Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 042

“Pak Datuk ….” Himbaunya tatkala melihat sesosok tubuh terikat empat depa di depannya. Tak ada jawaban.
“Pak Datuk . . .” Himbaunya lagi dengan suara pecah.


Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera mengenalinya sebagai salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal siapa namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu lelaki ini hanya berdiam diri.


“Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu ….” ujar lelaki itu mulai bicara.
“Meninggal …..?” Ujar si Bungsu. Tapi suaranya hilang di tenggorokan.
“Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . .”
“Meninggal? Datuk Penghulu meninggal?” Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia akan apa yang dia dengar.
“Mustahil, mustahil Datuk Penghulu meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan perkasanya setelah menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?”
“Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak jasanya bagi persiapan perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain yang mengenali perjuangannya. orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak lebih. Dan kami, telah kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu tinggi. Hanya ada seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama Mei-mei. Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . . .”



Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah tunangannya.


“Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?”
“Nama saya Kari Basa . . .” Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.
“Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal.”


Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala lak-laki itui terkulai lagi, pura-pura pingsan. Si Bungsu buat pertama kalinya menyadari, bahwa dirinya terikat kuat. Tangannya digantung ke atas. Kakinya diikat ke lantai. Buat pertama kalinya pula dia menyadari, dia kini berada di dalam sebuah gua. Dalam gua.
Tadi dia tak menyadari hal itu karena terpukau akan berita kematian Datuk Penghulu. Dan kini dalam guha itu telah tegak tiga orang Kempetai. Gua itu diterangi oleh lampu listrik. Si Bungsu bisa menebak. bahwa dia berada di salah satu terowongan yang digali Jepang di bawah kota Bukittinggi.
Dia sudah banyak mendengar cerita tentang gua di kota itu. cerita dari bisik ke bisik. Sebab tak ada cerita yang pasti tentang penggalian terowongan itu. Para lelaki yang menggali adalah romusha yang diambil dari Tentara Sekutu yang ditawan setelah dilucuti, ditambah dengan ribuan lelaki bangsa Indonesia dari segala penjuru tanah air. Termasuk di dalamnya puluhan laki-laki dari kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya di Minangkabau.
Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan- setiap romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati Si Bungsu telah mendengar cerita itu semua. Semuanya. Termasuk cerita yang mengatakan bahwa gua itu dibuat Jepang untuk melawan ekspansi balatentara Sekutu yang akan menuntut balas atas kekalahan mereka di Pilipina dan di Samudera pasifik, Di Pearl Harbour, di daratan cina, di Malaysia, dan di Indonesia Kini ketiga Kempetai itu melangkah masuk ke ruangan dimana mereka tertahan.


“Hmmm, kamu orang sudah sadar he Bungsu ?”


Seorang dari mereka yang berpangkat Syo-I (Letda) bersuara. si Bungsu menatapnya dengan diam. Syo-I menyeringai menatapnya. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa mereka sesamanya.
Lalu menatap kepada Kari Basa yang masih terikat. Yang berpangkat prajurit segera mengambil air dari sebuah tong besar yang terletak di sudut ruangan. Tempat dia ditahan nampaknya merupakan sebuah kamar penyiksaan. Sebab beberapa alat pemukul, bedil, samurai dan alat-alat penyiksa bergantungan di sebuah kayu yang dipakukan ke dinding.


Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri.
Sebuah tendangan yang dihunjamkan melompat, dan amat tangguh. Kari Basa segera saja melenguh dan muntah. Ketiga Kempetai itu menyengir. Lambat-lambat, wajah si Bungsu menegang melihat penyiksaan tersebut.


“Nah, Kari, atau siapapun namamu. Sebelum pagi datang, kau harus sudah mengatakan dimana saja markas kalian. Kemudian siapa-siapa saja yang melibatkan diri dalam gerakan melawan Balatentara Teno Haika. Baik dari kalangan penduduk maupun dari kalangan Gyugun. Jangan kalian kira bahwa kami tak tahu, bahwa di antara Gyugun ada yang terlibat. Hehe. Beberapa orang diantara mereka telah kami tangkap. Kini kami inginkan kepastian. Nah, katakanlah. . . Bicaralah. Lebih baik bicara sebelum disakiti, daripada terlanjur disakiti dan akhirnya bicara juga. . .”


Syo-i itu bicara perlahan dari atas kursi kayu tua yang dia pergunakan sebagai tempat duduk. Namun Kari Basa tak membuka mata sedikit pun. Syo-i itu memberi isyarat kepada si kopral yang tadi melancarkan tendangan Mae Tubigeri. Kopral bertubuh bulat ini nyengir. Sambil memandang dengan tatapan licik pada si Bungsu, dia melangkah ke dinding.
Mengambil sebuah kayu sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya dua depa. Dia tegak sedepa dari Kari Basa. Kemudian dengan sebuah ayunan kuat sekali, kayu itu dihantamkan keperut Kari Basa. Tubuh Kari Basa seperti akan terlipat dua. Tapi ikatan pada tangan dan kakinya membuat tubuhnya terguncang kuat. Dan sekali lagi . . .

Kari Basa melenguh. Ludahnya berbuih di mulut. Seluruh bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat hal ini.


“Nah, Kari. Kini jawab pertanyaanku. Kau kenal anak muda ini bukan ?”


Letnan dua itu bertanya sambil menunjuk pada si Bungsu. Kari Basa berusaha mengangkat kepala. Menatap Letnan itu. Namun kepalanya terkulai lagi, tapi kemudian perlahan dia menggeleng.


“Tak Kenal, ya?”


Seiring pertanyaan itu, letnan tersebut memberi isyarat pada si Kopral. Kayu sebesar lengan itu kembali dihantamkan keperut Kari Basa. Kari Basa itu tak menjerit. Hanya suara lenguhannya terdengar menyayat hati si Bungsu.


“Jawablah, kau kenal padanya bukan?”


Kari Basa dalam keadaan terkulai kembali menggeleng perlahan. Letnan itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya.


“Baiklah…baiklah. Kalau kau tak kenal dengan mereka. Kini kau cukup mengangguk saja. Akan kubacakan beberapa nama anggota Gyugun yang kami ketahui terlibat dalam gerakkan kalian ini. Kalau ada di antara mereka yang kau kenali, kau cukup mengangguk saja. Jika ada satu orang saja yang kau kenali, maka malam ini juga kau kami bebaskan.”


Usai bicara si letnan lalu memberi isyarat pada si Kopral. Kopral tersebut membuka ransel. Mengeluarkan sebuah buku hitam. Mengambil sehelai kertas dan memberikannya pada si Letnan.


“Nah, Kari Basa dengarkanlah baik-baik. Saya akan mulai dari yang berpangkat Nito Hei (Prajurit Dua)” ujarnya.


Lalu dia mulai membaca daftar yang terdiri dari tak kurang enam puluh nama dengan mengeja perlahan. Namun sampai akhir enam puluh nama itu dibacakan kepala Kari Basa tetap menggeleng. Muka Letnan yang sejak tadi tersenyum-senyum dan nyengir-nyengir kuda, kini berobah jadi keras. Dia memberi isyarat pada si kopral. Kopral itu berjalan ke dinding. Dari sana dia mengambil sebuah sebuah tang.


“Kau memang tak mengenali salah seorang pun dari mereka?” Letnan itu bertanya. Kari Basa menggeleng. Letnan itu menggertakkan gigi.
“Selain tak mengenali mereka, tapi kamu orang ikut dalam gerakkan melawan Jepang, apakah juga kamu tak mengenali mereka sebagai orang kampungmu?”


Kari Basa menggeleng. Si letnan memberi isyarat lagi. Kopral yang memegang tang itu maju. Dia membungkuk. sebelum si Bungsu sadar apa yang akan dilakukan Jepang itu, terdengar Kari Basa memekik. Dan dengan terkejut si Bungsu melihat betapa di mulut tang itu terjepit sesuatu. Kuku Yah Tuhan, kuku empu kaki Kari Basa dicabut dengan tang Darah meleleh diempu kakinya itu.


“Jawablah Kau mengenali salah satu dari mereka ?”


Kari Basa menggeleng dengan gerakan keras.


“Baik. Kini saya baca yang berpangkat Itto-f Hei. (Prajurit Satu).”


Karena disetiap akhir mendengar nama yang dibacakan Kari Basa tetap menggeleng, maka dia memekik lagi karena sebuah kukunya dicabut lagi. Dan. Lagi. Lagi Nama-nama Gyugun itu disebut terus setelah Nitto f Hei, ftto f Hei, Tjo f Hei, Hei cho, Go cho, Go-n syo, Syo cho, Djun-I, Syo-I, dan sampai ke Tai-I (Kapten) yang berpangkat tertinggi bagi para Gyugun yang berasal dari putera Indonesia waktu itu.
Entah berapa kali Kari Basa memekik. Pingsan, Memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Disiram air. Begitu terus berulang-ulang. Yang tak kurang menderitanya adalah si Bungsu. Tubuhnya bersimbah peluh. Beberapa kali dia memejamkan mata. Ia menggigit bibir. Menahan pendengaran agar tak tertangkap suara pekik Kari Basayang hanya beberapa depa di depannya. Namun bagaimana dia akan menahan pendengarannya? Tiap pekik Kari Basa menyebabkan hatinya seperti tertikam.
Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu. Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.


“Jahannam..” Letnan itu bersuara lagi.


Kopral dan prajurit bawahannya mengambil ember besar berisi air. Kemudian menyiramkan pada Kari Basa. Kari Basa membuka mata, mengangkat kepala perlahan, kemudian terkulai lagi. Letnan itu meninggalkan kursinya. Berjalan mendekati Kari Basa. Dengan kasar dia mencekal rambut Kari Basa. Menyentakkan hingga kepalanya tertegak. Bicaralah Letnan itu mengeram.

Tapi di wajah Kari Basa hanya tergurat kebencian, dan tangan Letnan itupun bergerak. Sebuah pukulan karate jarak dekat menghajar mulut Kari Basa. Terdengar bunyi tak sedap ketika pukulannya beradu dengan bibir Kari Basa.


“Nah, bicaralah syetan” Letnan itu berkata lagi sambil menegakkan kepala Kari Basa.



Dan tiba-tiba…Tuih!!!! Kari Basa meludahi muka Letnan yang berjarak sejengkal di hadapannya itu. Ludahnya bercampur darah dan gigi. Ya, pukulan tidak hanya memecahkan bibirnya. Tapi juga merontokkan empat buah gigi depannya. Letnan itu menyumpah-nyumpah dan muntah kena ludahnya. Dan tiba-tiba dia berbalik.
Menghantam Kari Basa dengan tendangan, pukulan-Tendangan-Pukul Tendang Pukul Lalu terhenti terengah-engah. Tubuh Kari Basa tergantung tak bergerak. Dan mata si Bungsu berkunang-kunang. Tubuhnya basah oleh peluh. Dia jadi malu pada dirinya. Teringat olehnya betapa cepatnya dia menyerah ketika di Koto Baru itu. Kenapa dia turuti perintah Mayor itu untuk menyerah membuang samurai? Kenapa ? Bukankah dia bisa melawan? Secepat itukah dia harus menyerah? Kini lihatlah Kari Basa ini. Tak segeming pun dia beranjak dari pendiriannya.
Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dan dia mengagumi lelaki yang barangkali usianya telah melampaui empat puluh lima ini. Dia tatap tubuh lelaki yang terkulai dalam ikatannya itu. Kelihatannya lemah dan tak berdaya. Tapi di dalam tubuhnya yang kini tak berdaya itu, alangkah besarnya kehormatan yang dia miliki. Alangkah mulia pribadinya. Alangkah banyaknya. pejuang-pejuang lainnya berhutang nyawa padanya. Sekali saja dia buka mulut, mengatakan salah seorang di antara Gyugun itu ikut dalam gerakkan mereka, bisa dipastikan bahwa Gyugun yang lain akan bisa digulung dan dihukum tembak Si Bungsu berani bertaruh, jarang satu diantara seratus ribu bangsanya yang akan tahan menutup rahasia jika telah disiksa seperti Kari Basa ini. Kini dia melihat betapa teguhnya lelaki tua ini memegang rahasia. Betapa teguhnya. Tak tergoyahkan oleh pukulan kayu. Tak tercabikkan meski oleh cabutan kuku. Dan tak beranjak meski bibir dan giginya rontok.


“Hari sudah pagi. Mari kita tinggalkan dia …..” letnan itu berkata. Mereka bersiap untuk pergi. Letnan itu berhenti, kemudian menoleh pada si Bungsu.
“Beberapa saat lagi giliranmu Bungsu. Engkau telah banyak menimbulkan korban diantara balatentara Tenno Heika. Apa yang akan kau terima jauh lebih nikmat daripada yang diterima Kari Basa. Nah, bersiaplah menjelang kami datang. . . he . .he. . .he”




Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 041

No comments:

Post a Comment