Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 015

Namun apa yang harus terjadi, terjadilah!

Jepang kurus itu tetap tak sempat membabatkan samurainya meski seayunpun. Dengan kecepatan yang amat luar biasa, si Bungsu mencabut samurainya. Dua kali ayunan cepat dan sebuah tikaman ke belakang mengakhiri pertarungan itu. Babatan pertama membuat putus lengan si kurus yang memegang samurai. Lengan dan samurainya terlempar menimpa barang jualan di kedai itu. Darah menyembur-nyembur! Babatan kedua merobek dadanya. Dan tikaman terakhir menembus jantungnya.

Ketiga Jepang lain tertegak dengan wajah takjub dan pucat.

”Sudah saya katakan. Kalau dia melawan saya, dia akan mati seperti anjing...” anak muda ini berkata perlahan.
”Kalian mencari teman kalian si Kempetai gendut bernama Sumite itu bukan?”

Ketiga Jepang itu seperti dikomando pada mengangguk. Mereka masih terpesona meliha kehebatan anak muda ini memainkan samurai.

”Nah, dia dan dua kempetai lainnya, juga mati di tangan saya. Mati seperti anjing. Bukan salah saya. Mereka yang meminta. Karena kalian sudah mendengar, maka kalian juga harus mati. Tapi sebelum kalian mati, kalian harus menjawab pertanyaan saya. Dimana Kapten Saburo Matsuyama kini berada?”

Tak ada yang menjawab. Ketiga Jepang itu saling pandang. Dan tiba-tiba seperti dikomando, mereka melompat mencabut samurai mereka. Si Bungsu meloncat ke atas meja. Ketiga samurai itu memburu ke sana. Dia meloncat turun. Ketiga Jepang itu memburunya. Dan kembali terjadi apa yang harus terjadi! Dua buah sabetan yang amat cepat, kemudian disusul sebuah tikaman ke belakang. Tikaman yang pernah dipergunakan Datuk Berbangsa ketika melawan belasan purnama yang lalu.
Dua kali babatan pertama merubuhkan dua tentara Jepang. Yang satu robek dadanya. Yang satu hampir putus lehernya. Dan tikaman membelakang terakhir, menyudahi nyawa serdadu yang ketiga. Anak muda itu terhenti sesaat. Kemudian cepat dia mencabut samurai yang tertancap di dada Jepang itu. Dan...trap! samurai itu masuk ke sarung ditangan kirinya. Kini dia hanya seperti memegang sebuah tongkat kayu.

Siti dan ayahnya seperti terpaku di tempat mereka. Anak muda itu berjalan lagi dengan tenang ke mejanya, di mana Siti duduk dengan diam. Dia mengangkat gelas kopinya. Kemudian meminum kopinya tiga teguk.
Kemudian memandang pada Siti. Kemudia menoleh pada pemilik kedai itu.

”Maafkan saya terpaksa menyusahkan Bapak...”, dia melangkah kedekat lelaki tua itu.

Lalu tiba-tiba samurainya bekerja.
Sret..!!
Lelaki itu terpekik. Siti terpekik. Lelaki tua itu merasakan dadanya amat perih. Samurai si Bungsu memancung dadanya. Mulai dari bahu kanan robek ke perut bawah. Siti menghambur dan memukul anak muda itu sambil memekik-mekik. Namun lelaki tua itu masih tegak dengan wajah pucat.

”Pergilah lari ke markas Jepang diujung jalan ini. Laporkan disini ada serdadu yang mabuk dan berkelahi. Cepatlah!”

Lelaki tua itu kini tiba-tiba sadar apa sandiwara yang akan dia mainkan. Luka di dada dan perutnya hanya luka di kulit yang tipis. Meski darah banyak keluar, tetapi luka itu tak berbahaya. Anak muda ini nampaknya seorang yang amat ahli mempergunakan samurainya. Siti yang juga maklum, jadi terdiam. Dia jadi malu telah memaki dan memukuli anak muda itu.

”Pergilah. Kami akan mengatur keadaan di sini...”

Si Bungsu berkata. Orang tua itu mulai berlarian dalam hujan yang mulai lebat. Memekik dan berteriak-teriak hingga sampai ke Markas Tentara Jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari selusin serdadu Jepang dan puluhan penduduk datang membawa suluh. Kedai itu berubah seperti pasar malam. Kedai itu kelihatan centang perenang. Meja dan kursi terbalik-balik.
Seorang anak muda kelihatan tersandar ke dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur darah. Nampaknya dia kena bacokan samurai pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek panjang. Dari robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat serdadu Jepang itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur darah.

”Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi. Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling mencabut samurai. Main bacok. Kami tak sempat menghindar...saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya tak tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena sabetan samurai....Siti juga...”

Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan wajah pucat penuh takut.

”Lihatlah kedai saya...centang perenang. Saya rugi...” katanya.

Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku laporan mereka.
”Saya sudah bilang jangan biarkan mereka minum sake dalam tugas...”

Komandan Kempetai itu berkata dengan berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.

”Maaf, anak buah saya membuat kekacauan. Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan mereka ini. Bapak besok bisa datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara Jepang merugikan rakyat...Nipong Indonesia sama-sama. Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda...”

Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut mayat-mayat itu ke markas. Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. Orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti.

”Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur...” katanya.

Siti menurut. Si bungsu menaburkan obat ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di punggung gadis tersebut. Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu.


”Terima kasih...” gadis itu berkata perlahan.



Luka itu sengaja dibuat oleh si Bungsu dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada perkelahian dalam kedai itu. Demikian pula samurai Jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu menatap padanya.

”Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak...” katanya perlahan.

”Kami yang harus berterima kasih padamu, Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-i (Kapten) Saburo Matsuyama pada serdadu-serdadu itu...”

Si Bungsu tertegun.

”Benar. Bapak mengenalnya?”
”Tidak ada yang tak kenal padanya Nak....”
”Dimana dia sekarang?”
”Nampaknya ada sesuatu yang amat penting hingga kau mencarinya....”

Hampir saja si Bungsu menceritakan apa yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal itu tak ada gunanya.

”Ya, ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan...”
”Balas dendam?”

Kembali anak muda itu tertegun. Menatap dalam-dalam pada lelaki tua itu.

”Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?”

Ucapan lelaki itu lagi-lagi membuat si Bungsu terdiam.

”Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini mendengar tentang kematian ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan semua orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama si Bungsu...”

Anak muda itu menunduk.

”Apakah bapak mengetahui di mana Saburo kini?”
”Beberapa hari yang lalu masih di sini. Tapi tempat yang mudah mencari opsir Jepang adalah di Lundang...”
”Di Lundang?”
”Ya.”
”Di tepi batang Agam itu?”
”Ya. Di sanalah.”
”Ada apa di sana. Apakah mereka mendirikan markas di sana?”
”Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan nafsu dengan perempuan-perempuan...”
”Tempat pelacuran?”
”Begitulah..”
”Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana.”
”Marilah kita naik. Besok kau teruskan perjalananmu.”

”Terima kasih Pak. Saya harus pergi sekarang.”
”Tapi hari hujan dan malam telah larut.”
”Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam suasana bagaimanapun.”
”Tapi bukankah engkau disuruh datang besok ke markas Kempetai?”
”Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan saya sudah pergi.”
“Engkau benar-benar tak ingin bermalam di sini agak semalam?”
”Terima kasih pak...”

Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih duduk. Gadis itu menunduk.

”Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai membuatnya. Saya belum pernah meminum kopi seenak itu....”

Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya

”Benar kopi itu enak?” tanya gadis itu perlahan.
”Benar...”
”Saya lupa memberinya gula, karena ketakutan...”

Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.

”Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya jadi enak. Nah, selamat tinggal.”

Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian melangkah keluar.

”Doa kami untukmu Nak...”
”Terima kasih Pak...”
”Kalau suatu hari kelak kau lewat di sini, singgahlah...”
”Pasti saya akan singgah...”

Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi.
Ayahnya menarik nafas panjang.


Di Padang, Presiden Republik Indonesia Soekarno baru saja tiba dari pengasingannya di Bengkulu. Dia sedang dalam pembuangan di Bengkulu oleh Pemerintah Belanda tatkala Jepang masuk ke sana. Ketika Jepang sudah sampai di Bangka, Jepang memberitahu Belanda melalui telpon ke Bengkulu. Tentara di Bengkulu menyerah. Tapi Presiden Soekarno mereka bawa ke Padang. Sebab Belanda menyangka Minangkabau masih belum jatuh ke tangan Jepang. Ternyata Kota Padang sudah diduduki Jepang.

Pimpinan bala tentara Jepang di Sumatera yang berkedudukan di Pasenggrahan Panorama Bukit Tinggi di bawah pimpinan Tei Sha (Kolonel) Fujiyama, mengirim seorang Chu Sha (Letkol) untuk menemui Soekarno di Padang. Kepada Soekarno bala tentara Jepang sangat berlaku hormat. Fujiyama mengharapkan agar menyampaikan pada pemuka-pemuka dan pimpinan masyarakat untuk tetap tenang. Menjaga ketertiban. Jepang datang untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 014

1 comment: