Kolonel Fujiyama terkenal sebagai
seorang Perwira Senior yang kukuh pada tradisi Militer Jepang yang amat
konvensional. Baginya, seorang tentara adalah seorang tentara. Seorang tentara
berperang untuk negaranya. Bukan untuk diri pribadi.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak mengambil putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito, seorang mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa si Bungsu ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha ( Mayor ) dan menjabat sebagai Bu Tei Cho ( Komandan Batalyon ) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
” Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda bersamurai yang bernama si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya. Karena itu pulanglah ke kampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi ..”
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
” Apakah engkau punya anak ?”
” Ada Kolonel ..”
” Berapa orang ?”
” Seorang, dan perempuan ..”
” Dimana dia kini ?”
” Di Nagoya. Baru berumur enam belas ..”
” Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari
perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo ? Saya tak menakut – nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu melupakan.
Nah selamat jalan.. !”
Kata-kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai.
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amat lihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
” Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik-baik ..”
Suara itu seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak kandungnya. Dulu dia menganggap hal-hal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu ? Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka ?.
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang terkena senjata rahasia itu ? Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja ? Saburo termasuk orang praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut ? Dia ingin segera pulang ke kampungnya di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura.
Seorang tentara hanya bermusuhan dengan tentara dari negara yang melawan negara Jepang. Lawan tentara Jepang hanyalah tentara negara tersebut, atau mata-mata dari tentara yang berasal dari orang sipil. Seorang tentara Kerajaan Tenno Haika tak layak melakukan kekejaman pada rakyat sipil. Kolonel ini terkenal sekali dengan sikap yang demikian. Dia adalah pemeluk agama Budha yang taat.
Sebagai Dai Tai Cho, Komandan Divisi dan Komandan balatentara Jepang di Pulau Sumatera, dia berhak mengambil putusan-putusan yang amat prinsipil. Dan itulah yang dia lakukan. Yaitu dengan menyuruh Eraito, seorang mayor yang gagal untuk Harakiri. Kini dia mengambil langkah kedua dalam urusan peristiwa si Bungsu ini. Dia memerintahkan pada Saburo yang saat itu sudah berpangkat Syo Sha ( Mayor ) dan menjabat sebagai Bu Tei Cho ( Komandan Batalyon ) di Batu Sangkar, untuk datang menghadapnya di Markas Besar. Saat Saburo Matsuyama datang dia dipaksa oleh Fujiyama untuk minta pensiun. Kemudian dipaksa untuk pulang ke Jepang. Putusan ini mengejutkan perwira-perwira Jepang. Sebab Saburo dikenal sebagai perwira yang cekatan. Namun itulah putusan Fujiyama.
” Saya punya keyakinan, kalau engkau masih di negeri ini, engkau akan bertemu dengan anak muda bersamurai yang bernama si Bungsu itu. Dan kalau kalian bertemu, perkelahian tak terhindarkan. Saya tak dapat menerka bagaimana cara anak itu berkelahi, tapi saya punya firasat, engkau akan mati di tangannya. Karena itu pulanglah ke kampungmu Syo Sha. Di sana engkau akan aman. Aman dari perbuatan memperkosa anak bini orang. Namun saya merasa pasti anak muda ini akan tetap mengejarmu kemanapun engkau pergi ..”
Begitu Kolonel Fujiyama berkata pada Saburo, Saburo termenung.
” Apakah engkau punya anak ?”
” Ada Kolonel ..”
” Berapa orang ?”
” Seorang, dan perempuan ..”
” Dimana dia kini ?”
” Di Nagoya. Baru berumur enam belas ..”
” Dalam agama ada ajaran, bahwa setiap orang akan menerima balasan dari
perbuatannya. Saya khawatir, suatu saat anakmu ketemu dengan anak muda ini. Dan kalau dia membalas dendam padanya, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi Saburo ? Saya tak menakut – nakutimu. Tapi berdoalah, agar anak muda itu melupakan.
Nah selamat jalan.. !”
Kata-kata ini masih terngiang di telinga Saburo dalam perjalanannya ke Singapura untuk terus pulang ke Jepang. Anaknya seorang gadis yang amat cantik. Yang telah kematian ibu ketika anak itu masih berumur sepuluh tahun. Dia terbayang pada pembunuhan yang dia lakukan di Situjuh Ladang Laweh. Pada gadis yang dia perkosa di rumah adat itu. Pada ayah dan ibunya yang dia bunuh. Pada pembunuhan gadis itu sendiri setelah dia perkosa. Dan pada anak lelakinya yang pengecut. Kini ternyata anak lelakinya itu memburunya dengan samurai di tangan. Dengan Samurai. Ya Tuhan, tiba-tiba Saburo Matsuyama tertegak. Seluruh bulu tubuhnya pada merinding. Anak muda itu mencarinya dengan samurai.
Dan menurut cerita Fujiyama, anak muda itu amat lihai dan tangguh mempergunakan samurainya. Dia segera teringat pada sumpah Datuk Berbangsa sesaat sebelum mati dulu. Saat itu sebuah samurai menancap di dada Datuk itu.
” Saya akan menuntut balas atas perbuatanmu ini Saburo. Engkau takkan selamat. Saya bersumpah untuk membunuhmu dengan samurai dari negerimu sendiri. Kau ingat itu baik-baik ..”
Suara itu seperti bergema. Lelaki Minangkabau itu ternyata memang memburunya melalui anak kandungnya. Dulu dia menganggap hal-hal mistis ini sebagai nonsens. Tapi kini anak muda itu mencarinya dengan samurai. Bukankah itu merupakan suatu perwujudan dari sumpah Datuk itu ? Saburo mulai seperti dikejar bayang-bayang. Dia banyak mendengar tentang kesaktian orang-orang Minangkabau. Namun selama dia di negeri itu, tak satupun di antara kesaktian itu yang terbukti. Kabarnya orang Minang bisa membuat orang lain jadi gila, senewen memanjat-manjat dinding, namanya sijundai. Tapi dia dan pasukannya yang telah terlalu banyak berbuat maksiat di negeri itu, kenapa tak satupun di antara kesaktian itu yang mempan pada mereka ?.
Kabarnya ada pula semacam senjata rahasia yang berbahaya. Yang bisa membunuh orang dari jarak jauh. Konon bernama Gayung, Tinggam atau Permayo. Tapi kenapa tak satupun di antara pasukan Jepang yang terkena senjata rahasia itu ? Ataukah hanya mempan untuk sesama orang Minang saja ? Saburo termasuk orang praktis yang tak mempercayai segala macam bentuk mistik. Tapi kali ini, terhadap sumpah Datuk Berbangsa yang telah mati lebih dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus takut ? Dia ingin segera pulang ke kampungnya di Jepang sana. Dia ingin bersenang-senang barang sebulan dua di Singapura. Demikian putusan yang dia ambil dalam kapal ketika berlayar dari Dumai ke Singapura.
Kemana si Bungsu? Kenapa dia bisa lenyap
dari ruangan di mana dia membantai tentara Jepang dan Babah gemuk mata mata
itu? Padahal rumah itu telah dikepung dengan ketat oleh Kempetai. Tambahan lagi
dia mengalami luka di berbagai bahagian tubuhnya dalam perkelahian melawan si
Babah itu. Kemana saja dia melarikan diri hingga tak bersua? Malam itu,
sebenarnya si Bungsu tak pernah meninggalkan rumah si Babah. Bahkan hari hari
berikutnya dia masih tetap di rumah itu. Tapi kenapa sampai tak diketahui
Kempetai? Kenapa sampai tak diketahui perempuan perempuan lacur yang tinggal di
rumah itu?
Malam itu, tatkala dia selesai membunuh
dua perwira Jepang yang merupakan orang terakhir di dalam ruangan itu, pintu
besar yang dia kunci dengan palang besar itu sudah hampir dijebol oleh Kempetai
dengan truk reo. Suara reo telah terdengar olehnya memasuki rumah. Bahkan reo
itu sudah berada di ruang depan- Dia harus menyelamatkan diri. Namun dia tahu,
ruangan ini telah dikepung dengan ketat. Tapi bagaimana juga dia harus selamat.
Harus tetap hidup sampai dendamnya pada Saburo terbalaskan. Dengan kaki pincang
dia segera mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Dia tidak menuju ke belakang.
Melainkan ke samping.
Baru tiga langkah dia berjalan, dia
tertegak. Di depannya berdiri seorang perempuan. Tepatnya adalah seorang gadis
cina. Sekali pandang dia dapat menebak, gadis ini paling paling baru berusia
enam belas atau tujuh belas tahun. Gadis cantik bertubuh menggiurkan. Gadis
berkulit kuning berambut lebat itu hanya mengenakan handuk di tubuhnya.
Nampaknya dia sudah sejak tadi berdiri di sana. Dan si Bungsu dapat memastikan
bahwa gadis ini melihat semua perkelahian yang berlangsung di ruangan itu. Dia
pasti melihat pembantaian itu. Mereka bertatapan. Pintu mulai didobrak.
“Masuk kemari ..”
Tiba tiba saja gadis itu menarik tangan
si Bungsu kedalam kamarnya. Si Bungsu seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Dia menurut, sebab tak ada jalan lain. Dengan berada dalam kamar gadis ini, dia
berharap bisa selamat. Atau dia bisa menjadikan gadis ini sebagai sandera.
Kamar gadis itu bersih dan berbau harum.
“Masuk kemari ..” gadis itu berkata lagi
sambil membuka sebuah katup di lantai.
Tanpa banyak cincong, si Bungsu
mendekat. Di bawah lantai yang menganga itu, dia melihat sebuah ruangan kecil.
“Masuklah cepat ..” gadis itu berkata
lagi.
Si Bungsu tak lagi sempat berfikir. Dia
menurut dan mulai menuruni tangga ke bawah. Dia sampai ke dalam sebuah ruangan
kecil dan gelap. Gadis itu lalu menutupkan lantai yang dia angkat tadi.
Kemudian membetulkan tikar di atasnya. Lalu mengambil kain dan mulai melap
bekas darah yang berceceran di lantai dari bekas luka di tubuh si Bungsu.
Kerjanya baru saja selesai ketika pintu berhasil di dobrak oleh truk reo
tentara Jepang. Kamarnya ikut digeledah. Lemari pakaian, bawah kolong tempat
tidur, loteng. Si Bungsu mendengar derap sepatu. Kempetai itu lalu lalang di
atas kepalanya. Dia menanti dengan diam dalam kegelapan di ruang yang tak
dikenalnya ini. Barangkali tentara Jepang masih berada di rumah itu. Sebab
telah berlalu waktu beberapa jam, namun gadis itu belum kunjung muncul.
Si Bungsu tak berani naik keatas. Dia
tetap menanti. Dengan meraba raba dia berbaring di lantai yang rasanya di alas
dengan tikar yang bersih.Dia terbangun dengan terkejut tatkala dirasakannya
sebuah benda jatuh menimpa perutnya. Kemudian pintu di lantai ditutup lagi. Dia
meraba dalam gelap itu. Yang dijatuhkan ternyata sebuah bungkusan. Dalam gelap
dia membuka bungkusan itu. Meraba isinya. Pisang, ah, perutnya memang amat
lapar. Segera saja empat buah pisang lenyap ke dalam perutnya. Kemudian dia
memeriksa isi bungkusan yang lain. Sebuah senter kecil. Dengan senter itu dia
dapat memeriksa dengan isi bungkusan itu. Ada perban dan plaster. Ada obat
merah. Dia sangat berterima kasih pada gadis cina yang belum dia kenal itu.
Apakah dia salah seorang dari pelacur yang disimpan dalam rumah ini? obat itu
sebenarnya tak dia perlukan. Sebab untuk mengobati lukanya, dia masih mempunyai
bubuk ramuan yang dia bawa dari gunung Sago. obat itu amat manjur. Obat itulah
dulu yang menyembuhkan dari luka akibat samurai Kapten Saburo. Dan obat
tradisional itu pula yang menyembuhkan luka bekas dicakar harimau jadi-jadian
ketika bulan terakhir dia akan turun gunung.
Dia ambil ramuan yang terdiri dari kulit
dan daun kayu, lumut batu, lumut pohon dan daun tanaman melata yang sudah
dikeringkan yang selalu dia simpan dalam kantongnya, dalam sumpik rokok daun
enau, yang dulu memang berisi rokok daun enau. Ramuan itu dia tabur pada luka
disekujur tubuhnya. Dengan menimbulkan rasa dingin lukanya dengan cepat
mengering, merapat dengan cepat mengering. Dengan senter kecil yang dijatuhkan
gadis itu, si Bungsu mulai memeriksa ruangan di mana dia berada. Ruangan ini
ternyata ruangan di bawah tanah. Memang dibuat untuk menghadapi keadaan
darurat, seperti umumnya rumah-rumah turunan cina. Bedanya kalau ruangan bawah
tanah di rumah-rumah cina yang lain digunakan untuk menyimpan bahan makanan
atau tempat air, maka ruangan bawah tanah ini dipergunakan sebagai ruangan
tempat tinggal.
Tak jauh dari tempat dia tidur di lantai
ada sebuah pembaringan. Kalau saja dia bergerak dalam gelap itu agak empat
langkah ke kanan, maka dia akan menemui tempat tidur empuk itu. Tapi mana pula
dia akan menyangka hal itu. Di dekat tempat tidur itu, di bahagian kepalanya
ada sebuah lemari kaca. Di dalamnya si Bungsu mendapatkan tiga buah pistol dan
dua buah bedil panjang. Lengkap dengan mesiunya. Ruangan bawah tanah ini nampak
dijadikan semacam benteng oleh Babah gemuk itu Dia tak menyentuh senjata
tersebut. Di samping tak mengerti cara memakainya, juga menganggap tak ada
gunanya untuk dibawa.
Pistol atau bedil menimbulkan suara bila membunuh orang. Dia lebih suka memakai samurai. Dengan samurai dia bisa bertindak diam diam. Karena lelah dia berbaring di tempat tidur. Dia tak tahu sudah berapa lama dia tertidur ketika tiba tiba terbangun lagi. Ada seseorang dirasakan hadir di kamar berdinding beton di bawah tanah itu. Dia membuka mata dan berusaha untuk bangkit.
Pistol atau bedil menimbulkan suara bila membunuh orang. Dia lebih suka memakai samurai. Dengan samurai dia bisa bertindak diam diam. Karena lelah dia berbaring di tempat tidur. Dia tak tahu sudah berapa lama dia tertidur ketika tiba tiba terbangun lagi. Ada seseorang dirasakan hadir di kamar berdinding beton di bawah tanah itu. Dia membuka mata dan berusaha untuk bangkit.
Namun sebuah tangan halus menahannya.
Dalam cahaya lampu dinding yang telah dipasang, dia lihat gadis cina yang telah
menyelamatkannya itu. Gadis itu duduk di tepi pembaringan. Menatap padanya
dengan pandangan lembut.
“Berbaringlah .. lukamu belum sembuh ..”
suaranya terdengar lembut.
Bahasa Melayu nya terdengar bersih. Si
Bungsu tetap duduk. Gadis itu menatap pada matanya.
“Terima kasih nona, nona telah
menyelamatkan nyawaku. Apakah Jepang itu sudah pergi ?”
“Sudah. Tapi rumah ini tetap mereka
awasi. Rumah ini sudah ditutup untuk tempat pelacuran. He,.. engkau tentu
lapar. Sudah dua hari kau berada dalam lubang ini”
“.. Dua hari …?”
“Ya. Engkau masuk kemari tengah malam
yang lalu. Kini hari kedua hampir sore, saya membawa makanan dengan gulai ikan,
sambal lado dan petai. Suka sambal lado dan petai?”
Si Bungsu tak banyak bicara. Dia makan
dengan lahap. Gadis itu ternyata juga belum makan. Mereka makan bersama.
“Engkau yang memasak makanan ini?” dia
bertanya setelah selesai makan dengan bertambah sampai tiga kali.
“Bagaimana, enak ?”
“Hampir menyamai masakan ibuku …”
“Yang memasak etek Munah, pembantu kami
…”
Si Bungsu kemudian teringat, bahwa dia
harus segera pergi dari rumah ini. Tubuhnya meski belum segar, tapi dia rasa
sudah kuat untuk melanjutkan perjalanan.
“Siapa namamu ..?”
“Mei-mei…”
“Mei mei ?”
“Ya, dan namamu ?”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 022
No comments:
Post a Comment