Merangkak
mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung.
Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya
itu. Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena
perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si ayah.
Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang
jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib
bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala
turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan
kakaknya tertegun di tangga.
”Engkau memang dilahirkan untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak
seperti engkau. Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata
untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau
ambil kepala kami untuk kau jual?”
Suara
ayahnya seperti bergema lagi. Dia tersentak kaget. Ayahnya pasti telah
mendengarnya pula dari Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan
mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga menduga seperti dugaan
Datuk Maruhun dan teman-temannya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia sasaran
itu pada Jepang.
Hatinya jadi amat terpukul.
Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya. Wajah ibunya kelihatan
tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya
mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana
cara menangisi malapetaka yang begini dahsyat.
Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis.
Tapi kini ketiga mereka. Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia
harus menangisi kemalangan ini? Kemalangan yang bagaimana pula yang telah
menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya?
Tiba-tiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia
melihatnya dengan jelas.
"Ibu..." panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan
separoh baya itu.
Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata
perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya
perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
"Ibu ...”
"Bungsu... engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga
diri..." Perempuan itu terhenti. Kembali menjilat air di bibirnya.
Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah.
"Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik..."
Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir.
Nampaknya dia memang menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak
bungsunya ini.
"Bungsu... anakku. Kata orang engkau membocorkan rahasia sasaran itu pada
Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi... Tapi ibu tak percaya. Ibu tak
percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik..
katakanlah Bungsu... bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang
kampungmu."
Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafasnya tinggal satu-satu.
Namun dia berusaha membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat
dan mendengar jawaban anaknya.
Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi
kerongkongannya rasa tersumbat. Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam
tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata.
Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat difikiran anaknya. Meskipun anaknya
tak bicara sepatahpun, hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca
apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan itu seperti tersenyum. Matanya
terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir
dalam hujan rintik yang makin lebat itu.
Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membedakan kasih terhadap
anak-anaknya. Diantara anak-anaknya yang pandai dan yang bodoh, diantara
anak-anaknya yang gagah dan yang cacat, diantara anak-anaknya yang berbudi dan
yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu
tetap menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.
Dan sore itu si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang
seorang ibu. Dia rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan
bimbingan dan kasih sayang seorang ayah. Justru setelah ayahnya meninggal. Dia
membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah kakaknya
meninggal! Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa
setiap anak takkan menyadari betapa dia sebenarnya membutuhkan kasih sayang ibu
dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah masih hidup.
Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, si Bungsu masih duduk di sana.
Dihalaman rumah gadangnya. Diantara puing reruntuhan rumah-rumah dikampungnya
itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai hari ketiga dia tak mampu
bergerak dari sana. Luka di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan
hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.
Barulah dihari ketiga dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik
dua. Dia harus mengubur mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur
mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan seorang anak-anak lainnya dikampung
itu. Sebab tak ada manusia seorangpun disana. Mereka telah lari mengungsi.
Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan
mudah digali. Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap
tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia mulai menggali tanah didekat jasad
ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat ayah dan ibunya hanya berjarak
sedepa. Dia menggali ditengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu
bapanya kesatu lobang.
Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jenazah dikampung itu. Mereka dia
kubur sekedarnya. Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak
digali hewan. Mereka dia kubur didekat mayatnya terbaring. Ada yang didekat
tangga seperti kakaknya. Ada yang ditengah halaman seperti ibunya. Ada yang
dibawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka
semua. Meskipun semasa hidupnya, mereka membencinya. Dia tak punya rasa dendam
sedikitpun terhadap orang kampungnya ini.
Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan
tertatih-tatih. Hujan dan udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya
yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam perjalanan, tiba-tiba dia menyadari
bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai yang
tertancap di dada ayahnya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak rubuh.
Tak dia ingat kapan masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas
kini dia memegangnya.
Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar
lengan. Tapi tiba-tiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum
roboh setelah dihantam Samurai Saburo, terngiang kembali.
"Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari
akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata
negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku... Saburo....!"
Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang
baru dia ambil. Dia memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai
melangkah.
Entah kemana dia. Tak seorangpun yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika
suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh, kampung Datuk
Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.
Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang
menyebabkan mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu,
dan menguburkan di pekuburan kaum. Mereka bertanya-tanya tatkala tidak
menemukan mayat si Bungsu. Padahal beberapa orang diantara mereka melihat
dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo.
Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan
mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua
jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu tak mungkin mau berbuat kebajikan
apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran
rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia
itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap dan terbunuh? Tak mungkin dia
yang menguburkan jenazah itu.
"Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang
menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap
ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan anjing atau harimau yang datang dari gunung
sana..." seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung,
anak muda itu memang lebih baik mati diterkan harimau daripada hidup membuat
malu negeri. Anak muda itu dianggap sudah terkubur di perut binatang. Tak
peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan tak
seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan
kampung di pinggang gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu
kembali seperti biasa.
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang kesana. Namun itu bukan berarti bahwa
serdadu Jepang telah menghentikan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman
orang-orang bermata sipit dan bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata
dirasakan oleh penduduk dikota maupun pedesaan dipinggir kota yang ditempati
oleh tentara Jepang.
Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati. Datuk
Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan
mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak
mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila.
Dia duduk bersila diatas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah
dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat kebawah, ke kampungnya. Dia
melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya
membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui disana? Tak
seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia
temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih
hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis
yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang.
Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo
Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke
kerlip lampu dibawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari
kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal
kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung
itu. Di kampung-kampung itu dia telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua
penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak
mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya.
Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat
kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang.
Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan
angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan
berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya.
Tes..., tes.. tes...!
Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah
suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditampuknya. Bila angin
bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh.
Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Pendekar dari kaki Gunung Sago ; Bagian 006
No comments:
Post a Comment