Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 025

Dari jawaban itu si Bungsu tahu, bahwa sopir bus berada dipihak kelima lelaki itu.



“Mengapa kami harus turun ?” si Bungsu bertanya pada si Kurus yang sudah menjejakkan kakinya di tanah.

“Turun sajalah kalau sanak mau selamat …”



Si Kurus itu berkata dengan suara kering serak. Mei-mei merapatkan duduknya pada si Bungsu. Tangannya memeluk tangan si Bungsu erat erat.



“Jangan turun koko ..jangan turun ..” gadis itu berbisik ketakutan.

“Diamlah Moy-moy …”

“Hei, waang yang ada di atas, turunlah bersama anak cina itu”



Tiba tiba terdengar bentakan dari bawah. Mei-mei makin mengeratkan pegangan tangannya pada si Bungsu.



“Kenapa kita tak terus saja ?” si Bungsu masih mencoba bertanya pada sopir.

“Lebih baik kau turun saja daripada tubuhmu dilanyau mereka ..” Sopir itu menjawab dingin.



Namun si Bungsu tak beranjak dari tempat duduknya. Tempat dimana mereka duduk, kebetulan tak ada jendela di kiri kanannya Jadi mereka aman. Sebab dinding bus itu terbuat dari kayu tebal. Yang ditakutkan si Bungsu adalah kalau kelima lelaki itu memiliki senjata api. Kalau ada, maka dia dan Mei-mei bisa celaka. Tapi kalau tidak dia merasa aman di atas bus ini.



“Kami beri waang kesempatan satu menit untuk turun. Kalau tidak. waang akan kami seret ke bawah ..” terdengar lagi bentakan.

“Kenapa tak sanak katakan saja apa maksud sanak sebenarnya ?” si Bungsu menjawab.

“Turunlah. Jangan banyak cakap waang di sana …”

“Kalau sanak yang punya keperluan, silahkan naik lagi dan kita berunding di sini. Saya tak punya keperluan untuk turun” jawab si Bungsu.



Terdengar sumpah serapah dan carut marut dari kelima lelaki di bawah itu. Namun si Bungsu tetap duduk diam di tempatnya. Ketika mereka menyuruh turun lagi, si Bungsu membisikkan sesuatu pada Mei-mei. Kemudian kedua anak muda ini bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti akan turun, tapi ternyata tidak. Si Bungsu hanya pindah tempat. Kini mereka duduk persis di belakang sopir. Melihat keras kepala anak muda ini, dua orang segera naik dengan maksud menyeretnya kebawah. Si Bungsu sampai saat itu masih belum mengetahui siapa mereka sebenarnya. Apakah orang yang berniat merampok saja atau dari pihak pejuang.

Dia tak mau salah turun tangan. Sebab dia sudah bersumpah takkan menurunkan tangan jahat pada pejuang pejuang Indonesia. Sama halnya seperti dia
dilanyau oleh anak buah ayahnya di dekat Mesjid ketika mula pertama turun gunung dulu. Dia tak sedikitpun mau membalas pukulan pukulan mereka. Meskipun dengan mudah dia bisa membunuh orang orang itu. Kinipun, ketika kedua orang itu naik lagi keatas bus dengan wajah berang, dia berkata dengan tenang



“Saya harap sanak mengatakan apa maksud sanak sebenarnya. Apa yang sanak inginkan dari kami ..”

“Jangan banyak bicara waang. Anjing”



Lalu tangan orang itu dengan kasar merengutkan bahu Mei-mei. Gadis ini terpekik. Dan sampai di sini si Bungsu mengambil kesimpulan, bahwa orang ini bukan dari pihak pejuang Indonesia. Dia kenal sikap pejuang pejuang bangsanya. Tak mau berlaku kasar dan kurang ajar. Tangannya bergerak. dan lelaki yang tengah mencekal tangan Mei Mei itu terpekik. Dia merasa dada dan lengannya pedih. cekalan pada tangan Mei-mei dia lepaskan. Dan dia lihat dada serta lengan yang tadi terasa pedih itu berdarah. Temannya yang satu lagi melompati bangku menerjang si Bungsu. Namun dalam bus sempit itu, gerakan jadi terhalang. Dan kembali dia terpekik ketika samurai di tangan si Bungsu bekerja.



Pahanya robek dan mengucurkan darah. Mendengar temannya terpekik, ketiga temannya yang di bawah melompat naik. Melihat kedua temannya itu luka, ketiga mereka lalu menghunus golok yang tersisip di pinggang. Tapi apalah artinya gerakan mereka dibandingkan dengan gerakan anak muda ini. Dua kali gerakan dengan masih tetap duduk dan sebelah tangan memeluk bahu Mei-mei, ketiga orang itu pada melolong panjang. Golok di tangan mereka terpental. Dan tangan serta wajah mereka robek. Masih untung bagi kelima orang ini, karena si Bungsu tak menurunkan tangan kejam pada mereka.
Anak muda itu hanya sekedar melukainya saja. Tak berniat membunuh. Ketika kelima lelaki itu terperangah di tempat duduk mereka, si Bungsu menekankan ujung samurainya pada sopir. inilah maksudnya pindah kebelakang sopir itu. Yaitu agar mudah mengancamnya untuk menjalankan bus. Dengan suara datar, dia berkata



“Kalau kudukmu ini tak ingin kupotong, jalankan kembali bus ini…”



Sopir itu sudah sejak tadi pucat. Begitu terasa benda runcing dan dingin mencecah tengkuknya, tubuhnya segera menggigil. Seperti robot dia kembali menghidupkan mesin bus. Beberapa kali bus itu hidup mati mesinnya. Sebab sopir itu salah memasukkan gigi.



“Tenanglah, kalau tidak nyawamu kucabut dengan samurai ini” Si Bungsu berkata.

“Ya .. ya pak Saya tenang .. saya tenang ..”



Sopir itu menjawab sambil menghapus peluh. Bus itu berjalan. Kembali memasuki jalan utama menuju Bukittinggi. Kembali merangkak terlonjak lonjak dijalan yang berlobang lobang. Deru mesinnya seperti batuk orang tua yang sudah sakit menahun. cukup lama bus itu berkuntal kuntil ketika tiba tiba sopir menginjak rem.



“Ada pemeriksaan oleh Kempetai ……..” sopir berkata.



Mei-mei, menatap pada si Bungsu. Si bungsu menyimpan samurainya. Kelima lelaki yang luka itu saling memandang.



“Mau kemana ..?” suatu suara serak bertanya dari bawah kepada sopir. Buat sesaat sopir itu tergagap tak tahu apa yang harus dijawab. Sebuah kepala menjulur kedalam.



Memperhatikan isi bus tua itu. Memperhatikan wajah yang luka luka.



“Hmm, ada yang luka. Kenapa ?”

“Kami baru saja dirampok di bawah sana ..” si Bungsu berkata.

“Di mana ada rampok ?” Jepang itu balik bertanya.

“Di Padang Tarab ..” sopir menjawab cepat.

“Siapa yang merampok ?”

“Orang Melayu ..”

“Berapa orang ..?”

“Ada delapan orang. Mereka semua memakai pedang..” salah seorang yang luka itu menjawab.

“Mereka tidak merampok perempuan ?”



Jepang itu bertanya lagi. Sementara matanya nanar menatap Mei-mei yang duduk memeluk si Bungsu.



“Semula mereka memang ingin. Tapi begitu dia ketahui bahwa gadis ini sakit lepra, mereka cepat cepat menyingkir. Dan hanya uang kami yang mereka sikat …” jawab si Bungsu.

“Lepra ..?” Jepang itu bertanya kaget.

“Ya. Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit Bukit Tinggi ..” si Bungsu menjawab lagi.



Kepala Jepang itu dengan cepat menghilang keluar. Kemudian terdengar perintah untuk cepat cepat jalan. Bus itu kemudian merayap lagi. Mereka semua menarik nafas lega. Kelima lelaki itu menjadi lega, karena mereka lepas dari tangan Kempetai. Sebab merekalah yang melakukan beberapa kali perampokan di sepanjang jalan Bukittinggi Payakumbuh. Dan bus ini salah satu alat mereka untuk itu. Si Bungsu tak mengetahui, bahwa yang dia lukai adalah perampok perampok. orang Minang yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan orang yang mengail di air keruh. Ketika penduduk sedang ketakutan dan menderita di bawah kuku penjajahan Jepang, mereka menambah penderitaan itu dengan merampok.

Padahal yang mereka rampok hanya orang-orang sebangsanya, mana berani mereka merampok tentara Jepang. Tapi malam ini mereka mendapat pelajaran pahit
dari anak muda ini. Untung saja anak muda ini tak mengetahui sepak terjang mereka selama ini. Kalau saja si Bungsu tahu, mungkin kelima lelaki ini sudah mampus semua. Bungsu merasa lega karena dia lepas dari pengawasan Kempetai. Kalau saja mereka tahu, bahwa dialah yang membunuhi Jepang di bulan-bulan terakhir ini, mungkin dia akan mati mereka tembak di dalam bus ini. Untung saja mereka tak tahu.



Sementara itu Mei-mei menatap si Bungsu dengan perasaan takjub. Dia merasa takjub, dan amat berdebar mendengar ucapan si Bungsu yang terakhir pada Jepang itu : “Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit”
Kata kata Isteri saya ini yang diucapkan si Bungsu mengirimkan denyut amat kencang kejantungnya. oh, kalau saja benar bahwa anak muda ini menjadi suaminya, alangkah bahagiannya dia. Dia merasa aman dalam pelukannya. Merasa tentram dan terlindungi di sisinya. Si Bungsu merasa gadis itu tengah menatapnya. Dia balas menatap.



“Moy- moy ..” katanya sambil tersenyum.

“Koko..”

“Sebentar lagi kita akan sampai di Bukittinggi ..” bisiknya.



Mei-mei hanya mengangguk. Kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu. Bus itu tadi dicegat lagi oleh Kempetai di pos penjagaan di Baso. Mereka memang tengah mendekati Bukittinggi. Kota itu mereka masuki hampir tengah malam.



“Antarkan saya kepenginapan ..” si Bungsu berkata pada sopir.

“Ya .. ya..” sopir yang masih merasa ngeri pada samurai di tangan anak muda yang berada di belakangnya ini menjawab cepat.



Bus berhenti di sebuah penginapan di Aur Tajungkang. Sebelum turun, si Bungsu menoleh kepada ke lima lelaki yang masih tersandar dan luka luka itu. “Saya tak pernah menyusahkan sanak sebelum ini. Saya tak mau kita berurusan lagi. Ingatlah itu..” katanya berlahan
Kemudian dia membimbing tangan Mei-mei turun dari bus. Meninggalkan para rampok itu terperangah. Diam dan mati kutu. Dua orang perempuan separoh baya yang sejak tadi duduk ketakutan di belakang, ikut bergegas turun di penginapan itu. Mereka adalah dua orang perempuan yang berjualan kacang dan jagung dari Bukittnggi ke Payakumbuh dan Padang Panjang. Ketika mereka sama sama mendaftar di penginapan kecil itu, kedua perempuan itu menceritakan tentang perampokan yang beberapa kali pernah terjadi terhadap pedagang pedagang.



“Apakah kelima orang tadi adalah perampok itu ?” tanya si Bungsu.

“Tak tahu kami. Kebetulan kami tak pernah mengalami nasib kena rampok. Tapi beberapa teman yang telah pernah mengalami mengatakan, bahwa perampok perampok itu memang orang awak jua. Dan caranya memang seperti tadi. Sama sama menompang bus. Kemudian berhenti di tempat sepi. Untung ada anak muda. Kalau tidak. pastilah kami yang kena rampok …”



Si Bungsu terdiam. Kemudian mereka masuk kekamar karena hari sudah larut malam. Karena semua kamar penuh, maka dia terpaksa satu kamar dengan Mei-mei. Untung dalam kamar itu ada dua tempat tidur.



“Tidurlah Moy- moy. Besok kita cari famili ibumu yang di Kampung cina..” katanya perlahan

“Koko tidak tidur ?”

“Ya. Saya juga akan tidur. Tapi saya akan sembahyang dulu”



Dia lalu berganti pakain dengan kain sarung. Kemudian ke kamar mandi berudhuk. Mei-mei belum tertidur. Dia melihat anak muda itu sembahyang. Dia melihat tubuh anak muda yang semampai itu. Bermuka lembut atau lebih tepat dikatakan murung. Sinar matanya sayu. Ketika si Bungsu selesai sembahyang Isa, ketika dia menoleh mengucapkan salam dia melihat Mei-mei belum juga tidur. Masih menatap padanya. Dia tersenyum pada gadis itu.



“Belum tidur Moy-moy ?”



Mei-mei menggeleng. Kemudian duduk di sisi tempat tidur. Si Bungsu masih duduk di lantai yang beralas tikar. Mei-mei pindah duduk ke bawah, duduk tak jauh dari si Bungsu.



“Koko sembahyang apa ?”

“Isa ..”

“Kenapa orang Islam harus sembahyang lima kali sehari semalam ?”

“Karena begitu suruhan Tuhan ..”

“Tidak melelahkan ?”



Bungsu menatap Mei-mei. Dia tersenyum. Pertanyaan begitu pernah memenuhi tengkoraknya dulu. Ketika ayahnya selalu menyuruhnya sembahyang. Waktu itu dia bukan hanya sekedar bertanya, tapi malah membangkangi suruhan ayahnya. Tak mau sembahyang.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 024

No comments:

Post a Comment