Saat
tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit
dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.
Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu
satu persatu. Dia segera mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua
diantaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid Datuk Maruhun.
”Assalamualaikum....” sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat
beberapa saat tetap tak bersuara.
Salah seorang lalu terbatuk-batuk kecil. Orang itu dia kenal sebagai Malano,
murid ayahnya.
”Apa perlumu kemari Bungsu....” Malano bertanya.
Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat
dia dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat
pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu kedatangannya, masih ada orang yang
bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan itu,
dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.
”Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak....”
"Telah kau lihat kuburan mereka bukan?”
Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu
adalah Sutan Permato. Murid silat Datuk Maruhun.
”Ya. Saya datang dari kuburan.”
”Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini....” suara Malano
kembali terdengar.
Dia mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman
sekaligus. Apakah dia tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki
itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik
kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka,
perempuan-perempuan dan anak-anak mengintip kejadian itu.
”Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini...?” dia bertanya.
”Kenapa! Cis... . karena ini!”
Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia tak ada daya sama sekali tatkala
dikeroyok oleh si Baribeh dan ketiga temannya selesai berjudi di surau lapuk di
hilir kampung itu. Kini juga dia seperti tak ada daya tatkala keenam lelaki
yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan itu mengkantintamkan kaki dan
tangan ke tubuhnya.
Dia terjajar dari satu kaki ke kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang
lain. Dan akhirnya dia jatuh tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung
berdarah.
”Kalau tak memandang waang anak Datuk Berbangsa, sudah kami cincang badan
laknat waang itu. Pengkhianat jahanam. Penjudi laknat. Kalau sampai petang
nanti waang masih ada di kampung ini, jangan salahkan kami kalau nyawa waang
kami akhiri!”
Itu adalah suara Malano. Dia hanya mendengar suara itu sayup-sayup. Kemudian
keenam lelaki itu pergi. Anak itu ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti
silat selangkahpun. Lelaki yang tak lengkap sebagai lelaki. Namun dalam telungkupnya
yang pasrah itu, si Bungsu bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk
tidak menggunakan samurai yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang
kampungnya.
Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab dia tahu mereka melakukan itu adalah
karena cinta mereka pada kampung jua. Telinganya yang amat tajam yang terlatih
mendengar suara kaki lelaki itu menjauh. Bahkan dalam telungkupnya dia dapat
mengetahui, yang dua orang berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan.
Sementara yang satu lagi naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring.
Telinganya mendengar langkah kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan
tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat ligat. Perutnya terasa
mual. Kepalanya berdenyut-denyut.
Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam
lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela
masjid. Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu memukuli si Bungsu. Ingin
benar!. Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan
diri. Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam masjid
ini. Di masjid ini dia menerima sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari
penduduk. Kalau dia sempat tak sependapat dengan penduduk, bisa-bisa penduduk
tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan
menikah, orang pergi saja ke Imam atau kadi yang lain.
Itu berarti menutup mata pencahariannya. Dan dalam zaman serba kacau seperti
sekarang ini, kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah,
tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian dengan melawan arus pendapat
penduduk. Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan pekerjaan tangan mereka,
dan si Bungsu tergeletak dengan tubuh lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia
kini berada dalam rumah Allah, di mana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan
berbuat kebaikan. Menyeru berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru
untuk tidak munafik. Orang munafik kebencian Allah, begitu dia sering berkata
dalam khotbahnya.
Namun apa nama pekerjaannya kini? Apakah membiarkan anak muda itu dilanyau,
bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik? Bukankah selesai Jumat tadi dia
berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui kebaikannya yang dibuatnya?
Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah? Kenapa dia tak
berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting
daripada menegakkan suatu kebenaran? Ah, tiba-tiba dia menjadi malu berada
dalam rumah Allah ini.
”Ampunkan hambaMu yang lemah ini ya Allah.....” bisiknya sambil melangkah
turun.
Dia melangkah ke arah si Bungsu yang masih tertelungkup. Dia tahu, dari balik
pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak orang yang mengintip. Dan itu
juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh si Bungsu.
”Bungsu.....” dia memanggil sambil membalikkan tubuh si Bungsu.
Dia merasa hiba melihat hidung dan bibirnya yang berdarah.
”Bangkitlah. Mari ke rumah saya....”
Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh Imam itu. Imam itu
sudah tua. Tubuhnya sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat
tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke rumahnya. Di jenjang dia berhenti.
Sengaja dilayangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah sekitarnya
dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan pada orang yang mengintip itu,
bahwa dia membela anak muda ini.
”Saleha... .buka pintu!”
Dia memanggil ke rumah. Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis
berkulit kuning berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke
rumah-rumah di sekitarnya dengan perasaan cemas.
”Bukalah. Sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat !”
Gadis itu cepat menghilang ke belakang saat ayahnya membawa si Bungsu naik dan
mendudukkannya di ruang tengah, di atas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul
lagi membawa baskom dengan air hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap
bersih.
”Bapak akan susah karena bantuan bapak ini....” Si Bungsu berkata perlahan.
Untuk pertama kali gadis anak imam itu menatap padanya. Pada wajahnya yang
memar dan mulut serta hidungnya yang berdarah. Si Bungsu juga menatap padanya.
Mereka sebenarnya sudah saling mengenal bertahun-tahun. Bukankah mereka tinggal
sekampung? Hanya saja alangkah asingnya dia terasa di kampung ini. Dan gadis ini,
anak Imam yang merupakan salah satu bunga di kampungnya ini, juga menatapnya
dengan perasaan asing.
”Terima kasih atas air dan kain lapnya Saleha.....” dia bekata perlahan.
Gadis itu tak menjawab. Dia masih menatapnya diam-diam. Memperhatikan anak muda
yang oleh orang kampung disebut telah menjual kampung ini pada Jepang beberapa
waktu lalu. Menatap pada anak muda yang terkenal pemain judi nomor satu itu.
”Sediakan nasi. Kami akan makan bersama. Mana Sawal?”
Imam itu memberi perintah, sekaligus bertanya sambil membersihkan muka si
Bungsu. Saleha masih terdiam. Dia heran kenapa ayahnya mau membantu sampai
membersihkan wajah penjudi ini.
”Kemana Sawal?” kembali Imam itu bertanya.
”Sudah sejak kepetang dia tidak pulang”
”Sediakanlah nasi....”
Namun sebelum Saleha beranjak, pintu digedor orang dari luar. Wajah Saleha
berobah pucat. Demikian juga Imam itu.
”Pak Imam... .! Pak Imam... .! Cepat buka pintu!” terdengar suara lelaki dari
luar.
Mereka berpandangan. Si Bungsu bersandar. Menatap pada Iman dan Saleha yang
pucat. Dan tiba-tiba tanpa dibuka, pintu didobrak dari luar. Dua orang lelaki
masuk. Si Bungsu segera mengenalnya sebagai orang yang tadi ikut mengeroyoknya.
Kedua lelaki itu sejenak tertegun memandangnya.
”Ada apa Leman?” Imam tersebut bertanya sambil berdiri.
”Sawal pak Imam... .”
”Ada apa dengan Sawal...”
”Dia ditangkap Kempetai bersama Malano... .!”
Saleha terpekik. Imam itu sendiri tertegun. Nama Kempetai membuat tubuhnya jadi
lemah.
Intel tentara Jepang itu terkenal kekejamannya. Tentara pilihan saja yang dapat
masuk menjadi Kempetai. Pilihan dalam beladiri dan kejamnya. Kalau Kempetai
sudah turun tangan, itu berarti mati!
”Mengapa dia sampai ditangkap Kempetai....?!” Imam itu bertanya dengan lemah.
”Dua malam yang lalu dia mencuri senjata Jepang di Kubu Gadang. Bersama Malano
dan beberapa pejuang kita. Dua orang sudah tertangkap. Senjata yang berhasil
dicuri hanya enam pucuk. Kini mereka berdua berada dalam masjid...’
”Dalam masjid?!”
”Ya...”
Tanpa bicara ba atau bu, Haji itu bergegas turun diikuti oleh kedua lelaki
tadi. Kemudian juga Saleha. Si Bungsu menarik nafas panjang. Mengambil kain lap
dan kembali membersihkan mukanya.
Malano tertangkap. Demikian pula Sawal. Abang Saleha anak Imam ini. Yang dulu
sering menyebut dirinya penjudi kapir. Sawal memang terkenal santri. Bukan
karena ayahnya Haji dan Imam di masjid. Tapi pemuda itu memang pemuda yang
soleh. Dia guru mengaji di kampung ini. Kini anak muda itu ditangkap Kempetai
karena ketahuan mencuri senjata di Markas Jepang di Kubu Gadang. Bah, anak muda
itu terlalu bagak, pikirnya sambil tetap bergolek di tikar.
Di depan masjid berdiri tiga orang kempetai. Mereka tegak berkacak pinggang.
Penduduk berdesak tak jauh dari halaman masjid tersebut. Ketiga Kempetai itu
tak membawa bedil panjang. Sebagai anggota-anggota Kempetai pilihan, mereka
hanya membawa sebuah pistol dan samurai.
”Suruh anakmu keluar Haji. Kalau tidak, kami akan menyeretnya keluar!”
Seorang di antara Kempetai itu berkata. Kempetai itu bertubuh gemuk. Saleha
menangis dekat ayahnya. Imam itu tak bersuara. Dia masuk ke mesjid. Di dalam,
dekat mihrab, dia temui Sawal duduk dengan wajah pucat. Bahunya luka. Nampaknya
terjadi perkelahian ketika dia mencuri senjata bersama beberapa orang pejuang
Indonesia. Di dekatnya duduk Malano. Lelaki yang tadi memukuli si Bungsu. Dia
adalah seorang pejuang bawah tanah. Yang bersumpah akan membunuh Jepang
sebanyak mungkin. Sebagai balas dendam atas kematian gurunya Datuk Berbangsa
satahun yang lalu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 011
No comments:
Post a Comment