Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 029



Si Bungsu menarik nafas panjang, ketika Salim permisi sembahyang ke Mesjid di tepi jalan besar di luar hutan bambu ini, si Bungsu tegak dan berjalan perlahan dengan dibantu sebuah tongkat kerumah. Di ruang tengah dia melewati istri Datuk Penghulu yang tengah sembahyang. Dia ingat belum sembahyang lohor. Tapi dalam keadaan sakit begini apakah dia mungkin untuk sujud? Sembahyang duduk sajakah? Dia mencari kain sarungnya. Mungkin dijemur. Dia kembali lewat di ruang tengah. Akan ke belakang mencari Mei-mei untuk mengambil sarungnya. Namun di pintu ruang tengah dia tertegak seperti patung.

Dia tertegak diam melihat pada perempuan sembahyang yang tadi dia sangka istri Datuk Penghulu itu. Perempuan itu nampaknya baru selesai sembahyang. Kini dia tengah menampungkan tangannya membaca doa. Dan ketika dia benar benar selesai sembahyang, dia menoleh pada si Bungsu. Si Bungsu benar-benar terkesima. Dia ingin bicara, namun lidahnya terasa kelu.



“Koko ..” akhirnya perempuan itulah yang bicara perlahan.



Masih dalam keadaan terpukau, si Bungsu melangkah kembali ke ruang tengah. Perlahan dia duduk di depan perempuan itu. Perempuan yang baru saja selesai sembahyang itu tak lain daripada Mei-mei.



“Koko .. sebentar ini aku berdoa untuk arwah ibu dan ayahku. Dan aku berdoa untukmu. Untuk kesembuhanmu. Untuk keselamatanmu ..”

“Mei-mei kau ..?” hanya itu kalimat yang terucap si Bungsu.



Ada perasaan yang amat luar biasa menyelusup ke hatinya melihat gadis itu sembahyang Lohor.



“Ya, koko. Telah saya pikirkan. Dan saya memilih islam sebagai agama saya ..”

“Tapi …”

“Saya merasa tentram dan damai setelah sholat. Bukankah koko yang mengatakan itu dipenginapan dulu?” si Bungsu masih tak kuasa bicara.

“Masih ingatkah koko waktu saya bertanya, apakah tak meletihkan sembahyang lima kali sehari semalam? Koko katakan, bahwa diri koko merasa tentram dan damai setiap selesai sembahyang. Diri koko merasa mendapatkan tenaga dan semangat baru setiap selesai sholat. Itulah yang mendorongku untuk masuk Islam. Tak ada yang membujuk. Tak ada yang memaksaku. Di rumah ini kulihat mereka sembahyang semua. Dan mereka bahagia, damai, sabar. Meskipun mereka miskin. Bukankah kedamaian dan kebahagian itu yang dicari orang? Kusampaikan niatku itu pada Pak Datuk. Kusampaikan pada istrinya Mak Ani. Mereka membawaku ke Mesjid. Mak Ani memandikanku. Dan Imam yang ada di mesjid itu membacakan dua Kalimah Shahadat, dan kuikuti. Pak Datuk dan Salim serta Mak Ani sebagai saksi. Sejak hari itu, dua pekan yang lalu, aku telah menjadi seorang muslimah. Dan aku memang mendapatkan kedamaian, ketentraman, semangat baru setiap selesai sholat .. aku bahagia memilih Islam menjadi agamaku …”



Tanpa dapat ditahan, mata si Bungsi jadi basah. Mei-mei menatap matanya yang basah. Dan pelan pelan, mata gadis itu ikut basah. Dan tiba tiba mereka berpelukan.



“Koko, engkau sedih aku masuk Islam ?”

“Tidak Moy-moy. Tidak. Aku hanya akan sedih kalau kau masuk Islam hanya karena ing in menyenangkan hatiku. Percayalah, tanpa masuk Islam pun engkau, aku tetap sayang padamu. Engkau tetap adikku ..”

“Tidak koko. Aku masuk Islam bukan karena engkau. Aku masuk Islam karena takdir Tuhan. Bukankah takdir manusia di tangan Tuhan Yang Satu? Tuhan mentakdirkan aku bertemu denganmu. Tuhan pula yang mentakdirkan aku masuk Islam. Aku bahagia menerima takdir itu koko. Sama seperti aku juga bahagia berada di dekatmu…”

“Terima kasih Moy-moy. Terima kasih adikku ..”



Peristiwa itu dilihat oleh Datuk Penghulu yang baru pulang. juga dilihat dan didengar oleh Mak Ani, ibu si Upik yang tegak di ruang tengah. Karenanya mereka pada mengusap matanya yang basah. Terharu melihat persaudaraan kedua anak muda yang berlainan bangsa ini. Yang satu kehilangan seluruh familinya di tangan Jepang. Yang satu kehilangan kehormatannya di tangan Jepang. Nasib mempertemukan mereka. Persis seperti diucapkan oleh Mei-mei sebentar ini. Bahwa mereka dipertemukan oleh Takdir yang telah diatur oleh Yang Satu.

Tanpa terasa setahun telah berlalu. Selama setahun itu Mei-mei dan si Bungsu tetap tinggal di rumah Datuk Penghulu di kampung Padang Gamuak Tarok. Mereka seperti tinggal di rumah orangtua sendiri. Datuk Penghulu dan istrinya menerima mereka dengan tangan terbuka. Datuk Penghulu ternyata seorang pejuang yang menghubungi anggota Gyugun, yaitu tentara Jepang yang berasal dari pemuda pemuda Indonesia. Dia menginventarisir senjata yang berhasil dicuri, juga logistik, dikumpulkan untuk mempersiapkan bila terjadi perang kelak. Dia juga mencatat nama nama para anggota Gyugun yang bersedia menjadi tentara Peta yaitu pasukan Pembela Tanah Air. Kesibukan Datuk Penghulu akhir akhir ini memang makin meningkat.

Sementara itu, kemahiran Mei-mei dalam persilatan setahun ini maju dengan amat pesat. Salim yang selama ini bertindak sebagai pembantu Datuk Penghulu untuk mengajar Mei-mei, kini sudah tercecer jauh sekali. Bahkan dalam beberapa kali latihan, Mei-mei berhasil mengalahkan Datuk Penghulu. Datuk Penghulu jadi sangat bangga dan bahagia mempunyai murid seperti dia. Berbeda dengan guru guru silat pada umumnya, yang merasa terhina bila muridnya berhasil mengalahkannya. Datuk Penghulu justru merasa karena tak ada lagi ilmu yang bisa dia turunkan kepada Mei-mei.



Sedangkan si Bungsu juga melatih samurainya. Dia tak ikut belajar silat. Meskipun Datuk Penghulu pernah menawarkan padanya untuk ikut namun dia merasa sudah terlambat. Keinginannya kini hanya satu, membalaskan dendam keluarganya membunuh Saburo dengan samurainya. Ayahnya telah bersumpah sesaat sebelum mati, bahwa dia akan menuntut balas membunuh Saburo dengan samurai. Dia saksi langsung saat sumpah itu diucapkan. Adalah kewajibannya untuk melaksanakan. Karena itu, selama setahun di rumah Datuk dia melatih kecepatan samurainya dalam hutan bambu yang ada di sana.
Dia mengulangi lagi cara latihannya seperti di gunung Sago dahulu. Mencabut dan memasukkan samurai secepat yang mampu dia laksanakan. Memancungkannya keempat penjuru. Berkali kali hal serupa itu dia ulangi. setelah kecepatannya kembali normal, lalu dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mengerahkan tenaga untuk mendengarkan geseran yang paling halus sekalipun ketika angin berhembus.



Beberapa daun bambu jatuh. Dia menanti, ketika daun bambu itu tinggal sedepa dari permukaan tanah dia mencabut samurainya, secepat kilat. Kemudian dengan masih tetap memejamkan mata, dia bergerak dua langkah kekanan. Menyabetkan samurainya dua kali. Dua helai daun bambu terbelah.
Kemudian berguling cepat ke kiri, menyabetkan samurainya dua kali, sehelai daun bambu belah dua. Dan sehelai lagi luput dari tebasan samurainya. Dia mengulangi latihan begitu terus menerus. Hingga akhirnya kecepatan dan kemahirannya bertambah dari yang sudah sudah. Selama setahun itu mereka tetap tinggal bersama Datuk Penghulu dan Tek Ani. Dengan uang yang mereka bawa dari Payakumbuh, ditambah perhiasan yang mereka peroleh dari rumah Babah gemuk pimpinan komunis itu, Mei-mei dan si Bungsu dapat membantu kehidupan Datuk itu. Bahkan Mei-mei menyuruh si Upik sekolah terus dengan biayanya. Malam itu, ketika Datuk Penghulu dan si Bungsu tak di rumah, Mei-mei tengah membaca Al Quran, Tek Ani dan Upik menyimaknya. Suaranya yang halus lembut seperti membelah hutan bambu. Menyelusup di antara pohon pohon dan daunnya yang hijau. Di rumah Datuk itu hanya mereka bertiga kini.



Datuk Penghulu entah berada dimana. Kegiatannya sangat memuncak. Sebab waktu itu adalah penghujung bulan Juli 1945. Yaitu dua pekan lagi sebelum Proklamasi dibacakan di Pengangsaan Timur Jakarta Pejuang pejuang Indonesia saling mengadakan kontak dengan tokoh tokoh pergerakan. Datuk Penghulu pimpinan dari delapan kurir utama kaum pejuang yang berpusat di Bukittinggi. Dialah yang menghubungkan kontak antara Mayor Dakhlan Jambek yang saat itu bertugas dalam Gyugun dan bermarkas di Pasaman dengan Mayor Makkimuddin di Payakumbuh.
Kepada mereka disampaikan pesan pesan dari Engku Syafei. Tokoh pejuang bawah tanah yang bermarkas di Kayu Tanam. Kontak itu juga menghubungkan mereka dengan encik Rahmah El Yunussiyah. Seorang pejuang wanita yang mendirikan sekolah Diniyah Puteri di Padangpanjang. Menjelang hari Proklamasi, kesibukan para pejuang sangat meningkat. sebaliknya, Kempetai yang merupakan Polisi Militer Jepang, memperketat pula pengawasan mereka.



Sudah tentu anggota anggota Gyugun yang berasal dari pemuda Indonesia berada dalam pengawasan utama dan sangat ketat. Gerak gerik mereka diawasi secara rahasia. Dari pengawasan dan penyelidikan itulah bocor rahasia tentang diri Datuk Penghulu ayah si Upik di Padang Gamuak itu. Dari penyelidikan diketahui bahwa kusir bendi hanya dibuat sebagai kedok saja dari tugas mata matanya. Kempetai menyiapkan suatu penyerangan ke rumahnya.
Dan malam itu lima orang Kempetai pilihan datang kerumah mereka. Namun seperti telah diutarakan di atas, saat itu Datuk tersebut tak ada di rumah. Yang ada hanyalah istri Datuk itu, Mei-mei dan si Upik. Perempuan ketiganya. Si Bungsu sendiripun tak ada di rumah tersebut. Dia tengah menggantikan tugas Datuk Penghulu membawa bendinya. Ada berita penting yang sedang dia nanti di kota. Yaitu tentang diri Saburo. Untuk itu dia menyamar sebagai kusir untuk menemui kurir di kota. Tek Ani, si Upik dan Mei-mei kaget dan terhenti mengaji tatkala pintu didobrak oleh Kempetai.



“Mana Datuk Penghulu ..”



Seorang Kempetai bertanya dengan senjata terhunus. Sementara yang seorang lagi mengawasi setiap sudut rumah. Mata mereka merah dan nyalang. Waspada terhadap segala kemungkinan. Ketika pernyataan itu diulangi, barulah tek Ani menjawab, bahwa suaminya memang tak ada. orang yang menggeledah itu kemudian berbisik bisik dengan komandannya yang berpangkat Djun-i (Pembantu Letnan) yang memimpin penggerebekan itu. Djun-i itu menatap Mei-mei dengan mata berkilat. Ketika dia mengangguk, yang berbisik tadi lalu keluar. Lalu terdengar suaranya menyuruh jaga sekitar rumah itu. Dari jawaban di luar, Mei-mei segera tahu bahwa di luar ada tiga orang lagi tentara Jepang.



“Hei, kamu sini ikut. Saya mau periksa ..” Ujar Djun-i itu kepada Mei-mei.



Si Upik mulai menangis. Tapi dia terdiam begitu dibentak oleh Kempetai yang seorang lagi. Perlahan Mei-mei bangkit. Kempetai itu menelan ludahnya melihat tubuh montok gadis cina itu. Segera saja dia menyeret tangan Mei-mei ke bilik yang biasanya ditempati si Bungsu.
Kemudian pintu dia tutup, Si Upik memeluk ibunya dengan wajah pucat. Sementara serdadu yang satu lagi menatap mereka dengan seringai buruk. Dari dalam kamar terdengar suara gelosok posoh tak menentu. Dan Kempetai yang di ruang tengah itu menelan ludahnya beberapa kali. Membayangkan kenikmatan yang sedang dikenyam oleh komandannya di dalam bilik itu bersama gadis montok tadi. Dia jadi tak sabaran menunggu giliran, cukup lama dia menanti, dan tiba tiba pintu kamar terbuka. Mei-mei muncul dengan senyum di bibir. Dia memberi isyarat pada Kempetai yang ada di ruang tengah itu. Kempetai itu bergegas.



Tak peduli komandannya tadi belum keluar, yang jelas dia harus cepat mendapat giliran. Dia masuk kamar itu. Didapatinya komandannya masih terbaring dalam pakaian lengkap. Tapi yang menjadikannya heran adalah karena komandannya itu terbaring tidak di tempat tidur. Melainkan di lantai. Pertanyaan belum menjawab, ketika dia berpaling pada gadis itu, tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Pukulan dengan sisi tangannya mendarat di tengkuk Kempetai itu. Kempetai tersebut bukanlah orang lemah. Sebagai seorang Kempetai, dia belajar karate dan Yudo. Pukulan pertama dia tangkis dengan tangannya. Namun meleset. Pukulan gadis itu amat cepat. Tapi pukulan itu belum merubuhkannya. Dalam keadaan heran dan kaget Kempetai itu coba memeluk gadis tersebut.
Itulah kesalahannya. Mei-mei membiarkan Kempetai itu memeluknya, disaat tubuh mereka merapat, Mei-mei menghantamkan lututnya keatas. Mendarat persis di selangkang Jepang itu. Jepang itu hampir saja terpekik. Mei-mei bertindak cepat. Tangannya segera menutup mulut Jepang itu. Kalau teriakannya sampai kedengaran oleh tiga temannya di luar, bisa berbahaya. Dan Kempetai itu melosoh turun. Kentang kentangnya pecah. Mei-mei hari ini bukan lagi Mei-mei setahun yang lalu.


Bukan lagi Mei-mei yang lemah yang tak dapat berbuat apa apa ketika tubuhnya digumuli oleh perwira perwira Jepang di Payakumbuh dulu. Mei-mei hari ini adalah gadis yang telah berisi. Dia membuktikan hal itu dengan merubuhkan kedua Kempetai ini dengan mudah. Kempetai yang berpangkat Djun-i yang masuk pertama kali tadi juga mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu masuk dan menutup pintu, dia segera memeluk dan berusaha mencium gadis itu.

Mei-mei seperti akan membalas pelukannya. Namun kedua tangannya memegang leher Djun-i itu. Begitu terpegang lehernya, sementara Jepang itu masih asik menciumi mukanya, Mei-mei menghantam lututnya keselangkang Jepang itu. Ketika Jepang itu tersentak kaget dan amat sakit, kedua tangannya memegang leher Jepang itu bergerak pula. Yang satu mencengkram rambut di belakang kepala Kempetai itu. Tangan yang satu lagi menghantam dagunya. Rambut Jepang itu dia tarik sekuat kuatnya arah kekanan. Sementara dagunya dipukul arah kekiri.


Akibatnya kepala Jepang itu terputar dengan paksa amat kuat. Terdengar suara tulang berderak. Leher Jepang itu patah tulangnya. Dia mati tanpa sempat berteriak. Itulah yang dialami oleh Djun-i yang masuk pertama kali. Kini sudah dua orang selesai oleh Mei-mei. Benci dan dendam yang telah lama menyala dalam dada gadis ini kepada Jepang yang telah melaknati tubuhnya, kini mendapat tempat pelampiasannya.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 028

No comments:

Post a Comment