Bagaimana hebatnya sekalipun, Saya tak
mau kehilangan dirinya. Dia sudah banyak berjasa pada bangsanya. Telah banyak membunuh
Jepang yang merampok dan memperkosa rakyat. Meskipun dia tak menyadari jasanya
itu, karena dia berbuat itu hanya untuk membela diri dan membalaskan dendam
keluarganya. Tapi Indonesia banyak berhutang padanya. Saya tak mau dia mati
terlalu cepat. Masih banyak hal-hal besar yang bisa dia lakukan daripada harus
mati cepat-cepat dia pelindung orang yang lemah…”
Imam itu terdiam mendengarkan keterangan
Datuk penghulu. Kemudian menoleh pada mayat Mei-mei.
“Kasihan gadis ini.. dia meninggal
sebelum sempat merasakan kebahagiaan,” Kata Imam itu perlahan.
“Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia. Yaitu di saat dia merawat si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta, maut datang menjemput Mei-mei.”
“Ya. Sepanjang hidupnya, yang dia rasakan hanyalah penderitaan. Ada saat-saat di mana dia merasa bahagia. Yaitu di saat dia merawat si Bungsu yang sedang luka. Saya sudah mengetahui sejak lama, bahwa kedua anak muda ini saling mencintai. Ternyata ketika mereka telah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta, maut datang menjemput Mei-mei.”
Mayat Mei-mei kelihatan tetap cantik,
meski wajahnya pucat. Senyum tipisnya seakan berkata bahwa dia rela pergi setelah
mengetahui bahwa si Bungsu juga mencintainya. Sementara si Bungsu terbaring
sehasta di sampingnya.
“Bila kita kuburkan mayat Mei-mei..?”
Imam itu bertanya perlahan.
“Kalau tak ada patroli, nanti malam kita kebumikan.” jawab si Datuk.
“Tapi siapa yang akan memandikan jenazahnya?”
“Pak Imam tolonglah memanggil beberapa penduduk sekitar sini. Tek Munah, Tek Niar dan Amai Zainab. Katakan pada mereka apa yang telah terjadi. Minta mereka untuk datang seperti Sholat berkaum malam nanti kemari. Bawakan juga kain kapan dan bunga rampai. juga tolong katakan pada Pak Bidin dan PakTamam untuk datang membantu menggali pusara…”
“Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?”
“Jika itu terjadi, hanya ada dua kemungkinan pak Imam. Membunuh atau dibunuh. Hanya berusahalah untuk tidak menimbulkan kecurigaan ..”
“Ya.Ya. Saya akan berhati-hati. . lebih baik saya turun sekarang. . .”
“Ya. Saya rasa juga begitu. Kalau kemari nanti tolong bawakan makanan.”
“Ya. Akan saya bawakan. Tunggulah disini. . ..”
“Kalau tak ada patroli, nanti malam kita kebumikan.” jawab si Datuk.
“Tapi siapa yang akan memandikan jenazahnya?”
“Pak Imam tolonglah memanggil beberapa penduduk sekitar sini. Tek Munah, Tek Niar dan Amai Zainab. Katakan pada mereka apa yang telah terjadi. Minta mereka untuk datang seperti Sholat berkaum malam nanti kemari. Bawakan juga kain kapan dan bunga rampai. juga tolong katakan pada Pak Bidin dan PakTamam untuk datang membantu menggali pusara…”
“Ya. Ya. Saya akan mengerjakan semua pesan Datuk. Tapi bagaimana kalau tentara Jepang yang berkeliaran itu sampai mengetahui bahwa kita berada disini ?”
“Jika itu terjadi, hanya ada dua kemungkinan pak Imam. Membunuh atau dibunuh. Hanya berusahalah untuk tidak menimbulkan kecurigaan ..”
“Ya.Ya. Saya akan berhati-hati. . lebih baik saya turun sekarang. . .”
“Ya. Saya rasa juga begitu. Kalau kemari nanti tolong bawakan makanan.”
“Ya. Akan saya bawakan. Tunggulah disini. . ..”
Imam itu bergerak turun. Pada saat yang
sama, si Bungsu mulai sadar diri. Dia
masih merasakan kepalanya berdenyut bekas dihantam Datuk Penghulu. Sebenarnya
dia sudah sadar agak lama. Hanya saja dia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia
mendengar pembicaraan terakhir antara Datuk Penghulu dengan Imam itu. Ketika
dia bangkit, dia terpandang pada mayat Mei-mei. Kemudian dia memandang pada
Datuk Penghulu.
“Maafkan saya buyung. Mei-mei berkata
benar. Bukankah dia berpesan padamu, agar engkau tak mencari si Atto, tidak
lagi melibatkan diri dalam perkelahian? Dia menginginkan keselamatanmu. Dan dia
mengharapkan itu dikala ajalnya akan datang. Tak ada salahnya engkau menuruti
pesan orang yang akan meninggal dunia, apalagi orang yang amat mencintai
dirimu…”
Si Bungsu menarik nafas. Lalu duduk
disisi mayat Mei-mei. Manatap wajah mayat itu diam-diam. Datuk Penghulu
memperhatikan dengan sudut mata.
“Secara hakikat, kalian telah menjadi suami
isteri.”
Datuk Penghulu berkata perlahan. Si
Bungsu menoleh padanya.
“Ya. Kalian telah sama-sama berikrar
untuk jadi suami isteri. Ikrar yang suci dan ikhlas itu saja sudah merupakan
suatu ikatan. Meskipun belum disahkan oleh kadi dan tak ada saksi. Namun pada
mulanya, dahulu kala lembaga pernikahan belum ada. Dia hanya ada setelah Islam
atau agama dikenal manusia. Sebelum agama turun ke muka bumi, sebelum lembaga
pernikahan seperti sekarang dikenal manusia, maka pernikahan dilangsungkan secara
apa adanya, sementara yang jadi saksi bisa manusia, bisa pula tak ada saksi.
Tetapi yang jadi kadinya secara hakikat adalah Tuhan”
Si Bungsu masih tetap diam mendengar
ucapan Datuk Penghulu ini. Sementara itu, di luar hari merangkak memasuki
malam. Di langit guruh terdengar menderam-deram. Angin bersuit-suit. Tanpa
mereka sadari, Imam yang tadi akan menikahkan si Bungsu dan Mei-mei sudah cukup
lama berlalu.
Adalah si Bungsu yang pertama menegakkan kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau, dalam kesepian yang kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa aman dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab dengan demikian Jepang yang mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Mei-mei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak demikian halnya dengan si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam kesunyian di loteng surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup lebih dari setahun bersama binatang-binatang buas di belantara Gunung Sago, kini mencium bahaya adanya yang tersembunyi.
Adalah si Bungsu yang pertama menegakkan kepala. Dalam geram guruh dan suitan angin di luar surau, dalam kesepian yang kelam itu, dia merasakan sesuatu yang ganjil. Mereka sebenarnya harus merasa aman dengan guruh dan angin ribut itu. Apalagi kalau hujan sempat turun. Sebab dengan demikian Jepang yang mencari mereka tentunya menarik diri ke posnya dan mereka dengan aman bisa menguburkan jenazah Mei-mei.
Kemudian dengan aman pula bisa melarikan diri dari kepungan tentara-tentara Jepang itu. Namun tidak demikian halnya dengan si Bungsu. Ada firasat lain yang membuat hatinya tak enak dalam kesunyian di loteng surau kecil itu. Nalurinya yang tajam, yang terbiasa mencium marabahaya, yang telah terlatih ketika hidup lebih dari setahun bersama binatang-binatang buas di belantara Gunung Sago, kini mencium bahaya adanya yang tersembunyi.
“Ada apa?” Datuk Penghulu bertanya
melihat perobahan air muka anak muda itu.
Si Bungsu tak segera menjawab. Dia masih
tetap duduk di dekat mayat Mei-mei. Namun matanya berkilat aneh. Wajahnya jadi
tegang.
“Kita terperangkap. . . .,” katanya
perlahan.
Datuk Penghulu menegakkan kepala.
“Perangkap ?” desisnya sambil coba
menangkap suara-suara yang menyelingi suitan angin dan gemuruh guruh di luar
surau.
Namun dia tak menangkap suara apa-apa.
Tapi dia percaya pada anak muda ini. Dia sudah beberapa kali membuktikan bahwa
indera dan naluri anak muda didepannya itu amat tajam. Datuk itu segera
teringat pada Imam yang turun tadi. Apakah Imam itu mengkhianati mereka?
Ternyata Jepang itu memang mengetahui persembunyian mereka dari Imam tersebut.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama jadi mata-mata Jepang, melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu muncul di rumahnya, dia jadi terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh enam orang Serdadu Jepang dengan bedil dan bayonet terhunus.
Ketika Datuk Penghulu membawa Imam itu naik sore tadi, seorang penduduk pribumi yang telah lama jadi mata-mata Jepang, melihat mereka. Dia segera saja melaporkannya kepada seorang Letnan yang berada tak jauh dari sana. Dan Letnan itu menanti di rumah si Imam. Begitu Imam itu muncul di rumahnya, dia jadi terkejut. Di ruang depan rumahnya sudah berkumpul dua anak gadisnya dan istrinya. Mereka di kawal oleh enam orang Serdadu Jepang dengan bedil dan bayonet terhunus.
“Nah, kini katakan cepat siapa yang ada
di surau itu pak imam.?”
Letnan Jepang itu segera saja buka suara
begitu dia masuk. Imam itu jadi pucat. Namun rasa nasionalnya yang tebal
menolak untuk membuka rahasia.
“Tak ada siapa-siapa. Di sana hanya
seorang perempuan yang akan sembahyang…”
“Apakah tak ada orang lain?”
“Tak ada. Boleh lihat kesana.”
“Apakah tak ada orang lain?”
“Tak ada. Boleh lihat kesana.”
Imam itu berkata pasti. Sebab dia tahu,
loteng surau itu dari bawah kelihatannya hanya terbuat dari bambu. Padahal
loteng itu berlapis dua. Bahagian atasnya terbuat dari papan. Garin serta
penjaga mesjid lainnya tidur disana. Jalan naik ke atas berada di bahagian
belakang, tersembunyi dari pandangan orang.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan, tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di pipi si Imam. Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya berdarah. Istri dan anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang tersebut.
Letnan itu tak mengulangi pertanyaan, tapi tangannya langsung bekerja. Sebuah tamparan mendarat di pipi si Imam. Demikian kuatnya tamparan itu, sehingga Imam itu terpelanting dan mulutnya berdarah. Istri dan anak-anaknya terpekik dan mulai menangis. Imam itu menatap dengan penuh kebencian pada Jepang-Jepang tersebut.
“Jahanam. Kalian takkan selamat di
tangan negeri ini . . .” desisnya.
Letnan itu menggerakkan kaki. Ujung
sepatunya yang keras mendarat di dagu Imam tersebut. Kembali Imam ini
terpelanting. Kali ini giginya copot beberapa buah. Istrinya memburu dan
memeluknya. Ketika anak gadisnya juga mendekat. Letnan itu menyambar tangannya.
Gadis itu terpekik dan meronta. Tapi Letnan itu merenggut pakaiannya hingga
robek.
“Nah, Imam, bicaralah yang sebenarnya.
Kalau tidak, anakmu ini akan kubawa ke kamar ..” Ujar Letnan itu menyeringai.
Imam itu melompat bangkit ingin menghantam letnan tersebut. Tapi sebuah
tendangan kembali membuat dia terjajar.
“Hmm Baik. Kalau kau tak mau buka suara,
saya akan menikmati anakmu ini.”
Si Letnan lalu menyeret gadis berusia
enam belas tahun itu ke bilik, Akhirnya Imam itu tak bisa berbuat lain dari
pada harus mengaku. Dia berharap agar kedua orang yang ada di loteng surau itu
menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Dia berharap agar kedua mereka segera
turun dan melarikan diri. Dia terpaksa mengakui bahwa kedua buronan yang di
cari Jepang itu berada di loteng surau itu. Jalan ini benar-benar dia lakukan
dengan sangat terpaksa. Orang tua mana yang tak menginginkan keselamatan
anaknya?
Si Letnan memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam yang ada di rumah ini.
Kedelapan Kempetai itu segera menuju ke surau tersebut. Kedatangan mereka inilah yang dapat dirasakan oleh naluri si Bungsu.
Si Letnan memang tak jadi membawa gadis itu ke kamar. Dia memberi instruksi kepada delapan orang Kempetai yang ada diluar untuk mencek kebenaran ucapan si Imam. Dia juga memerintahkan untuk menangkap mereka. Kalau ternyata laporan imam ini tak benar, maka dia akan melanjutkan rencananya menyelesaikan anak gadis Imam yang ada di rumah ini.
Kedelapan Kempetai itu segera menuju ke surau tersebut. Kedatangan mereka inilah yang dapat dirasakan oleh naluri si Bungsu.
“Kita harus meninggalkan surau ini. . .
. .,” kata Datuk Penghulu.
“Tapi bagaimana dengan Mei-mei.” ujar si Bungsu. Datuk Penghulu menarik nafas.
“Terpaksa kita tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat. . . .”
“Tapi bagaimana dengan Mei-mei.” ujar si Bungsu. Datuk Penghulu menarik nafas.
“Terpaksa kita tinggalkan nak. Tapi yakinlah Jepang takkan menganiaya mayatnya. Kita hanya sedih tak bisa mengurus mayatnya sebagaimana yang kita kehendaki. Namun mayat akan dikuburkan. Mungkin oleh Jepang, mungkin oleh penduduk yang disuruh Jepang. Percayalah. Kini mari kita menghindar dari surau ini sebelum terlambat. . . .”
Si Bungsu menatap pada mayat Mei-mei.
Tanpa dapat dia tahan, air matanya mengenang di pelupuk matanya.
“Semasa hidupmu, kita jarang bersama.
Ketika engkau meninggal pun, aku terpaksa meninggalkan jasadmu. Kita memang
orang-orang yang bernasib malang Mei-mei. Kudoakan semoga engkau bahagia
ditempatmu yang baru. Jika di dunia jasadmu menderita, semoga Tuhan menempatkan
rohmu di tempat yang bahagia. Dan aku yakin, Tuhan akan menempatkanmu disana. .
. Selamat tinggal sayang. . . .”
Dia menunduk. mencium kening mayat yang
mulai mendingin itu. Kemudian dengan mengeraskan hatinya, dia tegak.
“Kita berangkat. . .,” katanya pada
Datuk Penghulu. Datuk Penghulu sendiri merasakan matanya basah melihat kedua
anak muda ini.
“Mei-mei anakku, maafkan kami tak bisa menyelenggarakan jenazahmu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kami benar-benar menyayangimu. Tinggallah nak. . . ,” Ujarnya perlahan.
“Mei-mei anakku, maafkan kami tak bisa menyelenggarakan jenazahmu. Hanya Tuhan yang tahu bahwa kami benar-benar menyayangimu. Tinggallah nak. . . ,” Ujarnya perlahan.
Kemudian mereka mulai menuruni jenjang
yang menuju ke belakang surau. Gerimis menyambut mereka begitu menjejakkan kaki
di tanah.
“Mereka sudah dekat. .” si Bungsu
berbisik.
Datuk Penghulu bergegas membawa si
Bungsu ke dekat sebuah tebat di belakang surau. Dia hapal betul dengan situasi
surau ini. Sebab dia termasuk salah seorang yang membuat surau itu. Derap
sepatu Kempetai terdengar memasuki surau ketika Datuk tersebut mulai memasuki
tebat.
“Masuklah . . . .”, katanya pada si
Bungsu.
Si Bungsu tak banyak tanya. Dia segera
masuk. Tebat itu cukup dalam. Mereka bisa menyelam. Di arah batang pisang itu,
di bawahnya ada terowongan yang tembus ke sungai kecil di balik hutan bambu
sana.
“Kita akan keluar persis di belakang
rumah Imam tadi. Kita bisa menyelami terowongan itu. cukup lama, salah-salah
bisa kehabisan nafas sebelum sampai ke sungai belakang bambu itu. Dan jika kita
sampai kehabisan nafas, maka mayat kita akan tersangkut dalam terowongan. Ayo
mulai menyelam. . . .”
Datuk itu memang mulai membenamkan diri.
Saat itu seorang Kempetai telah sampai ke loteng dan berteriak pada temannya di
bawah. Jepang-Jepang itu mulai mencari ke belakang surau. Sesaat sebelum mereka
muncul, si Bungsu telah membenamkan diri dan mulai menuju terowongan yang di
maksud Datuk Penghulu.
Terowongan air itu melintasi sebuah tanggul sebelum sampai ke sebuah sungai kecil. cukup lama si Bungsu menahan nafas dan berenang mengikuti arus air, kemudian dia merasa melayang-layang.
Terowongan air itu melintasi sebuah tanggul sebelum sampai ke sebuah sungai kecil. cukup lama si Bungsu menahan nafas dan berenang mengikuti arus air, kemudian dia merasa melayang-layang.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 035
No comments:
Post a Comment