Teman-teman
Datuk Penghulu dan Kari Basa mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu.
Perintah langsung dari Engku Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah
“pasukan khusus” yang beruniform beranggotakan sebelas orang segera
diberangkatkan. Mereka mempergunakan beberapa bedil dan pistol yang selama ini
secara dia,-diam dicuri atau dibeli dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa
bedil peninggalan Belanda.
Tugas untuk
mengetahui dimana kedua orang ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan
Djambek. Namun untuk menemui Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang
telah mencium adanya gerakan pribumi yang akan menentang penjajahan.
Karena itu
setiap Anggota Gyugun, mulai dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan
ketat. Hanya dengan sangat susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa
berhubungan dengan teman-temannya. Namun setelah dua hari berusaha, Dakhlan
Djambek masih belum berhasil mengetahui dimana kedua orang itu ditawan.
Para pimpinan
tentara Jepang nampaknya memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan
kakinya di Indonesia. Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari
penduduk-penduduk setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul.
Karena itu para
Gyugun yang berasal dari pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di
proyek-proyek militer yang vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah
ditugaskan di bawah kota yang sedang digali itu.
Yang bertugas
mengawasi pekerjaan atau mengawasi pemasukan amunisi hanyalah balatentara
Jepang asli. Karena itu Dakhlan Djambek dan kawan-kawannya para Gyugun yang
lain tak pernah mengetahui secara mendetail tentang situasi terowongan itu.
Dia berusaha
keras untuk mengetahui ruangan-ruangannya, tapi akhirnya dia menyerah. Tak
mungkin untuk mengetahui secara terperinci, apalagi dengan pengawasan yang
ketat dari Kempetai terhadap Gyugun. Pada hari kedua, yaitu pada batas waktu
yang diberikan, Kapten ini memberikan laporan akhir tentang penyelidikannya.
Isi laporan
itu:
“Tak mungkin
untuk menyelediki terowongan itu dengan cara intelijen. Tapi saya yakin, kedua
mereka ditawan dalam salah satu kamar di dalam terowongan tersebut. Sebab
beberapa tawanan sekutu juga dibawa kesana. Untuk mengetahui dimana mereka
ditahan, satu-satunya jalan adalah menangkap dan memaksa salah seorang Kempetai
yang pernah membawa tawanan kesana. Saya akan mengatur jebakan. Sediakan orang
yang akan menanyainya.”
Dan surat yang
disampaikan melalui kurir beranting itu akhirnya dilaksanakan. Seorang sersan
Kempetai dengan cara yang sangat halus berhasil dijebak di Kampung Cina ketika
sedang minum-minum sake dan memeluk seorang perempuan.
Perempuan itu
dia bawa ke hotel. Di tangga hotel yang teram-temaram keduanya dipukul hingga
pingsan. Si perempuan yang berkulit hitam manis dibiarkan tergolek di sana. Si
sersan dibawa dengan sebuah truk ke sebuah tempat.
Dari mulut
sersan inilah diketahui detail kamar tawanan tersebut. Semula si sersan tak mau
mengaku, tapi ketika sebuah jari tangannya dipatahkan meniru kekejaman
Kempetai, sersan itu menyerah. Lalu membuka rahasia kamar tawanan itu.
Dan ketika
pengakuannya selesai, dia terkejut takkala melihat seorang perwira Gyugun masuk
rumah itu. Dia segera tegak dan memberi hormat dengan sikap sempurna. Dia jadi
gembira, karena denga kehadiran perwiranya itu berarti kebebasan baginya dari
tangkapan ekstrimis ini.
Namun dia
segara terkejut takkala melihat perwira itu menatapnya. Orang yang mematahkan
jarinya itu mengambil sebilah samurai. Memberikan kepada sersan itu. Sersan itu
terheran-heran. Rasa herannya berobah jadi rasa terkejut ketika perwira Gyugun
itu berkata dengan nada memerintah:
“Harakiri….!”
Sersan Kempetai
itu melongo.
“Harakiri..!!”
lagi-lagi perintah perwira itu bergema.
Dan kini
sama-sama jadi jelas soalnya oleh si sersan. Dia diperintahkan harakiri (bunuh
diri) pastilah salah satu sari dua sebab. Pertama karena dia telah membocorkan
rahasia militer. Kedua karena perwiranya ini berada dipihak orang yang
menangkap dan mematahkan jari tangannya. Dan dia menduga , bahwa sebab kedualah
yang paling besar kemungkinannya.
“Tai-i……..?”
katanya lagi.
“Saya orang
Indonesia. Jepang sudah terlalu banyak membunuh bangsa saya. Kini kau harakiri
atau gunakan samurai itu untuk melawan…membebaskan diri….,” Perintah Tai-I yang
tak lain daripada Dakhlan Djambek itu membuat tubuh si sersan menggigil.
Dia sudah
tentu memilih yang kedua. Yaitu
mempergunakan samurai itu untuk melawan. Sebab baginya tak ada harapan untuk
hidup. Demikian putusan Dakhlan Djambek. Kalau Jepang ini tak dibunuh, maka
rahasia penangkapannya akan bocor. Dan kebocoran itu membahayakan perjuangan.
Sersan itu
menebaskan samurainya. Orang pertama yang dia serang dengan samurainya adalah
orang yang paling dekat dengannya. Orang itu adalah Tai-I Dakhlan Djambek.
Tebasan samurainya amat cepat mengarah pada leher Kapten itu.
Namun Dakhlan
Djambek adalah seorang perwira yang dididik dengan kekerasan disiplin militer
Jepang. Karena dia perwira, maka kepadanya juga diajarkan cara menggunakan
samurai. Dan kemana-mana, perwira Jepang umumnya membawa samurai. Demikian juga
dengan Kapten ini.
Begitu sabetan
samurai si sersan terayun, sesuai dengan latihan dasar yang diterima, dia
mundur dengan cepat dua langkah ke belakang. Kemudian ketika serangan
berikutnya datang, dia menggeser tegak dua langkah. Dan si sersan lewat
disampingnya.
Dengan cepat
sersan itu memutar tegak dan kembali mengayunkan samurainya. Namun saat itu
pula samurai di pinggang Tai-I Dakhlan Djambek keluar dari sarungnya. Putaran
tubuh si sersan di silang oleh tebasan samurai Dakhlan Djambek. Bahu kanan
sersan itu hampir putus. Sabetan kedua membuat kepalanya hampir putus. Dia
jatuh. Tapi kematian datang sebelum tubuhnya mencapai lantai rumah.
Perlahan-lahan Kapten itu memasukkan samurainya kesarangnya setelah melapnya ke
baju sersan yang rubuh itu
“Kuburkan dia
malam ini. Dan malam ini juga kedua kawan-kawan itu harus dibebaskan. Mulai
hari ini kontak antara teman-teman dengan kami para Gyugun harus diputuskan
buat sementara waktu. Situasi tambah panas. Kabarnya di Jakarta telah terjadi
sesuatu. Saya yakin saatnya untuk kemerdekaan sudah dekat. Karena itu, tunggu
perkembangan selanjutnya. Salam saya untuk para pimpinan yang lain. Juga buat
kedua teman-teman yang ditawan itu….”
Dan kapten ini
lenyap ke dalam gelapnya malam.
Kejadian
pembunuhan terhadap sersan Kepmpetai itu tepatnya berlangsung pada tanggal 5
Agustus 1945. Dua belas hari setelah itu, Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan
di Jakarta.
Kembali pada
saat-saat letusan bergema dalam gua sesaat sebelum si Bungsu jatuh pingsan.
Letusan itu ternyata bukan ditujukan pada dirinya atau pada diri Kari Basa.
Letusan itu adalah letusan bedil dan pistol “pasukan khusus” yang
membebaskannya.
Pejuang-pejuang
bawah tanah itu berhasil bergerak cepat dan menemukan tempatnya sebelum
terlambat sangat. Letusan pertama adalah letusan yang ditujukan ke kepala
penjaga di luar pintu kamar tahanan.
Begitu penjaga
itu mati, pintu diterjang. Dan letusan-letusan berikutnya ditujukan pada si
Letnan, si sersan dan prajurit yang ada dalam ruangan itu.
Ketiga Kempetai
sadis ini mati saat itu juga. Mereka tak sedikitpun menyangka akan ada
perlawanan begitu dahsyat. Ketiga mereka mati dengan kepala rengkah kena
tembak.
Dan enam orang
“pasukan khusus” yang masuk keruangan itu pada mengucap istigfar takkala
melihat keadaan tubuh kedua teman mereka yang tergantung itu. Yang tergantung
itu bukan lagi tubuh manusia. Tapi lebih tepat untuk dikatakan sebagai manusia
yang telah dijagal.
Namun harapan
kembali timbul ketika mereka melihat bahwa kedua orang itu masih bernafas.
Dengan gerakkan cepat, kedua mereka dilepaskan dari belenggunya. Kunci belenggu
berada dalam kantong si letnan.
Dan tengah
malam itu juga, kedua mereka dibawa ke rumah orang yang telah menyiapkan
penampungan dan pengobatan. Pengobatan disediakan sesuai dengan pesan Kapten
Dakhlan Djambek. Bahwa setiap tawanan Jepang yang dibawa ke terowongan di bawah
kota itu, bila sempat keluar hanya akan mengalami dua hal.
Pertama mati.
Dan kedua tubuh mereka lumat. Maka yang kedua hampir-hampir menemui kenyataan.
Makanya obat-obatan telah disediakan. Kedua mereka dirawat di rumah yang
berlainan.
Setelah tubuh
kedua orang itu sampai di rumah yang dimaksud, pasukan khusus itu lenyap. Dan
jejaknya tak pernah tercium sedikitpun!.
Pihak militer
Jepang bukan main kagetnya atas serbuan dan penculikan tersebut. Mereka
memeriksa setiap rumah penduduk untuk mencari jejak para penculik dan kedua
tawanan itu.
Ada delapan
orang yang jadi korban dipihak mereka dalam peristiwa itu. Yang pertama sersan
pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Sersan ini yang mati di tebas
Tai-I Dakhlan Djambek tak pernah ditemukan mayatnya. Tiga orang lagi adalah
penyiksa sadis yang mati dalam kamar tahanan. Yang satu mati di pintu bahagian
luar kamar tahanan tersebut. Sedangkan tiga orang lainnya mati di sepanjang
terowongan menuju ke kamar tahanan.
Pihak Jepang
segara dapat menduga, bahwa kamar tahanan itu diketahui melalui mulut si sersan
pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Mereka menyangka bahwa seluruh
jaringan dan penyimpanan amunisi vital dalam terowongan itu telah diketahui
oleh pejuang-pejuang pribumi. Makanya mereka memasang perangkap untuk menjebak
kalau-kalau pejuang-pejuang itu muncul lagi.
Namun
pejuang-pejuang itu tak pernah mengorek keterangan tentang hal-hal lain
mengenai terowongan tersebut. Tugas mereka hanya mengetahui dimana si Bungsu
dan Kari Basa ditahan. Kemudian membebaskan kedua orang itu. Dari segi ini,
para pejuang itu memang alpa. Kalau saja mereka bisa sedikit sabar dalam
menghadapi si sersan, kemudian merencanakan masak-masak akan banyak sekali
rahasia tentang terowongan itu yang akan terungkapkan.
Itulah sebabnya
kenapa sampai puluhan tahun kelak, yaitu sampai turunan demi turunan,
terowongan di bawah kota itu tetap saja merupakan suatu misteri yang tak
kunjung terungkapkan. Tak seorangpun di kota itu yang tahu dengan pasti, berapa
panjang terowongan di bawah kota mereka.
Misteri itu
tetap tak terungkapkan, karena selama puluhan tahun tak ada yang berminat untuk
menyelidikinya. Baik menyelidiki dengan mencari peta rencana pembuatan
terowongan tersebut. Peta itu pasti ada pada pihak militer Jepang.
Akibat dari
peristiwa itu, pihak Kempetai makin curiga pada anggota Gyugun. Namun mereka
tak pernah mendapatkan bukti akan keterlibatan para Gyugun itu. Seluruh anggota
Gyugun yang ada di Bukittinggi diinterogasi. Dimana dan kemana mereka dimalam
lenyapnya si Sersan yang memegang rahasia terowongan itu.
Semua anggota
Gyugun mempunyai alibi. Punya bukti-bukti bahwa mereka berada disuatu tempat,
dimana banyak orang jadi saksi. Tai-I Dakhlan Djambek sendiri yang ikut
diinterogasi pihak Kempetai, mempunyai alibi (alasan) yang kuat. Bahwa dia tak
ikut dalam gerakan itu.
Malam itu dia
justru bertugas disalah satu markas Kempetai bersama enam orang tentara Jepang
asli lainnya. Dan keenam tentara Jepang yang sama-sama bertugas malam itu
dengannya menerangkan bahwa Tai-I itu tak pernah meninggalkan markas malam itu.
Lalu bagaimana
Dakhlan Djambek sampai bisa hadir dan justru membunuh sersan itu dihadapan para
pejuang malam itu? Ceritanya sangat sederhana. Peristiwa dia membunuh sersan
itu dengan samurai hanya berjarak sejangkau tangan dari markas Kempetai itu.
Tepatnya, rumah tempat si sersan dibunuh terletak persis di belakang markas
Kempetai itu. Dan antara markas dengan rumah itu hanya dibatasi dengan sebuah
pagar batu setinggi pinggang.
Rumah itu
sebuah rumah batu yang sudah lam ditinggal penghuninya. Pemiliknyu merantau ke
Jawa. Tapi kuncinya ada pada seorang adiknya di Mandiangin. Nah rumah inilah
yang dipilih Dakhlan Djambek untuk menanyai sersan.
Keputusan itu
memang berbahaya. Tapi tak ada jalan lain, justru jalan itu pula paling aman.
Kempetai pasti takkan pernah mencurigai kalau rumah di belakang markas mereka
itu justru dipergunakan oleh pihak pejuang. Disamping tak mencurigai, Dakhlan
Djambek bisa hadir disana tanpa menimbulkan kecurigaan.
Tinggal kini
waktu diperhitungkan dengan cermat. Harus pas waktunya antara dibekuknya si
sersan di hotel dengan tibanya di di rumah tersebut. Setelah si sersan dibekuk
lalu dibawa ke rumah itu dengan truk. Dakhlan Djambek yang tegak di depan
melihat mereka lewat.
Dia masih tegak
di depan beberapa saat. Lalu masuk ke markas. Memerintahkan pada tiga orang
Gyugun asal Indonesia untuk mengadakan patroli sekeliling markas. Ketiga Gyugun itu keluar setelah memberi
hormat. Kemudian Dakhlan Djambek duduk di depan Komandan Piket malam itu. Yaitu
seorang Jepang berpangkat Mayor.
Tiba-tiba dia
bangkit.
“Sakit perut….”
Katanya menyeringai.
“Ha…banyak
makan duren sore tadi. Bisa mencret Tai-i…” Si Mayor berkata sambil tertawa.
Dakhlan Djambek
juga ikut tertawa. Empat orang Kempetai yang ada dalam ruangan itu juga
tertawa. Sebab mereka giliran piket setiap 24 jam. Dan mereka telah mulai piket
sejak tadi pagi. Dan sore tadi ada yang mentraktir makan durian. Mereka membeli
durian lima belas buah. Lalu mereka makan bersama di kantin disebelah kantor.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 043
No comments:
Post a Comment