Itu menurut cerita ayahnya sewaktu dia
masih kecil. Apakah hal itu benar? Apakah azan mampu memunahkan ilmu kebal
makhluk siluman ini? Dia harus mencobanya. Harus! Mustahil ayahnya bercerita
sewaktu mereka kecil dulu hal-hal yang tak bermanfaat. Ayahnya bukan jenis
orang yang mau menakut-nakuti anaknya dengan cerita-cerita seperti itu. Kini
dia meletakkan sarung samurainya. Memegang samurai itu dengan tangan kanannya.
Meletakkan telapak tangan kiri di telinga kiri. Dia memusatkan konsentrasi.
Kemudian memejamkan mata.
Keselamatannya kini sepenuhnya digantungkan pada pendengarannya. Begitu matanya terpejam, dia membaca Bismillah. Kemudian mulai melafaskan bait-bait azan.
”Allahuakbar - Allahuakbar”.
Keselamatannya kini sepenuhnya digantungkan pada pendengarannya. Begitu matanya terpejam, dia membaca Bismillah. Kemudian mulai melafaskan bait-bait azan.
”Allahuakbar - Allahuakbar”.
Suara bergema mengoyak kesunyian
belantara. Dia dengar Cindaku itu tersurut selangkah.
”Allahuakbar - Allahuakbar”.
”Allahuakbar - Allahuakbar”.
Cindaku itu melangkah ke kanan tiga
langkah. Kemudian selangkah lagi.
”Ashadualaaa-ila haillallaaah!”
Cindaku itu meyerang dengan sebuah dengusan panjang. Sambil tetap melafaskan kalimah Ashadualaaaila haillallaaah itu sekali lagi, samurainya bergerak secepat kilat. Dua kali sabetan cepat. Dia yakin sabetan samurainya mengena.
Namun dia tetap memejamkan mata. Membaca terus lafas azan itu.
“Ashaduanna Muhammadarasulullah…!”
Tiga langkah di belakangnya Cindaku itu terdengar mendengus. Ketika dia mengulangi kalimah itu sekali lagi, Cindaku itu kembali menyerang dengan sebuah lompatan dan terkaman yang tak tanggung-tanggung.
Dia berguling di lantai. Kemudian sambil mempergunakan gerak tupai bergelut, samurainya menghantam ke atas.
Sret! Sret! Sret!
Tiga sabetan berlainan arah. Kena!
Cindaku itu terhenti. Si Bungsu tetap tegak sambil memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan membaca terus lafas azan itu. Dia seperti mendapatkan tenaga baru ketika membaca azan tersebut. Dia seperti mendapat sugesti. Ketika dia membaca kalimah ”Hayaalasholah” dia mendengar benda jatuh. Dia membuka mata. Dan Cindaku itu tengah berlutut di batu, mendekap dadanya. Dalam temeram cahaya dia lihat darah hitam kental mengalir dari sela tangan Cindaku itu.
”Allahuakbar. Maha Besar Engkau ya Allah...” dia berkata perlahan.
Tak terasa air mata merembes di pipinya. Dia selamat setelah mengingat ajaran-ajaran yang pernah diberikan ayahnya dahulu. Ya, dia berkali-kali tak mau tidur di rumah, karena kala dia tidur di rumah, subuh-subuh buta sudah dibangunkan ayahnya. Disuruh azan. Dan dipaksa sembahyang. Alangkah bencinya dia. Alangkah muaknya dia atas suruhan itu. Dia ingin bangun tengah hari. Bahkan ingin bangun sore, sebab sepanjang malam dia berjudi.
Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa, dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.
”Terima kasih Allah. Engkau selamatkan aku dengan ayat-ayat-Mu. Terima kasih ayah. Engkau selamatkan aku dengan ajaranmu yang pernah aku ingkari. Terima kasih. Aku yakin Tuhan akan menempatkan engkau di tempat yang bahagia....” dia berbisik diantara air matanya yang mengalir turun.
Dan tiga depa di depannya, Cindaku itu jatuh terguling. Ada keluhan panjang keluar dari mulutnya. Ada lenguhan sakit dan penderitaan yang amat sangat terdengar. Tubuhnya terlonjak-lonjak seperti ayam tak sempurna dipotong. Ajal seperti mempermainkannya.
Menyakiti seluruh pembuluh darah dan setiap bulu di tubuhnya. Mungkin sebagai pembalasan atas segala laknat yang telah dia sebar semasa hidupnya.
Si Bungsu jadi hiba melihat penderitaan makhluk itu. Dia melangkah ke dekatnya. Sinar mata jadi-jadian yang tadi merah menyala, kini menatapnya minta dikasihani. Sinar mata itu seperti minta pertolongan. Lenguhnya menghiba seperti meminta agar nyawanya cepat diambil.
”Maafkan saya...” si Bungsu berkata.
”Ashadualaaa-ila haillallaaah!”
Cindaku itu meyerang dengan sebuah dengusan panjang. Sambil tetap melafaskan kalimah Ashadualaaaila haillallaaah itu sekali lagi, samurainya bergerak secepat kilat. Dua kali sabetan cepat. Dia yakin sabetan samurainya mengena.
Namun dia tetap memejamkan mata. Membaca terus lafas azan itu.
“Ashaduanna Muhammadarasulullah…!”
Tiga langkah di belakangnya Cindaku itu terdengar mendengus. Ketika dia mengulangi kalimah itu sekali lagi, Cindaku itu kembali menyerang dengan sebuah lompatan dan terkaman yang tak tanggung-tanggung.
Dia berguling di lantai. Kemudian sambil mempergunakan gerak tupai bergelut, samurainya menghantam ke atas.
Sret! Sret! Sret!
Tiga sabetan berlainan arah. Kena!
Cindaku itu terhenti. Si Bungsu tetap tegak sambil memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi dan membaca terus lafas azan itu. Dia seperti mendapatkan tenaga baru ketika membaca azan tersebut. Dia seperti mendapat sugesti. Ketika dia membaca kalimah ”Hayaalasholah” dia mendengar benda jatuh. Dia membuka mata. Dan Cindaku itu tengah berlutut di batu, mendekap dadanya. Dalam temeram cahaya dia lihat darah hitam kental mengalir dari sela tangan Cindaku itu.
”Allahuakbar. Maha Besar Engkau ya Allah...” dia berkata perlahan.
Tak terasa air mata merembes di pipinya. Dia selamat setelah mengingat ajaran-ajaran yang pernah diberikan ayahnya dahulu. Ya, dia berkali-kali tak mau tidur di rumah, karena kala dia tidur di rumah, subuh-subuh buta sudah dibangunkan ayahnya. Disuruh azan. Dan dipaksa sembahyang. Alangkah bencinya dia. Alangkah muaknya dia atas suruhan itu. Dia ingin bangun tengah hari. Bahkan ingin bangun sore, sebab sepanjang malam dia berjudi.
Sewaktu kecil dia memang mengerjakan suruhan itu. Tapi setelah agak dewasa, dia lebih senang tidur di rumah temannya. Kini, ternyata ajaran ayahnya itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia menangis. Benar-benar menangis. Si Bungsu yang dahulu ketika ayah, ibu dan kakaknya mati tak tahu bagaimana caranya menangis, malam ini menangis di tengah rimba di Gunung Sago. Dia menangis karena menyesal telah membangkang perintah ayahnya. Dia menangis karena rindu pada orang tua yang keras dan angkuh itu. Sikap ayahnya adalah gambaran dirinya sendiri.
”Terima kasih Allah. Engkau selamatkan aku dengan ayat-ayat-Mu. Terima kasih ayah. Engkau selamatkan aku dengan ajaranmu yang pernah aku ingkari. Terima kasih. Aku yakin Tuhan akan menempatkan engkau di tempat yang bahagia....” dia berbisik diantara air matanya yang mengalir turun.
Dan tiga depa di depannya, Cindaku itu jatuh terguling. Ada keluhan panjang keluar dari mulutnya. Ada lenguhan sakit dan penderitaan yang amat sangat terdengar. Tubuhnya terlonjak-lonjak seperti ayam tak sempurna dipotong. Ajal seperti mempermainkannya.
Menyakiti seluruh pembuluh darah dan setiap bulu di tubuhnya. Mungkin sebagai pembalasan atas segala laknat yang telah dia sebar semasa hidupnya.
Si Bungsu jadi hiba melihat penderitaan makhluk itu. Dia melangkah ke dekatnya. Sinar mata jadi-jadian yang tadi merah menyala, kini menatapnya minta dikasihani. Sinar mata itu seperti minta pertolongan. Lenguhnya menghiba seperti meminta agar nyawanya cepat diambil.
”Maafkan saya...” si Bungsu berkata.
Dan samurai di tangannya berkelebat.
Cres! Cres!
Dua kali sabetan cepat dan kuat. Membuat dada kiri jadi-jadian itu robek besar. Membuat lehernya hampir putus. Penderitaan makhluk itu benar-benar berakhir. Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang ada di bawah. Seperti raung kemenangan. Bulu tengkuk si Bungsu kembali merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa menyebabkan nyawanya melayang.
Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu sekejap, semua harimau yang ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba.
Masing-masing membawa serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu. Si Bungsu menghapus air matanya. Menghapus keringat dingin yang merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata benar tentang ada ayat-ayat Al-Qur’an dan lafas Azan yang sanggup memunahkan ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.
Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung dan belakang kepalanya. Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu pipih dimana dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok darurat tersebut. Di pondoknya dia menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu dahulu luka menganga bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obati.
Dengan susah payah dia masuk. Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang damar yang dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan untuk menempelkan ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring.
Sakit, lelah dan tertidur. Tiga hari dia diserang demam hebat. Tubuhnya panas dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang dia buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan bisa dan racun. Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu sambil terbaring diam.
Hari keempat dia mulai berangsur sembuh. Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi keempat dia bisa lagi menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan balam, yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya. Burung-burung itu menyanyi di sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan buahnya yang kecil-kecil. Kini dia bisa tersenyum mendengar dendang sahabat-sahabatnya itu.
Ya, selama belasan purnama di gunung ini, sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai, beruk, siamang, kijang bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya sahabat seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi oleh penghuni-penghuni gunung tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Dibahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.
Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan tahun. Lebar kolam itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa. Di dalam kolam batu alam itu hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan. Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada yang hijau bercampur merah. Seperti bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti ragi kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian ketakutan. Mungkin menyangka dia sejenis makhluk gergasi yang akan menelan mereka.
Namun dari hari terbilang purnama, akhirnya ikan-ikan
itu jadi sahabatnya. Jika dia mandi, ikan-ikan itu selalu bersamaan berenang
dan membenturkan kepala mereka ke perut si Bungsu. Si Bungsu terpekik-pekik
kegelian. Ikan-ikan itu mengulangi lagi tingkah mereka. Sebaliknya, lama-lama
si Bungsu berhasil dengan mudah menangkap ikan tersebut. Terkadang dia berhasil
menangkap empat ekor. Kecepatan tangannya terlatih berkat biasa dan diulang
berkali-kali hari demi hari.Cres! Cres!
Dua kali sabetan cepat dan kuat. Membuat dada kiri jadi-jadian itu robek besar. Membuat lehernya hampir putus. Penderitaan makhluk itu benar-benar berakhir. Tiba-tiba rimba itu seperti dikoyak lagi oleh raungan harimau yang ada di bawah. Seperti raung kemenangan. Bulu tengkuk si Bungsu kembali merinding. Dia ngeri kalau-kalau harimau itu berlompatan naik. Itu bisa menyebabkan nyawanya melayang.
Dia melemparkan mayat jadi-jadian itu ke bawah. Terdengar suara berkerosak. Dan dalam waktu sekejap, semua harimau yang ada di bawah melompat dan lenyap ke palunan rimba.
Masing-masing membawa serpihan bangkai makhluk jadi-jadian itu. Si Bungsu menghapus air matanya. Menghapus keringat dingin yang merengas di keningnya. Ternyata ayahnya berkata benar tentang ada ayat-ayat Al-Qur’an dan lafas Azan yang sanggup memunahkan ilmu hitam. Dia membuktikannya malam ini.
Kini tubuhnya terasa lemah. Dia tak tahu sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka di punggung dan belakang kepalanya. Dengan mengumpulkan segala tenaga, dia berjalan ke sudut kanan batu pipih dimana dia mendirikan pondoknya. Batu pipih itu sebagai halaman pondok darurat tersebut. Di pondoknya dia menyimpan ramuan obat-obatan. Obat yang dibuat dari ramuan daun dan kulit kayu. Dengan ramuan itu dahulu luka menganga bekas bacokan samurai Kapten Saburo Matsuyama dia obati.
Dengan susah payah dia masuk. Menggesekkan dua batu api dengan sisa tenaganya untuk memasang damar yang dibuat dari getah kayu. Dengan sedikit sisa tenaga, sebisanya dia pergunakan untuk menempelkan ramuan obat kering itu ke lukanya. Kemudian dia berbaring.
Sakit, lelah dan tertidur. Tiga hari dia diserang demam hebat. Tubuhnya panas dingin. Dia harus berjuang melawan maut. Untunglah daging macan tutul yang dia buat dendeng sangat membantu kesembuhannya. Daging macan itu berkhasiat melawan bisa dan racun. Daging itu juga membuat daya tahan tubuh melebihi manusia biasa. Dia mengunyah dendeng harimau itu sambil terbaring diam.
Hari keempat dia mulai berangsur sembuh. Namun masih belum mampu untuk berdiri. Tapi di pagi keempat dia bisa lagi menikmati kicau burung. Menikmati pekik siamang dan cericit burung punai dan balam, yang barangkali puluhan banyaknya di atas pohon rimbun dekat pondoknya. Burung-burung itu menyanyi di sana. Berlompatan dari cabang ke cabang. Memakan buahnya yang kecil-kecil. Kini dia bisa tersenyum mendengar dendang sahabat-sahabatnya itu.
Ya, selama belasan purnama di gunung ini, sahabatnya adalah hewan-hewan yang ada. Burung, tupai, beruk, siamang, kijang bahkan terkadang harimau dan ular. Sementara di kampungnya dia tak punya sahabat seorangpun. Kehadirannya pertama kali memang mengejutkan dan dimusuhi oleh penghuni-penghuni gunung tersebut. Mereka seperti sangat keberatan atas kehadiran pihak lain di tempat mereka yang selalu aman itu.
Tak jarang harimau dan ular berniat menerkamnya. Namun di bulan-bulan pertama itu, si Bungsu memilih diam saja di dalam pondoknya. Kalaupun dia keluar, itu hanya untuk berlatih di batu pipih di depan pondoknya. Kalau akan minum dia cukup pergi ke sudut selatan batu lebar tersebut. Dibahagian itu ada air mengalir dari batu di atas batu layah itu. Air itu nampaknya mengalir dari puncak gunung. Tak terlalu besar, namun airnya jernih, sejuk dan segar.
Di sudut selatan itu ada kolam kecil yang terbentuk karena tikaman air terjun, mungkin sudah ratusan tahun. Lebar kolam itu tak lebih dari tiga depa persegi, dengan dalam sedepa. Di dalam kolam batu alam itu hidup ikan kecil-kecil. Tak lebih dari sebesar telapak tangan. Ikan-ikan yang alangkah indah warnanya. Ada yang hijau bercampur merah. Seperti bendera. Ada yang hitam dengan biru dan merah. Bergaris-garis seperti ragi kain. Ketika pertama kali dia mandi di dalam tebat itu, ikan itu berlarian ketakutan. Mungkin menyangka dia sejenis makhluk gergasi yang akan menelan mereka.
”Ku gulai kalian. Ku makan kalian dengan tulang-tulang kalian,” dia berseru sambil memegang ikan-ikan itu.
Ikan-ikan tersebut menggelepar-gelepar ingin melepaskan diri. Nampak seperti ketakutan. Dengan tertawa si Bungsu melepaskan ikan-ikan itu kembali. Dan mereka kembali berenang dan membenturkan diri ke perut si Bungsu. Terkadang menggigit daging perutnya. Membuat si Bungsu kembali terpekik-pekik. Demikian persahabatan aneh itu terjalin. Begitu juga dengan burung-burung. Tupai dan musang.
Ah, semuanya sangat indah. Seindah bila dia melihat ke kampung-kampung di bawah sana. Kalau siang dia lihat asap mengepul. Mungkin dari ladang, dan mungkin dari dapur di rumah. Dari batu pipih ini, dia dapat melihat dengan jelas kampung-kampung di kaki gunung Sago itu. Dia dapat melihat rumah atau kerlip lampu di malam hari dari Kampung Sikabu-kabu, Situjuh Ladanglaweh, Tungka, Manangkadok, Padangmangatas, Tabing, Sungai Kumayang. Tanjungharo, Halaban atau si Tujuh Batur.
Dari atas sini semua terlihat indah. Asap yang membawa harumnya jagung dari pembakaran di ladang-ladang. Dia sepertinya mencium bau harumnya jagung panggang. Atau nikmatnya rasa gelamai. Ah, semua rasanya menghimbaunya untuk segera turun. Namun dia harus bertahan beberapa waktu lagi di atas ini. Memang tak ada yang melarangnya untuk turun. Dia bisa pergi setiap saat bila dia mau. Namun yang menahannya adalah hatinya sendiri.
Dia tak akan turun sebelum dia merasa yakin akan mampu menuntut balas dendam keluarganya. Dia takkan turun sebelum dia yakin akan bisa menyaingi kemahiran Saburo Matsuyama mempergunakan samurai dalam perkelahian. Dia harus mampu!. Sebab ayahnya telah bersumpah untuk membalas dendam. Ayahnya telah bersumpah untuk membunuh Saburo dengan samurai.
Sumpah ayahnya itu dia dengar nyata. Bukankah itu suatu isyarat padanya, agar melaksanakan perintah ayah yang tak pernah dia patuhi suruhannya selama ayahnya hidup? Dia harus melaksanakan niat ayahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menebus segala dosa yang pernah dia buat pada si ayah. Semasa dia hidup dia tak pernah menyenangkan hati ayahnya.
Kini setelah orang tua itu mati, dia ingin melaksanakan niat ayahnya. Dia ingin berbuat baik padanya.
Dari pondoknya tak jauh di depannya dia lihat dua ekor tupai bergelut bekejaran. Saling terkam, bergulingan. Lepas, terkam lagi, bergulingan lagi. Lambat-lambat dia melangkah keluar. Kedua tupai itu masih berlarian. Masih bergelut. Masih bergulingan. Meloncat. Melambung dan menerkam. Dia memperhatikan kembali dengan seksama. Gerakan itu seperti sengaja diperlihatkan kepadanya berulang-ulang. Dan gerakan itu telah dia tiru berkali-kali, sampai mahir.
Ya, gerakan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam perkelahian dengan Cindaku itu dia tiru dari gerakan dua tupai itu. Suatu hari dia melihat keduanya berkelahi di cabang pohon. Berkelahi dengan sengit. Saling loncat, saling terkam. Bergulung dan melambung di cabang pohon. Namun tak seekorpun yang jatuh. Mereka nampaknya memiliki ilmu keseimbangan yang sempurna. Kemudian dia menirukan gerakan itu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 009
No comments:
Post a Comment