Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 014

”Jangan bobok dulu Pak tua. Kami ingin makan paniaram dengan sake. Ayo keluarkan paniaramnya..” salah seorang bicara. Dari mulut mereka tercium bau sake. Semacam minuman keras khas Jepang.
”Paniaram sudah habis tuan....”
”Ah jangan ngicuh laa. Tak baik ngicuh. Tadi siang masih banyak. Ayooo...!”

Dan orang tua itu mereka dorong sampai terdededede masuk ke kedainya. Mereka langsung saja duduk di kursi panjang dan mengambil empat buah gelas. Dari kantong mereka mengeluarkan beberapa buah botol porselin. Menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Hanya sedikit, lalu meminumnya.

Mereka lalu berbisik. Salah seorang lalu berseru: ”Hei, pak tua. Mana paniaramnya.”

Lelaki itu terpaksa mengambil kaleng empat segi yang berisi paniaram. Kemudian meletakkannya ke depan tentara Jepang tersebut.

”Mana Siti pak tua. Suruh dia membuatkan kami kopi...” Hati gaek itu jadi tak sedap.


Siti adalah anak gadisnya. Biasanya dia berada di Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri di sana. Tapi sejak Jepang masuk, dia merasa anak gadisnya tak aman di sana. Lagipula, banyak orang tua yang menyuruh pulang anak-anaknya yang sekolah jauh.
Pak tua ini juga menjemput Siti. Dan selama di kampung dia lebih banyak di rumah.

”Tak ada lagi air panas untuk membuat kopi tuan....” dia masih coba mengelak.

Tapi terus terang saja hatinya sangat kecut. Keganasan Jepang terhadap perempuan bukan rahasia lagi. Meskipun belum lewat dua tahun mereka di Minangkabau ini. Beberapa hari yang lalu, dua orang penduduk yang dituduh mencuri senjata di Kubu Gadang, dipenggal ditepi batang Agam. Dan segera saja tentara Jepang itu memaki. Belasan perempuan, tak peduli gadis atau bini orang, telah jadi korban perkosaan.

”Jangan banyak cincong pak tua. Suruh anakmu turun membuatkan kopi untuk kami... .” bentak salah seorang tentara itu.

Lelaki tua itu tak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya turun dan membuatkan kopi. Siti memakai pakaian yang buruk. Mengusutkan rambutnya kemudian turun membuatkan kopi.

Namun meski dia berusaha memburuk-burukkan badannya dan pakaian yang dia pakai longgar, tetap tak dapat menyembunyikan kecantikan dan kepadatan tubuhnya. Tak dapat menghilangkan bahwa pinggulnya padat berisi. Dadanya sedang ranum. Semua itu masih jelas terbayang. Bahkan makin merangsang dalam cahaya pelita yang eram temaram dalam kedai kecil itu.

Ketika dia lewat hendak ke dapur di dekat ke empat serdadu itu, dengan kurang ajar sekali yang seorang meremas pinggulnya. Yang seorang dengan cepat mencubit dadanya, gadis ini terpekik dan menangis. Dia segera akan lari ke atas rumahnya kembali. Namun dia terpekik lagi ketika larinya dihadang oleh sebuah samurai. Samurai itu berkelebat. Dan ujung kain batik yang dia pakai sebagai selendang putus! Dapat dibayangkan betapa tajamnya senjata itu.

”Kau Siti, dan kau juga pak tua, jangan banyak tingkah. Kami ingin minum kopi, makan paniaram, sediakan cepat kalau tidak ingin dimakan mata samurai ini...!”

Siti menggigil. Ayahnya mengangguk tanda menyuruh. Sambil menangis terisak-isak, gadis berumur tujuh belas tahun itu menghidupkan api untuk membuat kopi.

”Assalamualaikum... .” tiba-tiba terdengar suara perlahan dari luar.

Tak ada yang menyahut kecuali tolehan kepala. Lelaki tua itu, anak gadisnya, dan keempat serdadu Jepang itu menoleh ke pintu. Di ambang pintu muncul seorang lelaki muda dengan wajah murung. Matanya yang kuyu menatap isi kedai. Dia memandang pada Siti. Sebentar saja.

Tapi dia melihat pipi gadis itu basah. Dia memandang pada pemilik kedai. Kemudian pada keempat serdadu itu. Dia mengangguk memberi hormat. Anggukan pelan saja. Meski tak di balas, dia melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu.

Ke empat serdadu Jepang itu kembali meminum sake mereka. Nampaknya minta kopi hanya sekedar untuk menyuruh anak gadis itu untuk turun ke kedai ini saja. Untuk minum mereka mempunyai sake. Anak muda yang baru masuk itu duduk di sudut kedai. Membelakangi pada keempat serdadu itu.

”Apakah saya bisa minta kopi secangkir upik?” dia bertanya perlahan pada Siti yang duduk dekat tungku menuggu air, sedepa di sampingnya.

Gadis itu menoleh padanya. Anak muda itu menunduk. Seperti sedang melihat daun meja. Gadis itu tak menyahut. Meski dia yakin anak muda itu tak melihat anggukannya, dia mengangguk juga sebagai tanda akan menyediakan kopi yang diminta. Meski menunduk, anak muda itu dapat melihat anggukan gadis itu.

”Hei pak tua, bukankah Sumite yang bertubuh gemuk itu minum disini lima hari yang lalu?”

Tentara Jepang itu bertanya pada lelaki pemilik kedai. Lelaki itu tak segera menjawab.

”Sumite. Kempetai yang bertubuh gemuk itu. Bukankah dia minum bersama dua orang anak buahnya di sini lima hari yang lalu?”

Pemilik kedai itu segera tahu siapa yang ditanyakan Jepang itu. Kempetai bertubuh gemuk itu memang minum disini lima hari yang lalu. Kemudian dia pergi. Tapi sejak hari itu, Kempetai itu lenyap tak berbekas. Dia harus hati-hati menjawab. Jangan sampai dia berurusan pula ke Kempetai nanti. Kempetai telah datang kemari dua kali. Dia menjawab seadanya.

”Ya tuan. Dia minum di sini bersama dua orang temannya.”
”Tak ada dia mengatakan kemana dia akan pergi?”
”Tak ada tuan.”
”Nah, dia lenyap tak berbekas. Dia diperintahkan untuk menangkap dua orang lelaki yang mencuri senjata di kampung di kaki gunung sana. Tapi tak pernah kembali. Kampung itu sudah diperiksa. Orang yang ditangkap itu juga tak pernah pulang ke kampungnya.”
”Barangkali dia melarikan diri ke Agam. Dan Sumite memburunya ke sana...” Jepang yang satu lagi memotong pembicaraan.
”Tak tahulah. Di negeri ini memang banyak setannya. Hei Siti, cepat bawa kemari kopi itu... Naah, bagus, bagus.... Yoroshi...”

Siti datang membawa empat gelas kopi. Ketika dia akan meletakkannya, Jepang yang bertubuh kurus memeluk pinggangnya. Siti terpekik.

”Tak apa. Tak apa. Saya sayang Siti. Saya sayang Siti. Saya akan belikan Siti kain.”

Jepang kurus itu merayu sambil mencium-cium punggung Siti. Siti menangis. Segelas kopi terserak. Jepang-jepang itu tertawa. Ayah Siti pernah belajar silat. Namun menghadapi empat serdadu dengan samurai ini hatinya jadi gacar. Apalagi tak jauh dari kedainya terdapat kamp tentara Jepang. Dia terpaksa diam.

Jepang kurus itu sudah mendudukkan Siti dipangkuannya. Kemudian membelai wajah gadis itu. Kemudian mencium pipinya. Bau sake membuat Siti ingin muntah. Bau keringat Jepang itu membuat Siti hampir pingsan.

”Mana kopi saya Siti....”

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Jepang-jepang itu. Jepang-jepang yang sedang tertawa itu terdiam. Mereka menoleh. Dan melihat pada lelaki yang masuk tadi yang duduk menunduk membelakangi mereka. Di kanannya di atas meja kelihatan tongkat kayu melintang. Dialah yang barusan minta kopi pada Siti.

”Kamu orang bicara sebentar ini?” si kurus bicara.
”Ya,” orang itu menjawab perlahan.
”Apa bicara kamu orang?”
”Saya tadi meminta kopi. Dan Siti terlalu lama.”
”Kamu bisa bikin sendiri kopi. Itu ada air di tungku.”
”Tidak. Saya meminta Siti yang membikinkan... .”
”Siti ada perlu dengan saya...”
”Tidak. Dia harus membikin kopi untuk saya...”
”Bagero. Kurang ajar... .”
”Siti mana kopi saya”, anak muda itu tetap tenang dan menunduk tanpa mengacuhkan Jepang yang berang itu.

Siti melepaskan dirinya dari pelukan Jepang tersebut. Namun si kurus mendorong tubuh Siti ke pangkuan temannya satu lagi. Lalu dia sendiri tegak dengan gelas kopi di tangannya. Jepang itu berjalan ke arah anak muda yang meminta kopi itu.

”Kau minta kopi ya! Ini minumlah!”

Berkata begitu si kurus menyiramkan kopi itu ke kepala anak muda tersebut. Namun tiba-tiba ada cahaya berkelebat cepat sekali. Dan...trasss! Gelas di tangan Jepang itu belah dua. Kopinya tumpah ke wajahnya sendiri. Tangannya luka mengucurkan darah! Jepang itu terpekik kaget dan melompat mundur. Anak muda itu masih membelakang. Kini kelihatan dia lambat-lambat meletakkan tongkatnya.

”Samurai!!” tanpa terasa keempat serdadu itu berkata sambil tegak.

Mereka menatap dengan kaget.

”Siti. Ambilkan kopi untuk saya...”

Anak muda yang tak lain dari pada si Bungsu itu berkata lagi perlahan. Dia masih tetap duduk memunggungi keempat serdadu Jepang tersebut. Si kurus yang tangannya luka, tiba-tiba dengan memekikkan kata Banzai yang panjang mencabut samurainya. Dan menebas leher si Bungsu. Namun tiba-tiba setengah depa di belakang anak muda itu, sebelum dia sempat membabatkan samurainya sebacokpun, tubuhnya seperti ditahan.

Ternyata yang menahan adalah ujung tongkat kayu anak muda itu. Samurai itu tak dia cabut. Hanya sarungnya yang dia hentakkan ke dada tentang jantung si kurus. Kini mereka berempat, termasuk Siti dan ayahnya, baru dapat melihat dengan jelas wajah anak muda itu. Seorang anak muda yang berwajah gagah, tapi amat murung.

”Saya tak bermusuhan dengan kamu kurus. Kalau engkau coba melawan saya, engkau akan mati seperti anjing. Pemilik kedai ini serta anak gadisnya juga tak bermusuhan dengan kalian. Kalian datang menjajah kemari. Kalian telah banyak menangkapi para lelaki. Dan memperkosa wanita negeri ini. Karena ini jangan ganggu gadis ini. Saya meminta kopi, jangan ganggu saya minum....”

Sahabis berkata begini, dia menolakkan tongkatnya. Dan si kurus terdorong ke belakang tanpa sempat membabatkan samurai di tangannya yang telah terangkat. Si Bungsu menatap pada Siti yang masih duduk di pangkuan salah seorang Jepang tersebut.

”Siti, ambilkan kopi saya...” katanya perlahan.

Siti segera berdiri. Jepang yang memeluknya seperti tersihir, tak berani menahan gadis itu. Siti segera membuatkan kopi. Kemudian meletakkannya di depan anak muda itu.

”Duduklah...” anak muda itu menyuruh Siti duduk di kursi di depannya.

Sudah tentu dengan segala senang hati Siti menurutinya.

”Apapun yang akan terjadi Siti, tetaplah diam...” dia berkata perlahan sekali sebelum meneguk kopinya.

Siti mendengar ucapan itu. Matanya tak lepas menatap anak muda tersebut. Dia mengangguk. Dan saat itu si kurus yang tadi masih tertegak dengan samurai terhunus tak dapat membiarkan dirinya dilumuri taik seperti itu. Tanpa teriakan Banzai seperti tadi, dengan diam-diam saja agar tidak diketahui, dia melangkah maju. Dan tiba-tiba dia membabatkan samurainya ke tengkuk anak muda tersebut.

Ketiga temannya memperhatikan dengan tenang. Siti ingin berteriak. Namun dia segera ingat pada pesan anak muda ini barusan. Agar dia tetap tenang, apapun yang akan terjadi. Meski matanya terbeliak karena kaget dan ingin memperingatkan, namun dia menggigit bibirnya. Sudah terbayang olehnya leher anak muda di depannya ini putus dibabat samurai.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 013

No comments:

Post a Comment