Hiii…!
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si mayor bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang masih di dalam tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti perintahnya, yang tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin si Bungsu masih ada, yang menyebabkan kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan sepenuh berang dia tampar prajurit bego itu.
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si mayor bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang masih di dalam tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti perintahnya, yang tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin si Bungsu masih ada, yang menyebabkan kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan sepenuh berang dia tampar prajurit bego itu.
“Bagerooo Waang takut-takuti saya yaa”
Puak. . . .puak. . . .plak. . plak.!
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di lampang si mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu. Tidak hanya yang satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika kentutnya tabosek tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna.
Untunglah tak lama setelah mereka kena tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di lampang si mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu. Tidak hanya yang satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika kentutnya tabosek tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna.
Untunglah tak lama setelah mereka kena tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
“Jangan melongo” saja Mayor itu
membentak. Si Kapten segera sadar.
“Saya diperintahkan untuk mencari pak Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira mendapat kesulitan. . .”
“Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang lomba renang di sini?” Mayor itu membentak lagi sambil bergegas naik ke atas jeep.
“Saya diperintahkan untuk mencari pak Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira mendapat kesulitan. . .”
“Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang lomba renang di sini?” Mayor itu membentak lagi sambil bergegas naik ke atas jeep.
Pasukan yang lain melompat keatas truk.
Dan kendaraan itu bergerak menuju ke Panorama. Malam itu juga dikerahkan tak
benar dua kurang dari seratus tentara Jepang untuk mencari jejak
pejuang-pejuang tersebut. Dan benar juga dugaan penduduk Birugo Puhun. Semua
rumah digeledah sepanjang malam itu. Hampir seribu penduduk diinterogasi.
Beberapa orang ditangkap. Jepang tak peduli,
bahwa rumah yang dipergunakan untuk rapat itu sebenarnya rumah yang sudah lama
tak berpenghuni. Pemiliknya sudah pindah ke Bandung sejak lima tahun yang lalu.
Jepang tak perduli itu. Yang jelas perusuh-perusuh itu rapat di wilayah Birugo
Puhun. Tentu penduduk kampung itu merestui pertemuan itu. Maka penghuni lima
buah rumah yang berdekatan dengan rumah tempat rapat itu ditangkap.
Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat.
Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yamg lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat.
Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yamg lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Siang itu si Bungsu sedang berada di
rumah seorang tabib, untuk mengobati luka di bahunya akibat perkelahian dengan
Syo-I Atto di Birugo tempo hari. Saat menunggu tabib meramu obat itulah
tiba-tiba saja rumah itu telah dikepung oleh dua puluh tentara Jepang. Dia
sudah dianggap demikian berbahayanya. Sehingga Jepang mengerahkan hampir
seluruh intelejennya yang ada di Sumatera Barat untuk mencium jejak
pelariannya.
Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
“Bungsu, keluarlah. Rumah ini telah
dikepung. Kalau kalian tak keluar dalam lima hitungan, rumah ini akan saya
ledakkan dengan dinamit”
Dia seperti mengulangi lagi kalimat
berbentuk ancaman yang dia ucapkan saat dia dan pasukannya mengepung rumah
tempat para pejuang rapat di Birugo Puhun, sepekan yang lalu. Kali ini
kemujuran serta nasib baik nampaknya tidak berpihak pada si Bungsu. Luka di
dadanya mengalami infeksi. Ramuan obat yang dia ramu saat di Gunung Sago dan
selalu dia bawa kemanapun pergi, telah habis.
Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran itu terbukti. Datuk Penghulu yang selalui berada bersama si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si tabib. Si Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah, wajahnya pucat karen sudah dua hari demam dengan panas amat tinggi. Di luar sana terdengan suara si mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap Datuk Penghulu itu sendiri jadi pucat.
Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran itu terbukti. Datuk Penghulu yang selalui berada bersama si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si tabib. Si Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah, wajahnya pucat karen sudah dua hari demam dengan panas amat tinggi. Di luar sana terdengan suara si mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap Datuk Penghulu itu sendiri jadi pucat.
“Saya tidak mengkhianati tuan-tuan. Demi
Allah, saya tidak mengkhianati tuan-tuan” ujar tabib itu. Datuk Penghulu masih
menatapnya. Demikian pula si Bungsu.
“Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. . .jangan takut ….” si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
“Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. . .jangan takut ….” si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
Bersama Datuk Penghulu dia membuka pintu
tatkala hitungan mencapai empat. Semua tentara Jepang yang mengepung rumah itu
mengacungkan bedil mereka. Mayor itu sendiri tegak dengan pistol di tangan.
Nampaknya dia tak mau menanggung resiko. Pengalaman di Birugo Puhun dulu
menyebabkan dia amat berhati-hati.
“Lemparkan samuraimu Bungsu. Lemparkan
ke tanah. Kemudian kalian berdua berjalan kemari dengan tangan ke atas dan
bergerak mundur. cepat. . . .”
Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan melemparkan
samurainya ke tanah. Kemudian samurai itu dipungut oleh seorang sersan. Mayor
yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa
hari yang lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai si Bungsu sudah
dipungut anak buahnya.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu terdengar memekik.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut si Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu terdengar memekik.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut si Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak.
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat
itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena kasihan dan
sayangnya pada si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya
melayang di udara. Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi,
tendangannya mendarat di kepala Syo Sha tersebut. Mayor itu terpelanting dua
depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan di Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat Mayor yang kini sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan di Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat Mayor yang kini sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
Datuk Penghulu tegak dengan kaki
terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping mayor itu
tergeletak samurainya. Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa
perkasanya Datuk itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat
yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap tegak tanpa bergerak ketika
Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba
tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya.
Dan lambat-lambat dia jatuh di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar,
menghadap pada si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan terkejut, sesaat
sebelum jatuh pingsan, si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek
mengalirkan darah perlahan ke bawah. Mereka bertatapan. Mulut Datuk itu
bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun, meskipun tak ada suara, si
Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,
“Jaga dirimu baik-baik. Tetap
bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu, nak.”
Sepertinya kalimat itulah yang akan
diucapkan Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi si Bungsu dapat membaca
kalimat itu lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.
“Pak. . .” suara si Bungsu bergetar
perlahan.
Namun setelah itu dia sendiri jatuh
pingsan. Hantaman jari-jari tangan mayor itu amat menderanya. Luka di dadanya
robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah
saat terakhir dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati
menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia menendang Mayor itu, samurai si mayor
sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si mayor Jepang
itu membabatkan.
Mayor itu adalah samurai yang tangguh.
Pangkatnya yang Syo Sha itu saja sudah menjamin bahwa dia adalah seorang
samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang tidak hanya
wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan
suatu seni bela diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan
kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk mempelajarinya Makin mahir lelaki
Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat
membabat perut Datuk Penghulu Dan babatannya sebagai seorang samurai andalan,
berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih
bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya
saja. saat si Bungsu jatuh pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya
kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu kepalanya terkulai bersama
tubuhnya.
Tergeletak mencium bumi. Nyawanya
dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di bumi Semua tentara
Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun.
Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.
Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.
Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
Terasa berat. Tapi dia paksakan juga. Penglihatannya
berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warna-warni tak menentu bermain dan
berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan pendengarannya
yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak terdengar apapun, kini
lambat-lambat kembali dia buka matanya. Dan menarik nafas. Menatap ruangan di
mana dia kini berada.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 040
No comments:
Post a Comment