Dia
kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak
mengerti kenapa harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas.
Apakah harimau-harimau itu adalah bawahan Cindaku ini? Hatinya benar-benar
terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling besar menyerang
dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun
terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi
kacau. Dia hanya mampu menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku
Cindaku. Dia terpental. Dibawah sana dia dengar geraman harimau. Nampaknya
harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah.
Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupai! Dia
segera menggunakan ilmu loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan,
kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman Cindaku itu berhasil dia elakkan.
Kemudian meloncat berdiri! Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya.
Tanpa sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di
tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua
belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan ke rusuk
kiri! Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai.
Disaat kakaknya diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat
samurai!
Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang
tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil
menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten
Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik
sarungnya. Amat cepat.
”Jahanam kubunuh kau!!” desisnya dengan sepenuh rasa benci. Dan samurainya
bekerja!
Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan pertama, dada Cindaku yang sedang
melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua, leher
Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku
itu turut tertegak setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan
gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu. Menikamkan samurai di tangannya ke
belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan!
Crep! Plasss!!
Samurai itu menembus dada kiri jadi-jadian itu. Terdengar raungannya memecah
senja. Merobek ketenangan hutan. Suara ribut hewan gunung terdengar tatkala
hewan-hewan itu berlarian dari semak ke semak mencari perlindungan. Kera
berlompatan dari pohon ke pohon. Raungan itu amat dahsyat. Harimau-harimau yang
berada di bawah pada terlompat mundur saking kagetnya.
Si Bungsu menarik samurainya, dan snapp!! Samurai itu kembali masuk ke
sarungnya dengan amat cepat. Dia tegak membelakangi tubuh Cindaku yang terkapar
tak bernyawa itu.
Menghadap pada Cindaku besar yang tertegun kaget di ujung batu sana. Mereka
saling menatap. Wajah si Bungsu yang biasanya murung dan sinar matanya yang
kuyu, kini berobah. Wajahnya jadi keras dan penuh kebencian. Matanya bersinar
penuh amarah.
Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada dibawah sana
mengaum hampir bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke
bulan yang kelihatan seperti sabit di langit yang tinggi.
Pertanda apa pula ini? Pikir si Bungsu.
Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau itu.Dengan tetap tak
melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga
langkah.
Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh
dan auman panjang. Lalu suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang
masih hidup di depannya mendengus dan menggeram. Nyata sekali dia jadi murka.
Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah si Bungsu. Si
Bungsu kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan.
Namun dengan terkejut dia melihat Cindaku itu melambung dan kembali tegak di
tempatnya semula!
Luar biasa! Dalam terkamannya tadi dia rupanya bisa melihat kilatan samurai
yang demikian cepat. Tidak hanya mampu melihat, tapi sekaligus juga
mengelakkannya! Tak segorespun dia kena. Samurai itu sudah berada kembali di
dalam sarungnya. Kini samurai bersarung itu diapegang dengan tangan kiri.
Mereka bertatapan. Tiba-tiba Cindaku itu menyerang lagi. Tapi kali ini
menyerang dengan bergulingan di bawah. Tubuhnya bergulung seperti pohon yang
digulingkan dari atas tebing.
Si Bungsu melompat ke kiri dan mencabut samurainya. Cres, cres, cres!!
Dari kiri dia mengirimkan tiga sabetan cepat ke tubuh Cindaku itu. Lalu samurai
itu kembali masuk ke sarangnya. Namun kembali dia lihat Cindaku itu tegak tiga
depa di depannya. Tak kurang satu apapun. Luar biasa. Dia yakin benar tadi,
bahwa sabetannya mengenai tubuh Cindaku ini. Apakah tubuh Cindaku besar ini tak
mempan oleh senjata tajam?
Bulu tengkuknya merinding. Kalau hal itu benar, maka itu berarti tamatlah
riwayatnya di sini. Dia tak memiliki ilmu batin seperti pesilat-pesilat
lainnya. Dia hanya mempunyai kepandaian memainkan samurai dan meloncat seperti
tupai atau kera yang dia pelajari selama di gunung ini. Bukan ilmu silat. Bukan
Kumango seperti yang dimiliki ayahnya. Bukan pula silat Lintau seperti yang
dimiliki Datuk Maruhun, ayah Renobulan. Apakah di sini ajalnya?
Tidak!
Dia tak mau mati sekarang. Alangkah akan sia-sianya dia menahan segala derita
selama belasan purnama kalau hanya akan mati di sini. Dia teringat pada sumpah
ayahnya sewaktu akan meninggal. Bahwa ayahnya akan menuntut balas. Bukankah itu
suatu isyarat, bahwa dialah yang akan dipergunakan ayahnya untuk menuntut balas
atas dendam keluarganya itu? Tangan siapa lagi yang akan dipakai ayahnya untuk
membalas kekejaman Saburo dan prajuritnya kalau tidak tangannya sendiri?
Tidak....!
Dia tak boleh mati sekarang. Kalau dia mati sekarang, maka dendam ayahnya
takkan pernah berbalas. Kematian keluarganya dan kematian orang kampungnya
takkan pernah ada yang membalaskan. Kalau dia mati sekarang, maka sia-sialah
segala usahanya selama ini. Tidak. Dia tak mau mati sekarang. Apalagi kematian
di mulut seekor Cindaku. Seekor harimau jadi-jadian.
Tapi, sampai bila dia mampu bertahan? Sementara punggungnya luka parah. Luka
itu terasa amat mengganggu. Sangat pedih. Kata orang, konon kuku dan gigi
Cindaku mengandung bisa.
Nah, kini punggungnya telah terluka. Berapa lamakah dia bisa bertahan?
Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan melebarkan kaki dan
membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan
dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.
Jadi-jadian itu mulai melangkah memutar ke kanan. Dia tetap dalam posisinya.
Langkah Cindaku itu dia ikuti dengan sudut mata. Cindaku itu kini berada di
sebelah kirinya. Berarti berada tentang ujung samurai. Dia masih tegak menanti.
Wajah lurus ke depan dan sudut mata menikam ke arah Cindaku itu. Cindaku itu
bergerak ke belakangnya. Dia tak memalingkan kepala. Tidak. Untuk memalingkan
kepala dia harus memakai sekian detik. Dan itu merugikannya. Dia lalu
memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan ”melihat” melalui
pendengarannya yang amat tajam.
Langkah Cindaku itu amat ringan. Di atas batu besar dimana kini mereka berada
langkah mahluk itu hampir-hampir tak terdengar. Namun dia sudah belasan purnama
berlatih. Dia tak khawatir, dengan memejamkan mata dia dapat mendengar dengan
jelas langkah Cindaku itu.
Langkah terutama jadi jelas baginya karena gesekan halus kuku Cindaku yang
panjang itu dengan batu. Bagi orang biasa, gesekan itu pasti takkan terdengar.
Namun bagi si Bungsu, suara gesekan itu amat jelas terdengar. Cindaku itu
berhenti tepat di belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya dalam jarak
sedepa. Itu berarti mahluk jadi-jadian itu bisa menjangkau punggungnya dengan
tangannya yang panjang.
Dia menanti, sementara suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana
sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas, ke arah
mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu
memburu. Dia yakin kini Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang
memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa
Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga
merasa gentar. Nafasnya juga memburu.
Tiba-tiba dia rasakan angin bersuit. Itu pertanda Cindaku itu tengah menyerang!
Samurainya bergerak. Dia berputar sangat cepat menirukan berputarnya macan
kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.
Cras! cras! cras!!
Tiga kali sabetan cepat dan kuat, kemudian dia menikamkan samurai ke belakang.
Snap!
Dia duduk di lutut kanan dan menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat.
Namun jadi-jadian di belakangnya masih bergerak. Dan tiba-tiba sebuah hantaman
menerpa kepalanya! Dia terpekik dan terlempar ke batu. Samurainya lepas! Kulit
kepalanya di bahagian belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat
dia nanar.
Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus
tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis. Loncat Tupai!
Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah
menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan
tiga kali ke kanan saat Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan
dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian berputar. Cindaku itu
menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan
lipatan lutut di bengkokkan.
Cindaku itu tegak pula empat depa di depannya. Dia hoyong. Luka di punggung dan
di belakang kepalanya mengucurkan banyak darah. Berdenyut-denyut. Dia menatap
Cindaku itu. Ternyata apa yang dia khawatirkan benar adanya. Cindaku itu tidak
mempan oleh senjata tajam. Tidak mempan. Ilmu Cindaku kecil tadi rupanya belum
mencapai tingkat yang sempurna. Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya
dia termakan oleh senjata tajam. Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai
tingkatan yang tinggi. Tak lagi dimakan besi.
Kini si Bungsu tidak lagi bersenjata selain sarung samurai. Samurainya sendiri
berada sedepa di depannya. Berarti senjata itu berada di antara dia dengan
Cindaku itu. Dia tak berani gegabah memungut senjata yang terletak sedepa di
depannya itu. Tidak, itu akan memudahkan Cindaku itu menerkamnya. Dia makin
lemah. Dan rasa takut yang luar biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut
tak bisa membalaskan dendam keluarganya.
Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang, Si Bungsu tetap
tegak di tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser
tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa
Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian
rusuknya yang luka.
Tapi dia sendiri juga punya maksud menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin
meletakkan samurai itu di bahagian kirinya. Dua langkah, tiga langkah, empat !.
Dan tiba-tiba Cindaku itu menyerang...
Loncat tupai!
Gerakan itu lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya berguling ke kiri dengan
ringan dua kali putaran, kali ketiga tangannya menyentuh hulu samurai. Gerakan
keempat sambil menggenggam samurai itu tubuhnya melentik setinggi setengah depa
dan hep! Dia tertegak di pinggir batu. Geraman harimau terdengar di bawah!
Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu,
bahwa senjata ini takkan mempan pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia
merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan, senjata ini memberinya
semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan
dadanya. Memusatkan konsentrasi dan pendengaran.
Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia mendengar suara
tabuh. Tabuh itu pastilah tabuh sembahyang Isya. Suaranya sayup-sayup. Tapi itu
jelas suara tabuh dari suara atau masjid. Telinga yang amat tajam dapat
mendengar suara tabuh itu. Suara tabuh itu jelas terdengar olehnya tiap hari
setiap dia memusatkan konsentrasi di gunung Sago ini. Barangkali tabuh itu
berasal dari masjid di kampung Manang Kadok atau kampung Sikabu-kabu. Yang tak
terdengar sampai kemari adalah suara azan muazinnya. Mungkin karena suara
manusia jauh lebih pelan daripada suara tabuh.
Azan!
Ya, dia segera ingat pada azan. Bukankah ayahnya yang taat beragama itu pernah
bercerita, bahwa banyak ilmu-ilmu hitam yang bisa dipunahkan dengan suara azan?
Azan di subuh hari, azan di senja hari yaitu setiap subuh dan maghrib, selain
bermaksud memanggil orang sembahyang, juga punya makna mengusir segala roh
jahat dan pengaruh ilmu siluman yang coba mempengaruhi kehidupan manusia.
Menurut ayahnya azan di subuh hari bermakna juga mengusir pengaruh setan yang
menyelusup di waktu tidur lewat tengah malam. Azan di waktu Maghrib mempunyai
makna mengusir roh-roh jahat untuk tak terbawa tidur.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 008
No comments:
Post a Comment