Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 007

Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu. Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah jauhnya antara dia dan si ayah.

Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya. Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.

”Engkau memang dilahirkan untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau. Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?”

Suara ayahnya seperti bergema lagi. Dia tersentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-temannya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang.

Hatinya jadi amat terpukul.

Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya. Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi malapetaka yang begini dahsyat.

Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka. Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini? Kemalangan yang bagaimana pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya? Tiba-tiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.

"Ibu..." panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan separoh baya itu.

Hatinya berdebar. Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.

"Ibu ...”
"Bungsu... engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga diri..." Perempuan itu terhenti. Kembali menjilat air di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah.
"Ayahmu ingin engkau menjadi anak yang baik..."

Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak bungsunya ini.

"Bungsu... anakku. Kata orang engkau membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi... Tapi ibu tak percaya. Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik.. katakanlah Bungsu... bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu."

Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafasnya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.

Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat. Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata.

Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat difikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun, hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam hujan rintik yang makin lebat itu.

Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membedakan kasih terhadap anak-anaknya. Diantara anak-anaknya yang pandai dan yang bodoh, diantara anak-anaknya yang gagah dan yang cacat, diantara anak-anaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.

Dan sore itu si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ayah. Justru setelah ayahnya meninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah kakaknya meninggal! Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak takkan menyadari betapa dia sebenarnya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah masih hidup.

Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, si Bungsu masih duduk di sana. Dihalaman rumah gadangnya. Diantara puing reruntuhan rumah-rumah dikampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.

Barulah dihari ketiga dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus mengubur mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan seorang anak-anak lainnya dikampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun disana. Mereka telah lari mengungsi.

Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali. Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia mulai menggali tanah didekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat ayah dan ibunya hanya berjarak sedepa. Dia menggali ditengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya kesatu lobang.

Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jenazah dikampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya. Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur didekat mayatnya terbaring. Ada yang didekat tangga seperti kakaknya. Ada yang ditengah halaman seperti ibunya. Ada yang dibawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun semasa hidupnya, mereka membencinya. Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang kampungnya ini.

Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam perjalanan, tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai yang tertancap di dada ayahnya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak rubuh. Tak dia ingat kapan masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.

Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tiba-tiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo, terngiang kembali.

"Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu sumpahku... Saburo....!"

Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah.

Entah kemana dia. Tak seorangpun yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh, kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.

Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan menguburkan di pekuburan kaum. Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat si Bungsu. Padahal beberapa orang diantara mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo.

Tapi kemana mayatnya? Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini? Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini? Tak mungkin. Anak muda itu tak mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran rahasia itu ayahnya yang memimpin? Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga semua mereka tertangkap dan terbunuh? Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.

"Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan anjing atau harimau yang datang dari gunung sana..." seorang lelaki bicara.

Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu memang lebih baik mati diterkan harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.

Serdadu Jepang tak pernah lagi datang kesana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah menghentikan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk dikota maupun pedesaan dipinggir kota yang ditempati oleh tentara Jepang.

Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati. Datuk Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.

Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila diatas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat kebawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui disana? Tak seorangpun.

Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.

Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu dibawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu dia telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah.

Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.

Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya.

Tes..., tes.. tes...!

Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditampuknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.




Pendekar dari kaki Gunung Sago ; Bagian 006

No comments:

Post a Comment