Mayor itu sendiri hampir-hampir tak
percaya kejadian yang dia alami ini. Dia tak yakin ada manusia yang dapat
bergerak demikian cepatnya. cepat dalam bergerak. Dan cepat dalam memainkan
samurainya.
“Si Bungsu . . .” akhirnya mayor itu
bersuara perlahan.
Nama anak muda itu sudah menjadi buah
bibir di antara para perwira di Markas besar mereka. Anak muda yang mahir
dengan samurai.
“Ya. Sayalah si Bungsu Mayor. Dan saya
tidak main-main dengan samurai saya ini. Sudah banyak bangsa saya yang terbunuh
oleh samurai kalian ini. Dan dengan samurai ini pula, sudah puluhan Jepang yang
saya bunuh. Dengan segala senang hati hari ini saya akan menambah jumlah itu
dengan diri tuan. Yaitu kalau tuan tidak memerintahkan anak buah tuan
melemparkan senjata mereka. . .”
Tanpa dapat ditahan Mayor itu merasakan
seluruh bulu di tubuhnya pada merinding. Dia sudah berperang selam puluhan
tahun. Mulai dari daratan Mongolia sampai ke daratan cina. Menembus rawa-rawa
maut di sungai Yang Tse Kiang. Dia sudah menghadapi berbagai macam bentuk
manusia yang siap merenggut nyawanya.
Dia sudah berhadapan dengan tentara Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa gentar. Tapi sore ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak hanya mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya tiba-tiba menggigil.
Dia sudah berhadapan dengan tentara Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa gentar. Tapi sore ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak hanya mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya tiba-tiba menggigil.
“Perintahkan Mayor Atau perlu kuhitung
sampai sepuluh seperti engkau menghitung tadi ?”
Bulu tengkuk mayor ini tambah merinding.
Dia sudah banyak mendengar, bahkan melihat sendiri betapa mayat-mayat tentara
Jepang ketika akan menangkap anak muda ini di Tarok, terputus-putus seperti
dijagai kena samurai.
“Lemparkan seluruh senjata kalian ke
tanah . .” suara mayor itu terdengar serak.
Satu demi satu anak buahnya melemparkan
senjata. Si Bungsu menyeret tubuh mayor itu
hingga tersandar ke dinding rumah yang tadi hampir saja diledakkan dengan
dinamit. Dengan meletakkan tubuh mayor itu tetap di depannya, maka si Bungsu
dapat mengawasi seluruh pasukan Jepang itu.
“Suruh mereka berkumpul di dekat truk.
Semuanya ..”
Anak muda itu berkata lagi sambil
memberi isyarat pada Datuk Penghulu
dan kawan-kawannya yang berada di atas truk untuk turun. Mereka segera turun
dan bergabung dengan di Bungsu di tepi dinding rumah.
“Cepat suruh mereka berkumpul dekat truk
itu mayor….” si Bungsu kembali mengancam.
“Syo-i Atto. Perintahkan semuanya berbaring dekat truk. Lekasss..!!”
“Syo-i Atto. Perintahkan semuanya berbaring dekat truk. Lekasss..!!”
Mayor itu berteriak lagi dengan suara
seraknya. Syo-I (Letnan dua ) itu segera melaksanakan perintah mayor tersebut.
Sebaliknya tubuh si Bungsu menegang tiba-tiba begitu mendengar nama Atto
disebut si Mayor. Demikian juga halnya dengan Datuk Penghulu. Mereka saling
tatap. Mata si Bungsu menatap tajam dan membersitkan amarah yang hebat.
Atto Nama itu mengiang di telinganya. Dia teringat pada saat-saat menjelang kematian Mei-mei. Gadis itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan mereka. Gadis itu mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto itu siap melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar delapan belas orang itu.
Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Mereka menyangka anak muda ini sudah menyembelih pimpinan mereka. Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu.
Atto Nama itu mengiang di telinganya. Dia teringat pada saat-saat menjelang kematian Mei-mei. Gadis itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan mereka. Gadis itu mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto itu siap melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar delapan belas orang itu.
Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Mereka menyangka anak muda ini sudah menyembelih pimpinan mereka. Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu.
“Ambillah bedil yang ada di tanah itu.
Dan juga pistol mayor ini. Awasi dia. Saya akan buat perhitungan . .”
Datuk Penghulu segera mengetahui maksud
anak muda itu. Dia mengambil pistol mayor itu dari pinggangnya. Yang lain pada
memungut bedil di tanah. Kemudian mereka ganti menodong Jepang-Jepang itu. Dari
balik pintu, dari balik jendela, penduduk tetap mengintai dengan diam.
Mengintai dengan takut.
Barangkali ada rasa gembira dan bangga di hati mereka melihat betapa pejuang-pejuang itu berbalik menguasai tentara Jepang yang mereka benci. Namun sebagaimana umumnya rakyat sipil dari sebuah negara yang sedang dilanda perang, dimanapun negara itu berada, bangsa manapun dia, ketakutan terhadap militer selalu saja menghantui mereka. Di setiap negara yang dilanda perang, apalagi negara yang dijajah, maka penduduk sipil selalu saja menjadi korban tak berdosa dari keganasan militer. Saat itupun, penduduk di Birugo itu selain merasa bangga, sekaligus juga merasa takut. Bangga karena bangsa mereka ternyata sudah mulai unjuk gigi dalam melawan penjajah. Ngeri karena mengingat pembalasan yang akan datang dari Jepang.
Barangkali ada rasa gembira dan bangga di hati mereka melihat betapa pejuang-pejuang itu berbalik menguasai tentara Jepang yang mereka benci. Namun sebagaimana umumnya rakyat sipil dari sebuah negara yang sedang dilanda perang, dimanapun negara itu berada, bangsa manapun dia, ketakutan terhadap militer selalu saja menghantui mereka. Di setiap negara yang dilanda perang, apalagi negara yang dijajah, maka penduduk sipil selalu saja menjadi korban tak berdosa dari keganasan militer. Saat itupun, penduduk di Birugo itu selain merasa bangga, sekaligus juga merasa takut. Bangga karena bangsa mereka ternyata sudah mulai unjuk gigi dalam melawan penjajah. Ngeri karena mengingat pembalasan yang akan datang dari Jepang.
Karena betapapun jua, pejuang Indonesia
itu pastilah sebentar berada di kota. Setelah itu mereka akan lenyap
bersembunyi. Karena seluruh jengkal tanah di bumi Indonesia saat itu dikuasai o
leh Jepang. Penduduk dapat membayangkah setelah sore hari ini, maka akan ada
ratusan tentara jepang yang akan memeriksa seluruh rumah di Birugo ini. Dan
mereka ada yang akan ditangkap. Ada yang diperkosa. Begitu selalu. Dan dari
balik p intu, dari balik jendela, mereka melihat anak muda yang tadi meringkus
mayor itu berjalan ke depan.
Mayor itu kini berada d i bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
Mayor itu kini berada d i bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
“Ambil samuraimu yang tergelak di tanah
itu Atto . . .” Tiba-tiba dia dengar anak muda ini bersuara. Dia tertegun.
Kaget dan tak percaya pada pendengarannya.
“Ambillah samuraimu. Engkau yang bernama Atto, yang memimpim penangkapan dan pembakaran rumah di Tarok dua puluh hari yang lalu bukan ?”
“Ambillah samuraimu. Engkau yang bernama Atto, yang memimpim penangkapan dan pembakaran rumah di Tarok dua puluh hari yang lalu bukan ?”
Tanpa dia sadari, letnan itu mengangguk.
“Nah, sayalah suami dari gadis yang
bernama Mei-mei yang engkau perkosa ketika dia dalam luka parah di pondok dalam
hutan bambu di Tarok malam itu, masih ingat?” Seperti orang dungu, letnan itu
kembali mengangguk.
“Dia sudah mati. Mati karena menderita. Menderita kalian perkosa bersama-sama. Namun sebelum dia meninggal, saya telah bersumpah untuk membunuhmu. Kini ambillah samurai itu. Atau kau akan saya bantai tanpa membela diri. Bagi saya sama saja. Saya hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak mau mengambil samuraimu, kau akan saya bunuh seperti membunuh seekor anjing. Satu…..!”
“Dia sudah mati. Mati karena menderita. Menderita kalian perkosa bersama-sama. Namun sebelum dia meninggal, saya telah bersumpah untuk membunuhmu. Kini ambillah samurai itu. Atau kau akan saya bantai tanpa membela diri. Bagi saya sama saja. Saya hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak mau mengambil samuraimu, kau akan saya bunuh seperti membunuh seekor anjing. Satu…..!”
Suara si Bungsu bergema. Dia sudah mulai
menghitung. Tidak hanya Atto dan prajurit-prajurit Jepang yang banyak itu,
Datuk-Datuk yang berada di pihak si Bungsu yang kini tegak dekat Datuk
Penghulu, juga merasa ngeri mendengar ancaman anak muda itu. Dan Atto,
sebagaimana jamaknya samurai-samurai dari Jepang, merasa harga dirinya di
injak-injak mendengar penghinaan anak muda itu. Dia segera memungut samurainya.
Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk meneruskan perbuatannya.
Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk meneruskan perbuatannya.
Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Kini dengan bahu kiri luka lebar, darah
membanjir, si Bungsu tegak dengan waspada empat depa di depan Atto. Si Bungsu
yakin, jika lama dia tegak begini tubuhnya akan jatuh sendiri karena kehabisan
darah Maka dia segera memancing agar Atto menyerang. Tubuhnya sempoyongan.
Meliuk ke kiri. Ke kanan. Dan saat itu dengan cepat sekali Atto menyerang
dengan tiga kali bacokan cepat terarah.
Datuk Penghulu sudah bertekad untuk menembak saja Jepang laknat itu. Tapi maksudnya belum kesampaian, ketika tiba-tiba tubuh si Bungsu jatuh ke tanah di atas lututnya. Dan tahu-tahu sebuah sinar yang amat cepat berkelebat. Pada sabetan yang pertama samurai di tangan Atto seperti dihantam martil besar. Samurainya terpental. Pada bacokan kedua, tangan perwira muda itu putus di atas bahu. Dia memekik. samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kedua lutut letnan itu putus.
Datuk Penghulu sudah bertekad untuk menembak saja Jepang laknat itu. Tapi maksudnya belum kesampaian, ketika tiba-tiba tubuh si Bungsu jatuh ke tanah di atas lututnya. Dan tahu-tahu sebuah sinar yang amat cepat berkelebat. Pada sabetan yang pertama samurai di tangan Atto seperti dihantam martil besar. Samurainya terpental. Pada bacokan kedua, tangan perwira muda itu putus di atas bahu. Dia memekik. samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kedua lutut letnan itu putus.
Tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa
lengan tanpa kaki. Persis seperti nasib penyamun yang kena babat di penginapan
kecil ketika mula-mula dia datang ke kota ini bersama Mei-mei.
Tapi Atto masih beruntung. Dia tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya tergolek di tanah, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Dan kali terakhir kepalanya putus Semua yang hadir di sana memalingkan kepala .Tak sanggup melihat kejadian itu. Si Bungsu benar-benar menjadi amat buas. Dia seperti bukan manusia lagi. Dia seperti sudah menjelma menjadi tukang jagal yang tidak punya perikemanusiaan.
Tapi Atto masih beruntung. Dia tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya tergolek di tanah, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Dan kali terakhir kepalanya putus Semua yang hadir di sana memalingkan kepala .Tak sanggup melihat kejadian itu. Si Bungsu benar-benar menjadi amat buas. Dia seperti bukan manusia lagi. Dia seperti sudah menjelma menjadi tukang jagal yang tidak punya perikemanusiaan.
“Bungsu . . .”
Datuk Penghululah yang berteriak itu.
Datuk itu sendiri merasa ngeri dan merasa bahwa perbuatan si Bungsu itu sudah
melampaui batas. Si Bungsu tertegak diam. Dia segera menyadari kebuasannya
sebentar ini. cepat sekali samurainya sudah masuk ke sarungnya. Dia menatap
pada belasan Serdadu Jepang yang tegak terpaku
dekat truk. Dan semua mereka pada merinding ketakutan ditatap anak muda itu.
Kemudian dia berbalik menatap pada mayor tadi. Mayor itu tersurut. Dia seperti
melihat malaikat maut. Kecepatan dan kehebatan anak muda itu mempergunakan
samurainya hampir-hampir tak masuk akalnya.
“Nah, sekarang terserah pada Datuk apa
langkah selanjutnya. . .”
Akhirnya si Bungsu berkata pada Datuk
Penghulu. Datuk itu menatap pada teman-temannya. Nampaknya mereka sudah punya
rencana. Semua tentara Jepang itu mereka giring ke sebuah tebat. Dan setelah
disuruh telanjang bulat, mereka disuruh masuk ke dalam tebat yang banyak taik
itu.
“Tetap saja berendam di dalam tabek itu,
mayor. Jika ada yang keluar, akan kami bunuh….” kata Datuk Penghulu.
Dan mayor itu bersama belasan anak
buahnya terpaksa tegak diam dalam tebat tersebut. Berendam dalam air setinggi
leher dalam keadaan bugil. oo, tak pernah mereka dipermalukan begini. Tidak
pernah, seumur hidup mereka Dengan cepat Datuk Penghulu dan teman-temannya
mengumpulkan semua senjata. Melemparkannya ke atas jip milik Kempetai yang
sudah mereka rampas.
Kemudian mereka naik. Sebelum berangkat mereka terlebih dahulu merusak truk di dekat itu agar tak bisa digunakan memburu mereka. Lalu Datuk Putih Nan Sati menjalankan jip itu kearah Padang Luar melarikan diri. Tak seorang pun yang tahu ke mana arah mereka. Begitu terdengar mesin jip dihidupkan, mayor tadi melompat naik ke atas. Tapi ketika lanciriknya yang tak bertutup itu sudah ada di tebing tebat, sementara betis ke bawah masih di dalam air, seorang anak buahnya yang masih di tebat berkata:
Kemudian mereka naik. Sebelum berangkat mereka terlebih dahulu merusak truk di dekat itu agar tak bisa digunakan memburu mereka. Lalu Datuk Putih Nan Sati menjalankan jip itu kearah Padang Luar melarikan diri. Tak seorang pun yang tahu ke mana arah mereka. Begitu terdengar mesin jip dihidupkan, mayor tadi melompat naik ke atas. Tapi ketika lanciriknya yang tak bertutup itu sudah ada di tebing tebat, sementara betis ke bawah masih di dalam air, seorang anak buahnya yang masih di tebat berkata:
“Awas, Yor. Anak muda bersamurai itu
mungkin masih ada di atas”
Mayor itu tertegun. Kemudian cepat
tubuhnya meluncur kembali ke dalam tebat. Ya, kalau kepadanya diingatkan bahwa
yang masih ada di sekitar tebat itu awas, beberapa orang berbedil masih
mengawasi, barangkali mayor itu takkan merasa gentar. Ia akan tetap naik,
berpakaian dan kembali kemaerkas untuk menyusun pembalasan. Tapi karena
peringatan itu berbunyi anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas,
maka gacarnya timbul. Saking gacarnya, dia tak dapat menahan kentutnya.
Berantai dan kuat seperti bunyi mercon pula tu.
Prep..prep..thoot…Thootthoot..pohh..pooh..!!
Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu menyebabkan air tebat tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa gelembung udara memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat busuk itu tiba-tiba terbagi menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena amat kedinginan- Sebagian juga kedinginan, tapi tak berani tertawa. Mereka hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busu, tak dapat menahan rasa gelinya. Suara kentut si mayor akibat ketakutan itu benar-benar menjadi hiburan langka, karenanya merekapun tertawa “Huhu.. hihi..hehe..”
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik ke darat. Seperti terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda bersamurai itu muncul. Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher Atto tadi.
Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu menyebabkan air tebat tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa gelembung udara memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat busuk itu tiba-tiba terbagi menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena amat kedinginan- Sebagian juga kedinginan, tapi tak berani tertawa. Mereka hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busu, tak dapat menahan rasa gelinya. Suara kentut si mayor akibat ketakutan itu benar-benar menjadi hiburan langka, karenanya merekapun tertawa “Huhu.. hihi..hehe..”
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik ke darat. Seperti terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda bersamurai itu muncul. Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher Atto tadi.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 39
No comments:
Post a Comment