!" Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya.

Namun anak muda itu tetap saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran. Kepada kedua lelaki itu dia lalu berkata:

"Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro..."

Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya, mulai menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah dielakkan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang. Beberapa kali pedang di tangan pesilat yang satu beradu dengan samurai di tangan Jepang itu. Bunga api memercik dari benturan kedua baja tersebut. Kedua pesilat ini mengitari tubuh si Jangkung dengan melangkah berlawanan arah. Jadi dia dipaksa untuk memecah kosentrasinya.

Sepuluh jurus berlalu. Tak kelihatan pihak mana yang akan menang. Datuk Maruhun dan kedua temannya merasa gembira dan berdoa agar teman mereka menang. Namun posisi itu tak bertahan lama. Si Komandan memberi petunjuk dengan bahasa kampung mereka. Jepang Jangkung itu tiba-tiba tegak dengan diam. Dan ketika tiba-tiba kedua pesilat itu menyerang lagi, dia bergerak berputar dengan cepat.

Terdengar pekikan beruntun. Kedua pesilat itu rubuh mandi darah. Mati saat itu juga. Yang tadi memegang tombak buntung itu, dadanya robek lebar. Yang memegang pedang kepalanya seperti akan belah dua. Sasaran itu kini bergenang darah dalam hujan rintik yang makin lebat.

"Nah, kalian sudah lihat. Bahwa silat kalian tak ada artinya jika melawan Samurai. Karena itu jangan coba-coba membangkang perintah kami. Kini kalian yang masih hidup ayo ikut kami kembali ke kampung. Tunjukkan dimana teman-teman kalian yang lainnya. Termasuk Ayah monyet ini..."

Datuk Maruhun menatap pada si Bungsu yang disebut sebagai beruk oleh komandan Jepang itu.

"Waang tidak hanya pantas disebut beruk buyung. Tapi waang memang seekor beruk yang paling jahanam di dunia ini. Kenapa tak waang katakan sekaligus dimana Ayah waang bersembunyi pada Jepang-Jepang ini?" Dia bertanya dengan penuh rasa benci pada si Bungsu.

Namun anak muda itu tetap diam. Berjalan dengan kepala tunduk, mata sayu dan wajah murung. Kalau saja dia tak dibatasi oleh tiga orang serdadu, mungkin dia telah mati ditikam oleh ketiga lelaki itu. Bahkan kalau ayahnya ada disana, mereka yakin bahwa Datuk Berbangsa yang akan membunuh anaknya ini. Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapatkan uang untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada Jepang, berikut dimana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya penduduk padanya.

Kabar tentang khianatnya si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara langsung. Di kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang. Jepang-jepang itu tak berhasil menemukan Datuk Berbangsa dan teman-temannya. Untuk itu mereka menempatkan lima orang serdadunya untuk menjaga dan menangkap kalau-kalau Datuk itu muncul sewaktu-waktu.

Sementara Datuk Maruhun serta kedua temannya yang tertangkap di sasaran itu, dibawa ke Bukittinggi. Ditahan di sana. Tapi ada yang mengatakan bahwa ketiga mereka telah dikirim ke Logas. Di berbagai daerah perang melawan serdadu Jepang belum lagi mulai. Sebab Jepang baru saja menggantikan kedudukan tentara Belanda.

Suatu malam terjadi kegemparan di kampung itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau mengaji, yang dijadikan pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas tikaman. Jelas tikaman keris. Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu Jepang mengepung kampung itu. Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan beberapa pejuang lainnya mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara. Lalu malam itu juga menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri.

Ketika kampung itu dikepung Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan surau dimana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli.

Seorang Kapten yang memimpin pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang kampung itu.

"Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika tak ada, anak-anak kami jadikan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau diantara kalian ada yang mata-mata, sampaikan ucapan saya ini pada orang-orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini bersembunyi entah dimana..."

Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat serdadu itu tergenggam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dan dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya.


Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik. Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan melihat ke Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar tiga puluh serdadu segera berhamburan ke Utara. Dalam sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah.

Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah yang telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.

"Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar rumah ini..!!" seru Komandan tentara Jepang itu.

Beberapa penduduk memberanikan diri melihat kejadian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak isterinya. Sementara itu, si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara barisan penduduk yang melihat dari kejauhan itu. Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia menatap ke rumahnya dengan tegang.

Dan benar, tak lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan kakaknya. Melihat ayah, ibu dan kakaknya itu, si Bungsu berlari ke depan.

"Ibu....!!" himbaunya.

Tapi seorang serdadu Jepang menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya tertegun. Mereka mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara dia tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat merasakan panasnya tatapan mata keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya.

"Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?" suara ayahnya terdengar bergema tajam.

Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya bergerak ingin bicara. Namun tak satupun suara yang keluar dari mulutnya. Dia menatap ayahnya. Menatap ibunya. Menatap kakaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak dengan gagah. Menatap padanya dengan kepala tegak.

"Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu..., Nak!"

Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh. Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil dihadapan keluarganya yang gagah perkasa ini. Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten Saburo.

"Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan anak saya, harap dibebaskan..."
"Heh, setelah kau bunuh sembilan orang serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he? Bagero!"
"Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan menyerah!" Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.

Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu. Namun dia tertawa terbahak.

"He…he….ha! Apa yang kau banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk".
"Saya akan berkelahi sampai mati!"
"Siapa yang kau sangka bersedia mati konyol bersamamu?"
"Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan berkelahi dari orang lain!"

Saburo terdiam. Matanya menatap tajam pada Datuk itu.

"Atau barangkali serdadu Jepang yang datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang mengabaikan sikap satria sebagaimana layaknya Samurai sejati?"

"Diam kau! Jangan sembarang berkata. Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan pernah saya bebaskan. Kalaupun kau memilih bertarung dengan salah seorang samurai, kau juga tetap takkan bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami. Ilmu silat kalian masih terlalu rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai..."

"Kebenarannya akan kita buktikan sebentar lagi!" Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.

Saburo yang berang segera memberi perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang mereka. Kemudian membentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut. Datuk Berbangsa yang terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti ke tengah lingkaran. Dia tak bicara sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya. Nampaknya mereka sudah bicara saat bersembunyi di loteng.
Datuk ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau. Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa. Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 003

No comments:

Post a Comment