Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 045



Dakhlan Djambek dengan memegang perut lalu berlari ke belakang. Menutup pintu kakus. Menguncinya. Dan kakus ini juga sudah dia perhitungkan. Kakus ini mempunyai jendela besar di belakangnya.

Sekali hayun dia sudah membuka jendela. Kemudian terjun ke belakang. Berlari empat langkah, tiba di pagar. Meloncati pagar itu. Duduk dibaliknya. Dia bersiul menirukan bunyi burung malam. Terdengar sahutan. Dia bergegas tegak dan melangkah memasuki rumah itu dari belakang.



Tiga orang Gyugun yang tadi dia perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka masuk. Kisah bagaimana si sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan Djambek memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia bisa saja membunuh sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai seorang pejuang, seperti umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak berdaya. Apalagi dia seorang perwira.

Makanya dia memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja keadaan berbalik jadi berbahaya. Yaitu kalau si sersan justru yang menang dalam perkelahian itu. Mungkin si sersan bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang ada dalam ruangan itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi korban itu seorang Dakhlan Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin anggotanya kelak dalam revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya?



Namun Dakhlan Djambek tetap pada sikap satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada dirinya, dan terutama pada Tuhannya. Setelah sersan itu mati, jejak perkelahian di ruangan belakang rumah itu dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali melompati jendela kakus. Kemudian pura-pura batuk dalam kakus. Pura-pura menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah yakin jejaknya tak ada di dinding. Dengan pura-pura melekatkan celana dan merapikan baju, dia membuka pintu.



Masuk kembali keruangan dimana si Mayor tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh Markas Besar tentara Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti orang yang baru saja lepas dari siksaan.



“Hmmm, keluar semua?” Mayor itu bertanya sambil tersenyum.

“Tidak. Ususku masih tinggal di dalam……….’” Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat



Kempetai tertawa terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk “buang air” itu tidak lebih dari sepuluh menit. Benar-benar perhitungan seorang militer yang teliti.

Dan ketika interogasi, seluruh prajurit dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi, bahwa dia tidak pernah keluar sesaatpun pada malam lenyapnya si sersan. Dan Kempetai tak pula pernah menyelidiki rumah kosong yang telah lama tak dihuni yang terletak persis dibelakang markas mereka. Kekhilafan-kekhilafan kecil begini biasanya memang terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak kemiliteran.

Dan kekhilafan kecil itulah yang menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di Bukittinggi malam itu dari pembantaian Kempetai.



Si Bungsu membuka mata. Silau sekali. Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia rasakan adalah lapar yang menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali membuka mata. Sedikit demi sedikit. Dari balik bulu-bulu matanya dia mencoba melihat dan membiasakan dengan sinar terang.

Dia tak tahu dimana dia. Tak tahu apa yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi dimana? Berbaring? Kenapa bisa berbaring? Dia coba merekat kembali sisa-sisa ingatannya. Yaitu tentang situasi terakhir yang pernah dia alami.

Terowongan

Rantai di kaki

Rantai di tangan

Rantai yang dicorkan dengan semen

Dicor ke lantai

Dicor ke langit-langit terowongan

Penyiksaan!

Ah, bukankah dia disiksa oleh tiga orang serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan?

Kari Basa!

Tiba-tiba dia ingat pada orang tua itu. Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di depannya dalam terowongan itu?

Dimana dia kini?

Ingatan pada orang tua itu membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak ada. Menoleh kekanan. Tak ada!



“Pak Kari…..!” dia memanggil perlahan.



Tak ada sahutan. Di luar ada suara ayam betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya. Benar, dia memang tengah berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu. Berseprai kain setirimin merah jambu. Berkelambu juga dengan kain seterimin merah jambu. Seperti tempat tidur penganten baru.

Bau harum kembang melati merembes kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup? Atau ini hanya sebuah mimpi?

Mimpi dari sebuah siksa yyang tak tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu?

Ya, dia ingat lagi kini.

Tubuhnya dijadikan tempat pelampiasan kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara tembakkan. Apakah tembakkan itu bukan untuk dirinya? Kalau dia kini masih hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan pada Kari Basa. Kari Basa meninggal! Ya Tuhan.



“Pak Kari….” Dia memanggil lagi dan berusaha untuk duduk.

“Tetaplah berbaring..!” tiba-tiba suara mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit dikepalanya karena berusaha bangkit itu lenyap ketika mendengar suara lembut itu.

“Mana Pak Kari?” tanya nya pada orang yang masih belum kelihatan wajahnya itu.

“Pak Kari..?” suara itu menjawab.

“Ya pak Kari, dimana dia dikuburkan?”



Tak ada jawaban. Tapi orang yang menjawab ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis! Berwajah bundar. Bermata hitam. Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata yang bersinar lembut. Cantik adalah kata-kata yang tepat untuknya.

Si Bungsu mengerutkan kening. Siapakah gadis ini?



“Dimana saya…?’ tanyanya gugup.

Gadis itu tersenyum. Senyumnya amat teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap si Bungsu dengan tatapan gemerlap.

“Uda berada disini…” jawabnya dengan masih tersenyum.

“Di sini? Di sini dimana…?’

“Di rumah kami….”

“Siapa kalian….maaf, saya maksudkan, saya rasa saya tak mengenal rumah ini. Juga orangnya. Kenapa saya bisa berada di sini. Sejak bila dan…”



Gadis itu lagi-lagi tersenyum mendengar pertanyaan yang tak hentinya itu. Dia tak segera menjawab pertanyaan si Bungsu. Melainkan berjalan ke arah kepala pembaringan. Mengambil sebuah gelas. Kemudian duduk dekat si Bungsu.



“Minumlah. Ini obat dari akar kayu. Nanti saya jawab pertanyaan abang itu satu persatu…”



Dia ingin bangkit. Tapi uluran tangan gadis itu untuk membantunya duduk tak bisa dia elakkan. Gadis itu membantunya meminum obat yang terasa pahit. Kemudia membantunya berbaring lagi dengan perlahan.

Dalam keadaan demikian, wajah gadis itu berada dekat sekali dengan wajahnya. Gadis itu bersemu merah mukanya. Mukanya sendiri juga terasa panas. Kemudian gadis itu mengambil sebuah kursi di tepi dinding. Duduk dekat pembaringan.



“Ini rumah pak Kari…” gadis itu mulai bicara. Si Bungsu tertegun.

“Rumah pak Kari?’

“Ya”

“Pak Kari Basa?”

“Ya, pak Kari Basa”

“Yang tertangkap dan disiksa dalam terowongan Jepang itu?’

“Ya. Yang disiksa bersama abang juga bukan?”

“Mana beliau…?”

“Di kamar sebelah…”

“Masih hidup?”

“Insya Allah sampai saat ini masih…”

“Alhamdulillah…”

“Saya adalah anaknya..”

Si Bungsu hampir terduduk. Tapi gadis itu menggeleng dengan senyum lembut dibibirnya.

“Kenapa harus kaget…tetaplah berbaring…”

“sejak kapan saya berada di rumah ini?”

“Sejak sebulan yang lalu” Si Bungsu kali ini benar-benar tertunduk. Matanya berkunang-kunang.



Namun dia tatap gadis di depannya itu. Gadis itu menunduk. Malu, Mukanya merah.



“Sebulan?”

“Ya. Sudah sebulan Uda di rumah ini…”

“Dan selama itu saya tak pernah sadar?” Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap si Bungsu.



Lalu menggeleng. Si Bungsu menjilat bibirnya yang terasa kering.



“Pernah. Tapi barangkali Uda tak pernah bisa berfikir dengan baik. Sebab ketika mula pertama dibawa kemari, tubuh abang seperti baru keluar dari rumah jagal. Tersayat-sayat berlumur darah… saya tak tahu  bahwa ayah juga sama keadaan dengan abang. Hanya ayah dibawa ketempat lain untuk dirawat. Ayah baru dibawa kemari sejak lima belas hari yang lalu….”



Si Bungsu kembali berbaring. Sudah sebulan di rumah ini. Pakaiannya bersih. Siap yang memakaikan pakaiannya? Selama itu dia pasti buang air. Nah, kalau dia tak sadar, siapa yang membereskan semua ini?



“Ada adik lelaki saya menukarkan pakaian abang sekali tiga hari. Saya hanya menyuapkan bubur untuk abang…” suara gadis itu seperti menjawab kata hatinya. Dia melihat padanya. Dan gadis itu lagi-lagi menunduk.

“Terimakasih atas kebaikan kalian….” Katanya perlahan.

“Uda akan makan?”



Si Bungsu tak segara menjawab. Dia merasakan perutnya kenyang. Aneh, tadi mula-mula sadar laparnya serasa tak tertahankan. Tapi kini perutnya terasa kenyang. Apakah itu karena obat yang barusan dia minum.



“Tidak, saya kenyang….” Jawabnya.

“Tapi sejak kemaren Uda belum makan…”

“Terimakasih. Sebentar lagilah….apakah Jepang tak pernah memeriksa rumah ini untuk mencari saya? Oh ya, siapa yang membawa saya kemari?”

“ Yang membawa Uda kemari adalah pejuang-pejuang teman ayah, teman Datuk Penghulu. Dan teman abang juga bukan?”



Si Bungsu menggelang.



“Saya tak punya teman di kota ini Upik. Oh maaf, saya harus memanggilmu dengan sebutan apa?”



Gadis itu menunduk. Si Bungsu menatapnya.



“Nama saya Salma….” Katanya perlahan.

“Salma?”

“Ya, Salma..”

“Terimakasih atas bantuanmu pada saya selama di rumah ini…nah, apakah Jepang tak pernah menggeledah di rumah ini?”

“Tidak, adik ayah bekerja dibahagian penerangan pemerintahan Jepang. Rumah ini rumah tua kami. Sebelumnya saya, ayah dan yang lain-lain tak tinggal di sini…… Rumah kami di Mandiangin. Tapi sejak malam itu, kami disuruh pindah kemari. Dan Jepang tak pernah mencurigai rumah ini, karena abang ditempatkan dibilik ini. Dibilik saya…”

“Bilikmu?”

“Ya. Ini bilik saya. Dan Jepang itu sering main kartu disini. Kamar tamu disebelah kamar ini. Dan mereka tentu saja tak pernah menduga dalam bilik ini ada abang sebab selama mereka di ruang tamu, saya selalu dikamar ini. Dan saya… saya juga tidur dikamar ini…”



Si Bungsu terbelalak. Gadis itu menunduk, mukanya merah. Malu dia.



“Ya. Saya tidur disini. Di bawah dengan sebuah kasur cadangan, ayah yang menyuruh. Untungnya setiap mereka kemari Uda tak pernah mengigau. Dan ayah dibawa kemari dua hari setelah proklamasi kemerdekaan….”



Si Bungsu terlonjak duduk…



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 44

No comments:

Post a Comment