Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 033

“Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu. Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil kecil saja. Besok saya kirim kurir untuk menyampaikan putusan …” ujar Engku Syafei.
“Baiklah. saya berharap bisa sampai malam nanti di rumah …”


Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu. Kini dia telah berada dirumahnya. Tapi telah terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Sisanya marak dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api dia lihat si Bungsu memeluk tubuh Mei-mei.


“Mana etek dan adikmu Bungsu …?”


Datuk itu bertanya dari tempat tegaknya. Pertanyaan perlahan. Bungsu meletakkan tubuh Mei-mei. Kemudian menghadap pada Datuk itu.


“Maafkan saya pak … mereka …”


Bungsu tak dapat melanjutkan ucapannya. Bagaimana dia akan berkata. Bagaimana dia akan menyampaikan musibah itu? Dia memang tak perlu menyampaikannya.

Begitu mula datang tadi, Datuk ini sudah dapat menduga apa yang terjadi. Dia sudah menduga bahwa istri dan anaknya telah binasa. Matanya menyapu sekitar tempat itu. Di balik unggun rumahnya yang telah runtuh, dia lihat sesosok tubuh terbujur ditutupi kain. Dekat batang pisang, dia lihat tubuh si Upik, anaknya.
Lelaki tua itu, yang sehari hari adalah kusir bendi, tapi dalam jiwanya berkobar semangat perjuangan untuk kemerdekaan bagi bangsanya itu, tertegak dengan diam. Matanya bergantian menatap kedua mayat anak dan istrinya. Perlahan di pipinya yang tua kelihatan air mata mengalir. Si Bungsu jadi kagum melihat ketabahan orangtua ini. Dia sudah melihat jenazah anak dan istrinya. Namun setapakpun dia tak beranjak dari tempatnya.


“Kalian menjadi orang pertama yang meninggal sebagai korban perang kemerdekaan di kota ini. Semoga Tuhan menerima kalian …” dia berkata perlahan pada anak dan istrinya.


Ya, kedua anak beranak itu, korban korban pertama di kota Jam Gadang itu dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Mereka memang tak terlibat langsung dalam peperangan itu. Sebab perang kemerdekaan belum lagi dimulai. Sementara di Payakumbuh, ayah si Bungsu dan teman temannya yang mati di tangan Kempetai lebih dari setahun yang lalu, merupakan tumbal pertama pula bagi perang kemerdekaan yang akan meletus itu. Datuk Penghulu masih tertegak melihat mayat anak dan istrinya dari jauh. Melihat api menjilat sisa rumahnya. Si Bungsu yang tadi heran melihat kenapa Datuk itu tak mau mendekat mayat istri dan anaknya, tiba tiba merasa tegang.
Di antara gemertak suara api memakan sisa rumah, di antara kesepian yang mencekap di hutan bambu Kampung Tarok itu nalurinya menangkap sesuatu. Naluri yang dia bawa turun dari gunung Sago. Setahun dia hidup di rimba belantara itu. Hidup dan bersaing dengan kekerasan dan keganasan alam. Hidup dan belajar untuk
tetap bertahan tak mati dari keganasan binatang buas.
Naluri yang sudah tertempa. Karena dia manusia, maka nalurinya melebihi naluri hewan buas di hutan. Kini, dia menangkap sesuatu yang mengancam jiwa. Ancaman itu datang dari sekitar tempat mereka kini tegak. Datang dari arah kegelapan hutan bambu yang tegak seperti iblis mengelilingi mereka. Ketinggian pohon pohon bambu di kampung Padang Gamuak Tarok itu seperti tangan elmaut yang siap mencekik leher mereka.
Tubuhnya jadi tegang. Telinganya yang amat tajam, yang terlatih selama dua tahun di rimba gunung sago, menangkap bunyi-bunyi halus di belakangnya. Dia melihat Datuk Penghulu itu masih tegak diam. Jarak antara dia dan Datuk itu sekitar dua depa.


“Ada orang datang pak Datuk …” Katanya perlahan sekali. Tapi suaranya yang perlahan itu terdengar oleh Datuk tersebut.
“Ya. Tapi berbuatlah seperti kita tak tahu. Mereka enam orang berbedil dan mereka adalah Kempetai …”


Ujar si Datuk perlahan. Si Bungsu jadi kaget. Dia hanya baru taraf mengetahui bahwa ada orang datang. Tapi Datuk itu telah mengetahui jumlahnya. Dan mengetahui bahwa yang datang itu adalah serdadu Jepang. Dia telah menjalani latihan setahun penuh. Belajar dari binatang buas di gunung Sago. Kepandaiannya dalam mendengarkan sesuatu yang jauh sangat tajam. Tapi Datuk Penghulu ternyata punya firasat lebih tajam lagi. Bayangkan betapa tingginya ilmu Datuk itu. Diam diam si Bungsu memuji ketinggian ilmu orang tua ini.


“Biarkan tubuh Mei-mei di sana. Mereka pasti menyangka gadis itu telah mati. Hitung enam hitungan setelah ini. Kemudian melompatlah. Kita balas kejahanaman mereka,” ujar Datuk perlahan.



Begitu habis ucapannya, tiba-tiba Datuk itu memekik. Tubuhnya melenting dan tiba-tiba bergulung lenyap kedalam palunan semak empat depa sebelah kanan Si Bungsu mengikuti. Dengan mempergunakan lompat tupai yang sangat mahir, tubuhnya bergulingan ke belakang. Dan lenyap ke balik pohon buluh. Saat itu pulalah enam senjata meledak. Tapi tembakan itu menemui tempat kosong. Terdengar makian dalam bahasa Jepang.
Tentara Jepang itu, setelah sampai ke markasnya rupanya segera diperintahkan lagi oleh komandannya untuk kembali.


“Mereka pasti pulang. Dan tangkap Datuk itu atau anak muda yang bernama si Bungsu keparat itu. Dia baru saja membunuh dua orang Kempetai di pasar sebentar ini …” Ujar komandan Kempetai itu berang.


Enam orang Kempetai segera kembali ke Tarok. Dan memang benar, mereka datang persis ketika Datuk Penghulu itu sampai di sana. Mereka lalu mengendap-endap mendekati kedua orang itu. Maksudnya untuk menyergap mereka setelah dekat. Ternyata kedatangan mereka diketahui kedua orang itu.


“Datuk. Menyerahlah ..” seorang Kempetai berpangkat syo cho (sersan mayor) berteriak.


Namun yang menyahut hanyalah sepi. Dia memberi isyarat. Dan enam bedil di tangan mereka kembali menyalak. Tiga ke arah semak dimana Datuk Penghulu tadi lenyap. Tiga lagi kearah lenyapnya si Bungsu. Kedua tempat itu dirobek-robek peluru. Namun tak ada suara apa apa. Kempetai itu nampaknya sudah bertekad untuk membunuh saja kedua orang ini.


“Jahanam …” Sersan itu menyumpah.


Tetapi saat itu pula dari arah kiri mereka sebuah bayangan berkelebat. Datuk Penghulu menghambur. Seorang Hei-cho (Kopral) yang tegak paling belakang tiba-tiba melihat kehadiran Datuk itu di depannya. Dia mengangkat bedil. Namun kaki Datuk itu bekerja cepat sekali tendangan pertama mendarat di kerampang Jepang itu. Jepang itu memekik. Namun sebelum pekikannya habis tendangan kedua menghantam lehernya disusul sebuah tusukan jari tangan yang amat cepat dan amat kuat. Terdengar Jepang itu meraung.
Kedua biji matanya tercukil keluar. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sehingga ketika kelima Kempetai yang lain menoleh, yang kelihatan hanyalah bayangan tubuh Datuk itu lenyap ke dalam palunan semak. Kembali lima senjata menyalak kearah semak itu. Namun sepi. Kempetai yang satu itu meraung, matanya buta seketika. Namun raungnya tiba-tiba terhenti. Kedua tendangan Datuk itu ternyata mengakhiri penderitaannya. Sersan Mayor tadi memerintahkan untuk membuat lingkaran dengan membelakangi satu sama lain. Dengan demikian tak ada kemungkinan diserang dari belakang.
Krosaakk…!!


Terdengar semak berisik di sebelah kiri mereka. segera saja senjata mereka terarah dan memuntahkan peluru ke arah itu. Tapi begitu senjata mereka menyalak dan mereka memandang ke arah semak itu, tubuh Datuk Penghulu kembali muncul di sebelah kanan. Kini sebilah keris di tangannya. Tanpa memberi ampun, kerisnya beraksi. seorang Kempetai berpangkat Nitto-Hei (Prajurit dua) pertama-tama jadi sasaran. Dia akan memalingkan kepala melihat Datuk yang muncul tiba-tiba itu, tapi itulah gerakannya yang terakhir. Karena setelah itu lehernya hampir putus ditebas Datuk Penghulu. Sasaran berikutnya adalah prajurit di kanannya. Sebuah tendangan mematahkan rusuknya. Ketika ia melenguh, sebuah cuek belakang menghantam jantungnya. Sesuai cuek itu tubuh si Datuk melompat dan lenyap ke dalam gelapan kedua Jepang itu mati.


“Bageroooo…!! si sersan mayor berteriak berang.


Dalam waktu hanya sepuluh hitungan, tiga orang anak buahnya mati. Kini mereka jadi gugup dan tegang. Sersan mayor itu berniat untuk menarik regunya. Untuk melanjutkan menyerang membabi buta tak mungkin. Mereka memang punya bedil tapi daerah ini bukan daerah mereka, cuaca sangat gelap, satu-satunya cahaya penerangan hanyalah cahaya api bekas rumah Datuk yang terbakar itu. Itupun cahayanya sangat sedikit.
Mereka bisa saja menembak tak menentu. Tapi kedua orang itu bisa menghindar sebelum bedil meledak. Sebab mereka berada dalam kegelapan. Lagipula mereka mengenal setiap jengkal semak dan hutan bambu di kampung itu.


“Kami akan kemari lagi. Kami akan menangkap kalian. Awaslah..!!”


Seru si sersan menggertak. Lalu dia memberi isyarat pada kedua temannya untuk mengundurkan diri. Mereka mulai melangkah langkah demi langkah dengan senjata siap ditembakkan. Dari semak persembunyiannya, Datuk Penghulu melihat mereka dengan penuh dendam dan kebencian.


“Giliranmu, Bungsu..!”


Dia berseru dari tempat persembunyiannya. Begitu suaranya terdengar, begitu ketiga Kempetai itu menembaki tempat gelap tersebut. Namun Datuk ini sudah pindah tempat. Dia bergerak amat cepat. Kembali Kempetai itu menembaki tempat kosong.
Akan halnya si Bungsu, sejak tadi menonton saja dari persembunyiannya bagaimana Datuk itu membantai ketiga Jepang tersebut. Dia kagum pada gerakan silat Datuk Penghulu itu. Dan kini dia mendengar Datuk itu meminta dia bertindak. Ketiga Kempetai itu mundur terus. Selangkah, dua, tiga, empat, lima. Tak terlihat ada gerakan dari si Bungsu. Datuk Penghulu menatap terus. Dia yakin anak muda itu akan bertindak. Kempetai itu makin jauh.


“Siap-siaplah untuk lari. Kampung ini kampung setan,”


Bisik si sersan mayor pada kedua temannya. Teman-temannya dengan mata sipit yang dibesar-besarkan coba menembus kegelapan malam untuk melihat kalau-kalau kedua orang yang bersembunyi itu muncul.


“Nah sekarang lariii…!” sersan mayor itu berseru.



Kedua temannya segera balik kanan dan mulai melangkah lebar. Namun saat itu pula sedepa di depan mereka pohon-pohon bambu pada bertumbangan kejalan yang bakal mereka lalui. Tidak hanya dua tiga batang. Pohon bambu itu tumbang dalam jumlah puluhan batang. Kempetai itu jadi kalang kabut. Ada yang tertelungkup kesandung, ada yang takapere mencoba mengelak dari bambu yang rubuh seperti hujan lebat dalam gelap itu. Datuk penghulu menatap kejadian itu dengan tersenyum tipis. Si Bungsu mulai beraksi.
Ternyata dia yang membabat rumpun bambu di pinggir jalan yang akan dilalui sebagai tempat lari oleh para Kempetai.


“Bagero. Bagerooo. Bageroo. Ute Utee Utee (tembak)”


Sersan mayor itu menghardik, memerintah dan bercarut bungkang memerintahkan agar kedua anak buahnya menembak, kearah mana saja dan apa saja. Pokoknya bedil meletus. Terdengar tiga bedil menyalak. Tapi tembakan mereka tak menentu. Ada yang menghadap ke atas. Ada yang ke tanah. Sebab pada waktu menembak mereka juga harus menghindarkan diri agar tak tertimpa pohon-pohon bambo yang runtuh seperti hujan. Lalu tiba-tiba sepi. Pohon bambu tak ada lagi yang runtuh.
Ketiga Jepang itu tegak terengah-engah. Mereka tegak dalam reruntuhan pohon bambu. Yang kelihatan kini sebatas leher ke atas. Sebatas leher ke bawah ditimbuni oleh pohon bambu. Suatu saat mereka melihat sesosok tubuh di arah pangkal pohon bambu itu, tapi karena gelap tak jelas wajahnya.


“Siapa di sana!!” si sersan membentak sambil berusaha mengangkat bedilnya yang terhalang oleh pohon bambu. Kedua temannya menoleh pula ke sana.
“Saya si Bungsu. Siapa diantara kalian bernama Atto, dan berpangkat Syo-I (Letnan dua) ?” ujar si Bungsu.


Nama yang dia tanyakan itu adalah nama pimpinan regu yang senja tadi memperkosa Mei-Mei, si Upik dan Tek Ani.


“Hei Bungsu Lebih baik kau menyerah. Kalau tidak. kau bisa ditembak..,” sersan mayor itu kembali menggertak.
“Jawab pertanyaanku. Ada diantara kalian yang bernama Atto?”


Suara si Bungsu terdengar dingin, menegakkan bulu roma yang mendengar. Jepang-Jepang ini tak mengetahui siapa si Bungsu. Tak ada cerita mengenai diri anak muda itu yang nampaknya hanya bersenjatakan sebuah tongkat itu.
Si sersan mayor itu berusaha mencampakkan bambu yang menghalanginya. Kemudian bergegas ke arah si Bungsu untuk menantangnya dengan jurus karate. Namun si Bungsu sudah sampai pada puncak sabarnya. Dia melangkah dua langkah di atas pohon bambu yang rubuh setinggi pinggang itu.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 032

No comments:

Post a Comment