Jepang yang berkepala botak dan bertubuh
kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu melihat Babah gemuk
itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian
memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu. Si Bungsu
memperhatikan jari-jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan
perut buncit. Namun jari-jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang
subur itu.
Biasanya orang-orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat-bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan langsing dan panjang-panjang. Berbeda dengan Cina-Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba-tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka-angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang disatu nomor. Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya. Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh.
Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu ! Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang.
Juling tercengang. Perwira Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum. Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat-lambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan. Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum ”mengungsi” selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran setajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang-lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang-lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan. Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun-tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba-coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan. Semua uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
”Sudah ..?” si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si Bungsu. Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Juling yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan. Lagi pula apa yang harus dia takutkan ? Bukankah pertaruhan ini jujur ? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda-tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda-tandanya. Meski telah membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari-jarinya yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat-urat darah di tubuh si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.
Lambat-lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik-baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu yang berputar itu.
Dan tiba-tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul di dasar tabung. Beberapa detik berlalu.
Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun. Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
” Pasanglah,” kata si Babah perlahan.
Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak memandang pada si Bungsu. Tapi karena si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua. Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.
” Tidak ikut memasang ?” tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.
” Tidak ikut bertaruh ..?” babah itu kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.
” Pasang saja taruhannya ”. Babah itu berkata lagi.
” Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah jatuh di piring ” si Bungsu berkata perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah dadu itu memang belum jatuh ke piring ? Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas dalam tabung bambu itu. Mustahil.
” Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ”. Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini. Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.
” Baru dua buah yang jatuh ”. perwira itu berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor tiga dan lima. Kemudian sepi.
” Tak ada yang akan merobah letak taruhan ?”
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu itu. Dan tiba-tiba semua orang, kecuali si Bungsu, jadi tertegun. Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka-angka seperti yang ditebak si Bungsu. Mata dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar. Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namunan itu tak mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi di tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa.
Menatap ke uang taruhan si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang taruhan si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua. Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.
Biasanya orang-orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat-bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan langsing dan panjang-panjang. Berbeda dengan Cina-Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.
Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba-tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.
Baribeh memasang taruhannya pada angka-angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang disatu nomor. Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya. Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh.
Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.
Satu ! Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang.
Juling tercengang. Perwira Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum. Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat-lambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan. Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.
Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum ”mengungsi” selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.
Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran setajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.
Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang-lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang-lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan. Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima. Untuk membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun-tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.
Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba-coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan. Semua uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.
”Sudah ..?” si Babah bertanya.
Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si Bungsu. Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Juling yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.
Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan. Lagi pula apa yang harus dia takutkan ? Bukankah pertaruhan ini jujur ? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.
Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda-tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda-tandanya. Meski telah membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari-jarinya yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat-urat darah di tubuh si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.
Lambat-lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.
Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik-baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu yang berputar itu.
Dan tiba-tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul di dasar tabung. Beberapa detik berlalu.
Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun. Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.
” Pasanglah,” kata si Babah perlahan.
Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak memandang pada si Bungsu. Tapi karena si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua. Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.
” Tidak ikut memasang ?” tanya si babah.
Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.
” Tidak ikut bertaruh ..?” babah itu kembali bertanya.
Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.
” Pasang saja taruhannya ”. Babah itu berkata lagi.
” Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah jatuh di piring ” si Bungsu berkata perlahan.
Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah dadu itu memang belum jatuh ke piring ? Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas dalam tabung bambu itu. Mustahil.
” Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ”. Ujar Bungsu.
Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini. Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.
Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.
” Baru dua buah yang jatuh ”. perwira itu berkata.
Babah itu tersenyum sambil menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor tiga dan lima. Kemudian sepi.
” Tak ada yang akan merobah letak taruhan ?”
Babah itu bertanya. Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu itu. Dan tiba-tiba semua orang, kecuali si Bungsu, jadi tertegun. Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka-angka seperti yang ditebak si Bungsu. Mata dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar. Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namunan itu tak mempengaruhi kemenangannya.
Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi di tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa.
Menatap ke uang taruhan si Bungsu beberapa saat.
Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang taruhan si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua. Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.
Dari seratus penjudi lihai, barangkali
ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi. Dengan
demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu simpanannya. Pertama demontrasi
tenaga dalam. Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas
tabung bambu.
Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan si Bungsu juga mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.
Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu berlompatan
enam orang Kempetai dengan senjata terhunus. Mereka dikurung di tengah. Si
Bungsu secara reflek segera meraih samurainya yang terletak di paha. Namun
entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang
terkena tendangan si Babah. Sebelum si Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan
si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera saja muntah darah.
Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik
dengan keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus
ditekankan ke dada dan lehernya.Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan si Bungsu juga mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah.
Uang itu dia kaut dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh. Taruhannya di angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.
”Kalau kau melawan, kau kami bunuh di sini ”.
Kempetai yang memimpin penyergapan ini mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak sedikitpun. Dia melihat Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap tempat-tempat judi. Karena dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu memang sudah direncanakan. Si Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap. Sudah tiga hari ini dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini termasuk suatu tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 018
No comments:
Post a Comment