“Bungsu …”
“Bungsu ? Engkau anak terkecil dalam
keluargamu ?”
“Ya. Mei-mei.. Terima kasih atas
bantuanmu. Saya tak bisa membalasnya. Saya harus pergi sekarang.”
“Kemana engkau akan pergi?” Si Bungsu
termenung.
Ya, kemana dia akan pergi ? Tak pernah
ada tempat yang pasti dia tuju dalam setiap perjalananya. Tapi, bukankah dia
mencari Saburo ? ingatan ini membuatnya ingin menanyakan pada Mei-mei. Bukankah
tempat ini tempat perjudian dan tempat bersenang senang para perwira ?
“Saya mencari seorang perwira Jepang
bernama Saburo. Apakah engkau mengenalinya Mei-mei ?”
“Saburo….., Saburo Matsuyama ?”
“Ya. Saburo Matsuyama Apakah engkau
mengenalnya?”
“Saya mengenal hampir semua perwira yang
bertugas di Payakumbuh ini”
“Di mana dia sekarang ?”
“Seingat saya sudah cukup lama dia tak
kemari. Kabarnya dia pindah ke Batusangkar…”
“Batusangkar…?”
“Ya …engkau akan ke sana, membalas
dendammu padanya ?”
“Ya. Darimana kau tahu Mei-mei ?”
“Saya melihat seluruh perkelahianmu
dengan Jepang dan dengan Bapak dua hari yang lalu juga mendengar semua
pembicaraan saat itu…”
“Bapak ?” Si Bungsu heran mendengar kata
Bapak yang diucapkan Mei-mei.
“Ya. Babah gemuk itu adalah ayah tiriku
…”
Si Bungsu sampai tertegak mendengar
pengakuan Mei-mei. Hampir hampir tak dapat dia percayai, bahwa si Babah yang
telah dia cencang itu adalah ayah tiri gadis ini. Bukankah dia melihat bahwa
dia telah mencencang si Babah itu ? Lantas kenapa gadis ini menolongnya dari
cengkeraman Jepang? Mei-mei menatapnya.
“Ayahmu ..?”
Si Bungsu bertanya perlahan
“Duduklah Bungsu. Dia ayah tiriku. Aku
melihat engkau mencencang tubuhnya seperti di rumah bantai. Tapi engkau tak
perlu menyesal. Dia memang harus mendapat perlakuan yang demikian. Atas apa
yang dia perbuat pada bangsamu dan pada diriku ..”
Si Bungsu tak mengerti apa maksud ucapan
Mei-mei.
“Dia menjadi mata mata Belanda. Menjadi
mata mata Jepang. Dan lebih daripada itu dia adalah seorang Komunis ..”
“Komunis ..?” si Bungsu tak mengerti.
Sebagai anak desa yang memang lugu dia
tak pernah mendengar nama komunis. Nama itu teramat asing bagi telinga anak
desa Situjuh Ladang Laweh di pinggang Gunung Sago ini.
“Ya, komunis. Engkau tak tahu ..?” Gadis
itu lalu bangkit. “Ikutlah saya ..”
Si Bungsu mengikuti gadis itu, yang
membawa lampu dinding dan berjalan ke sebuah gang. Lobang di bawah tanah ini
nampaknya cukup besar. Mereka sampai ke
sebuah kamar lain yang lebih besar dari kamar pertama. Di dalam kamar itu dindingnya dilapis kain merah. Di tengah, di depan sebuah meja, ada sebuah gambar cina dalam ukuran besar. Di bawahnya ada bendera merah dengan sebuah gambar kuning di tengahnya.
sebuah kamar lain yang lebih besar dari kamar pertama. Di dalam kamar itu dindingnya dilapis kain merah. Di tengah, di depan sebuah meja, ada sebuah gambar cina dalam ukuran besar. Di bawahnya ada bendera merah dengan sebuah gambar kuning di tengahnya.
“Itu gambar pimpinan komunis cina. Mao
TseTung. Dan bendera dengan gambar palu arit itu adalah lambang komunis …”
Mei-mei menjelaskan.
Si Bungsu hanya menatap dengan melongo.
Menatap bendera besar dengan gambar palu arit itu. Dia benar benar tak
mengerti. Mei-mei tersenyum melihat kebingungannya. Dia duduk disebuah kursi,
si Bungsu duduk di depannya. Si Bungsu masih dikuasai perasaan herannya. Kenapa
gadis ini menolongnya, padahal bapaknya dia yang membunuh. Didepan matanya
pula.
“Tentang Babah yang engkau bunuh, dia
memang pantas mendapat hukuman seperti itu. Dia telah meracuni ayahku. Kemudian
mengawini ibu. ibuku waktu itu hamil. Enam bulan setelah mereka kawin, akupun
lahir. Dia memerlukan uang untuk membiayai Partai Komunis di negeri ini. Dan
dia juga memerlukan pengaruh serta pangkat untuk berkuasa. Untuk kedua maksud
itu dia mempergunakan tubuhku. Aku tak berdaya melawan. Dia seorang ayah tiri
yang berhati bengis. Yang suka memukul dan menyiksa orang. Ibuku meninggal
dunia karena dia dikurung selama enam hari tanpa diberi makan. Peristiwa itu
terjadi ketika aku berumur delapan tahun. ibu dikurung dan mati dalam kamar ini
…”
Gadis cina itu kemudian menangis terisak
mengingat jalan hidupnya yang teramat pahit. Si Bungsu hanya bisa mengucap
perlahan. Lama gadis itu menangis, sampai akhirnya si Bungsu memegang bahunya.
“Tenanglah Mei-mei. Kurasa arwah ibumu
sudah tenang di akhirat. Dendamnya telah kubalaskan”
“Ya, dendam ibu dan dendamku telah Koko
balaskan. Terima kasih. Itulah sebabnya kenapa saya harus menyelamatkan Koko
dari tangan Kempetai dua hari yang lalu…”
Si Bungsu terharu. Gadis itu
memanggilnya dengan sebutan Koko. sebutan itu berarti abang dalam bahasa
Indonesia. Sebagai sebutan terhadap adik perempuan adalah Moy-moy. Dia
mengetahui itu dari beberapa temannya orang Tionghoa yang jadi temannya dalam
beberapa bulan terakhir. Meskipun gadis ini telah ternoda hidupnya, namun itu
bukan atas kehendaknya sendiri. Dia pegang bahu Mei-mei, dan berkata lembut
“Tenanglah Moy-moy. Aku akan
melindungimu dari orang orang yang berniat mengganggumu”
Mei-mei memang terdiam. Gadis cina yang
cantik ini, berwajah bundar berhidung mancung dengan mata yang hitam berkilat,
hampir hampir tak percaya bahwa anak muda yang dipanggilnya dengan Koko itu
balas memanggilnya dengan sebutan Moy-moy. Dan ketika dia yakin bahwa memang
anak muda itu berkata demikian, dia lalu tegak dan tiba tiba mereka telah
berpelukan.
“Terima kasih Koko, terima kasih …”
isaknya.
Si Bungsu memang seperti mendapatkan
seorang adik. Dia pernah merasakan kasih sayang seorang kakak yang kemudian
mati diperkosa Saburo. Kini dia seperti mendapatkan kembali tempat menumpahkan
sayang yang telah hilang itu. Akan halnya Mei-mei, gadis Tionghoa malang yang
berusia tujuh belas tahun itu adalah anak tunggal yang hidupnya selalu
teraniaya. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindungnya adalah ayah tirinya.
Tetapi lelaki itu, si Babah gemuk komunis itu, ternyata telah menjualnya dari
satu lelaki ke lelaki yang lain. Gadis yang tak pernah mendapatkan perlindungan
dan kasih sayang itu kini ada dalam pelukan seorang pemuda Melayu yang telah
membalaskan dendamnya, dan pemuda itu memanggilnya dengan sebutan adik,
alangkah terlindungnya dia terasa.
“Apakah Koko akan pergi ke Batusangkar
mencari Saburo ?” Mei-mei bertanya ketika mereka kembali ke ruangan pertama.
Si Bungsu menatapnya. “Kalau aku pergi,
dengan siapa engkau tinggal di sini, Moy-moy?”
Gadis itu menunduk. Lama dia menatap
jari jari tangannya. Kemudian ketika dia mengangkat kepala, si Bungsu melihat
matanya basah. Gadis itu berkata perlahan
“Di sini tak ada lagi orang tempatku
berlindung. Kalau aku tidak akan mendatangkan kesusahan bagi koko, aku ikut
dengan koko. Kemanapun koko pergi …” Air mata lambat lambat membasahi pipinya.
Nyata sekali suaranya adalah suara gadis yang dirundung sepi.
Suara gadis yang amat butuh perlindungan
dan kasih sayang. Suara seorang gadis yang mulai menginjak usia remaja, yang
selalu ingin dekat dengan orang yang disayangi. Si Bungsu menarik nafas
panjang. Dia benar benar menyayangi Mei-mei. Bukan karena gadis itu amat cantik
bukan pula karena gadis itu telah menolong nyawanya. Tapi gadis itu dia sayangi
karena si gadis memang harus disayangi. Harus dilindungi. Dalam kasih sayang,
perbedaan kulit dan asal usul tak pernah menjadi hambatan. Sebab rasa sayang
muncul dari dalam tidak dipermukaan.
“Apakah ada familimu di Batusangkar ?”
Mei-mei menggeleng.
“Di Bukittinggi?”
“Kalau di Bukittinggi ada. Adik jauh
ibu. Tinggal di Kampung cina …”
Si Bungsu berfikir. Di akan mengantarkan
gadis ini terlebih dahulu ke Bukittinggi. Di sana dia bisa tinggal di rumah
saudara ibunya itu. Untuk dibawa kemana pergi memang akan menyusahkan. Bukan
karena dia tak mau. Tapi yang akan dia hadapi adalah bahaya melulu. Dan dia tak
mau membawa bawa Mei Mei kedalam bahaya. Nanti kalau urusannya dengan Saburo di
Batusangkar selesai, dia akan menjeputnya ke Bukittinggi.
“Baiklah. Kita akan pergi ke Bukittinggi
bersama, kalau keadaan telah memungkinkan …”
“Terima kasih koko, terima kasih”
Mei-mei melompat memeluk si Bungsu. Dia
sangat bahagia bisa pergi bersama anak muda itu. Belasan tahun dia hidup di
rumah ini. Disekap tak boleh keluar. Dia hanya bisa keluar dikala Hari Raya
Imlek. Itupun tidak bisa jauh jauh. Tugas berat selalu menantinya di rumah.
Memuaskan nafsu perwira perwira Jepang. Kini dia bersumpah untuk meninggalkan
semua pekerjaan laknat yang dipaksakan padanya itu. Dia akan tobat dan minta
ampun pada Tuhan.
Tapi mereka baru bisa meninggalkan rumah
itu setelah masa dua minggu.
Sebab selama jangka waktu itu, Kempetai
tetap mengawasi rumah tersebut dengan ketat. Mei-mei terpaksa minta bantuan
pembantunya, seorang wanita Minang, untuk membelikan keperluan mereka kepasar.
Dan suatu malam, yaitu di saat mereka sudah merasa pasti untuk bisa melarikan
diri, mereka lalu keluar dalam hujan lebat. Dengan membayar cukup tinggi,
mereka bisa menompang sebuah bus yang akan berangkat ke Padang. Bagi mereka
soal uang tak jadi halangan. Uang judi yang dimenangkan oleh si Bungsu ternyata
diselamatkan Mei-mei ketika dia membersihkan jejak si Bungsu sesat sebelum
Kempetai mendobrak pintu. Selain itu, mereka juga berhasil menemukan simpanan
uang dan perhiasan emas milik ayah tiri Mei-mei. Jumlahnya bisa membuat mereka
jadi orang kaya. Uang itu didapat si Babah dari hasil judi, hasil menjadi mata
mata untuk Belanda dan Jepang, dan hasil menjadi germo bagi beberapa perempuan
di rumahnya itu. Termasuk diri Mei-mei.
Di dalam bus itu hanya ada beberapa lelaki
dan tiga orang perempuan. Perempuan yang dua separo baya, yang satu lagi adalah
Mei-mei. Selain ketiga perempuan itu, penompang yang lainnya adalah enam orang
lelaki. Dalam hujan lebat, bus itu melaju membelah jalan raya yang nampaknya
seperti ular raksasa berwarna hitam. Memanjang dan meliuk liuk di tiap
tikungan. Lima lelaki penompang bus itu tak pernah menoleh ke belakang ketempat
si Bungsu dan Mei-mei. Mereka hanya memandang sekali, yaitu ketika naik tadi.
Setelah itu, kelima lelaki itu tetap memandang kedepan dalam kebisuan. Namun si
Bungsu yang telah hidup di rimba raya, yang kini memiliki indera yang amat
tajam, dapat merasakan bahaya yang datang dari kelima lelaki itu. Meski lelaki
lelaki itu berdiam diri saja, bahkan saling berbisikpun tidak. namun firasatnya
yang tajam membisikkan akan adanya bahaya. Dia tetap diam. Sementara bus itu
berlari sambil terguncang guncang karena jalan yang berlobang lobang. Dalam
diamnya dia mulai membuat perhitungan. Kenapa kelima lelaki ini sampai berniat
tak baik pada mereka. Apakah itu hanya hayalannya saja? Tidak. dia tak pernah
dibohongi oleh firasatnya.
Nah, mungkin ada tiga sebab kenapa
mereka ingin berbuat tak baik. Pertama mungkin melihat Mei-mei yang cantik.
Dizaman Jepang berkuasa, hampir tak pernah orang melihat perempuan cantik
berada di luar rumah. Nah, mungkinkah lelaki lelaki ini menginginkan tubuh
Mei-mei? Atau barangkali mereka telah mencium bahwa di dalam bungkusan yang dia
bawa tersimpan uang dan perhiasan emas yang nilainya amat tinggi? Atau barangkali
juga mereka mengetahui, bahwa Mei-mei berasal dari rumah bordil dimana si Babah
menjadi mata-mata. Karena itu mereka menduga bahwa Mei-mei adalah mata mata
Jepang pula. Kalau dugaan terakhir ini benar, maka si Bungsu tak begitu
khawatir. Sebab tentulah kelima lelaki itu dari pihak pejuang pejuang
Indonesia. Atau para lelaki itu merasa curiga atas kehadiran mereka berdua,
sepasang anak muda, yang satu cina dan yang satu Melayu?
Pikirannya masih belum rampung, ketika bus tiba tiba berhenti. Dari cahaya lampu bus, si Bungsu segera mengetahui, bahwa mereka tidak lagi berada pada jalan utama menuju Bukittinggi. Nampaknya sebentar ini ketika dia melamun, bus telah dibelokkan kesuatu jalan kecil dimana dia kini berhenti. Si Bungsu mulai merasa bahwa firasatnya tadi akan terbukti. Kelima lelaki itu turun satu demi satu. Akhirnya tinggal kedua perempuan separoh baya tadi, si Bungsu, sopir dan seorang lelaki yang bertubuh kurus dan Mei-mei.
Pikirannya masih belum rampung, ketika bus tiba tiba berhenti. Dari cahaya lampu bus, si Bungsu segera mengetahui, bahwa mereka tidak lagi berada pada jalan utama menuju Bukittinggi. Nampaknya sebentar ini ketika dia melamun, bus telah dibelokkan kesuatu jalan kecil dimana dia kini berhenti. Si Bungsu mulai merasa bahwa firasatnya tadi akan terbukti. Kelima lelaki itu turun satu demi satu. Akhirnya tinggal kedua perempuan separoh baya tadi, si Bungsu, sopir dan seorang lelaki yang bertubuh kurus dan Mei-mei.
“Turunlah sanak berdua sebentar” Seorang
lelaki yang bertubuh kurus, saat akan turun berkata pada si Bungsu. si Bungsu
menatap saat dia turun.
“Di mana kita sekarang ..?” si Bungsu
bertanya pada sopir.
“Di sinilah”, sopir itu menjawab
seadanya.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 023
No comments:
Post a Comment