Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 032

“Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang, barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya.



Sementara pejuang pejuang baru dalam taraf rencana saja. Kita harus malu padanya …” pemilik toko bertingkat itu berkata perlahan.


“Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda yang membunuhi Jepang dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat, bahkan tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan saya merasa malu karena dulu tak yakin …” pemilik lepau kopi itu berkata lagi.


Si Bungsu tertegak di pematang sawah. Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih sekitar lima ratus meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api. cahaya api itu jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah api yang berkobar itu bukan dari rumah Datuk Penghulu. Dengan berdoa terus begitu, dia mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit, kayu kayu dan bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang terbakar. Kini telah runtuh. Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa puingnya.


“Mei-meiiii….!!: dia berteriak dengan tubuh menggigil. Sepi…..


Yang menyahut hanya gemertak api memakan sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.


“Tek Aniiii…”


Sepi…..


Anjingpun tak ada yang melolong. Gemertak api memakan puing makin perlahan.


“Upiiiik… Mei-meiii….: Matanya mulai basah.
“Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah …” katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
“Nauzubilah …” bulu tengkuknya berdiri.


Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu adalah Tek Ani, isteri Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh Jepang. Pakaiannya tak menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.

Tiba tiba dia dengar keluhan. Dia segera bangkit dan menoleh. Si Upik… Gadis berumur tiga belas tahun itu juga habis diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.


“Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa kalian dik …”


Ujar si Bungsu sambil mengangkat tubuh gadis itu, sementara air matanya telah membasahi pipi. Si Upik menggeleng. Dia pegang tangan si Bungsu, kemudian berkata perlahan :


“Uda … Uda … dimana amak ?”


Si Bungsu menggigit bibir agar tak menangis. Dia segera teringat nasib dirinya. Betapa dahulu ibu, ayah dan kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa ibunya telah terbunuh? Bagaimana?


“Tolong carikan amak. Uda. Tadi dia diseret Jepang kebelakang. Uni Mei-mei berada di pondok di tengah rumpun bambu itu, di tempat uda latihan ….”


Gadis kecil itu terkulai kepalanya di tangan si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merengut nyawanya. Si Bungsu menegadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu dan.. menangis.


“Maafkan saya Upik, Maafkan saya terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam ini ?”


Mayat itu dia baringkan di dekat mayat ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang dia menuju kepondok kecil itu. Tapi lagi lagi d ia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh seperti diobrak abrik setan.


“Mei-mei ..” dia ingin berteriak memanggil.


Tapi saking cemasnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan diantara mata yang basah.


“Koko …” sebuah rintihan halus dekat rumpun bambu.


Rintihan itu sudah cukup bagi si Bungsu untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat kesana. Hari sangat gelap. namun dia mendapatkan tubuh Mei-mei tersandar kepohon bambu.


“Mei-mei …”
“Koko ..” dia peluk gadis itu.


Mei-mei ingin membalas pelukannya. Namun tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga membalas pelukan anak muda itu, di dalam hati. Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu ke bekas rumah Datuk Penghulu. Kemudian membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api wajah Mei-mei kelihatan sangat pucat.


“Moy- moy …”
“Koko …”


Dengan suara putus putus Mei-mei menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia membunuh kelima Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua belas Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.



“Engkau tahu siapa yang telah memperkosa mu ?”


Mei-mei memejamkan mata. Seperti mengumpulkan ingatannya.


“Saya tidak melihat wajah mereka koko. Di pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah mereka. Dua belas. Mereka melaknati saya bergantian. Dan kalau tak salah, mereka memanggil komandan mereka dengan sebutan syo-i Atto … Koko .. aku ingin membahagiakan engkau. Sayang malam ini Tuhan memisahkan kita …”
“Jangan berkata begitu Moy-moy …”
“Dengarlah koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan? Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada di dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang takkan tercuci, tak layak mendapat apa apa darimu ..koko..”


“Mei-mei …”
“Dengarlah koko … satu satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya kehormatan. Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu padamu koko …”
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
“Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu. Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak. Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu. Ah. Itulah satu satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu koko? … hanya mimpi. Dan malam ini mimpiku itu terbakar hangus, jadi abu …”


Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat erat. Kemudian berbisik diantara air matanya yang turun.


“Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga mencintaimu. Mei-mei dengarilah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku? Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mei-mei …” Mata gadis itu terpejam.
“Mei-mei ..” Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. “Mei-mei kau dengar aku sayang ? Aku mencintaimu, kita akan segera menikah…”


Mei-mei membuka matanya. Perlahan sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya bergerak. Namun tak ada suara.


“Mei-mei … Mei-meiii..”
“Ko … koko. Benarkah itu.. ?”
“Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah ..”
“Koko … ciumlah aku …”


Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak senyum. Namun kaki dan tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air mata mengalir dipipinya.


“Koko sayang …” desahnya amat pelan.


Mei-mei tidak menjawab. si Bungsu menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak mengeluarkan darah. Dia jatuh pingsan.


“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.


Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.


“Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan …” dia berdoa diantara matanya yang basah.
“Bungsu ..” tiba tiba ada suara memanggilnya.


Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya yang rata dengan tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja sampai ada di sini?

Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang panjang. Di Diniyah Putri tengah berlangsung rapat perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab, encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat disegani oleh balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi sekolahnya. Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang menjajah.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.


“Saya lihat engku Datuk tidak tenang. Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?”



Encik Rahmah yang bermata amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.


“Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada yang terjadi atas anak istri saya …” katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal menimpa diri Datuk itu.
“Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang bernama si Bungsu …”


Engku Syafei dan encik Rahmah saling pandang lagi begitu nama si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu sudah demikian terkenal.


“Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?”
“Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya tak sedap …”



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 031

No comments:

Post a Comment