Dakhlan Djambek
dengan memegang perut lalu berlari ke belakang. Menutup pintu kakus.
Menguncinya. Dan kakus ini juga sudah dia perhitungkan. Kakus ini mempunyai
jendela besar di belakangnya.
Sekali hayun
dia sudah membuka jendela. Kemudian terjun ke belakang. Berlari empat langkah,
tiba di pagar. Meloncati pagar itu. Duduk dibaliknya. Dia bersiul menirukan
bunyi burung malam. Terdengar sahutan. Dia bergegas tegak dan melangkah
memasuki rumah itu dari belakang.
Tiga orang
Gyugun yang tadi dia perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka
masuk. Kisah bagaimana si sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan
Djambek memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia
bisa saja membunuh sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai seorang pejuang,
seperti umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak
berdaya. Apalagi dia seorang perwira.
Makanya dia
memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja
keadaan berbalik jadi berbahaya. Yaitu kalau si sersan justru yang menang dalam
perkelahian itu. Mungkin si sersan bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang
ada dalam ruangan itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi korban itu
seorang Dakhlan Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin
anggotanya kelak dalam revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya?
Namun Dakhlan
Djambek tetap pada sikap satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada
dirinya, dan terutama pada Tuhannya. Setelah sersan itu mati, jejak perkelahian
di ruangan belakang rumah itu dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali
melompati jendela kakus. Kemudian pura-pura batuk dalam kakus. Pura-pura
menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah yakin jejaknya tak ada di
dinding. Dengan pura-pura melekatkan celana dan merapikan baju, dia membuka
pintu.
Masuk kembali
keruangan dimana si Mayor tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan
oleh Markas Besar tentara Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti
orang yang baru saja lepas dari siksaan.
“Hmmm, keluar
semua?” Mayor itu bertanya sambil tersenyum.
“Tidak. Ususku
masih tinggal di dalam……….’” Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat
Kempetai
tertawa terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk “buang air” itu tidak lebih
dari sepuluh menit. Benar-benar perhitungan seorang militer yang teliti.
Dan ketika
interogasi, seluruh prajurit dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi,
bahwa dia tidak pernah keluar sesaatpun pada malam lenyapnya si sersan. Dan
Kempetai tak pula pernah menyelidiki rumah kosong yang telah lama tak dihuni
yang terletak persis dibelakang markas mereka. Kekhilafan-kekhilafan kecil
begini biasanya memang terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak
kemiliteran.
Dan kekhilafan
kecil itulah yang menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di
Bukittinggi malam itu dari pembantaian Kempetai.
Si Bungsu
membuka mata. Silau sekali. Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia
rasakan adalah lapar yang menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali
membuka mata. Sedikit demi sedikit. Dari balik bulu-bulu matanya dia mencoba
melihat dan membiasakan dengan sinar terang.
Dia tak tahu
dimana dia. Tak tahu apa yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi
dimana? Berbaring? Kenapa bisa berbaring? Dia coba merekat kembali sisa-sisa
ingatannya. Yaitu tentang situasi terakhir yang pernah dia alami.
Terowongan
Rantai di kaki
Rantai di
tangan
Rantai yang
dicorkan dengan semen
Dicor ke lantai
Dicor ke
langit-langit terowongan
Penyiksaan!
Ah, bukankah
dia disiksa oleh tiga orang serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan?
Kari Basa!
Tiba-tiba dia
ingat pada orang tua itu. Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di
depannya dalam terowongan itu?
Dimana dia
kini?
Ingatan pada
orang tua itu membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak
ada. Menoleh kekanan. Tak ada!
“Pak Kari…..!”
dia memanggil perlahan.
Tak ada
sahutan. Di luar ada suara ayam betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya.
Benar, dia memang tengah berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu.
Berseprai kain setirimin merah jambu. Berkelambu juga dengan kain seterimin
merah jambu. Seperti tempat tidur penganten baru.
Bau harum
kembang melati merembes kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup?
Atau ini hanya sebuah mimpi?
Mimpi dari
sebuah siksa yyang tak tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu?
Ya, dia ingat
lagi kini.
Tubuhnya
dijadikan tempat pelampiasan kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara
tembakkan. Apakah tembakkan itu bukan untuk dirinya? Kalau dia kini masih
hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan pada Kari Basa. Kari Basa meninggal! Ya
Tuhan.
“Pak Kari….”
Dia memanggil lagi dan berusaha untuk duduk.
“Tetaplah
berbaring..!” tiba-tiba suara mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit
dikepalanya karena berusaha bangkit itu lenyap ketika mendengar suara lembut
itu.
“Mana Pak
Kari?” tanya nya pada orang yang masih belum kelihatan wajahnya itu.
“Pak Kari..?”
suara itu menjawab.
“Ya pak Kari,
dimana dia dikuburkan?”
Tak ada
jawaban. Tapi orang yang menjawab ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis!
Berwajah bundar. Bermata hitam. Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata
yang bersinar lembut. Cantik adalah kata-kata yang tepat untuknya.
Si Bungsu
mengerutkan kening. Siapakah gadis ini?
“Dimana saya…?’
tanyanya gugup.
Gadis itu
tersenyum. Senyumnya amat teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap si Bungsu
dengan tatapan gemerlap.
“Uda berada
disini…” jawabnya dengan masih tersenyum.
“Di sini? Di
sini dimana…?’
“Di rumah kami….”
“Siapa
kalian….maaf, saya maksudkan, saya rasa saya tak mengenal rumah ini. Juga
orangnya. Kenapa saya bisa berada di sini. Sejak bila dan…”
Gadis itu
lagi-lagi tersenyum mendengar pertanyaan yang tak hentinya itu. Dia tak segera
menjawab pertanyaan si Bungsu. Melainkan berjalan ke arah kepala pembaringan.
Mengambil sebuah gelas. Kemudian duduk dekat si Bungsu.
“Minumlah. Ini
obat dari akar kayu. Nanti saya jawab pertanyaan abang itu satu persatu…”
Dia ingin
bangkit. Tapi uluran tangan gadis itu untuk membantunya duduk tak bisa dia
elakkan. Gadis itu membantunya meminum obat yang terasa pahit. Kemudia
membantunya berbaring lagi dengan perlahan.
Dalam keadaan
demikian, wajah gadis itu berada dekat sekali dengan wajahnya. Gadis itu
bersemu merah mukanya. Mukanya sendiri juga terasa panas. Kemudian gadis itu
mengambil sebuah kursi di tepi dinding. Duduk dekat pembaringan.
“Ini rumah pak
Kari…” gadis itu mulai bicara. Si Bungsu tertegun.
“Rumah pak
Kari?’
“Ya”
“Pak Kari
Basa?”
“Ya, pak Kari
Basa”
“Yang
tertangkap dan disiksa dalam terowongan Jepang itu?’
“Ya. Yang
disiksa bersama abang juga bukan?”
“Mana beliau…?”
“Di kamar
sebelah…”
“Masih hidup?”
“Insya Allah
sampai saat ini masih…”
“Alhamdulillah…”
“Saya adalah
anaknya..”
Si Bungsu
hampir terduduk. Tapi gadis itu menggeleng dengan senyum lembut dibibirnya.
“Kenapa harus
kaget…tetaplah berbaring…”
“sejak kapan
saya berada di rumah ini?”
“Sejak sebulan
yang lalu” Si Bungsu kali ini benar-benar tertunduk. Matanya berkunang-kunang.
Namun dia tatap
gadis di depannya itu. Gadis itu menunduk. Malu, Mukanya merah.
“Sebulan?”
“Ya. Sudah
sebulan Uda di rumah ini…”
“Dan selama itu
saya tak pernah sadar?” Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap si Bungsu.
Lalu
menggeleng. Si Bungsu menjilat bibirnya yang terasa kering.
“Pernah. Tapi barangkali
Uda tak pernah bisa berfikir dengan baik. Sebab ketika mula pertama dibawa
kemari, tubuh abang seperti baru keluar dari rumah jagal. Tersayat-sayat
berlumur darah… saya tak tahu bahwa ayah
juga sama keadaan dengan abang. Hanya ayah dibawa ketempat lain untuk dirawat.
Ayah baru dibawa kemari sejak lima belas hari yang lalu….”
Si Bungsu
kembali berbaring. Sudah sebulan di rumah ini. Pakaiannya bersih. Siap yang
memakaikan pakaiannya? Selama itu dia pasti buang air. Nah, kalau dia tak
sadar, siapa yang membereskan semua ini?
“Ada adik
lelaki saya menukarkan pakaian abang sekali tiga hari. Saya hanya menyuapkan
bubur untuk abang…” suara gadis itu seperti menjawab kata hatinya. Dia melihat
padanya. Dan gadis itu lagi-lagi menunduk.
“Terimakasih
atas kebaikan kalian….” Katanya perlahan.
“Uda akan
makan?”
Si Bungsu tak
segara menjawab. Dia merasakan perutnya kenyang. Aneh, tadi mula-mula sadar
laparnya serasa tak tertahankan. Tapi kini perutnya terasa kenyang. Apakah itu
karena obat yang barusan dia minum.
“Tidak, saya
kenyang….” Jawabnya.
“Tapi sejak
kemaren Uda belum makan…”
“Terimakasih.
Sebentar lagilah….apakah Jepang tak pernah memeriksa rumah ini untuk mencari
saya? Oh ya, siapa yang membawa saya kemari?”
“ Yang membawa
Uda kemari adalah pejuang-pejuang teman ayah, teman Datuk Penghulu. Dan teman
abang juga bukan?”
Si Bungsu
menggelang.
“Saya tak punya
teman di kota ini Upik. Oh maaf, saya harus memanggilmu dengan sebutan apa?”
Gadis itu
menunduk. Si Bungsu menatapnya.
“Nama saya
Salma….” Katanya perlahan.
“Salma?”
“Ya, Salma..”
“Terimakasih
atas bantuanmu pada saya selama di rumah ini…nah, apakah Jepang tak pernah
menggeledah di rumah ini?”
“Tidak, adik
ayah bekerja dibahagian penerangan pemerintahan Jepang. Rumah ini rumah tua
kami. Sebelumnya saya, ayah dan yang lain-lain tak tinggal di sini…… Rumah kami
di Mandiangin. Tapi sejak malam itu, kami disuruh pindah kemari. Dan Jepang tak
pernah mencurigai rumah ini, karena abang ditempatkan dibilik ini. Dibilik
saya…”
“Bilikmu?”
“Ya. Ini bilik
saya. Dan Jepang itu sering main kartu disini. Kamar tamu disebelah kamar ini.
Dan mereka tentu saja tak pernah menduga dalam bilik ini ada abang sebab selama
mereka di ruang tamu, saya selalu dikamar ini. Dan saya… saya juga tidur
dikamar ini…”
Si Bungsu
terbelalak. Gadis itu menunduk, mukanya merah. Malu dia.
“Ya. Saya tidur
disini. Di bawah dengan sebuah kasur cadangan, ayah yang menyuruh. Untungnya
setiap mereka kemari Uda tak pernah mengigau. Dan ayah dibawa kemari dua hari
setelah proklamasi kemerdekaan….”
Si Bungsu
terlonjak duduk…
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 44
No comments:
Post a Comment