Diam diam dia mengunci pintu kamar.
Kemudian mengambil samurai yang panjangnya dua jengkal yang tersisip di
pinggang Djun-i yang telah mati itu. Lalu perlahan dia membuka jendela dan
berjingkat dia keluar. Masuk kedalam malam yang gelap.
Tadi dia mendengar ada tiga Jepang lagi
menjaga di luar rumah. Dia ingin menyudahi ketiga Jepang jahanan itu. Perlahan
lahan dia menuju ke depan. Tiba tiba langkahnya terhenti. Dari depan seorang
Kempetai rupanya menaruh curiga akan situasi rumah yang sepi itu. Dengan bedil
terhunus dia mengitari rumah tersebut. Dan dia melihat sesosok bayangan tegak
mematung dekat dinding.
“Siapa itu..!” Jepang itu membentak
sambil mengacungkan bedil yang siap memuntahkan peluru.
“Malaikat maut..” Jawab Mei-mei dengan
suara mendesis tajam.
Dan seiring dengan itu tubuhnya
bergulingan di tanah. Dalam tiga kali bergulingan yang amat cepat, dari posisi
berbaring menyamping di tanah, kaki kanannya menghantam keatas. Terdengar
seruan terkejut dan kesakitan dari mulut Jepang itu ketika sisi kaki Mei-mei
yang terlatih mendarat di perutnya. Namun Jepang itu tak rubuh. Dia hanya
terjajar kebelakang.
Bedil masih terpegang ditangannya. Dan justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu, telunjuknya menarik pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih.
Bedil masih terpegang ditangannya. Dan justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu, telunjuknya menarik pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih.
“Aku kena,” bisik hatinya.
Namun dia tak menyerah. Masih dia ingat
betapa jahanam kempetai ini ketika di Payakumbuh dulu melanyau dirinya. Mungkin
memang tidak mereka. Tapi komandan komandan mereka. Namun apa bedanya. Tubuhnya
segera bangkit. Sebelum kedua Kempetai yang ada di depan sampai ketempat itu,
sebuah tendangan lagi menghantam kerampang Jepang itu. Kali ini bedilnya jatuh.
Kedua tangannya menggigil memegang tempat yang baru saja kena tendangan.
Terdengar keluhan yang menegakkan bulu tengkuk.
Dia segera saja jatuh di kedua lututnya. Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia terjatuh di atas kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya. Riwayat Kempetai itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya terduduk. Yang paling depan mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terlalu dekat. Bedilnya direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan.
Dia segera saja jatuh di kedua lututnya. Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia terjatuh di atas kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya. Riwayat Kempetai itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya terduduk. Yang paling depan mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terlalu dekat. Bedilnya direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan.
Sebuah tinju menyongsong mulutnya.
Tangan Mei-mei terasa ngilu. Buku jarinya mendarat dengan telak di bibir Jepang
itu. Tapi kalau buku buku jarinya ngilu, maka Jepang itu merasa mulutnya
bengkak. Dan hampir saja dia menelan giginya yang copot tiga buah. Kempetai ini
tak melihat dengan jelas siapa lawannya. Namun dia tahu, orang ini pastilah
pesilat. Dan mereka sudah mengetahui, bahwa silat di Minangkabau tak dapat
dianggap enteng. Bedilnya sudah sejak tadi lepas. Yaitu sejak mulutnya kena
bogem mentah. Tapi kini dengan cepat kakinya melayang kedepan. Mengirimkan
sebuah tendangan karate bernama maei-geri yang telak.
Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu. Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti tendangan itu. Sebuah tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir bersilat, tapi baru kali ini berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang ampuh untuk menangkis tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai sepatu. Lagipula tangkisannya agak terlambat. Tak ampun lagi, tulang tangannyalah yang kena tendang. Mei-mei terpekik. Tangannya segera saja jadi bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa lawannya ini adalah seorang perempuan.
Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu. Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti tendangan itu. Sebuah tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir bersilat, tapi baru kali ini berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang ampuh untuk menangkis tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai sepatu. Lagipula tangkisannya agak terlambat. Tak ampun lagi, tulang tangannyalah yang kena tendang. Mei-mei terpekik. Tangannya segera saja jadi bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa lawannya ini adalah seorang perempuan.
“Onaaa …” serunya.
“Onaa ?” (perempuan) tanya kawan di
belakangnya.
“Haik…” jawabnya.
Dengan jawaban begitu, Kempetai itu maju
ingin memeluk Mei Mei. Ingin menangkap dan meringkusnya hidup hidup, Namun
disinilah kesalahan tentara Jepang itu. Disini pula kebanyakan kesalahan setiap
lelaki dalam menghadapi perempuan. Selalu mendahului nafsu. Begitu dia
mendekat, Mei-mei yang sudah bertekad untuk membunuh atau dibunuh itu segera
menghunus samurai pendek yang tadi dia ambil dari pinggang Kempetai yang mati
dalam bilik.
Ketika tangan Kempetai ini terjulur,
tangannya juga terulur….. crep samurai tajam dan tipis itu masuk persis ke
jantungnya. Kempetai itu terbelalak menyeringai sakit. Suaranya seperti suara
kerbau disembelih. Gadis itu tak mau tanggung tanggung. Samurai itu dia
renggutkan dengan kuat ke kanan. Merobek dada Jepang itu selebar satujengkal.
Lalu samurai itu dia cabut dengan cepat dan dia tikamkan keleher Jepang itu
Demikian cepat peristiwa itu. Demikian lihai gadis ini menjadi pembunuh orang
yang dia benci. Kehidupan keras yang dialami selama tahun tahun yang hitam di
Payakumbuh, membuat hatinya tak mudah terguncang melihat kematian.
Umurnya masih sangat muda. Belum cukup
delapan belas tahun. Tapi lihatlah, Kempetai yang satu lagi benar benar
tertegun melihat perkelahian itu. Tak pernah dia sangka seorang wanita bisa
berbuat begitu. Tapi dia sadar wanita ini amat berbahaya. Dengan kesadaran
demikian, dia menghantamkan pangkal bedilnya ke tengkuk Mei-mei. Mei Mei merasa
ada gerakan angin di belakangnya. Dengan cepat dia menjatuhkan diri. Kedua
tangannya bertelekan di tanah. Namun tangan kirinya terasa lumpuh. Kelumpuhan
akibat tembakkan dan tendangan tadi. Dengan tangan kanan bertelekan dia menghujamkan
kakinya kebelakang. sebuah cuek belakang yang telak. Jepang itu tersurut
selangkah ketika kena hantam pahanya. Terasa sakit kena hantam tumit gadis itu.
Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat itu pula Mei-mei berputar sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula. Samurai itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai. Begitu samurai pendek itu lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat dia sudah dua kali dia bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh Kempetai itu.
Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat itu pula Mei-mei berputar sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula. Samurai itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai. Begitu samurai pendek itu lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat dia sudah dua kali dia bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh Kempetai itu.
Mei-mei tersandar ke dinding rumah.
Nafasnya memburu. Suasana sepi. Salak anjing yang biasanya riuh di malam
begini, kini pada terdiam mendengar suara dua kali letusan itu. Mereka
menyurutkan diri ke dalam semak atau ke bawah rumah. Sebab sudah beberapa kali
Jepang memburu anjing. Memburunya masuk kampung keluar kampung. Menurut Jepang,
anjing itu harus dibunuhi. Sebab dia memakan makanan yang harusnya jadi makanan
manusia. Tambahan lagi, yang paling parah, anjing anjing itu sedang dijangkiti
penyakit rabies.
Penyakit yang biasanya menulari anjing bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan. Dewasa itu pula, penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan Rasisme Jepang ? Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu tragedi sebenarnya. Tapi begitulah sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu, akan tetap mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan di ruangan tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini menanti dengan tegang.
Penyakit yang biasanya menulari anjing bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan. Dewasa itu pula, penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan Rasisme Jepang ? Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu tragedi sebenarnya. Tapi begitulah sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu, akan tetap mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan di ruangan tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini menanti dengan tegang.
“Unii. Uni Uni Mei-mei…” si Upik
memanggil di antara tangisnya.
Memanggil uninya yang tak kunjung keluar
dan tak kunjung terdengar suaranya dari dalam bilik yang tadi dimasuki dua
orang Kempetai itu. Tak ada jawaban dari dalam.
“Uni Mei Mei ..” si Upik mulai menangis.
Dia berdiri menuju kepintu bilik.
“Uni … buka pintu uni ..”
Tak ada jawaban. Sepi…!!
Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus. Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus. Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
“Upik … , Etek …”
Suara itu terdengar lagi. Seperti suara
Mei-mei. Istri Datuk itu tegak. Dia seperti mendengar suara itu dari luar.
Kenapa dari luar ?
“Etek .. tolong saya. Saya di luar ..”
Ujar suara itu perlahan, seperti orang kehabisan tenaga.
Si Upik mendengar pula suara itu. ibunya
mengambil lampu dinding. Kemudian perlahan membuka pintu Melangkah kesamping
pintu. Mereka tertegak kaku melihat tiga tubuh Kempetai yang telah jadi mayat.
Lalu mereka melihat tubuh Mei-mei tersandar di dinding rumah. Dari bahu kirinya
darah mengalir. Kepala gadis itu terkulai. Dan matanya menatap sayu.
“Mei-mei…”
“Etek …” himbau gadis itu lirih.
Upik menangis memeluk uninya itu. Istri
Datuk berusaha menolong Mei-mei untuk bangkit dan memapahnya ke dalam. Tapi
gadis itu menolak.
“Mayat mayat ini harus disembunyikan
etek. Komandan mereka yang menugaskan mencari pak Datuk kemari pasti akan
curiga kalau mereka tak kembali pada waktunya. Mereka akan mengirimkan pasukan
lagi kemari. Bukankah di belakang rumah ada lobang besar tempat membakar sampah
? Seretlah mayat ini kesana. Nampaknya etek terpaksa bekerja dengan upik. Saya
tak dapat membantu. Bahu saya tertembak. Di dalam kamar masih ada dua mayat
lagi. Seretlah etek… kemudian timbun dengan apa saja. Asal mayat mereka tak
kelihatan”
Istri Datuk itu memang tak melihat jalan
lain yang lebih baik selain mengikuti petunjuk Mei-mei. Dengan mengerahkan
semua tenaganya, dengan bantuan si Upik,
dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke lobang pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari tempatnya bersandar. cukup lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun Mei-mei menggeleng.
dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke lobang pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari tempatnya bersandar. cukup lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun Mei-mei menggeleng.
“Tidak etek. Berbahaya kalau saya masuk
kerumah.
Kalau Kempetai datang dan ternyata teman
temannya tak ada, mereka akan memaksa kita. Barangkali mereka juga berniat
memperkosa saya. Dan mereka akan melihat dan mengetahui luka saya ini adalah
luka bekas tembakan. Mereka akan curiga. Kematian kelima teman mereka akan
segera mereka ketahui. Sembunyikan saja saya ke tempat lain. Bawa saya kepondok
kecil di tengah rumpun bambu di samping sana. Biarlah saya di sana menjelang
koko pulang …”
“Saya akan ikut dengan uni …” si Upik
berkata sambil menangis.
“Tidak Upik. Upik harus tetap bersama
etek di rumah. Tolong ambilkan obat di kamar uni. obat ramuan yang dulu
diberikan koko kepada kita. Ingat ?”
Upik mengangguk. Kemudian cepat masuk.
Mengambil obat, kain dan beberapa potong kue yang mereka beli siang tadi.
Kemudian sebuah bantal dan tikar. Dengan suluh mereka segera menuju kepondok
kecil di tengah hutan bambu itu. Pondok itu dibuat oleh si Bungsu untuk
istirahat jika selesai latihan. Sesampai di pondok Mei-mei minta tolong
menaburkan obat ramuan itu di lukanya.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di belakang tiga kali selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak keluar. Setelah ramuan obat yang dibawa si Bungsu dari gunung Sago itu ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di belakang tiga kali selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak keluar. Setelah ramuan obat yang dibawa si Bungsu dari gunung Sago itu ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
“Pulanglah etek, Upik. Kalau koko
datang, katakan aku di sini …”
“Tidak. Upik tidak pulang. Upik di sini
mengawani uni …”
Si Upik tak tahan untuk tak menangis
melihat penderitaan Mei-mei. Mei-mei jadi terharu. Dia belai kepala adiknya
itu.
“Tidak Upik. Upik harus menemani amak di
rumah. Bagaimana kalau Jepang datang, dan dia menganggu amak …?”
“Amak juga di sini. Amak jangan pulang.
Kita di sini saja bersama uni ya mak?” si Upik membujuk ibunya diantara
tangisnya.
“Tidak Upik. Kalau Upik dan amak di
sini, Jepang pasti curiga. Mereka akan membakar rumah dan mencari kita sampai
dapat. upik dan amak harus di rumah. Menjawab pertanyaan Jepang yang datang.
Mei-mei berusaha meyakinkan gadis kecil
itu. Akhirnya Upik pulang juga bersama ibunya. Mei-mei tinggal sendiri. Dia tak
berani menghidupkan lampu togok yang ada di pondok itu. Tidak juga menghidupkan
api unggun untuk menghalau nyamuk. Dia khawatir kalau api yang dia pasang akan
kelihatan oleh Jepang. Gadis ini memang mempunyai firasat yang tajam. Sebab tak
lama setelah Upik dan ibunya sampai di rumah, sepasukan tentara Jepang sampai
pula di sana.
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di
pasar atas, si Bungsu telah menantikan kedatangan seorang lelaki. Bendinya
tegak tak jauh dari kedai kopi. Kegiatan Jepang nampaknya makin sibuk menjelang
awal Agustus itu. Perang melawan Sekutu di Samudra Pasifik mengirimkan berita
tak menyenangkan Jepang ke seluruh tanah jajahannya. Tiba tiba si Bungsu
melihat lelaki yang dia nanti itu muncul dari arah Jam Gadang.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 029
No comments:
Post a Comment