Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui
jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten yang telah membantai
keluarganya itu. Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan
ada pula orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah
sendiri. Si Babah ini memang harus hati-hati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh
karena itu dia mengawasi setiap orang yang lewat di depan rumahnya. Makanya tak
heran kalau kehadiran si Bungsu tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya
menarik perhatiannya. Si Bungsu yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.
Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat melihat si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi mereka tak mengetahui untuk apa si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini ? Babah gemuk itu jadi was – was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula.
Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya. Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya. Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah.
Dan si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi. Kembali si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.
” Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini,” Babah itu bertanya.
Si Bungsu tak menjawab.
” Jawab ...! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini ! Kau ditugaskan oleh siapa untuk memata-mataiku ? Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya ?”
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.
” Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ”. Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat di mana dapat melihat si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi mereka tak mengetahui untuk apa si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini ? Babah gemuk itu jadi was – was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.
Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula.
Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya. Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya. Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah.
Dan si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.
Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi. Kembali si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.
” Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini,” Babah itu bertanya.
Si Bungsu tak menjawab.
” Jawab ...! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini ! Kau ditugaskan oleh siapa untuk memata-mataiku ? Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya ?”
Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.
” Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ”. Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.
” Apakah Mahmud mengirim dia kemari ? ”
si Babah bertanya pada Baribeh.
” Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk merampas persenjataan ”.
” Kapan mereka merencanakan ?”
” Dua malam lagi ”.
” Apakah tindakan lainnya ”.
” Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ”.
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh bergant-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja untuk Jepang. Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ingin muntah saking jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam dari Mesjid belum diketahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang-Jepang di kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram. Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
” Hei monyet, jawablah. Apakah maksudmu memata-matai
rumahku ?” ” Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk merampas persenjataan ”.
” Kapan mereka merencanakan ?”
” Dua malam lagi ”.
” Apakah tindakan lainnya ”.
” Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ”.
Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh bergant-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu. Babah itu bekerja untuk Jepang. Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ingin muntah saking jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.
Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam dari Mesjid belum diketahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang-Jepang di kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram. Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.
Babah itu memaki. Muka si Bungsu jadi merah padam. Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya dengan sebutan monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya, diterima di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan aman selama puluhan tahun itu, berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana dia hidup menompang dengan sebutan monyet!
Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy anak si Babah, muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat – cepat menyudahi permainannya. Lalu memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling lelah di lantai.
” Ada apa .. ?” tanya perwira yang bernama Ichi kepada Babah.
Si babah menceritakan tentang si Bungsu yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada si Bungsu.
” Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu ..”
Kata Ichi sambil berjalan ke sudut ruangan mengambil minuman.
” Bicaralah ..!”
Kata si Babah pada si Bungsui. Kali ini tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Kemudian ”menembakkan” buah dadu itu kearah si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, si Bungsu terpekik. Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek. Darah mengucur dari sana. Namun si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan dada dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya dengan jentikan halus saja, dadu itu sanggup memecah telinga si Bungsu. Tidak hanya berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis !
” Jawablah!!. Kalau tidak engkau akan kubunuh seperti membunuh tikus ..”
Kata si Babah dengan nada dingin.
” Saya mencari Saburo ”.
Akhirnya si Bungsu berkata jujur.
” Saburo ..?”
” Ya ..”
” Tai-i Saburo Matsuyama ?”
”Ya”.
” Untuk apa kau mencarinya ? ”
” Ada persoalan yang harus kuselesaikan ”
” Persoalan apa ?”
” Itu urusanku ..”
Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di antara ibu jari dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah si Bungsu. Kembali si Bungsu terpekik. Sebenarnya dia telah berusaha untuk menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu menghantam keningnya. Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening si Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi si Bungsu. Sakitnya bukan main, kemudian melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.
Babah gemuk itu tertawa menyeringai. Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata si Bungsu merembes di pipinya. Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia menyumpahi dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan cincang perut gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin menyala.
” Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai-i Saburo ..!”
Kata Cina gendut itu. Si Bungsu menghapus darah dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua lukanya itu menyentak-nyentak.
” Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini ?”
Katanya coba mencari kesempatan. Dia berharap dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik. Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat tupai ke belakang menyambar samurainya.
Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu. Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi untuk dia sentilkan pada si Bungsu.
” Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak di lehermu !”
Benar-benar sadis. Mau tak mau si Bungsu memang harus buka mulut.
” Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya ..” katanya perlahan.
” Dengan apa akan kau tuntut ? Dengan menembaknya ? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia ? Hmm ..? Katakan bagaimana caranya !!”
” Dengan cara saya sendiri ..”
” Bagaimana caramu !”
Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.
” Katakan bagaimana caramu ..!” desis Babah itu.
Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai pejudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak sebesar telur.
” Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet !”
Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar – benar sakit hati si Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benar-benar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut ”monyet” benar-benar menyakitkan. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu. Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika. Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.
Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh. Untung si Baribeh. Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.
” Anjing ! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu ”
Sumpah si Babah dan mendekati tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah si Bungsu. Namun saat itu si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup, dia membuka mata. Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya !.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 019
No comments:
Post a Comment