Lelaki itu adalah kurir dari Datuk
Penghulu Basa. Dari dia di harapkan berita tentang dimana kini Kapten Saburo
Matsuyama berada. Sampai saat ini, si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang
telah naik pangkat jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke
Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak tergesa. Si Bungsu hanya
menoleh sebentar. Kemudian membelakangi lelaki itu, menghadap kopi dan pisang
gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
“Kopi pahit satu …” Katanya sambil
menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara si Bungsu menghirup kopinya.
Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru.
Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
“Dia sudah dipensiunkan …”
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu
bertanya.
“Dimana dia kini ?”
“Sudah pulang ke Jepang …”
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di
tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu? Dia seharusnya tak
menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki
yang tetap saja menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
“Pulang ke Jepang ?”
“Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang
bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk pensiun dan memaksanya
untuk pulang ke Jepang”
“Tapi buktinya masih banyak pembunuhan
dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang ..”
“Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga
Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang diputuskan atasan, belum
tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai
pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk
membuat pasukannya agar tak menjadi iblis. Hanya saja bawahannya tak semua
mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah dinaikkan
pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal)..”
“Kenaikan dua tingkat ?”
“Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam
ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari Kolonel langsung
ke Mayor Jenderal …”
“Sudah berapa lama Saburo pulang ke
Jepang ?”
“Tiga bulan yang lalu ..”
“Tiga bulan yang lalu ?”
“Ya ..”
“Sebelum itu dia berada di kota ini ?”
“Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh,
dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi chu-Tei cho
(Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia ..” ucapan lelaki itu terhenti
ketika mereka mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai
kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada seorang lelaki. Jelas
lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini
mereka duduk.
“Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah
menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia …saya harus pergi”
Lelaki itu beranjak cepat. Namun
bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu. Karena hari
malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai
itu meledak. Lelaki itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai
itu berlarian dengan samurai terhunus.
“Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk
saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah terakhir ..”
Lelaki itu bicara sambil tetap berguling
seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu menunduk
membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh si Bungsu
siapa namanya. Begitu Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak.
Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya menancap di leher Kempetai itu.
Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk
ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu
juga tertegak diam.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, setiap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direnggutkan. Kalau begitu ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, setiap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direnggutkan. Kalau begitu ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Daripada menyerah dalam tahanan,
menyerah dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu merasa lebih baik
mati dalam perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata si
Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si Baribeh dan siJuling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia yakin lelaki itu pastilah orang Minang juga.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si Baribeh dan siJuling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia yakin lelaki itu pastilah orang Minang juga.
Dia melihat hal itu pada gaya dan
pakaiannya. Kedua Kempetai dan lelaki tukang tunjuk itu berhenti tiga depa di
belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang. Lalu sebuah suara serak.
“Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai
baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat tanganmu tinggi-tinggi . .
.”
Pemilik lepau itu menatap dengan tenang
pada si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki itu. Lambat lambat
tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, si Bungsu
melihat keris di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja si Bungsu
dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang kurir atau mata mata pihak
pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh
dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera
menyadari bahaya besar kalau sampai pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya kebelakang, ke arah Kempetai itu.
Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya d ia jatuhkan ke belakang. Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya kebelakang, ke arah Kempetai itu.
Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya d ia jatuhkan ke belakang. Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil
begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba sebuah gelas
berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya,
namun tetap saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa
melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang duduk si sebelah kurir yang telah
mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu si Bungsu sampai di dekat mereka
dengan cara bergulingan di tanah. Dan …
Sret … sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai Kedua Kempetai itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anak muda itu bertindak.
Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu melihatnya, demikian pula si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi menghayunkan tangan. Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian pula si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati pada si Minang yang sampai hati menghianati bangsanya.
Sret … sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai Kedua Kempetai itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anak muda itu bertindak.
Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu melihatnya, demikian pula si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi menghayunkan tangan. Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian pula si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati pada si Minang yang sampai hati menghianati bangsanya.
Tangannya bergerak pula. Samurai
panjangnya melesat dalam kegelapan malam. Lelaki itu tiba tiba terhenti
larinya. Matanya mendelik, lalu rubuh. Dalam cahaya listrik yang remang remang,
orang melihat sebuah keris menancap hampir seluruhnya di tengkuk lelaki itu.
Sementara sebuah samurai tegak di punggungnya. Persis di bahagian jantung.
Menembus sampai ke dada. Lelaki itu tertelungkup.
Jam Gadang yang tak jauh dari tempat lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas yang telah dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam Jumat diakhir bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota dimana Markas Besar Balatentara Jepang se Sumatera berkedudukan.
Jam Gadang yang tak jauh dari tempat lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas yang telah dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam Jumat diakhir bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota dimana Markas Besar Balatentara Jepang se Sumatera berkedudukan.
“Kemari, ikuti saya …” tiba tiba si
Bungsu mendengar suara.
Dia lihat lelaki pemilik lepau itu
mencabut keris dari tengkuk si lelaki. Dan berlari arah ke arah Pasar Teleng.
Si Bungsu menuruti lelaki tersebut mencabut samurainya dari tubuh penghianat
itu. Kemudian memangku tubuh kurir yang tadi menyampaikan berita tentang
Saburo. Dan dengan cepat dia mengikuti lelaki pemilik lepau itu. Dari kejauhan
mereka mendengar suara peluit dan bentakkan tentara Jepang. Suara derap sepatu
terdengar memburu. Namun saat itu mereka telah aman. Sebuah toko terbuka ketika
lelaki pemilik lepau itu lewat. Lelaki itu masuk kesana dan si Bungsu ikut.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama setelah itu derap sepatu berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari hantu yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu membawa mereka keruang bawah tokonya.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama setelah itu derap sepatu berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari hantu yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu membawa mereka keruang bawah tokonya.
“Jangan khawatir. Di sini aman. Suara
takkan terdengar ke atas sana. Letakkan mayat itu di pembaringan …” kata
pemilik toko tersebut. Si Bungsu meletakkan mayat kurir itu di tikar.
“Hmm, Sutan Pangeran rupanya ..” kata pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada si Bungsu.
“Bapak mengenalnya ?” tanya si Bungsu. Lelaki itu menarik nafas.
“Saya mengenal hampir setiap lelaki di kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa pejuang dan siapa penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah Sutan Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti Datuk Penghulu …”
“Hmm, Sutan Pangeran rupanya ..” kata pemilik toko setelah melihat mayat itu, kemudian menatap pada si Bungsu.
“Bapak mengenalnya ?” tanya si Bungsu. Lelaki itu menarik nafas.
“Saya mengenal hampir setiap lelaki di kota ini anak muda. Termasuk dirimu. Saya mengenal siapa pejuang dan siapa penghianat. Sutan Pangeran anak buah Datuk Penghulu. Sementara dia ini adalah Sutan Permato, mata mata Dakhlan Jambek Saya sendiri kurir penghubung seperti Datuk Penghulu …”
Si Bungsu menarik nafas lega mendengar
penuturan lelaki itu. Dia lega berada diantara para pejuang bangsanya.
“Apa yang harus saya lakukan dengan
mayat ini ?” tanyanya.
“Biarkan di sini, ini urusan saya. Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak benar dan cepat dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini, maka keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa engkau lebih baik cepat cepat pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama Engku Syafei dan Etek Rahmah El Yunusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu. Sedang diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun. Makanya engkau saya suruh pulang, tadi saya mendapat informasi bahwa ada pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi ingat anak isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama Mei-mei. Saya hawatir dengan nasib mereka …”
“Biarkan di sini, ini urusan saya. Termasuk memberitahu isteri dan anak anaknya. Engkau bertindak benar dan cepat dengan melarikan mayatnya. Kalau Jepang sampai tahu wajah dan alamat mayat ini, maka keluarganya akan ikut punah. Syukur jejaknya engkau hapus. Kini saya rasa engkau lebih baik cepat cepat pulang kerumah Datuk Penghulu. Dia tidak di rumah, tengah menghadiri pertemuan di Kayu Tanam bersama Engku Syafei dan Etek Rahmah El Yunusiyah. Kabarnya Jepang mulai terpukul di Pilipina oleh Sekutu. Sedang diperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh para anggota Gyugun. Makanya engkau saya suruh pulang, tadi saya mendapat informasi bahwa ada pasukan Jepang ditugaskan menangkap Datuk Penghulu. Saya jadi ingat anak isterinya. Dan saya mendapat kabar bahwa di sana ada juga adikmu yang bernama Mei-mei. Saya hawatir dengan nasib mereka …”
Si Bungsu tertegun. Hatinya berdebar
aneh. Ada perasaan tak sedap menyelusup di hatinya.
“Berapa orang Jepang kesana ?” tanyanya
perlahan.
“Antara empat atau lima orang. Semuanya Kempetai …”
“Kempetai …?”
“Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu ..”
“Antara empat atau lima orang. Semuanya Kempetai …”
“Kempetai …?”
“Ya. cepatlah kesana. Yang penting kau selamatkan anak bini Datuk itu serta adikmu ..”
Si Bungsu tak banyak bicara lagi. Kalau
dapat saat itu juga dia ingin berada di Padang Gamuak.
“Bagaimana tentang bendi pak Datuk? Bendi
itu saya tinggalkan tak jauh dari lepau kopi itu …”
“Jangan khawatir. Telah ada yang mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang mengantarmu lewat jalan memintas melalui rel kereta api …”
“Jangan khawatir. Telah ada yang mengaturnya. Keluarlah lewat pintu bawah. Akan ada yang mengantarmu lewat jalan memintas melalui rel kereta api …”
Lalu si Bungsu diantar melalui jalan
memintas ke Padang Gamuak.
“Anak muda yang benar benar luar biasa
…” kata pemilik lepau kopi itu setelah si Bungsu pergi.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 030
No comments:
Post a Comment