Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 013

Haji itu menatap Malano dengan diam. Banyak yang ingin dia ucapkan. Namun tak ada kata yang bisa terucapkan dalam saat seperti ini. Dia ingin menyuruh anaknya melarikan diri. Namun kalau dia melarikan diri, penduduk yang lain akan ditangkap Jepang sebagai gantinya. Bukankah dulu Saburo pernah berkata, kalau ada serdadu Jepang yang mati, maka setiap satu Jepang yang mati akan dibalas dengan membunuh tiga penduduk.

Kalau anaknya dan Malano melarikan diri, maka penduduk yang tak berdosa akan menjadi korban pembunuhan Jepang. Hal ini sudah beberapa kali terjadi di kampung-kampung sekitar ini. Tiba-tiba di luar terdengar pekikan Saleha. Imam itu dan Sawal terkejut. Mereka berlarian ke pintu. Di luar mereka lihat Saleha berada dalam pelukan salah seorang Kempetai.

Begitu Sawal muncul, Kempetai yang gemuk itu mencabut pistol dan menembakkannya. Sawal berlari kembali ke dalam masjid. Peluru pistol menghantam ayahnya. Haji itu terpekik dan rubuh. Jepang gemuk itu memberi perintah kepada kedua temannya. Kedua Kempetai itu menghambur masuk dengan sepatu yang dipenuhi lumpur. Penduduk jadi kaget dan berang melihat serdadu itu masuk ke rumah ibadah mereka tanpa membuka alas kaki.

Namun marah mereka terpaksa mereka pendam. Siapa pula yang berani marah pada Kempetai? Meski mereka hanya bertiga, tapi itu berarti sama dengan sebuah pasukan besar. Terdengar bentakan dan pekikan di dalam. Kemudian penduduk melihat Sawal dan Malano digiring keluar dengan tubuh luka-luka.

”Kedua lelaki ini, dan anak gadismu terpaksa kami tahan pak Imam. Gadismu ini hanya kami jadikan sebagai jaminan agar abangnya tidak melarikan diri. Jangan khawatir, dia akan aman....”

Jepang gemuk itu berkata dengan senyum memuakkan. Imam tersebut hanya duduk tersandar ke pintu. Luka di bahunya mengalirkan darah. Sementara Saleha meronta-ronta melepaskan diri. Tapi yang memegang tangannya terlalu kuat buat dia lawan. Ketiga Jepang itu memutar tubuh dan mulai melangkah meniggalkan halaman mesjid itu. Tiba-tiba mereka tertegun. Seorang lelaki, berbaju gunting Cina, berkain sarung melintang di bahunya, bercelana gunting Jawa tegak menghadang jalan mereka.

Si Bungsu!
Ya. Dialah yang tegak menghadang itu. Di sudut bibirnya masih menetes darah dari bekas dilanyau Malano dan teman-temannya beberapa menit berselang.

”Apakah bangsa kalian tak beradab sedikitpun, sehingga masuk rumah ibadah tanpa membuka sepatu yang kotor?”

Anak muda itu berkata dengan nada suara yang setajam pisau.
Jepang-jepang itu tertegun. Mereka lebih banyak heran daripada kaget. Heran ada lelaki pribumi yang berani menghadang Kempetai. Apakah lelaki ini edan, pikir mereka. Namun yang bertubuh gemuk itu segera ingat anak muda ini.

”Hei beruk. Bukankah kamu orang yang kami tangkap malam itu ketika bersembunyi dekat Sasaran silat rahasia itu? Ya, engkaulah orangnya. Kamu orang anak Datuk Berbangsa jahanam itu ya?” penduduk pada terdiam.
”Tangkap anak jahanam ini. Ayahnya seorang pemberontak. Anaknya tentu sama saja...” si gemuk itu berkata lagi.

Si Bungsu segera ingat bahwa si gemuk ini adalah Jepang yang dulu memimpin penangkapan atas pesilat-pesilat di sasaran rahasia yang waktu itu dilatih oleh Datuk Maruhun.

”Lepaskan gadis itu...” dia berkata perlahan.
”Tangkap dia!!” perintah si gemuk menggelegar.

Salah seorang Kempetai itu melepaskan pegangannya dari Malano. Kemudian maju menangkap si Bungsu. Namun sebuah tendangan menyebabkan Kempetai tersurut dengan perut mual.

”Bagero! Habisi nyawanya!!” si gemuk yang merasa sudah banyak waktunya yang terbuang segera memerintahkan untuk membunuh anak muda itu.

Kedua Jepang itu maju dengan menghunus samurai mereka. Mata si Bungsu tiba-tiba berkilat. Orang yang hadir tak melihat perubahan sedikitpun pada diri anak muda itu. Wajahnya tetap murung. Sinar matanya tetap luyu. Begitu dulu, begitu sekarang. Tiba-tiba kedua Jepang itu membabat. Dan tiba-tiba....snap!! Tiga bacokan yang terlalu cepat untuk bisa diikuti. Akhirnya sebuah tikaman yang telak ke belakang. Persis seperti jurus yang dipergunakan oleh ayahnya, Datuk Berbangsa, di halaman rumahnya belasan purnama yang lalu.

Kedua Kempetai itu tertegak diam. Mata mereka menatap kosong ke depan. Wajah mereka seperti keheranan. Tiba-tiba mereka rubuh! Si Bungsu tegak diam di tempatnya. Samurai di tangannya berada kembali dalam sarungnya. Semua orang terdiam. Bahkan anginpun seperti berhenti bertiup. Jepang gemuk itu juga tertegun. Namun hanya sesaat, kemudian dengan memaki dalam bahasa Jepang dia maju. Tangannya tergantung dekat samurai. Dia maju setelah mendorong Saleha hingga rubuh.

”Kubunuh kau jahanam!” Jepang gemuk itu memaki, dan samurainya berkelebat.

Aneh, tiba-tiba pula seperti halnya ketika dia melawan harimau jadi-jadian di gunung Sago sebulan yang lalu, wajah Kempetai gemuk ini seperti berubah. Wajahnya kini mirip wajah Saburo Matsuyama. Komandan Kempetai yang membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakaknya.

Wajahnya yang murung berubah jadi keras. Gerakan samurai si gemuk itu bukan main cepatnya. Namun lebih cepat lagi gerakan lompat tupai yang dipergunakan oleh si Bungsu. Tubuhnya tiba-tiba berguling ke kanan. Samurai si gemuk memburu ke sana. Kosong! Tiba-tiba dia melambung tegak dua depa di depan Kempetai itu. Kini mereka berhadapan. Tak seorangpun di antara penduduk yang percaya atas apa yang baru saja mereka saksikan.

Mulai dari saat kematian kedua Kempetai itu, sampai pada peristiwa sebentar ini. Benarkah yang berada di hadapan mereka dan yang berhadapan dengan Kempetai itu adalah si Bungsu anak Datuk Berbangsa? Si penjudi yang terkenal penakutnya itu? Mereka tak sempat berpikir. Kedua lelaki itu berhadapan lagi. Kempetai gemuk itu menggeser telapak kakinya di tanah, inci demi inci. Tiba-tiba samurainya bekerja.

Tapi saat itu si Bungsu mencabut samurainya. Tak seorangpun yang melihat bergeraknya samurai kedua orang itu. Kedua-duanya alangkah cepatnya. Namun, kini si Bungsu kelihatan berlutut di lutut kirinya. Samurainya menghujam ke belakang. Dan di ujung samurainya Kempetai gemuk itu tertusuk persis di dada kiri! Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik. Samurainya terangkat tinggi.

Dia menggertakkan geraham. Menghimpun tenaga. Kemudian menghayunkan samurai di tangannya ke tengkorak si Bungsu yang berlutut di sebelah kaki membelakanginya. Saleha terpekik. Begitu pula beberapa perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman masjid itu. Namun hayunan samurai si gemuk hanya sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah. Si Bungsu menyentakan samurainya dan dengan amat cepat memasukkan kembali ke sarungnya.

Gerakan cepat Bungsu mencabut samurainya diawal pertarungan tadi membuat konsentrasi si gemuk terganggu. Itulah salah satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Tak pernah dia sangka sedikitpun, bahkan hampir tak masuk di akal, ada penduduk pribumi yang masih sangat muda memilki kecepatan luar biasa mempergunakan samurai. Lebih cepat dari seorang Kempetai! Apakah ini bisa terjadi? Ketika kedua anak buahnya meninggal tadi, sebenarnya dia sudah merasa heran.

Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini tak menurut aturan dan teori seorang samurai. Nampaknya asal melangkah saja. Bahkan beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa dia bisa secepat itu? Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas pertanyaan di kepalanya. Dia keburu mati.

Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa si Bungsu terlalu cepat dengan samurainya, maka penduduk kampung itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Mereka melihat si Bungsu hanya sekali memegang samurai terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya. Kemudian samurai itu disentakkan, dan lenyap ke dalam sarungnya. Kini anak muda itu seperti hanya memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa.
Si Bungsu tegak di antara mayat-mayat Kempetai itu. Menatap pada Saleha, kemudian pada Sawal dan Malano. Sementara mereka membalas tatapannya dalam diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka murung. Lalu si Bungsu menoleh pada Imam yang masih tersandar di pintu masjid.

”Saya rasa Kempetai ini hanya datang bertiga. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan meraka jauh-jauh. Lenyapkan segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau mereka tahu mereka mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas bantuan pak Imam pada saya... .” lalu dia menoleh pada Sawal.
”Tinggalkan kampung ini buat sementara. Agar Jepang-jepang itu tak curiga.” Kemudian dia menghadap lagi pada Malano yang tadi melayaunya dengan tangan.
”Terima kasih Malano, engkau seorang pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti engkau. Siang tadi kalian memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk pergi...”

Lalu dia memandang pada Saleha. Gadis itu juga menatap padanya.

”Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan kain lap yang engkau berikan tadi....”

Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir kampung. Suaranya tadi terdengar tenang. Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu. Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang kuyu. Ya, tak ada yang berobah pada dirinya. Dia tetap seperti dulu. Bedanya kini hanyalah ”Samurai di tangan dan bara dendam di hatinya!”

Si Bungsu makin lama makin jauh. Semua orang ingin memanggil dan berkata agar dia jangan pergi. Semua orang ingin minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu. Saleha, Malano, Sawal. Semuanya!. Namun tak seorangpun yang mampu membuka mulut. Tak ada suara yang mampu diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai kalimat. Imam ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara perlahan, di air matanya yang mengalir turun. Dia bicara dari pintu masjid, sambil bersandar ke pintu dan memegangi luka di dadanya.

”Setahun yang lalu, ketika semua kita melarikan diri dari kampung ini, dialah yang menguburkan jenazah anak kemenakan kalian. Dialah yang menguburkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat itu dimakan binatang buas. Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri luka parah. Bukankah engkau Datuk Labih yang melihat bahwa dia kena bacokan samurai sebelum engkau sendiri melarikan diri? Meninggalkan kakak perempuanmu diperkosa dan dibunuh tentara Jepang? Kemudian engkau pula yang mengatakan pada orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkainya pasti telah dimakan anjing atau diseret binatang buas ke rimba?. Bahwa kalian semua mempercayai, bahkan memang berharap, anak itu mendapat celaka seperti itu? Bukankah begitu?”

Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga menghapus air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini?
Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu. Gaaak... gaaak...gaaak. Di ujung sana, tubuh si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja.

Hilang si Noru tampak Pagai
Hilang dilamun-lamun ombak.
Hilang si Bungsu karano sansai
Hilang di mato urang banyak.

Malam itu gerimis turun membasahi bumi. Empat orang serdadu Jepang kelihatan berkumpul di sebuah kedai kopi di kampung Tabing. Kampung itu masih terletak dikaki gunung Sago. Sebuah desa kecil yang tak begitu ramai. Namun karena letak kampung itu di dalam kacamata militer cukup strategis, maka Jepang menjadikan kampung itu sebagai salah satu markasnya.

Ada beberapa markas Jepang yang termasuk besar di sekitar kaki Gunung Sago di Luhak 50 kota ini. Yaitu Padang Mangatas, Tabing, Pekan Selasa dan Kubu Gadang. Jepang menganggap daerah Luhak 50 Kota ini sebagai daerah strategis. Karena dari sini dekat mengirimkan pasukan atau suplay ke Batu Sangkar atau ke Logas dan Pekanbaru. Di daerah mana Jepang mempunyai tambang-tambang emas dan berbagai kepentingan militer lainnya. Kedai kopi itu sebenarnya sudah akan tutup. Pemiliknya seorang lelaki tua sudah akan tidur. Namun keempat serdadu Jepang itu tetap menggedor pintu kedainya.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 012

No comments:

Post a Comment