Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 009

Dia kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah bawahan Cindaku ini? Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental. Dibawah sana dia dengar geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah.

Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupai! Dia segera menggunakan ilmu loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman Cindaku itu berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri! Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan ke rusuk kiri! Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Disaat kakaknya diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai!

Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat.

”Jahanam kubunuh kau!!” desisnya dengan sepenuh rasa benci. Dan samurainya bekerja!

Dua kali tebasan ke muka. Pada tebasan pertama, dada Cindaku yang sedang melayang ke arahnya kena dia tebas. Pada tebasan berbalik yang kedua, leher Cindaku itu hampir putus. Dan anak muda ini berputar ke belakang. Tubuh Cindaku itu turut tertegak setengah depa di belakangnya. Dan saat itu dia menirukan gerak yang dipergunakan ayahnya dahulu. Menikamkan samurai di tangannya ke belakang sambil menjatuhkan diri di lutut kanan!

Crep! Plasss!!

Samurai itu menembus dada kiri jadi-jadian itu. Terdengar raungannya memecah senja. Merobek ketenangan hutan. Suara ribut hewan gunung terdengar tatkala hewan-hewan itu berlarian dari semak ke semak mencari perlindungan. Kera berlompatan dari pohon ke pohon. Raungan itu amat dahsyat. Harimau-harimau yang berada di bawah pada terlompat mundur saking kagetnya.
Si Bungsu menarik samurainya, dan snapp!! Samurai itu kembali masuk ke sarungnya dengan amat cepat. Dia tegak membelakangi tubuh Cindaku yang terkapar tak bernyawa itu.
Menghadap pada Cindaku besar yang tertegun kaget di ujung batu sana. Mereka saling menatap. Wajah si Bungsu yang biasanya murung dan sinar matanya yang kuyu, kini berobah. Wajahnya jadi keras dan penuh kebencian. Matanya bersinar penuh amarah.

Dan tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Harimau-harimau yang ada dibawah sana mengaum hampir bersamaan. Mengaum dan menganga menghadapkan moncong mereka ke bulan yang kelihatan seperti sabit di langit yang tinggi.

Pertanda apa pula ini? Pikir si Bungsu.

Dia ingin tahu untuk apa kehadiran harimau-harimau itu.Dengan tetap tak melepaskan pandangan matanya dari Cindaku besar di depannya, dia mundur tiga langkah.
Lalu dia tendang bangkai Cindaku mati itu ke bawah. Terdegar suara kaki menjauh dan auman panjang. Lalu suara berkrosak. Suara saling rebut. Cindaku besar yang masih hidup di depannya mendengus dan menggeram. Nyata sekali dia jadi murka. Lalu tiba-tiba dia menyerang dengan loncatan panjang ke arah si Bungsu. Si Bungsu kembali menyentak Samurai dan menghayunkan dalam empat kali tebasan. Namun dengan terkejut dia melihat Cindaku itu melambung dan kembali tegak di tempatnya semula!

Luar biasa! Dalam terkamannya tadi dia rupanya bisa melihat kilatan samurai yang demikian cepat. Tidak hanya mampu melihat, tapi sekaligus juga mengelakkannya! Tak segorespun dia kena. Samurai itu sudah berada kembali di dalam sarungnya. Kini samurai bersarung itu diapegang dengan tangan kiri. Mereka bertatapan. Tiba-tiba Cindaku itu menyerang lagi. Tapi kali ini menyerang dengan bergulingan di bawah. Tubuhnya bergulung seperti pohon yang digulingkan dari atas tebing.

Si Bungsu melompat ke kiri dan mencabut samurainya. Cres, cres, cres!!
Dari kiri dia mengirimkan tiga sabetan cepat ke tubuh Cindaku itu. Lalu samurai itu kembali masuk ke sarangnya. Namun kembali dia lihat Cindaku itu tegak tiga depa di depannya. Tak kurang satu apapun. Luar biasa. Dia yakin benar tadi, bahwa sabetannya mengenai tubuh Cindaku ini. Apakah tubuh Cindaku besar ini tak mempan oleh senjata tajam?

Bulu tengkuknya merinding. Kalau hal itu benar, maka itu berarti tamatlah riwayatnya di sini. Dia tak memiliki ilmu batin seperti pesilat-pesilat lainnya. Dia hanya mempunyai kepandaian memainkan samurai dan meloncat seperti tupai atau kera yang dia pelajari selama di gunung ini. Bukan ilmu silat. Bukan Kumango seperti yang dimiliki ayahnya. Bukan pula silat Lintau seperti yang dimiliki Datuk Maruhun, ayah Renobulan. Apakah di sini ajalnya?

Tidak!
Dia tak mau mati sekarang. Alangkah akan sia-sianya dia menahan segala derita selama belasan purnama kalau hanya akan mati di sini. Dia teringat pada sumpah ayahnya sewaktu akan meninggal. Bahwa ayahnya akan menuntut balas. Bukankah itu suatu isyarat, bahwa dialah yang akan dipergunakan ayahnya untuk menuntut balas atas dendam keluarganya itu? Tangan siapa lagi yang akan dipakai ayahnya untuk membalas kekejaman Saburo dan prajuritnya kalau tidak tangannya sendiri?

Tidak....!
Dia tak boleh mati sekarang. Kalau dia mati sekarang, maka dendam ayahnya takkan pernah berbalas. Kematian keluarganya dan kematian orang kampungnya takkan pernah ada yang membalaskan. Kalau dia mati sekarang, maka sia-sialah segala usahanya selama ini. Tidak. Dia tak mau mati sekarang. Apalagi kematian di mulut seekor Cindaku. Seekor harimau jadi-jadian.

Tapi, sampai bila dia mampu bertahan? Sementara punggungnya luka parah. Luka itu terasa amat mengganggu. Sangat pedih. Kata orang, konon kuku dan gigi Cindaku mengandung bisa.
Nah, kini punggungnya telah terluka. Berapa lamakah dia bisa bertahan?
Dia lihat Cindaku di depannya merendah. Dia tegak dengan melebarkan kaki dan membungkukkan lipatan lutut. Kemudian meletakkan samurai itu melintang di depan dadanya. Dia menanti gerakan Cindaku itu berikutnya.

Jadi-jadian itu mulai melangkah memutar ke kanan. Dia tetap dalam posisinya. Langkah Cindaku itu dia ikuti dengan sudut mata. Cindaku itu kini berada di sebelah kirinya. Berarti berada tentang ujung samurai. Dia masih tegak menanti. Wajah lurus ke depan dan sudut mata menikam ke arah Cindaku itu. Cindaku itu bergerak ke belakangnya. Dia tak memalingkan kepala. Tidak. Untuk memalingkan kepala dia harus memakai sekian detik. Dan itu merugikannya. Dia lalu memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan ”melihat” melalui pendengarannya yang amat tajam.

Langkah Cindaku itu amat ringan. Di atas batu besar dimana kini mereka berada langkah mahluk itu hampir-hampir tak terdengar. Namun dia sudah belasan purnama berlatih. Dia tak khawatir, dengan memejamkan mata dia dapat mendengar dengan jelas langkah Cindaku itu.
Langkah terutama jadi jelas baginya karena gesekan halus kuku Cindaku yang panjang itu dengan batu. Bagi orang biasa, gesekan itu pasti takkan terdengar. Namun bagi si Bungsu, suara gesekan itu amat jelas terdengar. Cindaku itu berhenti tepat di belakangnya. Sejajar dengan tulang punggungnya dalam jarak sedepa. Itu berarti mahluk jadi-jadian itu bisa menjangkau punggungnya dengan tangannya yang panjang.

Dia menanti, sementara suara dengus dan berebutan daging mentah di bawah sana sudah berhenti. Dia yakin harimau-harimau itu kini menatap ke atas, ke arah mereka. Si Bungsu tetap memejamkan mata. Dia mendengar nafas Cindaku itu memburu. Dia yakin kini Cindaku itu bersiap untuk meyerang. Nafasnya yang memburu itu sebagai tanda. Dan nafas memburu itu juga sebagai pertanda bahwa Cindaku itu juga menaruh rasa gentar. Ya, sama saja seperti dia yang juga merasa gentar. Nafasnya juga memburu.

Tiba-tiba dia rasakan angin bersuit. Itu pertanda Cindaku itu tengah menyerang! Samurainya bergerak. Dia berputar sangat cepat menirukan berputarnya macan kumbang. Kemudian samurainya berkelebat.

Cras! cras! cras!!
Tiga kali sabetan cepat dan kuat, kemudian dia menikamkan samurai ke belakang.

Snap!
Dia duduk di lutut kanan dan menekankan samurai itu ke belakang kuat-kuat. Namun jadi-jadian di belakangnya masih bergerak. Dan tiba-tiba sebuah hantaman menerpa kepalanya! Dia terpekik dan terlempar ke batu. Samurainya lepas! Kulit kepalanya di bahagian belakang terkelupas selebar telapak tangan! Buat sesaat dia nanar.

Namun di antara rasa terkejutnya yang luar biasa, dia ingat bahwa dia harus tetap hidup. Dia sadar bahwa dirinya kini dalam keadaan kritis. Loncat Tupai! Gerak itu kembali dia lakukan. Berkali-kali gerakan tupai bergelut itu telah menyelamatkan dirinya. Kini begitu tubuhnya menghantam batu, dia bergulingan tiga kali ke kanan saat Cindaku itu menerkam. Seringan tupai dia bergulingan dengan lambungan sehasta tiga kali ke kiri. Kemudian berputar. Cindaku itu menerkam ke sana. Dia bersalto ke belakang! Tegak di atas kedua kaki dengan lipatan lutut di bengkokkan.

Cindaku itu tegak pula empat depa di depannya. Dia hoyong. Luka di punggung dan di belakang kepalanya mengucurkan banyak darah. Berdenyut-denyut. Dia menatap Cindaku itu. Ternyata apa yang dia khawatirkan benar adanya. Cindaku itu tidak mempan oleh senjata tajam. Tidak mempan. Ilmu Cindaku kecil tadi rupanya belum mencapai tingkat yang sempurna. Masih banyak kadar manusianya. Itulah sebabnya dia termakan oleh senjata tajam. Tapi yang satu ini nampaknya sudah mencapai tingkatan yang tinggi. Tak lagi dimakan besi.

Kini si Bungsu tidak lagi bersenjata selain sarung samurai. Samurainya sendiri berada sedepa di depannya. Berarti senjata itu berada di antara dia dengan Cindaku itu. Dia tak berani gegabah memungut senjata yang terletak sedepa di depannya itu. Tidak, itu akan memudahkan Cindaku itu menerkamnya. Dia makin lemah. Dan rasa takut yang luar biasa menjalarinya. Dia takut mati. Tapi takut tak bisa membalaskan dendam keluarganya.
Cindaku itu mulai lagi mempersiapkan diri untuk menyerang, Si Bungsu tetap tegak di tempatnya. Ketika Cindaku itu menggeser tegak ke kiri, dia menggeser tegaknya ke kanan. Jadi mereka bergerak searah. Dia bukannya tak tahu, bahwa Cindaku itu kembali ingin menyerangnya dari sebelah kiri. Yaitu di bahagian rusuknya yang luka.

Tapi dia sendiri juga punya maksud menggeser tegaknya ke kanan. Dia ingin meletakkan samurai itu di bahagian kirinya. Dua langkah, tiga langkah, empat !.

Dan tiba-tiba Cindaku itu menyerang...

Loncat tupai!

Gerakan itu lagi-lagi menyelamatkan dirinya. Tubuhnya berguling ke kiri dengan ringan dua kali putaran, kali ketiga tangannya menyentuh hulu samurai. Gerakan keempat sambil menggenggam samurai itu tubuhnya melentik setinggi setengah depa dan hep! Dia tertegak di pinggir batu. Geraman harimau terdengar di bawah!

Kini dia bisa bernafas lega. Samurai itu berada lagi di tangannya. Dia tahu, bahwa senjata ini takkan mempan pada makhluk tersebut. Namun tanpa senjata. Dia merasa dirinya seperti telanjang. Meskipun tak mempan, senjata ini memberinya semacam sugesti. Dia tegak dengan diam. Melintangkan samurai itu di depan dadanya. Memusatkan konsentrasi dan pendengaran.

Jauh di bawah sana, dari kampung di pinggang gunung itu dia mendengar suara tabuh. Tabuh itu pastilah tabuh sembahyang Isya. Suaranya sayup-sayup. Tapi itu jelas suara tabuh dari suara atau masjid. Telinga yang amat tajam dapat mendengar suara tabuh itu. Suara tabuh itu jelas terdengar olehnya tiap hari setiap dia memusatkan konsentrasi di gunung Sago ini. Barangkali tabuh itu berasal dari masjid di kampung Manang Kadok atau kampung Sikabu-kabu. Yang tak terdengar sampai kemari adalah suara azan muazinnya. Mungkin karena suara manusia jauh lebih pelan daripada suara tabuh.

Azan!

Ya, dia segera ingat pada azan. Bukankah ayahnya yang taat beragama itu pernah bercerita, bahwa banyak ilmu-ilmu hitam yang bisa dipunahkan dengan suara azan? Azan di subuh hari, azan di senja hari yaitu setiap subuh dan maghrib, selain bermaksud memanggil orang sembahyang, juga punya makna mengusir segala roh jahat dan pengaruh ilmu siluman yang coba mempengaruhi kehidupan manusia. Menurut ayahnya azan di subuh hari bermakna juga mengusir pengaruh setan yang menyelusup di waktu tidur lewat tengah malam. Azan di waktu Maghrib mempunyai makna mengusir roh-roh jahat untuk tak terbawa tidur.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 008

No comments:

Post a Comment