Dan malam itu, mereka meninggalkan
penginapan tersebut. Si Bungsu tahu dalam waktu singkat, Kempetai akan memenuhi
penginapan itu. Dan dia tak mau ditangkap. Dengan sebuah bendi yang berada di
depan penginapan itu, mereka pergi membelah malam yang dingin. Malam yang
hampir bersahut dengan subuh.
“Ke mana kita koko ..?”
“Saya tak tahu Moy-moy. Saya tak punya
kenalan di sini Jangan ke rumah famili ibumu di
Kampung cina, berbahaya bagi
keluarganya.”
“Kita kepenginapan lain koko ?”
“Tidak. Semua penginapan akan digeledah
Kempetai…”
Kusir bendi, seorang lelaki tua, yang
tadi mengintip perkelahian dalam penginapan itu mendengarkan saja percakapan
kedua anak muda tersebut. Dari pembicaraan mereka, dia mengetahui, bahwa kedua
anak muda ini bukan suami istri. Dia mengetahui sedikit banyaknya bahasa cina.
Sebab dia bersahabat dengan sebuah keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah
Tembok. yang berdekatan dengan Kampung cina. Kedua anak muda ini, kalau tidak
sepasang kekasih, pastilah dua orang bersahabat. Kusir tua itu juga mengetahui,
bahwa Datuk basunguik buruk dan teman temannya yang dibantai anak muda ini
adalah penyamun yang ditakuti. Markas Datuk itu dan anak buahnya terletak di
dalam rimba buluh di Tambuo. Suatu tempat angker di dekat kampung Tigobaleh di
tepi Kota Bukittinggi. Banyak orang yang mengetahui bahwa rimba buluh Tambuo
itu adalah markas dan sekaligus tempat persembunyian para perampok. Namun tak
ada yang berani mengadukan pada Jepang. Apalagi bertindak sendiri menangkap
mereka. Datuk ini terkenal bengis. Hal itu hampir saja terbukti kalau anak muda
ini tak cepat dengan samurainya tadi. Kini kusir bendi itu dapat menangkap dari
pembicaraan kedua penompangnya ini, bahwa mereka kesulitan tempat menginap.
Hatinya jadi hiba.
“Seluruh kota akan segera diperiksa oleh
Kempetai ..” kusir itu berkata perlahan.
Si Bungsu menoleh padanya.
“Apakah orang orang itu dilindungi oleh
Jepang ? “ tanyanya ingin tahu.
“Tidak. Tapi Jepang akan mencari setiap
pembunuh. Apalagi yang kau bunuh malam ini tujuh orang. Suatu jumlah yang tak
sedikit Jepang membiarkan gerombolan Datuk itu merajalela untuk kepentingan
mereka secara tak langsung. Dalam setiap kekacauan, mereka memetik untungnya …”
Si Bungsu menarik nafas panjang. Mereka
sama sama terdiam. Yang terdengar memecah sunyi adalah suara ladam kuda yang
beradu dengan aspal. Membelah malam yang telah jauh menikam larut. Si Bungsu
tak menyadari kemana bendi itu tengah menuju. Rusuknya yang patah membuat dirinya
letih tak terkira. Makan kaki lelaki lelaki di penginapan tadi benar benar
meluluhkan tubuhnya. Mei-meilah yang pertama menyadari, bahwa bendi itu makin
jauh dan makin masuk kepalunan gelap. Dia menggoyang tubuh si Bungsu yang
bersandar ke dirinya. Si Bungsu tak bergerak.
“Koko .. Koko …” panggilnya perlahan
dekat telinga si Bungsu.
Si Bungsu mengeluh pendek. Tak bisa
menjawab, tapi keluhan itu sebagai tanda bahwa dia mendengarkan panggilan
Mei-mei.
“Kemana kita Koko ?” ada nada cemas
dalam suara gadis itu.
“Kemana …?” si Bungsu balas bertanya
perlahan.
“Lihatlah, kita dibawa kepalunan rimba
…” bisik Memei.
Masih dalam keadaan menyandarkan
kepalanya yang terasa amat berat, tanpa membuka mata, si Bungsu bertanya
perlahan.
“Akan bapak bawa kemana kami ?”
“Kalian tak punya tempat untuk menginap
di kota anak muda ..”
“Ya. Tapi kini kami akan bapak bawa
kemana ?”
“Ke rumah saya …”
“Ke rumah bapak …?”
“Ya. Di rumah saya kalian akan aman.
Hais ck ck ..” kusir itu mendecah kudanya.
Terasa goncangan agak keras ketika bendi
itu mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan kecil yang tak datar.
Mei-mei memeluk bahu si Bungsu agar jangan sampai melosoh turun.
“Kerumah bapak …?” si Bungsu mengulangi
tanyanya perlahan.
Dan setelah itu dia tak sadar diri.
Mei-mei tak bisa berbuat apa apa. Kalaupun dia berniat melawan, dan bisa
melarikan diri, namun dia tak akan melakukannya. Dia tak mau meninggalkan anak
muda yang telah menolongnya ini. Kalaupun bencana akan menimpa dirinya, dia
ingin tetap berada di dekat si Bungsu.
“Haissy ck … ck Haissy …” kusir bendi
tersebut mendecah kudanya lagi.
Kuda itu seperti berjalan dalam cahaya
terang. Berlari seenaknya. Melangkahi lobang dan batu sebesar-besar tinju. Dia
hafal jalan itu. Meski malam yang hampir disambut subuh itu amat kental
gelapnya. Mei-mei coba memperhatikan jalan dan belantara yang mereka lalui.
Jalan itu di kiri kanannya penuh oleh pohon pohon. Seperti hutan saja layaknya.
Tapi yang paling banyak di antara pohon pohon itu adalah pohon bambu. Besar dan
tinggi seperti akan menjangkau langit. Dahulu waktu kecil, dia pernah tinggal
di kota ini. Tapi saat itu dia masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya
itu, membawa mereka pindah ke Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah
sampai kemari. Paling paling hanya ke rumah tetangga di kampung cina. Tiba tiba
bendi itu berhenti. Kusir berseru, kemudian dia berjalan ke belakang. Ke tempat
si Bungsu dan Mei-mei duduk.
“Mari kutolong menurunkannya …” kata
kusir tua itu lagi sambil memegang tangan si Bungsu.
Lalu tiba tiba, dalam gerakannya yang
amat cepat tubuh si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu pondok terbuka.
Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di tangannya. Mei-mei
turun dari bendi dan mengikuti kusir itu. Saat akan masuk kepondok perempuan
paroh baya itu tertegun menatap Mei-mei. Tapi hanya sebentar. Kemudian
menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei-mei.
“Masuklah ..” katanya.
Suaranya lembut. Mei-mei melangkah
masuk. Pondok itu cukup besar. Berdinding bambu, berlantai tanah beratap
rumbia. Seorang anak perempuan muncul. Barangkali usianya sekitar dua belas
tahun. Namun tubuhnya kelihatan segar. Kusir bendi itu meletakkan tubuh si
Bungsu di sebuah kamar di atas balai balai bambu. Mei-mei tegak di sisi
pembaringan.
“Biarkan dia tidur …” kata kusir itu
sambil melangkah ke luar kamar.
Dia minta istrinya untuk membuat kopi.
Mei-mei duduk termenung di tepi pembaringan dekat tubuh si Bungsu. Anak muda
itu tergolek tak sadar diri. Gadis itu meraba wajahnya. Terasa dingin dan
berpeluh. Dia tegak dan berjalan kepintu.
“Pak. dia berpeluh dan tubuhnya dingin
…” katanya pada kusir yang kini tengah membuka kekang kudanya.
“Biarkan saja. Dia takkan apa apa. Dia
memiliki tubuh yang kuat. Sebentar lagi dia akan sembuh. Nona istirahatlah di
dalam …” kata kusir itu.
Suaranya terdengar berat tapi ramah dan
bersahabat. Kekawatiran yang sejak tadi bersarang di hati Mei-mei lenyap ketika
mendengar suara kusir itu. Dia lalu berbalik ke kamar. Duduk di sebuah bangku
kecil dekat dinding. Menatap diam diam pada si Bungsu yang masih saja tak
sadar. Tak lama kemudian, terdengar suara azan dari kejauhan. Kusir itu
sembahyang subuh dengan istri dan gadis kecilnya. Tak selang berapa lama
setelah sembahyang subuh itu, Mei-mei mendengar suara orang datang. Dia
mendengar kusir itu berjalan ke luar. Kemudian sepi. Tapi hanya sebentar. Tak
lama antaranya, dia dengar suara tanah berdentam dan suara seperti orang
berkelahi.
Mei-mei tertegak. Takutnya muncul. Siapa
orang yang baru datang itu ? Dia tegak dan berjalan ketempat tidur di mana si
Bungsu masih terbaring. Dia ingin membangunkan anak muda itu. Tapi dia tak
sampai hati. Anak muda itu tidak tidur, melainkan tak sadar karena letih
dikeroyok. Kini dia terbaring diam. Suara perkelahian di luar masih terdengar.
Dengan perlahan Mei-mei berjalan kejendela. Dia mengintip dari lobang kecil
yang terdapat di pinggir jendela. Di luar sana, dalam cahaya subuh, dia lihat
orang tua yang jadi kusir bendi yang mereka tumpangi tadi, sedang berkelahi
dengan seorang anak muda.
Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi dibungkus dengan kain dan sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas terbaca tenaga yang tangguh.
Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi dibungkus dengan kain dan sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas terbaca tenaga yang tangguh.
“Sampai di sini dulu, Kini kau upik ..”
kusir itu berkata menunjuk gadis kecil yang dia temui malam tadi.
Dari lobang kecil itu dia melihat gadis
kecil anak kusir itu maju ke tengah lapangan kecil di belakang rumah itu. Gadis
berusia dua belas tahun itu berpakaian seperti lelaki. Bercelana dan berbaju
longgar. Dari caranya bersiap. Mei-mei segera menarik nafas lega. orang itu
ternyata hanya latihan silat. Dia jadi tertarik. Ingin melihat gadis kecil itu
bersilat. Gadis itu mulai membuka serangan setelah memberi hormat.
“Jangan memukul ketika menarik nafas ..”
kusir itu berkata memberi petunjuk.
Gadis itu menarik lagi pukulannya yang
tengah dia lancarkan. Memulai lagi langkah dari awal. Kemudian beruntun
mengirimkan pukulan dan tendangan ke arah
ayahnya. Gerakan gadis itu cukup cepat. Namun dengan mudah kusir itu mengelak dan memberi petunjuk terus. Tiba tiba lelaki tua itu berhenti, lalu menghadap kepondoknya.
ayahnya. Gerakan gadis itu cukup cepat. Namun dengan mudah kusir itu mengelak dan memberi petunjuk terus. Tiba tiba lelaki tua itu berhenti, lalu menghadap kepondoknya.
“Hei, Nona Jangan mengintip di situ.
Kalau ingin belajar silat, datang kemari..” Seru lelaki itu.
Mei-mei cepat cepat menarik kepalanya
dari lobang yang tak sampai sebesar jari itu. Dia kaget pada ketajaman firasat
kusir itu. Dia duduk kembali di pembaringan dekat si Bungsu yang masih
tertidur. Sesekali matanya memandang juga ke lobang kecil di tepi jendela di
mana tadi dia mengintip. Suara kusir yang menyuruhnya keluar itu seperti
memanggil manggilnya. Dia tatap wajah si Bungsu, hatinya jadi lega. Sebab kini
wajah anak muda itu tak lagi meringis seperti tadi. Kini dia seperti benar
benar tidur. Wajahnya tak lagi menahan sakit.
Nampaknya dia memang tengah tertidur
lelap. Mei-mei menarik nafas lega. Di luar dia dengar lagi orang latihan
bersilat. Lambat lambat dia melangkah keluar. Berjalan ke belakang. Dan tiba di
pinggir lapangan berpasir yang luasnya tak sampai lima depa persegi. Di tengah
lapangan Upik anak kusir itu tengah bersilat dengan lelaki muda yang tadi dia
lihat bersilat dengan kusir. Kusir itu tengah tegak dengan kaki terpentang
menatap ke tengah sasaran.
Mei-mei duduk di bangku bambu yang
terletak di pinggir sasaran. Tak lama kemudian kedua orang itu selesai
berlatih. Si Upik dengan tersenyum ramah mendekati Mei-mei. Gadis kecil itu
mengulurkan tangan bersalaman. Mei-mei ikut tersenyum melihat keramahannya dan
menyambut uluran tangannya.
“Nama saya Upik. Siapa nama kakak ?”
tanyanya dengan suara bersahabat.
Mei-mei terharu, jarang sekali sikap
bersahabat begini datang dari orang Melayu terhadap orang Tionghoa. Biasanya
dia merasa diasingkan di tengah orang orang Melayu. Tapi gadis kecil ini,
demikian juga ayahnya yang kusir itu, seperti telah mengenalnya dengan baik
selama bertahun tahun. Sebenarnya jarak usia kedua gadis itu hanya sekitar lima
tahun. Suatu jarak yang tak seberapa jauh. Si Upik benar benar gadis desa yang
polos dan manja. Sementara Mei-mei adalah gadis muda yang dalam usianya yang
belum seberapa itu, telah menapaki kehidupan manusia dewasa yang alangkah
pahitnya dan alangkah hitamnya.
“Nama saya Mei-mei ..” katanya sambil
tersenyum.
Ketika Mei-mei melihat kusir itu
menatapnya, dia segera mendatanginya. Kemudian dengan sikap hormat menyalami
orang tua itu.
“Terima kasih atas bantuan Bapak kepada
kami ..” katanya.
Kusir tua itu tersenyum.
“Nama saya Datuk Penghulu Basa. Kau
boleh panggil saya dengan sebutan bapak atau pak Datuk. Tinggallah di sini buat
sementara. Menjelang kokomu sehat. Saya rasa rusuknya ada yang patah. Berbahaya
kalau dia berada di kota dalam keadaan seperti itu. Teman teman Datuk yang dia
pancung semalam dan juga Kempetai pasti mencari. Siapa nama kokomu itu?”
“Bungsu. Kami baru datang dari
Payakumbuh..”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 026
No comments:
Post a Comment