Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 034

Kemudian membabat bambu yang menghalangi sersan mayor tersebut. Kini sersan mayor itu bebas. Dia mengangkat bedilnya. Namun saat itulah samurai ditangan si Bungsu bekerja. Tangan Kempetai yang memegang badil itu potong keduanya. Dia meraung-raung .


“Jawab pertanyaanku. Dimana Atto!!”


Namun sersan itu bukan menjawab, dia memaki dan memerintah anak buahnya untuk menembak.


“Bageroo uteeee (tembak)” pekiknya.


Namun tak ada letusan sebuahpun. Sebab yang seorang senjatanya telah tercampak entah kemana ketika dia berusaha menghindarkan runtuhnya pohon bambu tadi. Yang satu lagi bedil memang masih di tangannya. Tapi untuk mengangkatnya ke atas untuk menembak tak mungkin. Sebab terhalang oleh pohon bambu yang menjepit tubuhnya. Saat berikutnya, suara sersan terhenti. Kepalanya belah di makan samurai si Bungsu. Perlahan si Bungsu menoleh pada kedua Kempetai yang masih tinggal.


“Kini katakan. Siapa di antara kalian yang bernama Atto?”


Dan kedua Kempetai ini ternyata juga manusia biasa, yang punya sikap amat takut mati. Begitu melihat komandannya mati dengan kepala terbelah, dan melihat mereka tak bisa selamat dari anak muda luar biasa hebat, tubuh mereka pada menggigil, yang satu malah menangis.


“Sho-I Atto ada di markas. Dialah yang memperkosa istri tet..tuan. Kami tet..tak ikut. Ampunkan kami. . .”


Si Bungsu merasa jijik pada tentara yang meminta belas kasihan itu. Dia tahu, mereka ikut dalam memperkosa keluarga Datuk Penghulu dan Mei-mei malam tadi. Dia ingin membunuhnya saat ini. Namun kedua orang itu dalam keadaan tak berdaya. Terhimpit dan terkalang oleh kedua bambu. Dan dia tak mau membunuh orang yang tak dapat melawan.
Samurainya berkelebat. Kedua Kempetai itu terpekikpekik. Tapi mereka segera menjadi malu. Ternyata samurai di tangan anak muda itu hanya membabat rumpun bambu yang menghimpit tubuh mereka. Dan tiba-tiba mereka bebas. Yang masih memegang bedil, segera menikamkan sangkur di ujung bedilnya ke perut si Bungsu yang jaraknya hanya sedepa. Namun si Bungsu lebih cepat. Dia menunduk dalam-dalam.
Kemudian…
Srep..!!
Samurainya menikam jantung si Kempetai hingga tembus ke belakang. Kempetai yang satu lagi, yang bedilnya sudah tercampak entah kemana segera mengambil langkah seribu.
Lari…

Tapi malang, dalam paniknya d ia ternyata lari ke arah rumah Datuk Penghulu yang sudah menjadi abu. Dan dia terhenti, ketika di depannya tegak sesosok tubuh. Datuk Penghulu. Dari panik, dia menjadi nekad. Dia memasang ancang-ancang karate, dan menyerang Datuk itu dengan serangan bernama reng-geri. Yaitu serangan dua kali tendangan yang amat cepat. Yang pertama mengarah ke dada yang kedua ke perut.


Malang Kempetai ini. Lawannya adalah Datuk Penghulu. Hanya dengan sedikit memiringkan tubuh, kedua tendangan itu mengenai tempat kosong. Namun Kempetai itu, yang memiliki sabuk coklat karate, segera menyerang lagi dengan tiga pukulan yang amat cepat. Yaitu pukulan Sam-Hong Tsuki yang mengarah ke kening dan dua pukulan kejantung.
Tapi Datuk Penghulu adalah guru gadang silat Kumango. Pukulan itu tidak dia tangkis, melainkan dia biarkan lewat di sisinya. Lalu dengan suatu gerakan menyamping yang amat cepat, sikunya masuk ke rusuk si Jepang. Terdengar suara berderak dari dalam. Jepang itu terhenti nafas, tapi kembali terpekik. Rusuknya mengirimkan rasa sakit yang membuat celananya basah, rusuknya patah dua buah Kemudian kaki Datuk itu menghantam lipatan lutut si Jepang. Jepang itu jatuh berlutut.


“Ini untuk laknat yang engkau berikan kepada anak dan istriku. . .” berkata begitu, kaki datuk itu menerpa tengkuk si Jepang.


Kembali terdengar suara berderak. Leher Jepang itu seperti dihantam besi. Patah…. Tubuhnya terhantar di sana. Mati… Si Bungsu yang tegak tak jauh dari sana, menjadi ngeri melihat makan tangan dan makan kaki Datuk ini. Dia menjadi ngeri melihat bagaimana Datuk ini murka.


“Ini adalah permulaan. Sudah terlalu lama saya menahan diri untuk tidak memulai perkelahian dengan penjajah jahanam ini. Tapi mulai malam ini, saya akan membunuh mereka sebanyak mungkin. Hutang nyawa harus mereka bayar dengan nyawa Demi Allah, saya akan melakukannya” Suara Datuk itu bersipongang dalam hutan bambu yang lebat itu.


Angin berembus menggeser batang-batang buluh. Menimbulkan bunyi seperti nyanyian malam. Seperti menjadi saksi atas sumpah Datuk itu. Dan sumpahnya dia buktikan. Hari-hari setelah itu, adalah hari-hari yang penuh teror bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi dan sekitarnya.
Hari sudah pagi ketika perwira piket di markas Besar balatentara Jepang di Panorama merasa curiga, sebab enam orang pasukan Kempetai yang dikirim malam tadi ke tempat Datuk Penghulu belum kembali. Perwira piket itu berpangkat Tai-i (kapten) bernama Akira. Sebelum para perwira masuk kantor dia cepat-cepat mengumpulkan regu cadangan. Kemudian memerintahkan seorang chu-I (Letnan satu) memimpin dua belas Kempetai menyusul ke tempat Datuk Penghulu.


“Saya rasa regu malam tadi dalam bahaya. Kepung tempat itu dan tangkap beberapa penduduk untuk menunjukkan dimana Datuk Penghulu . . .,” demikian isi perintahnya.


Dan chu-I itu berangkat ke Tarok menaiki sebuah truk. Truk berisi dua belas orang Kempetai itu melaju mengoyak udara pagi dengan suara menggeram-geram. Di atasnya tegak dengan kukuh kedua belas Kempetai itu. Di tangan mereka tergenggam senjata yang lengkap dengan sangkur terhunus. Truk itu mula-mula menuju ke arah stasiun keret a api. Kemudian berbelok ke arah tangsi militer. Lalu berbelok lagi kejembatan besi. Meluncur terus ke arah Tarok.
Para pedagang yang sudah keluar pagi itu, pada menepi cepat-cepat begitu melihat truk dengan lampu yang dihidupkan itu lewat. Truk dengan kap terbuka dan Serdadu Jepang tegak dengan wajah keras. Tak lama kemudian mereka sampai ke daerah kampung Tarok. Mereka membelok ke sebuah jalan kecil di antara pohon bambu yang rimbun menuju ke Padang Gamuak. Sekitar dua puluh meter masuk kepalunan bambu itu, tiba-tiba di depan sebuah gerobak yang dipenuhi batang ubi kelihatan tegak. Truk tak bisa terus. Sopirnya menyumpah-nyumpah.
Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak. Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayangan tiba-tiba melesat dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua bayang-bayang itu adalah si Bungsu dan Datuk Penghulu. Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi batang ubi untuk menghalang jalan truk. Kini mereka berada diatas truk itu. Diantara sebelas serdadu Jepang yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.


“Penjajah jahanam kalian terima pembalasan kami..”


Berkata begini, Datuk Penghulu yang baru menghambur ke atas truk itu menghantam kekiri dan ke kanan. Kempetai-kempetai yang ada di truk itu kaget melihat kehadiran kedua orang itu di atas truk mereka. Tendangan Datuk itu yang pertama mendarat di perut seorang prajurit. Tubuh prajurit itu terlipat. Matanya mendelik, mulutnya berbuih. Bukan main melinukkannya cuek itu. Teman yang di sebelahnya masih terheranheran, ketika pukulan tangan Datuk itu mendarat di hulu hatinya. Tubuhnya terhumbalang. Temannya yang berada di sisi lain dari truk itu menghunjamkan bayonetnya ke punggung Datuk Penghulu. Tapi samurai di tangan si Bungsu memutus kedua tangannya. Dia meraung.

Saat berikutnya samurai si Bungsu bekerja. Terlalu cepat untuk diikuti mata. Terlalu cepat untuk disadari oleh Kempetai-kempetai yang ada di atas truk itu. Dan pagi itu, terjadilah sebuah pembantaian yang tak mengenal ampun, sebelas orang Kempetai yang berdiri tegak diatas truk terbuka itu, tak sempat sekalipun menembakkan bedil mereka. Truk yang hanya muat untuk tempat tegak itu, tak bisa memberi keleluasaan pada para kempetai itu untuk mempergunakan bedil.


Delapan orang telah mati terbantai samurai atau kena pukulan tangan dan kaki Datuk Penghulu. Sersan yang tegak di depan sekali melompat ke atas kap truk. Dari atas dia mengangkat bedilnya. Dia bermaksud menembak si Bungsu. Tapi gerakannya dilihat oleh Datuk Penghulu yang tengah menghantam seorang kopral dengan siku tepat di tenggorokan.
Sebelum pelatuk bedil sempat dia tarik, tubuh Datuk Penghulu tiba-tiba melambung didahului pekik menyeramkan. Jarak antara dia dengan Jepang yang ada di atas atap truk itu sekitar empat depa. Dan jarak empat depa itu dia lewati dalam loncatan panjang tak lebih dari tiga detik. Yang duluan tiba adalah pukulannya.
Pukulan tangan kanannya mendarat di perut Kempetai yang tengah membidikkan bedilnya itu. Kedua tubuh mereka terjatuh ke atas kap depan. Kempetai itu duluan tegak. Tapi kaki Datuk Penghulu menghajar pusarnya dari bawah. Dia terlambung ke tanah persis di depan truk. Ketika akan bangkit, saat itu pula tubuh Datuk Penghulu terjun. Kakinya mendarat di tengkuk si Jepang. Terdengar tulang patah. Dan Kempetai itu mati Pada saat yang sama, si Bungsu menyelesaikan tugasnya di belakang. Kempetai kesepuluh mati dengan leher putus. Demikian cepatnya keadaan itu berlangsung.


Sehingga, dari saat truk itu berhenti, sampai pada Kempetai yang kesepuluh orang itu mati, waktunya barangkali hanya tiga menit. Memang terlalu fantastis. Namun begitulah yang terjadi. Si Bungsu pembenci Jepang nomor satu. Dalam usahanya mencari Kapten Saburo Matsuyama untuk membalaskan dendam keluarganya, dia menyapu habis set iap Jepang yang menghalanginya. Dan pagi ini, kembali samurainya bekerja terlalu cepat bagi Jepang-Jepang tersebut. Sedangkan Datuk penghulu, yang selama ini terlalu sabar dengan menyimpan-nyimpan ilmunya, kini setelah anak dan istrinya mati ternista di tangan Jepang, membalaskan dendamnya dengan segenap kebencian.
Empat orang Kempetai mati kena makan tangan dan kakinya pagi itu. Dan saat itulah chu-I (Letnan satu) yang memimpin regu penyergapan itu menyadari bahaya yang mengancamnya. Sejak tadi dia duduk di sebelah sopir. Dia hanya mendengar suara hingar bingar di belakangnya. Dan tiba-tiba di kap di depannya ada tubuh yang jatuh. Tubuh itu tak lain tubuh Datuk Penghulu dengan seorang prajurit. Ketika prajurit itu mati, dia baru menyadari bahaya mengancam. Segera saja dia mengeluarkan pistolnya. Kemudian dari tempat duduknya dia membidik ke arah kepala Datuk Penghulu di luar sana. Dia bermaksud menembak Datuk itu melalui kaca depan.


Namun subuh itu memang merupakan subuh berlumur darah bagi balatentara Jepang di kota Bukittinggi. Sebab, melalui kaca yang membatasi ruangan sopir dengan bahagian belakang truk si Bungsu yang tegak di bahagian belakang sekali dari truk itu, melihat pistol yang sedang dibidikkan kearah Datuk Penghulu di depan sana.
Untuk berlari mengejar tak mungkin lagi. Maka satu-satunya jalan tercepat adalah dengan melemparkan samurai di tangannya. Dengan mengumpulkan segenap tenaga anak muda ini tiba-tiba melemparkan samurainya. Samurai itu terbang seperti kilat. Ujungnya menghantam kaca belakang truk. Menembusnya, dan sedetik sebelum pistol di tangan chu-I itu meledak, samurai tersebut menghujam di tengkuknya.
Pistolnya meledak juga. Pelurunya memecah kaca depan, tapi arahnya sudah tak menentu. Datuk Penghulu terkejut, dia menoleh, dan melihat chu-I itu terkulai mati. sopir truk itu menjadi kecut. Dia menghidupkan mesin truk dan menginjak gas. Namun Datuk Penghulu lebih cepat lagi. Dia membuka pintu truk tersebut dan menyeret sopirnya turun. Truk itu terhenti tiba-tiba. Saat itu si Bungsu sampai ke depan.


“Jangan bunuh dia.” si Bungsu berseru ketika Datuk itu sudah siap mengirimkan pukulan ke jantung Jepang tersebut.
“Dimana Sho-i Atto yang memimpin penyergapan malam tadi “? Suara si Bungsu mendesis tajam.


Sopir truk tak segera menjawab. Si Bungsu merenggutkan samurai dari tengkuk cho-I yang telah mati di sebelah sopir tadi. Di sepanjang mata samurai itu masih meleleh darah. Sopir itu tiba-tiba menjadi ngeri bukan main. Dia telah mendengar dari bisik-bisik temannya, bahwa ada seorang anak muda yang sangat mahir dan sangat cepat dalam mempergunakan samurai. Kini anak muda itu ada di depannya. Tanpa dapat ditahan, tubuhnya jadi menggigil.



“Sebutkan dimana Atto sekarang . . .,” suara si Bungsu mendesis lagi.
“A. . . .apakah saya akan tuan bebaskan, kalau saya sebutkan di mana dia?” Jepang itu coba mencari jalan selamat dari lobang jarum ini.


Namun tiba-tiba Datuk Penghulu menamparnya. Tamparan Datuk yang tengah berang ini bukan main dahsyatnya. Gigi sopir itu copot dua buah.


“Sebutkan dimana Atto atau kami bunuh waang sekarang …..” suara Datuk itu mengancam.
“Ya . Ya Tapi berjanjilah bahwa kalian akan membebaskan saya. . . .”


Suaranya terputus. Karena kaki Datuk Penghulu terangkat. Lututnya menghantam selangkang Jepang itu. Mata Jepang itu terbeliak. Dan Datuk Penghulu melepaskan pegangannya. Tubuh Jepang itu jatuh ke tanah.
Dia memang sudah mendapatkan yang dia inginkan. Suatu kebebasan. Datuk itu berkata perlahan melihat tubuh Jepang yang tak berkutik itu.




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 033

No comments:

Post a Comment