Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 008

Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.

Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat.

Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!

Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut.

Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.

Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar.

Harus!

Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.

Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.

Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam disana seperti pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera mengetahui kehadirannya. Dia menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu kecepatan macan ini tak ada artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai.

Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.

Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.

Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekatnya. Dia memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia bertekad untuk membalas dendam.

Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata. Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang.

Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.

Kini!

Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan.

Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!

Senja ini dia kembali duduk diatas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung dimana sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah kampungnya. Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk membalas dendam.

Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?

Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara insting tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.

Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa!

Tiga depa!

Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar tiga depa dibelakangnya, itu berarti ”tamunya” itu telah berada di atas batu pipih besar dimana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk dibahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak terdengar olehnya sedikitpun?

Krosak...!

Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah disekitar batu dimana kini dia duduk. Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan!

Manusiakah ?
Darahnya mengencang. Tangannya melemas.

"Siapakah yang ada di belakang?" Dia bertanya tanpa menoleh. Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh.

Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang ada dibelakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar! Dia tak segera mencabut samurainya. Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.

Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut. Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk yang menyerang itu tegak empat depa di depannya.

"Ya Allah!!"

Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu! Ya Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah, dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.

"Harimau jadi-jadian!!" dia berbisik sendiri.

Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, dihadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian. Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya. Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata si Bungsu. Dia tak dapat menahan gigilan tubuhnya.

Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian. Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pernah lagi dia dengar. Kalaupun ada, maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar isapan jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah sana, dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung lain juga pernah ada orang yang diteror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di bawah sana?

Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung dibawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu. Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga langkah. Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk di kaki belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih dimana dia berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar disekitar batu itu langkah-langkah yang halus.

Inilah rupanya...




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 007

No comments:

Post a Comment