Tiba-tiba
tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di
bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk
diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu,
yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu,
dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia
mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga
lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua
persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur
pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti
ilmu silat.
Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun
hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya.
Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan
Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain.
Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu.
Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka
sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih
diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan
menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang
sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi
terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia
pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia
itu dengan tentara Jepang tersebut.
Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian
memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya.
Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk
belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian
beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus
kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali.
Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan
menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat
cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa
menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan
meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus
belajar.
Harus!
Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu.
Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat
sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul
menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut
kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang
dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi
hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama
hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang
itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia
harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak
rendah. Diam disana seperti pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan.
Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan tutul. Hewan ini datang
justru dari atas pohon di mana si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu
segera mengetahui kehadirannya. Dia menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu
kecepatan macan ini tak ada artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki
dalam mencabut dan mempergunakan samurai.
Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal
sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan,
saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh
dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah
berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya
terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul.
Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu
kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang menerkam belumlah dapat
dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila
dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak
lalat ke dekatnya. Dia memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan
mencolok antara ayahnya belajar silat dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu
belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi
Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia
belajar karena dia bertekad untuk membalas dendam.
Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam
kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini.
Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu.
Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu
banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang.
Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di
dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.
Kini!
Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba
samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang
tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam
empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang
perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai
harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan
bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan.
Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal.
Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu
terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk diatas batu pipih itu.
Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung dimana sawah menghampar. Di mana kerlip
lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah
kampungnya. Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana.
Sudah berbilang purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok
beratap lalang yang dia buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari
luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang
keras untuk membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang.
Namun telinganya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap
dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus
nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun
nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi
bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?
Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati
tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia
ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara insting
tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini.
Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis
sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian
binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.
Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini
adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali
dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan
itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari
belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang
dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa!
Tiga depa!
Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang
mendengus itu berada sekitar tiga depa dibelakangnya, itu berarti ”tamunya” itu
telah berada di atas batu pipih besar dimana dia duduk, yang lebarnya sekitar
empat depa persegi. Dia duduk dibahagian ujung paling depan. Yang membuat dia
kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa
sampai tak terdengar olehnya sedikitpun?
Krosak...!
Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah disekitar batu
dimana kini dia duduk. Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh
telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama belasan purnama dia dapat
menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih
memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di
belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan!
Manusiakah ?
Darahnya mengencang. Tangannya melemas.
"Siapakah yang ada di belakang?" Dia bertanya tanpa menoleh.
Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh.
Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang ada dibelakangnya, pastilah tak
berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya makin
merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar! Dia tak segera mencabut
samurainya. Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah
dua ekor tupai yang berkelahi di cabang pohon di dekat batu pipih ini. Dia
amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara
bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.
Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu.
Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang,
kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali mempergunakan gerak
tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk
yang menyerang itu tegak empat depa di depannya.
"Ya Allah!!"
Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas
batu. Makhluk itu! Ya Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini.
Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah, dia lihat dua makhluk yang
luar biasa bentuknya.
"Harimau jadi-jadian!!" dia berbisik sendiri.
Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, dihadapannya, kini berdiri dua
harimau jadi-jadian. Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip
harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya. Mahluk ini berdiri di atas
dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian
pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku
kaki dan kuku tangannya kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini
kelihatan dahsyat di mata si Bungsu. Dia tak dapat menahan gigilan tubuhnya.
Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang
harimau jadi-jadian. Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa,
cerita itu tak pernah lagi dia dengar. Kalaupun ada, maka cerita itu hanya
dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia
menyaksikan apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata
benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar isapan jempol. Senja ini dia
melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah
sana, dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati
dibunuh Cindaku. Di kampung lain juga pernah ada orang yang diteror Cindaku.
Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di bawah sana?
Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung dibawah, nampaknya memang
inilah Cindaku itu. Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera
ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia segera menoleh. Dan
kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga
langkah. Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak
kurang dari enam ekor harimau! Duduk di kaki belakang dan menegakkan kaki
depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih dimana dia berada. Dia
yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar disekitar
batu itu langkah-langkah yang halus.
Inilah rupanya...
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 007
No comments:
Post a Comment