“Ya. Dia telah mulai membunuhi Jepang,
barangkali sudah puluhan yang mati ditangannya.
Sementara pejuang pejuang baru dalam
taraf rencana saja. Kita harus malu padanya …” pemilik toko bertingkat itu
berkata perlahan.
“Saya tak bisa percaya ketika dahulu ada
yang bercerita bahwa di Payakumbuh ada seorang anak muda yang membunuhi Jepang
dengan samurai. Tapi ketika tadi dia membunuh dua Jepang itu dengan cepat,
bahkan tak sempat saya ketahui bagaimana caranya, saya baru bisa yakin. Bahkan
saya merasa malu karena dulu tak yakin …” pemilik lepau kopi itu berkata lagi.
Si Bungsu tertegak di pematang sawah.
Jaraknya dari tempat tegak itu kerumah Datuk Penghulu masih sekitar lima ratus
meter. Tapi dia tegak dengan kaku di pematang itu karena melihat cahaya api. cahaya
api itu jelas datangnya dari tengah hutan bambu. Dia berdoa semogalah api yang
berkobar itu bukan dari rumah Datuk Penghulu. Dengan berdoa terus begitu, dia
mempercepat langkahnya. Bahkan kini berlari melompati parit, kayu kayu dan
bambu yang tumbang. Dan tiba tiba dia tertegak. Rumah itulah yang terbakar.
Kini telah runtuh. Rata dengan tanah. Api masih menjilati sisa puingnya.
“Mei-meiiii….!!: dia berteriak dengan
tubuh menggigil. Sepi…..
Yang menyahut hanya gemertak api memakan
sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
“Tek Aniiii…”
Sepi…..
Anjingpun tak ada yang melolong.
Gemertak api memakan puing makin perlahan.
“Upiiiik… Mei-meiii….: Matanya mulai
basah.
“Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah …” katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
“Nauzubilah …” bulu tengkuknya berdiri.
“Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka ya Allah …” katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah yang telah jadi bara itu. Tiba di bahagian belakang rumah dia tertegak.
“Nauzubilah …” bulu tengkuknya berdiri.
Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok
tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu adalah Tek Ani, isteri Datuk
Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur
empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh
Jepang. Pakaiannya tak menentu. Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu
dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ.
Tiba tiba dia dengar keluhan. Dia segera
bangkit dan menoleh. Si Upik… Gadis berumur tiga belas tahun itu juga habis
diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.
“Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa
kalian dik …”
Ujar si Bungsu sambil mengangkat tubuh
gadis itu, sementara air matanya telah membasahi pipi. Si Upik menggeleng. Dia
pegang tangan si Bungsu, kemudian berkata perlahan :
“Uda … Uda … dimana amak ?”
Si Bungsu menggigit bibir agar tak
menangis. Dia segera teringat nasib dirinya. Betapa dahulu ibu, ayah dan
kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa
ibunya telah terbunuh? Bagaimana?
“Tolong carikan amak. Uda. Tadi dia
diseret Jepang kebelakang. Uni Mei-mei berada di pondok di tengah rumpun bambu
itu, di tempat uda latihan ….”
Gadis kecil itu terkulai kepalanya di
tangan si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merengut nyawanya.
Si Bungsu menegadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu dan..
menangis.
“Maafkan saya Upik, Maafkan saya
terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam ini ?”
Mayat itu dia baringkan di dekat mayat
ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang dia menuju
kepondok kecil itu. Tapi lagi lagi d ia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh
seperti diobrak abrik setan.
“Mei-mei ..” dia ingin berteriak
memanggil.
Tapi saking cemasnya, yang keluar dari
mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan diantara mata yang basah.
“Koko …” sebuah rintihan halus dekat
rumpun bambu.
Rintihan itu sudah cukup bagi si Bungsu
untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat kesana. Hari sangat
gelap. namun dia mendapatkan tubuh Mei-mei tersandar kepohon bambu.
“Mei-mei …”
“Koko ..” dia peluk gadis itu.
“Koko ..” dia peluk gadis itu.
Mei-mei ingin membalas pelukannya. Namun
tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga membalas pelukan anak
muda itu, di dalam hati. Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu ke bekas rumah
Datuk Penghulu. Kemudian membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api
wajah Mei-mei kelihatan sangat pucat.
“Moy- moy …”
“Koko …”
“Koko …”
Dengan suara putus putus Mei-mei
menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia membunuh kelima
Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua
belas Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.
“Engkau tahu siapa yang telah memperkosa
mu ?”
Mei-mei memejamkan mata. Seperti
mengumpulkan ingatannya.
“Saya tidak melihat wajah mereka koko.
Di pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah mereka. Dua belas.
Mereka melaknati saya bergantian. Dan kalau tak salah, mereka memanggil
komandan mereka dengan sebutan syo-i Atto … Koko .. aku ingin membahagiakan
engkau. Sayang malam ini Tuhan memisahkan kita …”
“Jangan berkata begitu Moy-moy …”
“Dengarlah koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan? Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada di dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang takkan tercuci, tak layak mendapat apa apa darimu ..koko..”
“Jangan berkata begitu Moy-moy …”
“Dengarlah koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan? Namun ketahuilah koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada di dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan meski sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri dosa dan noda yang takkan tercuci, tak layak mendapat apa apa darimu ..koko..”
“Mei-mei …”
“Dengarlah koko … satu satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya kehormatan. Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu padamu koko …”
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
“Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu. Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak. Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu. Ah. Itulah satu satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu koko? … hanya mimpi. Dan malam ini mimpiku itu terbakar hangus, jadi abu …”
“Dengarlah koko … satu satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya kehormatan. Karena telah direngut dan dirobek robek oleh orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku tak pernah ada yang menyentuh. Dan kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu padamu koko …”
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
“Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak menggulai dan menjahit dari tek Ani adalah untukmu. Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi istrimu, bertanak. Menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu. Ah. Itulah satu satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu koko? … hanya mimpi. Dan malam ini mimpiku itu terbakar hangus, jadi abu …”
Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan
akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat erat. Kemudian berbisik
diantara air matanya yang turun.
“Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau
tak bermimpi Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga mencintaimu. Mei-mei
dengarilah, aku mencintaimu. Kau dengar ucapanku? Aku mencintaimu dengan
seluruh jiwaku. Mei-mei …” Mata gadis itu terpejam.
“Mei-mei ..” Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. “Mei-mei kau dengar aku sayang ? Aku mencintaimu, kita akan segera menikah…”
“Mei-mei ..” Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya. “Mei-mei kau dengar aku sayang ? Aku mencintaimu, kita akan segera menikah…”
Mei-mei membuka matanya. Perlahan
sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya bergerak. Namun
tak ada suara.
“Mei-mei … Mei-meiii..”
“Ko … koko. Benarkah itu.. ?”
“Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah ..”
“Koko … ciumlah aku …”
“Ko … koko. Benarkah itu.. ?”
“Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah ..”
“Koko … ciumlah aku …”
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah
Mei-mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak senyum. Namun kaki dan
tangannya terasa dingin. Si Bungsu mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian
mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei-mei terasa panas. Dan manik manik air
mata mengalir dipipinya.
“Koko sayang …” desahnya amat pelan.
Mei-mei tidak menjawab. si Bungsu
menguncang tubuhnya. Namun Mei-mei terlalu banyak mengeluarkan darah. Dia jatuh
pingsan.
“Mei-mei …” si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis
itu. Pelan pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
“Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia.
Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan …” dia berdoa diantara matanya yang
basah.
“Bungsu ..” tiba tiba ada suara memanggilnya.
“Bungsu ..” tiba tiba ada suara memanggilnya.
Dia menoleh. Dibelakangnya berdiri tegak
Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya yang rata dengan
tanah. Yang sisi pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba tiba saja
sampai ada di sini?
Sejak dua hari yang lalu dia pergi ke Padang
panjang. Di Diniyah Putri tengah berlangsung
rapat perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling
aman untuk rapat kecuali ruangan belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab,
encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah itu amat disegani oleh
balatentara Jepang. Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi
sekolahnya. Sejak pemerintahan Belanda Rahmah sudah bertegas tegas menolak
bantuan dari penjajah. Kini Jepang yang menjajah.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
Dia tahu Jepang adalah fasis yang amat kejam. Dan itu segera terbukti. Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun. Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umum nya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi diberbagai kota.
“Saya lihat engku Datuk tidak tenang.
Barangkali teringat pada keluarga di Bukit tinggi ?”
Encik Rahmah yang bermata amat tajam
bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
“Benar. Saya khawatir kalau-kalau ada
yang terjadi atas anak istri saya …” katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal menimpa diri Datuk itu.
“Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang bernama si Bungsu …”
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Engku Syafei dari Kayu Tanam itu mengangguk. Orang orang ini adalah orang orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahwa akan ada musibah yang bakal menimpa diri Datuk itu.
“Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang bernama si Bungsu …”
Engku Syafei dan encik Rahmah saling
pandang lagi begitu nama si Bungsu disebut. Si Bungsu. Nama itu sudah demikian
terkenal.
“Kiranya dia berada di rumahmu Datuk?”
“Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya tak sedap …”
“Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada encik dan pak syafei”
“Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda pemuda kita”
“Ya. Karena ada dialah, saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya tak sedap …”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 031
No comments:
Post a Comment