“Atto yang engkau tanyakan itu pasti
berada di markasnya buyung. Dan kita akan mendapatkan dia. Dia harus membayar
hutangnya. Hutang darah dibayar darah. Hutang nyawa harus dia bayar dengan
nyawanya. Nah, cepat kita menghindarkan dari sini ….”
Sambil berkata begitu, Datuk Penghulu
mengangkat tubuh sopir tersebut. Kemudian melemparkannya ke atas truk bahagian
belakang. Si Bungsu mengangkat tubuh sersan yang mati kena hantam di depan
truk. Juga meletakkannya di bak belakang bersama sebelas mayat lainnya. Datuk
Penghulu mengambil jerigen berisi minyak yang terikat di luar truk itu.
Kemudian menyerakkannya pada mayat-mayat di belakang. Si Bungsu membuka kap
truk itu. Memecah karburatornya. Bensin meleleh keluar.
Datuk Penghulu menyulut korek api. Kemudian melemparkannya ke mayat yang telah disiram bensin tersebut. Api segera saja menyala dengan marak. Melalap bangkai-bangkai Jepang itu. Kemudian mereka menghilang ke dalam palunan hutan bambu. Meninggalkan truk dan bangkai-bangkai Jepang itu dimakan api. Tak berapa lama kemudian, subuh buta itu dipecahkan oleh dentuman dahsyat data truk itu meledak berkeping-keping. Menghancurkan dan menghamburkan bangkai hangus menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Hari itu pecah kabar di kota Bukittinggi tentang pembantaian tentara Jepang tersebut. Kempetai dan pasukan-pasukan Jepang memeriksa dan memasuki seluruh hutan bambu di Tarok dan Padang Gamuak.
Datuk Penghulu menyulut korek api. Kemudian melemparkannya ke mayat yang telah disiram bensin tersebut. Api segera saja menyala dengan marak. Melalap bangkai-bangkai Jepang itu. Kemudian mereka menghilang ke dalam palunan hutan bambu. Meninggalkan truk dan bangkai-bangkai Jepang itu dimakan api. Tak berapa lama kemudian, subuh buta itu dipecahkan oleh dentuman dahsyat data truk itu meledak berkeping-keping. Menghancurkan dan menghamburkan bangkai hangus menjadi serpihan-serpihan tak berbentuk. Hari itu pecah kabar di kota Bukittinggi tentang pembantaian tentara Jepang tersebut. Kempetai dan pasukan-pasukan Jepang memeriksa dan memasuki seluruh hutan bambu di Tarok dan Padang Gamuak.
Mereka mencari tempat persembunyian
Datuk Penghulu dan si Bungsu. Sampai sore seluruh rimba bambu itu mereka
periksa dengan lebih dari lima puluh tentara dan tiga ekor anjing pelacak.
Namun kedua orang yang mereka cari tak kelihatan batang hidungnya. Bahkan dekat
rumah Datuk Penghulu yang terbakar itu pun tak kelihatan ada bekas kuburan.
Syo-iAtto yang pada malamnya memimpin penyergapan dan memperkosa
perempuan-perempuan itu menjadi penunjuk jalan.
Dari dia komandan Garnizun Jepang di Bukittinggi mendapatkan kabar bahwa setidak-tidaknya ada dua orang yang mati malam sebelumnya. Yaitu istri dan anak Datuk Penghulu.Setelah tak berhasil mencari jejak Datuk penghulu, kini Kempetai mulai memeriksa seluruh tanah perkuburan kaum di kota itu. Mereka mencari kuburan yang baru digali. Kalau ada yang baru maka diselidiki, kuburan siapa itu.
Mereka berharap menemukan kuburan anak dan istri Datuk Penghulu. Dengan menemukan kuburan itu, mereka berharap dapat mencium jejak kedua orang tersebut. Penjagaan dan pemeriksaan di seluruh tempat dalam kota dilakukan dengan ketat dan keras. Setiap kendaraan, motor, pedati, bendi, gerobak dan tempattempat yang mencurigakan diperiksa dengan cermat.
Dari dia komandan Garnizun Jepang di Bukittinggi mendapatkan kabar bahwa setidak-tidaknya ada dua orang yang mati malam sebelumnya. Yaitu istri dan anak Datuk Penghulu.Setelah tak berhasil mencari jejak Datuk penghulu, kini Kempetai mulai memeriksa seluruh tanah perkuburan kaum di kota itu. Mereka mencari kuburan yang baru digali. Kalau ada yang baru maka diselidiki, kuburan siapa itu.
Mereka berharap menemukan kuburan anak dan istri Datuk Penghulu. Dengan menemukan kuburan itu, mereka berharap dapat mencium jejak kedua orang tersebut. Penjagaan dan pemeriksaan di seluruh tempat dalam kota dilakukan dengan ketat dan keras. Setiap kendaraan, motor, pedati, bendi, gerobak dan tempattempat yang mencurigakan diperiksa dengan cermat.
Tapi kedua orang itu lenyap seperti
embun di siang hari. Tapi kemanakah lenyapnya kedua orang itu ? Dan kemana pula
mayat-mayat si Upik dan ibunya mereka sembunyikan? Ternyata kedua orang itu tak
pergi jauh. Mereka bersembunyi di sebuah surau kecil di kampung Tarok itu juga.
Entah karena apa, surau itu ternyata tak diperhatikan oleh Jepang. Padahal
belasan tentara Jepang lalu lalang di depannya.
Mungkin karena surau itu letaknya di pinggir jalan. Atau mungkin karena Tuhan memang melindungi mereka, surau itu tak sempat diperiksa. Dibahagian belakang surau itu ada pekuburan yang terlindung di balik pohon pisang. Subuh tadi kedua mayat anak dan istri Datuk Penghulu telah mereka kuburkan di belakang surau itu. Mereka dibantu oleh garin di surau tersebut.
Mungkin karena surau itu letaknya di pinggir jalan. Atau mungkin karena Tuhan memang melindungi mereka, surau itu tak sempat diperiksa. Dibahagian belakang surau itu ada pekuburan yang terlindung di balik pohon pisang. Subuh tadi kedua mayat anak dan istri Datuk Penghulu telah mereka kuburkan di belakang surau itu. Mereka dibantu oleh garin di surau tersebut.
Ketika balatentara Jepang memeriksa
seluruh isi kota, kedua orang itu naik ke loteng surau itu. Di atas loteng itu
pula Mei-Mei terbaring. Loteng surau itu cukup lebar untuk menampung enam orang
dewasa. Jalan naik dan turunnya dari belakang. Yaitu dari arah kuburan. Di
balik tanah perkuburan kecil itu terdapat hutan bambu. Dan di hutan bambu itu
sejak tadi puluhan tentara Jepang telah mondar-mandir bersama anjing
pelacaknya.
Kedua mereka mendengarkan pencarian itu
dengan tegang dari atas pagu di surau itu. Si Bungsu tiba-tiba mendengar suara
Mei-mei memanggil. Gadis itu dibaringkan di atas sehelai tikar dan diselimuti
dengan kain panjang. Dia telah diberi obat-obatan yang dibuat oleh si Bungsu.
“Uda. . . .”
“Mei-mei. . . ,” si Bungsu mendekat dan memegang tangan gadis itu dengan lembut.
“Uda. . .”
“Ya sayang. . .”
“Mana Bapak. . .?”
“Mei-mei. . . ,” si Bungsu mendekat dan memegang tangan gadis itu dengan lembut.
“Uda. . .”
“Ya sayang. . .”
“Mana Bapak. . .?”
Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu,
kemudian mengangguk perlahan. Datuk itu mendekati mereka.
“Saya disini nak. . .”
“Pak, . . . maafkan saya. Saya tidak bisa membantu ibu dan Upik. . .”
“Tenanglah nak. Jangan menyesali dirimu. Memang janjian mereka sudah begitu…”
“Tapi. . . harusnya saya bisa membantu mereka.”
“Jangan dipikirkan juga nak. . .”,
“Pak, . . . maafkan saya. Saya tidak bisa membantu ibu dan Upik. . .”
“Tenanglah nak. Jangan menyesali dirimu. Memang janjian mereka sudah begitu…”
“Tapi. . . harusnya saya bisa membantu mereka.”
“Jangan dipikirkan juga nak. . .”,
Mei-mei menangis.
“Terima kasih atas budi bapak selama
ini. Menompangkan diri saya, mengajarkan saya silat. Memberikan saya kasih
sayang, seperti bapak menyayangi si Upik. Kasih sayang yang tak pernah saya
terima dari ibu bapak saya. . .”
“Tenanglah nak. . .jangan itu dipikirkan . .”
“Saya memikirkannya karena saya orang cina. Selama ini orang cina selalu disisihkan oleh orang Melayu.”
“Mei-mei, jangan begitu sayang. . .” si Bungsu berkata perlahan.
“Tenanglah nak. . .jangan itu dipikirkan . .”
“Saya memikirkannya karena saya orang cina. Selama ini orang cina selalu disisihkan oleh orang Melayu.”
“Mei-mei, jangan begitu sayang. . .” si Bungsu berkata perlahan.
Mei-mei memegang tangan si Bungsu.
“Uda. . . benarkah uda mencintai saya. .
. .?”
“Kenapa tidak. Saya seorang lelaki, dan saya tak pernah berbohong dengan ucapan saya.”
“Uda, tidak menyesal dengan keputusan uda ?”
“Uda, saya tak kuat lagi. Maut sudah menjangkaukan tangannya pada saya. . .”
“Mei-mei, tenanglah…” tapi meskipun dia berkata begitu, si Bungsu merasakan bulu tengkuknya tetap saja merinding mendengar kata-kata gadis itu.
“Dengarlah uda. Dengarlah. . .jangan dipotong dulu bicara saya.” Gadis itu berhenti.
“Kenapa tidak. Saya seorang lelaki, dan saya tak pernah berbohong dengan ucapan saya.”
“Uda, tidak menyesal dengan keputusan uda ?”
“Uda, saya tak kuat lagi. Maut sudah menjangkaukan tangannya pada saya. . .”
“Mei-mei, tenanglah…” tapi meskipun dia berkata begitu, si Bungsu merasakan bulu tengkuknya tetap saja merinding mendengar kata-kata gadis itu.
“Dengarlah uda. Dengarlah. . .jangan dipotong dulu bicara saya.” Gadis itu berhenti.
Nampaknya seperti mengumpulkan sisa
tenaganya.
Si Bungsu jadi gugup, Dia menoleh pada Datuk Penghulu, kemudian berbisik. Datuk Penghulu bergegas turun dari loteng surau itu. Kini mereka tinggal berdua.
Si Bungsu jadi gugup, Dia menoleh pada Datuk Penghulu, kemudian berbisik. Datuk Penghulu bergegas turun dari loteng surau itu. Kini mereka tinggal berdua.
“Uda. . . masih ingat Kempetai Atto,
yang menistai diriku. . . ?”
“Saya akan selalu mengingatnya Mei-mei Saya akan mencarinya. Akan saya cencang tubuhnya. . . akan saya . . . ,”
“Saya akan selalu mengingatnya Mei-mei Saya akan mencarinya. Akan saya cencang tubuhnya. . . akan saya . . . ,”
Mei-mei menggeleng. Ia memegang tangan
si Bungsu.
Menariknya. si Bungsu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada wajah Mei-mei.
Menariknya. si Bungsu menunduk. Mendekatkan wajahnya pada wajah Mei-mei.
“Tidak Uda, tidak Itulah yang sangat
saya takutkan. Jika engkau mencarinya, berarti engkau mencari bahaya. Seperti
hari ini. Kalian diancam bahaya. Lupakanlah dendammu itu. Lupakanlah apa yang
dia perbuat pada diriku. Saya tak ingin Uda terancam bahaya. Apa yang telah
terjadi pada diriku tak lagi bisa diperbaiki. saya tak ing in Uda terancam
bahaya.
Kematian Atto takkan mencuci noda yang kuterima. Jangan engkau cari dia Uda. Jangan engkau libatkan dirimu dalam bahaya. . .jangan . . saya tak mau Uda binasa. . ., U.. uda. . .”
“Mei-mei . . .”
Kematian Atto takkan mencuci noda yang kuterima. Jangan engkau cari dia Uda. Jangan engkau libatkan dirimu dalam bahaya. . .jangan . . saya tak mau Uda binasa. . ., U.. uda. . .”
“Mei-mei . . .”
Saat itu Datuk Penghulu naik lagi dia
bersama dengan seorang imam yang ditemuinya surau ketika akan sembahyang Ashar.
Mereka mendekat kepada kedua anak muda itu. Mata Mei-mei terpejam.
“Mei-mei. …. .dengarlah. Ini pak Imam.
Kita akan menikah disini. . .”
Si Bungsu berkata perlahan ke telinga
gadis itu. Mei-mei tersenyum sebelum matanya terbuka. Senyumnya senyum lelah.
Senyumnya senyum yang amat letih dan kalah. Dimatanya tergenang manik-manik air
yang lambat-lambat meleleh turun.
“Benarkah . . .benarkah Uda mau
mengambil saya jadi istri? Setulus hati menikahi anak cina yang sepanjang
hidupnya dilumuri dosa ini? Benarkah uda. . . .?”
“Demi Allah yang kusembah, aku mencintaimu sayang. . . .”
“Uda . .. saya bahagia. . .engkau menjadi suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. . .”
“Demi Allah yang kusembah, aku mencintaimu sayang. . . .”
“Uda . .. saya bahagia. . .engkau menjadi suamiku. Aku mengabdikan diriku menjadi istrimu. . .”
Mata gadis itu terpejam. Si Bungsu
menoleh pada Imam dan Datuk Penghulu, kemudian mengangguk. Imam itu
mengingsutkan duduknya.
“Jawab pertanyaan saya ini anak muda.
Apakah engkau bersedia menerima Mei-mei menjadi istrimu, menjaga dan membelanya
dalam sakit dan senang. Akan membahagiakannya dan tidak akan berbuat aniaya
padanya. . . .?”
“Saya menerimanya dengan setulus hati saya.” Jawab si Bungsu.
“Saya menerimanya dengan setulus hati saya.” Jawab si Bungsu.
Imam itu menoleh Mei-mei. Kemudian berkata
:
“Apakah engkau bersedia menerima pemuda
ini menjadi suamimu dan berjanji akan mengabdikan dirimu padanya, dalam sakit
dan senang dan akan tabah menerima setiap cobaan?” Gadis itu tak menjawab.
Matanya masih terpejam. Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.
“Jawablah sayang..” Mei-mei tak menjawab.
“Jawablah dengan mengangguk kalau engkau setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju..”
“Jawablah sayang..” Mei-mei tak menjawab.
“Jawablah dengan mengangguk kalau engkau setuju, atau menggeleng kalau engkau tak setuju..”
Imam itu berkata perlahan. Namun Mei-mei
tak menjawab. Tak menggeleng. Tak pula mengangguk. Datuk Penghulu berdetak
hatinya. Dia mengulurkan tangan. Meraba leher Mei-mei. Meraba nadi tangannya.
“Innalillahi wa Inalillahi rojiun”,
desisnya perlahan.
Si Bungsu terpana. Terpaku. Kemudian
suaranya seperti berbisik-bisik memanggil nama Mei-mei.
“Mei-mei….. Mei-mei…”
Tapi gadis itu memang sudah berpulang ke
Khaliknya. Seulas senyum masih membayang di bibirnya. Datuk Penghulu menghapus
air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Betapapun jua, dia sangat
menyayangi gadis ini. Gadis yang telah dianggap sebagai anak kandungnya. Yang
sepermainan dan sayang menyayangi dengan si Upik anaknya.
Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia mencurahkan sayang, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Mei-mei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu. seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
Malam tadi si Upik meninggal. Dia berharap Mei-mei lah tempat dia mencurahkan sayang, pengganti anaknya. Ada sedikit hartanya, dan itu semua akan dia serahkan pada Mei-mei. Dia akan mengangkat gadis ini sebagai anaknya. Tapi kini, Tuhan ternyata menentukan lain dari rencana yang dia buat. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Si Bungsu masih termenung. Menatap wajah gadis itu. seperti masih terngiang di telinganya ucapan Mei-mei yang terakhir :
“Uda saya… bahagia engkau suamiku.. dan
aku mengabdikan diriku menjadi istrimu,”
Rupanya gadis itu telah melafazkan akad
nikahnya sebelum Imam datang. Dia sadar Tuhan akan memanggilnya. Kiranya Tuhan
pula yang menyuruhnya untuk melafazkan ucapannya yang terakhir itu. Tiba-tiba
si Bungsu berdiri.
“Jepang jahanam. Kubunuh kalian. Demi
Allah, saya akan membunuh kalian sebanyak yang bisa saya lakukan”
Habis berkata dia menyambar samurainya
yang terletak di lantai. Kemudian bergegas turun. Namun Datuk Penghulu
mencegahnya.
“Jangan memperlihatkan diri saat ini
Buyung.
Di jalanan berkeliaran ratusan serdadu Jepang..”
“Persetan . .saya akan membunuh mereka…”
Di jalanan berkeliaran ratusan serdadu Jepang..”
“Persetan . .saya akan membunuh mereka…”
Dia berbalik untuk turun. Tapi saat itu
pula tangan Datuk Penghulu menghantam tengkuknya. Anak muda itu terkulai, dia
berusaha memutar wajah menatap Datuk Penghulu, sinar matanya memancarkan rasa
sakit dan heran, kenapa Datuk itu sampai berbuat demikian. Kemudian dia jatuh
pingsan. Imam yang ada di sana itu juga menatap heran bercampur terkejut atas
sikap Datuk Penghulu.
“Kenapa Datuk pukul dia?”
Datuk Penghulu menarik nafas panjang
sebelum menjawab.
“Sudah terlalu banyak saya kehilangan
Pak Imam. Malam tadi anak dan istri saya. Sebentar ini gadis ini pula. Gadis
yang telah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kini, kalau saya biarkan dia
mengamuk diluar sana, mungkin dia akan bisa membunuh sepuluh atau dua puluh
Jepang dengan kemahirannya mempergunakan samurai. Tapi setelah itu, betapapun
jua peluru jauh lebih unggul dan lebih ampuh dari samurai di tangannnya.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 034
No comments:
Post a Comment