Buat apa sembahyang, pikirnya.
Kesempatan untuk bersuka ria adalah waktu muda. Kelak kalau sudah tua, barulah
sembahyang. Lagi pula, sembahyang lima kali sehari semalam, alangkah seringnya.
Kenapa sembahyang itu tidak hanya sekali seminggu, atau paling tidak sekali dua
hari misalnya. Itu mungkin lebih ringan.
Namun ketika sendirian di Gunung Sago, ketika dia bersujud menyembah Allah di tengah belantara, dia merasakan betapa tentram hatinya saat dan setelah sembahyang. Dia merasakan betapa Tuhan melindunginya. Dia merasakan suatu kedamaian setiap selesai sembahyang. Dia merasakan seperti mendapat tenaga dan semangat baru selesai sholat. Ya, itulah intinya. Menemukan kedamaian dan ketentraman, menemukan semangat dan tenaga baru, setelah mengerjakan suruhan Tuhan. Perlahan dia menjawab pertanyaan Mei-mei,
Namun ketika sendirian di Gunung Sago, ketika dia bersujud menyembah Allah di tengah belantara, dia merasakan betapa tentram hatinya saat dan setelah sembahyang. Dia merasakan betapa Tuhan melindunginya. Dia merasakan suatu kedamaian setiap selesai sembahyang. Dia merasakan seperti mendapat tenaga dan semangat baru selesai sholat. Ya, itulah intinya. Menemukan kedamaian dan ketentraman, menemukan semangat dan tenaga baru, setelah mengerjakan suruhan Tuhan. Perlahan dia menjawab pertanyaan Mei-mei,
“Tidak ada pekerjaan yang melelahkan,
bila pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas. Apalagi kalau kita mencintai
pekerjaan itu Moy-moy”
Mei-mei menatapnya.
“Engkau pernah sembahyang Moy-moy ?”
Mei-mei menggeleng.
“Waktu kecil bersama ibu saya pernah
sembahyang. Tapi semenjak ibu meninggal, saya tak lagi pernah melakukannya ..”
ujar Gadis itu sembari menunduk.
“Nah, tidurlah Moy-moy. Koko juga
mengantuk ..”
Namun mereka belum sempat membaringkan
dirinya di tempat tidur, ketika terdengar suara heboh. Suara heboh itu diikuti
oleh suara menggedor pintu kamar mereka.
“Hei beruk yang ada di dalam. Buka pintu
ini cepat”
Suara berat terdengar memerintah. Dari
suara yang berbahasa Minang itu, si Bungsu segera tahu bahwa orang di luar
adalah lelaki asal daerah ini. Dia menatap pada Mei-mei yang tertunduk di tepi
pembaringan. Kemudian mengambil samurainya. Kemudian melangkah kepintu.
“Tenang saja di dalam Moy- moy. Jangan
buka pintu kalau bukan saya yang menyuruhnya..”
“Koko ..” gadis itu berlari memeluknya.
“Tenanglah ..”
“Jangan tinggalkan saya koko ..”
“Tidak. Saya akan kembali ..”
“Saya akan bunuh diri kalau koko
meninggalkan saya..”
“Tenanglah. Nah kunci pintu ..”
Dia muncul di gang di luar kamarnya. Di
depan pintu, orang lelaki berjambang kasar tegak berkacak pinggang. Begitu dia
muncul, lelaki itu mencekal lengannya. Kemudian menariknya keruang tengah.
Mendorongnya hingga si Bungsu terjajar.
“Ini beruk yang waang katakan itu Pudin
?” orang bertubuh kasar itu berkata.
Si Bungsu menatap pada orang itu. Dan
dia segera kembali mengenali kelima lelaki yang mencoba merampoknya tadi. Di
sana juga ada sopir bus.
“Benar. Dialah orangnya Datuk ..” jawab
si Kurus.
Orang bertubuh besar itu menggerendeng.
Sementara penghuni penginapan yang lain tak berani menampakkan muka. Mereka
lebih merasa aman berada rapat rapat di bawah selimut daripada mencampuri
urusan orang yang satu ini.
“Waang telah melukai anak buah saya
buyung. Itu hanya bisa dibayar dengan dua hal.
Pertama dengan seluruh isi bungkusan
yang waang bawa. Atau kalau waang keberatan, maka harus waang bayar dengan
nyawa waang dan tubuh bini waang …” dan si Tinggi besar itu meludah.
Hampir saja dahaknya mengenai kepala si
Bungsu. Si Bungsu tegak dengan diam. Muaknya muncul melihat lelaki ini. Dia
teringat lagi akan cerita kedua perempuan yang sama sama satu bus dengannya
tadi. cerita tentang perampokan yang dilakukan oleh orang Minang terhadap orang
orang yang bepergian dengan bus. Dia lihat, selain si Besar tinggi ini, masih
ada temannya yang lain. Jumlah mereka kini sembilan orang. Hanya yang menjadi
heran di hatinya adalah keberanian penyamun penyamun ini muncul di tengah kota.
Nampaknya mereka tak merasa gentar sedikitpun pada Kempetai Jepang.
Selama hidup beberapa bulan di
Payakumbuh, si Bungsu mengetahui, bahwa tentara pendudukan Jepang menjalankan
roda pemerintahan dengan ketat. Mereka menangkapi para penjudi dan perampok.
Kini sembilan lelaki ini berani muncul di tengah kota. Apakah mereka memang
orang bagak. yang pada Kempetai sekalipun mereka tak merasa takut? Atau
barangkali karena hari sudah lewat tengah malam, mereka tahu bahwa bakal takkan
ada patroli Kempetai. Atau barangkali mereka memang dilindungi oleh Jepang ?
Tapi dia tak sempat berfikir dan menyimpulkan pikirannya. Datuk bersisungut (berkumis) dan bertubuh besar itu telah memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Dan kedua lelaki itu segera bertindak. Yang satu menangkap tengkuk si Bungsu, yang satu lagi memegang tangannya. Si Bungsu menghantamkan samurainya yang masih bersarung itu. Kayu samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras. Kedua lelaki itu terpekik.
Tapi dia tak sempat berfikir dan menyimpulkan pikirannya. Datuk bersisungut (berkumis) dan bertubuh besar itu telah memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Dan kedua lelaki itu segera bertindak. Yang satu menangkap tengkuk si Bungsu, yang satu lagi memegang tangannya. Si Bungsu menghantamkan samurainya yang masih bersarung itu. Kayu samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras. Kedua lelaki itu terpekik.
Namun mereka maju lagi dengan berang.
Namun itu sudah cukup. Di mana Mei-mei berada. Kedua lelaki itu berhenti sedepa
di depan si Bungsu. Sebuah kilatan cahaya putih yang amat cepat menahan
gerakkan mereka. Mereka tertahan karena tiba tiba saja setelah kilat cahaya
yang amat cepat itu, dada mereka merasakan terasa amat pedih. Dan ketika mereka
lihat, pakaian mereka telah robek lebar dari pundak ke perut. Dari balik
pakaian yang robek seperti disayat pisau silet itu, merembes darah segar.
Mereka memang tidak rubuh. Karena si Bungsu hanya sekedar melukai mereka saja.
“Hari telah larut malam. Saya tak
bermusuhan dengan kalian. Saya harap jangan menganggu kami ..” ujar si Bungsu
datar.
Sementara samurainya telah masuk
kesarungnya kembali. Di sudut lain, dua lelaki yang tadi berjalan ke kamar
dimana Mei-mei berada, sekali mendobrak berhasil menghantam pintu kamar
sehingga terbuka. Terdengar pekikan Mei-mei. Si Bungsu bergerak ke kamarnya.
Namun Datuk yang tak diketahui namanya itu menghadangnya bersama empat temannya
yang lain. Dan saat itu kedua lelaki yang masuk kamar tadi muncul dengan
bungkusan mereka dan Mei-mei dalam ringkusan tangannya. Nyata sekali gadis itu
menderita akibat cengkeraman tangan orang yang meringkus bahunya.
Koko .. rintihannya dengan air mata yang
mengalir. Melihat hal itu si Bungsu menatap Datuk bersungut itu dengan
kemarahan besar. Datuk itu dapat membaca kemarahan itu. Dia menyeringai dan
berkata
“Hee .. waang beruntung buyung, bisa
berbini cina. Tentu lamak(enak) ya ..? He .. he ..saya juga ingin
mengicok(mencoba) sedikit. Kau boleh menonton ..”
Habis berkata Datuk buruk bersungut ini
berbalik. Menarik tangan Mei-mei. Wajah si Bungsu menegang. Dia sebenarnya tak
ingin menurunkan tangan kejam lagi pada bangsanya sendiri. Dia tak bisa
menghitung sudah berapa banyak nyawa yang telah dia rengut lewat samurainya.
Namun dari sebanyak itu yang terbunuh, baru dua orang Minang yang jadi korban.
Baribeh dan si Juling yang dia bunuh bersama si Babah mata mata itu.
Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Tapi ketika si Datuk kalera itu merobek
baju Mei-mei dan gadis itu terpekik, saat itu pula samurainya di tangannya
bekerja. Tiga lelaki yang tegak tak jauh darinya, yang tadi ikut bersamanya
dalam bus dan berusaha merampok mereka, terpekik dan rubuh dengan dada belah.
Mati. Datuk itu tertegun. Teman temannya yang lain kaget.
“Ohooo ..jual lagak waang pada saya ya ?
Waang sangka saya takut dengan permainan samurai waang itu he”
Sehabis ucapkannya tangannya bergerak
menyentak kain Mei-mei. Pakaian gadis itu robek lebar. Dan dengan jahanam
sekali, tangan Datuk itu meremas dada gadis itu. Mei-mei terpekik. Dengan cepat
setelah mencabik baju Mei-mei Datuk itu berbalik menerjang kearah si Bungsu.
Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Mulai dari menyobek baju hingga
menyerang, hanya berlalu beberapa detik. Si Bungsu masih tertegun ketika
serangan datuk itu datang. Dia berusaha mengelak. Namun Datuk ini seorang
pesilat yang tanngguh
Terjangannya mendarat di pusat si
Bungsu. Anak muda itu terjajar menghantam dinding di belakangnya. Kemudian
tubuhnya melosoh turun. Matanya berkunang kunang. Dia ingin bangkit. Tapi Datuk
itu datang lagi menerjang. Dan kali ini rusuknya kena. Rusuk kiri.
Terdengar suara berderak. Tanpa dapat
ditahan si Bungsu terpekik. Dua tulang rusuknya kupak. Datuk itu menerjang lagi
dengan seringai buruk di bibirnya. Tubuh si Bungsu tercampak dari kaki penyamun
yang satu ke kaki penyamun yang lain. Itulah malangnya karena tadi dia masih
tenggang menenggang. Tak segera bersikap tegas kepada lelaki lelaki ini.
Padahal dia sudah diberitahu oleh kedua perempuan yang satu bus dengannya dari
Payakumbuh itu. Bahwa lelaki lelaki itu adalah penyamun-penyamun yang sering
merampok pedagang yang dalam perjalanan ke Bukittinggi dari Payakumbuh atau
dari Padang Panjang. Dia terlalu menenggang. Dia hanya ingin membunuh Jepang
yang membunuh keluarganya. Yang menjajah negerinya. Dia tak ingin membunuh
bangsanya sendiri. Ternyata belas kasihannya memakan dirinya sendiri. Mei-mei
memekik mekik melihat tubuh si Bungsu tercampak dari satu kaki ke kaki yang
lain.
“Jangan siksa dia Jangan siksa diaaa.
Kuserahkan apa yang kalian minta.Jangan siksa dia … Koko …Koko”
Mei Mei menatap memohon. Lambat lambat
di antara rasa sakit dan terguling guling dilanyau cuek itu, si Bungsu
mendengar suara Mei-mei. Hatinya luluh ketika mendengar betapa gadis itu
bersedia memberikan apa saja, termasuk dirinya, asal lelaki lelaki itu berhenti
menganiaya dirinya. Dia coba menyusun ingatannya kembali. coba mengingat dimana
samurainya terjatuh. Lalu, tiba tiba sekali, dengan sisa sisa tenaga tubuhnya
bergulingan amat cepat. Dengan mengandalkan pendengarannya yang amat tajam,
telinganya menangkap suara samurainya yang tersentuh kaki salah seorang lelaki
itu. Seperti magnit, ke sanalah tubuhnya bergulingan amat cepat. Para lelaki
itu masih berusaha mengejarnya. Masih belum mengetahui dengan sepenuhnya bahwa
tubuh anak muda itu bergulingan bukan lagi karena tendangan mereka. Ketika
mereka memburu lagi, saat itulah tangan si Bungsu berhasil meraih samurainya.
Dia tak bisa tegak sempurna. Rusuknya
yang patah di sebelah kiri menghalangi gerakannya. Namun dengan berlutut tiba
tiba samurainya bekerja. Dalam tiga kali gerakan pertama, tiga lelaki dimakan
samurainya. Perut mereka robek Ada yang dadanya belah Menggelepar dan mati.
Datuk itu kaget. Tapi dia memang seorang pesilat tangguh. Dia menendang cepat
sekali. Wajah si Bungsu berubah keras seperti baja. Ketika kaki Datuk itu
menendang ke wajahnya, samurainya bekerja. Dan amat cepat sekali, kaki datuk itu
buntung sebatas lutut. Yang seorang lagi, yang menyerang dengan keris dia
pancung tentang pinggangnya. Pinggang lelaki itu hampir putus. Datuk itu
terpekik, namun si Bungsu menggeser tubuh. Dan samurainya kembali bekerja. Kaki
kiri Datuk itu putus sebatas betis. Datuk itu terguling. Samurai si Bungsu
bekerja lagi. Kedua tangan Datuk jahanam itu putus hingga siku. Anak buahnya
yang satu lagi, yang masih selamat, menggigil. celananya segera basah. Dan tiba
tiba dia balik kanan. Lari kedalam kegelapan. Dialah satu satunya yang selamat.
Datuk itu menggelepar gelepar. Memekik mekik. Minta ampun. Kaki dan tangannya
putus semua
“Bunuhlah saya. Tolong lah. Jangan
biarkan saya menderita … oh tolonglah ..” dia meratap.
Bungsu menatapnya dengan wajah datar. Kemudian
dia berkata dengan suara tanpa emosi.
“Engkau takkan mati Datuk. Darahmu akan
kuhentikan alirannya agar kau tak mati kehabisan darah. Kematian terlalu mulia
bagimu. Engkau akan tetap hidup dengan tubuh seperti sekarang. cukup banyak
orang sengsara olehmu. Mulai hari ini, kau akan merasakan kesengsaraan yang
lebih hebat dari itu. Ini adalah balasan dari kejahatan selama ini. Engkau
seorang datuk seorang penghulu, seorang kepala suku. Yang seharusnya membimbing
anak kemenakanmu. Yang seharusnya meluruskan yang bengkok, menyambung yang
singkat menyayangi yang muda, melindungi yang lemah. Tapi ternyata gelar yang
engkau sandang engkau laknati sendiri …”
“Ampun saya anak muda … tolonglah saya.
Jangan biarkan diri saya hina begini. Bunuhlah saya .. bunuhlah saya ..” ratap
datuk yang sudah lenyap seluruh kepongahannya Si Bungsu hanya menatapnya dengan
dingin sambil menekan beberapa bahagian di tempat tubuhnya yang putus, darah
tiba-tiba berhenti mengalir.
Kemudian menatap ketujuh mayat yang
bergelimpangan dalam kamar tunggu penginapan itu. Lalu lambat lambat dia
berbalik. Menghadap pada Mei-mei. Gadis itu berlari memeluknya. “Koko ..” “Mari
kita pergi Moy-moy ..”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 025
No comments:
Post a Comment