Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 006

Samurai itu melayang ke udara. Datuk Berbangsa tak mau menanti. Dia mengirim sebuah tendangan. Dan tendangan itu tak diduga sedikitpun oleh Saburo. Kapten itu terjajar ke belakang karena perutnya kena hajar tumit Datuk Berbangsa. Dia jatuh berlutut. Dan saat itu samurai yang tadi terlambung meluncur turun ke atas kepala Saburo. Tapi perwira Jepang ini memang seorang samurai pilihan. Dia mendengar desiran angin samurai yang menghunjam ke arah kepalanya itu. Tanpa menoleh keatas, dia memutar samurai di atas kepalanya. Dan samurai itu kena dipapas, dan dengan amat laju melayang ke arah Datuk Berbangsa. Datuk itu coba mengelak, namun samurai tersebut terlalu cepat. Dan karena dia coba mengelak, tubuhnya miring ke kiri. Dan crepp!! Samurai itu menancap separoh ke dada kirinya. Menembus jantung! Tembus ke punggung!!

Datuk Berbangsa tertegak. Dia tak mengeluh sedikitpun. Si Bungsu terlonjak.


"Ayaaah" pekiknya, namun dia takut untuk bangkit.

Ayahnya tak menoleh ke arahnya. Lelaki tua perkasa dan keras seperti baja itu lambat-lambat jatuh di atas kedua lututnya. Matanya masih menatap Saburo.

"Beginikah sikap satria seorang samurai yang dibanggakan itu? Membunuh seorang perempuan dan menghantam orang yang luka?" Datuk Berbangsa bertanya dengan tatapan mata yang membuat hati Saburo jadi ciut.

Datuk itu bicara lagi, perlahan :

"Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku... ...Saburo....!"

Ucapannya terhenti, darah menyembur dari mulutnya. Dan lelaki perkasa itu, yang memakai kopiah berlilit berukir-ukir pertanda jabatan penghulunya, jatuh tertelentang. Dia tak pernah mengeluh. Samurai yang tertancap di dadanya tegak seperti tonggak peringatan. Tegak angkuh dan kukuh. Sekukuh lelaki yang mati diujungnya.

Datuk itu mati sedepa dari tempat isterinya. Matanya menatap ke langit yang tinggi. Seekor Elang terbang melintas. Suara pekiknya terdengar menyayat pilu. Saburo merasa bulu tengkuknya berdiri mendengar sumpah Datuk itu tadi. Anak gadis Datuk itu tiba-tiba menghambur ke tengah mengejar ibu dan ayahnya yang bermandi darah. Namun tangannya disambar oleh Saburo.

"Bersihkan kampung ini!" teriaknya pada anak buahnya.

Dan begitu anak buahnya memencar, dia segera menyeret gadis bertubuh montok itu naik ke rumah Adat. Gadis itu meronta dan memberikan perlawanan. Dia belajar silat Kumango dari ayahnya. Kini dia mencoba melawan kehendak Jepang laknat itu. Namun di tangan Saburo, yang tidak hanya mengerti ilmu samurai, tapi juga mahir dalam Karate dan Judo, kepandaian gadis ini jadi tak ada artinya.

Tangannya memang berhasil menampar Kapten itu tiga kali. Tapi begitu Saburo membalas menamparnya sekali saja, gadis itu pingsan. Saburo memangku tubuhnya yang tersimbah itu ke atas rumah. Ditengah ruang dia tegak. Mencari dimana letak bilik. Saat terpandang pada kamar gadis itu sendiri, dia melangkah ke sana. Kamar itu bersih dan indah. Bau harum bunga melati menyelusup ke hidungnya. Itu menyebabkan nafsunya menyala.

Dia menghempaskan tubuh anak gadis Datuk Berbangsa itu ke kasur. Kaki gadis itu terkulai kebawah tempat tidur. Dan kainnya tersimbah lebar. Dibawah rumah itu ada kandang ayam sedang mengerami selusin anaknya yang gemuk-gemuk. Suara berdentam diatas rumah, yang ditimbulkan oleh sepatu Saburo ketika naik tadi mengejutkan ayam-ayam tersebut.

Induk ayam itu tegak dan berlari ke tempat gelap. Anak-anaknya memburu dan menyeruak sayap ibunya dan masuk ke bawah sahap induknya. Salah seekor di antaranya, yang berwarna putih pucat, gemuk dan besar, masih berputar-putar di luar. Induknya diam saja melindungi anaknya yang sebelas ekor. Anak ayam yang satu itu mulai memutari tubuh induknya. Kemudian menyeruak diantara bulu sayap induknya yang hitam kepirang-pirangan. Induknya merapatkan sayap. Beberapa kali anak ayam gemuk itu tak berhasil masuk kebawah ruangan di bawah perut ibunya.

Tapi akhirnya, dia berhasil juga. Dia merasa hangat di bawah perut induknya itu. Tubuhnya berputar-putar diantara sebelas saudaranya yang lain. Tubuh induknya tergoyang-goyang karena dia berputar-putar dibawah.
Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak berani bergerak sedikitpun. Meski dihalaman itu hanya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas depa darinya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun si Bungsu tak pernah punya keberanian sedikitpun untuk tegak mendekati tubuh Ayah dan Ibunya.

Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehormatan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama diatas rumah mereka. Tidak. Dia memang tak punya keberanian sedikitpun selama ini. Keberaniannya hanya satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu? Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang ”tak lengkap”, betapapun dia pernah amat membanggakan ”ilmu” judinya.

Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan panas. Merasa ada nafas mendengus diwajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak. Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo menyabetkan samurainya.

Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya menatap sayu kehalaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya. Dan matanya terhenti pada wajah si Bungsu yang masih duduk berlutut dan memandang padanya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya. Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Dan kepalanya terkulai ke bendul jendela. Si Bungsu masih terpaku ditempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam.

Tak lama kemudian dia lihat Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat pinggang. Dihalaman dia terhenti tatkala terpandang pada si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain dari anaknya ini? Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati si Bungsu. Takut Si Bungsu muncul.

"Aaaa..ampuun tuan. Ampuun!" dia bermohon-mohon dengan tubuh menggigil.

Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini. Mereka seakan ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam! Benar-benar laknat. Anak haram jadah!, maki mereka.

Saburo memegang hulu Samurainya. Si Bungsu jadi terkejut. Dia tahu Jepang itu berniat membunuhnya. Dia segera bangkit. Sambil memekik minta ampun dia menghambur mengambil langkah seribu. Namun anak muda pengecut ini memang sial. Pedang Samurai Saburo bergerak amat cepat. Punggungnya belah. Dia tersentak. Rubuh tertelungkup dengan punggung menganga mulai dari belikat kiri sampai ke batas pinggul. Sementara itu, kampung tersebut telah jadi lautan api. Pekik dan lolong terdengar bersahutan.

Perempuan-perempuan berpekikkan diseret kebawah pohon. Diperkosa dan beberapa lelaki yang coba melawan dibantai dengan samurai atau ditusuk dengan bayonet.

Menjelang sore, kampung itu hampir rata dengan tanah. Asap mengepul dimana-mana. Burung elang dan gagak terbang rendah seperti melihat bangkai yang bergeletakan. Itu adalah penyembelihan yang tak terlupakan bagi penduduk di kampung itu. Tak kurang dari sepuluh nyawa melayang. Dan dipihak Jepang hanya 3 serdadu yang dimakan samurai di tangan Datuk Berbangsa. Beberapa rumah memang masih tegak dengan utuh, yaitu rumah-rumah yang tak berpenghuni.

Serdadu Jepang itu sudah kembali ke Payakumbuh, dimana mereka bermarkas. Makin hari makin banyak jumlah mereka yang datang ke Minangkabau lewat Sumatera Utara. Kekuatan mereka dipencar kebeberapa kota utama di Minangkabau.

Sore itu hujan turun rintik-rintik. Membasahi kampung yang telah centang perenang itu. Hujan rintik-rintik itu juga seperti mencuci tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada orang lain di kampung itu yang kelihatan hidup. Mereka semua melarikan diri. Menyelamatkan nyawa mereka dari kebiadaban serdadu Jepang. Jepang memang punya alasan untuk menyikat kampung itu hingga rata dengan tanah. Sebab kampung itu merupakan basis pertama dalam sejarah perlawanan rakyat di Minangkabau terhadap kekuasaan Jepang. Dan setelah Datuk Berbangsa sekeluarga dibunuh, kampung itu menjadi kampung tinggal buat sementara.

Namun dari kesepuluh tubuh yang malang melintang itu ternyata masih ada yang hidup. Hujan rupanya mengembalikan kesadaran yang hidup itu. Dihalaman rumah Datuk Berbangsa ada sosok tubuh yang bergerak. Mula-mula tangannya. Tubuh yang bergerak itu adalah si Bungsu!

Wajahnya tertelungkup rapat ke tanah. Dia rasakan punggungnya amat pedih dibasahi air. Dia masih terpejam. Namun tangannya digerakkan perlahan. Tercium bau tanah dan sawah yang harum dari angin yang bertiup dari kaki gunung Sago Terasa tetes air.

”Aku masih hidup...” bisik hatinya.

Dia mencoba bertumpu di tangan untuk membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi diam-diam. Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah tanah halaman rumah dimana diwaktu kecil dia bermain kelereng dan main galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang memerah. Itu pastilah darahnya.

Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah dimanapun dia berada.

Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran. Dia tahu sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia kenal pesilat-pesilat itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip cara mereka melangkah, membuka serangan. Menangkis dan meloncat.

Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi pada siapa dia akan belajar? Ayahnya sudah sering keluar. Nampaknya ada sesuatu yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu tengah malam. Melihat orang berlatih.

Bila orang selesai latihan, dia segera buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang harinya, dia mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru. Sebab yang dia lihat bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat lanjut. Hanya sepekan dia sempat melihat orang latihan itu. Malam terakhir adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang.

Malam itu dia memang terlambat datang ketempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena hujan. Tetapi keinginan untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak muda itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita yang samar-samar. Mendengar suara beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak kedekat belukar kecil dimana biasanya dia mengintip. Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya.

Dia ingin berteriak dan berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran tersebut. Dan dia didorong ketengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu. Mereka menyangka si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.

Malam itu dia menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua? Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang ”runcing tanduk”. Datuk itu memang sudah lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan gadisnya yang bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang kampungnya.

Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit. Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang dimana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia mengumpulkan tenaga.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 005

No comments:

Post a Comment