Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 012

Saat tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar. Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua diantaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid Datuk Maruhun.

”Assalamualaikum....” sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat tetap tak bersuara.

Salah seorang lalu terbatuk-batuk kecil. Orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.

”Apa perlumu kemari Bungsu....” Malano bertanya.

Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.

”Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak....”
"Telah kau lihat kuburan mereka bukan?”

Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah Sutan Permato. Murid silat Datuk Maruhun.

”Ya. Saya datang dari kuburan.”
”Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini....” suara Malano kembali terdengar.

Dia mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah dia tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak mengintip kejadian itu.

”Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini...?” dia bertanya.
”Kenapa! Cis... . karena ini!”

Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia tak ada daya sama sekali tatkala dikeroyok oleh si Baribeh dan ketiga temannya selesai berjudi di surau lapuk di hilir kampung itu. Kini juga dia seperti tak ada daya tatkala keenam lelaki yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan itu mengkantintamkan kaki dan tangan ke tubuhnya.

Dia terjajar dari satu kaki ke kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan akhirnya dia jatuh tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung berdarah.

”Kalau tak memandang waang anak Datuk Berbangsa, sudah kami cincang badan laknat waang itu. Pengkhianat jahanam. Penjudi laknat. Kalau sampai petang nanti waang masih ada di kampung ini, jangan salahkan kami kalau nyawa waang kami akhiri!”

Itu adalah suara Malano. Dia hanya mendengar suara itu sayup-sayup. Kemudian keenam lelaki itu pergi. Anak itu ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti silat selangkahpun. Lelaki yang tak lengkap sebagai lelaki. Namun dalam telungkupnya yang pasrah itu, si Bungsu bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk tidak menggunakan samurai yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang kampungnya.

Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab dia tahu mereka melakukan itu adalah karena cinta mereka pada kampung jua. Telinganya yang amat tajam yang terlatih mendengar suara kaki lelaki itu menjauh. Bahkan dalam telungkupnya dia dapat mengetahui, yang dua orang berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan. Sementara yang satu lagi naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring. Telinganya mendengar langkah kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat ligat. Perutnya terasa mual. Kepalanya berdenyut-denyut.

Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela masjid. Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu memukuli si Bungsu. Ingin benar!. Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri. Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam masjid ini. Di masjid ini dia menerima sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk. Kalau dia sempat tak sependapat dengan penduduk, bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan menikah, orang pergi saja ke Imam atau kadi yang lain.

Itu berarti menutup mata pencahariannya. Dan dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini, kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian dengan melawan arus pendapat penduduk. Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan pekerjaan tangan mereka, dan si Bungsu tergeletak dengan tubuh lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia kini berada dalam rumah Allah, di mana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan berbuat kebaikan. Menyeru berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik. Orang munafik kebencian Allah, begitu dia sering berkata dalam khotbahnya.

Namun apa nama pekerjaannya kini? Apakah membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik? Bukankah selesai Jumat tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui kebaikannya yang dibuatnya? Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah? Kenapa dia tak berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting daripada menegakkan suatu kebenaran? Ah, tiba-tiba dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.

”Ampunkan hambaMu yang lemah ini ya Allah.....” bisiknya sambil melangkah turun.

Dia melangkah ke arah si Bungsu yang masih tertelungkup. Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak orang yang mengintip. Dan itu juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh si Bungsu.

”Bungsu.....” dia memanggil sambil membalikkan tubuh si Bungsu.

Dia merasa hiba melihat hidung dan bibirnya yang berdarah.

”Bangkitlah. Mari ke rumah saya....”

Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh Imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuhnya sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke rumahnya. Di jenjang dia berhenti. Sengaja dilayangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah sekitarnya dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela anak muda ini.

”Saleha... .buka pintu!”

Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit kuning berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya dengan perasaan cemas.

”Bukalah. Sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat !”

Gadis itu cepat menghilang ke belakang saat ayahnya membawa si Bungsu naik dan mendudukkannya di ruang tengah, di atas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap bersih.

”Bapak akan susah karena bantuan bapak ini....” Si Bungsu berkata perlahan.

Untuk pertama kali gadis anak imam itu menatap padanya. Pada wajahnya yang memar dan mulut serta hidungnya yang berdarah. Si Bungsu juga menatap padanya. Mereka sebenarnya sudah saling mengenal bertahun-tahun. Bukankah mereka tinggal sekampung? Hanya saja alangkah asingnya dia terasa di kampung ini. Dan gadis ini, anak Imam yang merupakan salah satu bunga di kampungnya ini, juga menatapnya dengan perasaan asing.

”Terima kasih atas air dan kain lapnya Saleha.....” dia bekata perlahan.

Gadis itu tak menjawab. Dia masih menatapnya diam-diam. Memperhatikan anak muda yang oleh orang kampung disebut telah menjual kampung ini pada Jepang beberapa waktu lalu. Menatap pada anak muda yang terkenal pemain judi nomor satu itu.

”Sediakan nasi. Kami akan makan bersama. Mana Sawal?”

Imam itu memberi perintah, sekaligus bertanya sambil membersihkan muka si Bungsu. Saleha masih terdiam. Dia heran kenapa ayahnya mau membantu sampai membersihkan wajah penjudi ini.

”Kemana Sawal?” kembali Imam itu bertanya.
”Sudah sejak kepetang dia tidak pulang”
”Sediakanlah nasi....”

Namun sebelum Saleha beranjak, pintu digedor orang dari luar. Wajah Saleha berobah pucat. Demikian juga Imam itu.

”Pak Imam... .! Pak Imam... .! Cepat buka pintu!” terdengar suara lelaki dari luar.

Mereka berpandangan. Si Bungsu bersandar. Menatap pada Iman dan Saleha yang pucat. Dan tiba-tiba tanpa dibuka, pintu didobrak dari luar. Dua orang lelaki masuk. Si Bungsu segera mengenalnya sebagai orang yang tadi ikut mengeroyoknya. Kedua lelaki itu sejenak tertegun memandangnya.

”Ada apa Leman?” Imam tersebut bertanya sambil berdiri.
”Sawal pak Imam... .”
”Ada apa dengan Sawal...”
”Dia ditangkap Kempetai bersama Malano... .!”

Saleha terpekik. Imam itu sendiri tertegun. Nama Kempetai membuat tubuhnya jadi lemah.

Intel tentara Jepang itu terkenal kekejamannya. Tentara pilihan saja yang dapat masuk menjadi Kempetai. Pilihan dalam beladiri dan kejamnya. Kalau Kempetai sudah turun tangan, itu berarti mati!

”Mengapa dia sampai ditangkap Kempetai....?!” Imam itu bertanya dengan lemah.

”Dua malam yang lalu dia mencuri senjata Jepang di Kubu Gadang. Bersama Malano dan beberapa pejuang kita. Dua orang sudah tertangkap. Senjata yang berhasil dicuri hanya enam pucuk. Kini mereka berdua berada dalam masjid...’

”Dalam masjid?!”
”Ya...”

Tanpa bicara ba atau bu, Haji itu bergegas turun diikuti oleh kedua lelaki tadi. Kemudian juga Saleha. Si Bungsu menarik nafas panjang. Mengambil kain lap dan kembali membersihkan mukanya.

Malano tertangkap. Demikian pula Sawal. Abang Saleha anak Imam ini. Yang dulu sering menyebut dirinya penjudi kapir. Sawal memang terkenal santri. Bukan karena ayahnya Haji dan Imam di masjid. Tapi pemuda itu memang pemuda yang soleh. Dia guru mengaji di kampung ini. Kini anak muda itu ditangkap Kempetai karena ketahuan mencuri senjata di Markas Jepang di Kubu Gadang. Bah, anak muda itu terlalu bagak, pikirnya sambil tetap bergolek di tikar.

Di depan masjid berdiri tiga orang kempetai. Mereka tegak berkacak pinggang. Penduduk berdesak tak jauh dari halaman masjid tersebut. Ketiga Kempetai itu tak membawa bedil panjang. Sebagai anggota-anggota Kempetai pilihan, mereka hanya membawa sebuah pistol dan samurai.

”Suruh anakmu keluar Haji. Kalau tidak, kami akan menyeretnya keluar!”

Seorang di antara Kempetai itu berkata. Kempetai itu bertubuh gemuk. Saleha menangis dekat ayahnya. Imam itu tak bersuara. Dia masuk ke mesjid. Di dalam, dekat mihrab, dia temui Sawal duduk dengan wajah pucat. Bahunya luka. Nampaknya terjadi perkelahian ketika dia mencuri senjata bersama beberapa orang pejuang Indonesia. Di dekatnya duduk Malano. Lelaki yang tadi memukuli si Bungsu. Dia adalah seorang pejuang bawah tanah. Yang bersumpah akan membunuh Jepang sebanyak mungkin. Sebagai balas dendam atas kematian gurunya Datuk Berbangsa satahun yang lalu.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 011

No comments:

Post a Comment