Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 046

“Proklamasi kemerdekaan…?!”

“Ya. Oh ya. Saya lupa bahwa abang tak mengetahui hal ini. Kita telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus. Dan sekarang sudah tanggal dua puluh lima…”



Muka si Bungsu berseri.



“Merdeka. Alhamdulillah… Tuhan Maha Besar….” bisiknya perlahan.   



Dan Salma melihat betapa di sudut mata anak muda itu kelihatan air menggenang. Kemudia di berbaring lagi perlahan.



“Akhirnya kita merdeka juga…..” bisiknya.



Dan pikirannya berlari kemasa yang lalu. Kekampung halamannya. Pada ayahnya. Ayahnya yang dulu mengorganisir sebuah organisasi melawan penjajahan. Dan ayahnya mati ditangan penjajah. Pikirannya melayang kepada ibunya. Pada kakaknya. Pada peristiwa berdarah dan pembakaran kampungnya oleh Jepang. Dan dia kembali tak sadar diri.

Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi si Bungsu untuk sembuh secara sempurna di rumah itu. Dan dalam waktu yang panjang itu, Salma selalu merawatnya.

Kari Basa lah yang menyuruh antarkan anak muda itu kerumahnya. Agar dirawat disana. Dia sangat merasa kasihan pada anak muda tersebut. Salma, anak gadisnya kebetulan adalah murid Diniyah Putri Padang Panjang. Dia dipanggil untuk pulang sejak Jepang setahun menjajah. Dirumah rasanya lebih aman bagi gadis-gadis daripada jauh dari orang tua.

Dan tentu saja Salma bisa merawat ayahnya dan si Bungsu dengan baik. Sebab di Diniyah pelajaran P3K diajarkan secara intensif. Dan ketika Jepang masuk, Diniyah mengorganisir sebuah peleton P3K disekolahnya. Membantu pejuang-pejuang yang terluka. Kini jari-jari tangan si Bungsu yang patah telah sembuh kembali.

Demikian juga seluruh tubuhnya yang cabik-cabik dimakan samurai. Kari Basa juga telah sembuh. Meski telah dikalahkan Sekutu, namun Jepang belum angkat kaki dati tanah Indonesia. Dan si Bungsu suatu malam menyatakan niatnya untuk pergi.



“Kemana engkau akan pergi Bungsu? tanya Kari Basa.

“Ke Jepang…” si Bungsu berkata perlahan. Namun nada suaranya sangat pasti. Kari Basa dan Salma terbelalak mendengar ucapan itu.

“Ke Jepang….?’ suara Kari Basa mengandung ketidakyakinan.

“Ya. Saya berniat akan ke Jepang…”

“Sejauh itu. Mengapa engkau kesana?”

“Mencari seorang serdadu bernama Saburo Matsuyama..”



Kari Basa menarik nafas panjang. Dia segera mengetahui untuk apa anak muda itu pergi. Menuntut balas. Pastilah itu niatnya. Dia sudah mendengar dari Datuk Penghulu, bahwa anak muda ini berdendam pada pembunuh keluarganya. Seorang bernama Saburo Matsuyama.

Salma perlahan kembali melanjutkan sulamannya. Meski berkali-kali penjahitnya menyasar entah kemana. Namun dia menyulam juga. Hingga suatu saat telunjuknya tertusuk jarum.

Pikiranmu sedang tidak tenang Salma. Lebih baik tak usah menyulam” Kari Basa memperingatkan anaknya. Dan muka Salma segera saja jadi bersemu merah. Dan saat itu seorang lelaki masuk. Salma segera beranjak ke belakang begitu lelaki itu masuk. Lelaki itu seorang kurir.



“Alhamdulillah, pak Kari ada dirumah. Saya sudah kemana-mana….” katanya sambil menyalami Kari Basa dan si Bungsu.

“Saya disini selalu…” jawab Kari Basa sambil memperhatikan lelaki itu.



Dia dapat membaca ada sesuatu yang penting dibawa lelaki tersebut. Si Bungsu juga melihat hal itu. Barangkali sesuatu yang rahasia. Makanya, dia juga berniat untuk menghindar, agar kedua orang itu bebas bicara. Namun Kari Basa mencegahnya.



“Tak ada yang tak boleh kau ketahui Bungsu. Duduklah. Nah, Husin sampaikan apa yang terjadi”

“Malam tadi terjadi lagi bentrokan antara pejuang-pejuang kita dengan tentara Jepang di Sungai Buluh..”

“Lalu…?”

“Seharusnya kita berhasil mendapatkan belasan pucuk bedil. Tapi keburu datang pasukan Akiyama. Pejuang-pejuang kita mereka pukul mundur. Dipihak kita dua orang luka-luka. Tak parah. Tapi lenyapnya harapan untuk memiliki bedil itu membuat pimpinan merasa tak sedap hati…”

“Lagi-lagi Akiyama…” Kari Basa berguman.

“Ya. Dengan itu sudah empat kali dia menggagalkan sergapan kita….”

“Bagaimana dengan perundingan-perundingan resmi?”

“Saya tak tahu dengan pasti. Itu permainan tingkat atas…”



Mereka sama-sama terdiam. Saat itu saat-saat setelah hari Proklamasi adalah saat-saat transisi diseluruh Indonesia.

Jepang telah bertekuk lutut pada Sekutu. Bom Atom telah dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima. Meski Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, namun tak berarti segala sesuatu berjalan lancar dan mudah.

Jepang ternyata tak mau begitu saja menyerahkan pemerintahan pada bangsa Indonesia. Mereka juga tak mau begitu saja menyerahkan persenjataan mereka pada pejuang-pejuang Indonesia.

Ada dua hal yang menyebabkan mereka tak mau segera menyerahkan kekuasaan ataupun persenjataannya pada Bangsa Indonesia. Pertama mereka menyerah pada Sekutu. Bukan pada bangsa Indonesia. Karena itu, menurut peraturan maka pada tentara Sekutu lah persenjataan mereka harus diserahkan. Jika hal ini tidak mereka lakukan maka mereka bisa mendapat kesulitan.

Sebab kedua adalah, mereka takut akan pembalasan pejuang-pejuang Indonesia. Sebab pembalasan yang paling menakutkan pastilah datang dari penduduk yang terjajah. Dan Jepang maklum sangat, bahwa selama tiga setengah tahun di Minangkabau ini, merekla sudah membuat kekejaman yang tak tanggung-tanggung. Karenanya mereka takut pada pembalasan penduduk kalau senjata mereka serahkan.

Ada lagi sebab lain. Yaitu sedikit harapan untuk tetap bertahan. Mereka berharap agar pimpinan tinggi angkatan bersenjata memerintahkan untuk tetap berjuang sampai tetes darah terakhir.



Dan seluruh balatentara Jepang siap untuk berjibaku kalau perintah itu datang. Dan di Minangkabau, serta seluruh Sumatera umumnya, mereka menumpahkan harapan pertahanan di kota Bukittinggi. Bukankah mereka sudah menggali ribuan meter terowongan yang simpang siur. Yang bisa dijadikan pertahanan. Bukankah mereka telah mengisi terowongan itu dengan bahan makanan dan amunisi yang cukup untuk bertahan bagi satu resimen pasukan selama dua tahun.

Kini hanya soal perintah tetap bertempur. Itu lah yang mereka tunggu. Dan karena itu, mereka tetap mempertahankan senjata mereka. Mereka tetap memegang kendali Pemerintahan. Meski mereka tak lagi menjalankan aksi-aksi kekerasan seperti sebelum ditundukkan Sekutu, namun mereka tetap membalas serangan yang datang dari pejuang-pejuang.

Alasan mereka adalah menjaga ketertiban menjelang datangnya Tentara Sekutu. Dan bila Sekutu datang mereka akan menyerah dengan baik-baik. Itu yang mereka permaklumkan pada pemuka-pemuka Indonesia.

Namun pihak Indonesia sendiri bukannya tak berusaha secara baik-baik untuk mendapatkan persenjataan dari Jepang. Engku Syafei yang di Sumatera Tengah menjadi salah seorang tokoh Indonesia yang punya kontak langsung dengan Soekarno, Hatta dan Panglima Sudirman di Jawa, berusaha mengajak pihak Jepang berunding.



Beberapa kali pertemuan dengan Mayor Jenderal Fujiyama telah dilakukan. Namun usahanya namapaknya belum menunjukkan hasil. Sementara itu, pejuang-pejuang yang lebih radikal banyak yang tidak peduli dengan perundingan itu. Bagi mereka perang jauh lebih efektif untuk merebut senjata daripada berunding.

Beberapa pengalaman berunding dengan Belanda dahulu sudah memberikan pengalaman pahit pada mereka. Itulah sebabnya kenapa telah terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara pejuang-pejuang itu dengan tentara Jepang.

Kontak-kontak senjata yang sering menjatuhkan korban itu, semata-mata dimaksudkan oleh pejuang-pejuang Indonesia untuk mendapatkan persenjataan dari Jepang. Mereka bukannya tak berhasil. Dari pertempuran di Biaro, pejuang-pejuang itu berhasil merampas sebelas bedil. Dua senapan mesin. Satu pistol dan beberapa ratus butir peluru.

Dan dari penghadangan di Gadut, Kabupaten Agam, mereka juga mendapat setengah lusin bedil. Selebihnya, beberapa kali penyergapan gagal karena Jepang mendatangkan bala bantuannya. Dan kini berita itulah yang dibawa kurir tersebut kerumah Kari Basa.



“Lalu apa kabar lai dari Sutan Baheramsyah?” Kari Basa bertanya.

“Dia menyampaikan akan ada rapat malam ini, ditempat biasa”

“Baiklah saya akan kesana….”



Kurir itu pergi. Kini kembali mereka tinggal berdua. Bari Basa dan si Bungsu.



“Akiyama lagi…” Kari Basa mendesis perlahan.

“Siapa dia?: si Bungsu bertanya. Kari Basa menatapnya.

“Engkau tak tahu siapa dia?”



Si Bungsu menggelang, Kari Basa menarik nafas panjang.



“Dalam tentara Jepang ada beberapa serdadu yang kejamnya bukan main. Masih ingat perlakuan yang kita terima dalam tawanan di terowongan itu?”



Si Bungsu mengangguk. Bagaimana dia akan melupakannya? Masih dia ingat betapa kuku jari Kari Basa dicabuti satu demi satu. Dan saat ini dia lirik jari-jari kaki Kari Basa tak berkuku sebuahpun. Dan dia juga masih ingat betapa tubuhnya disayat-sayat dengan samurai. Kemudian jarinya dipatahkan.



“Nah, cukup banyak tentara Jepang yang sadis begitu. Dan tukang ciptanya hanya seorang. Yaitu Akiyama!”

“Lalu Akiyama itu siapa?” si Bungsu kembali bertanya.

“Pangkatnya kini Letnan Kolonel. Dulu Mayor, masih ingat Mayor yang engkau ancam dengan samurai ketika mereka menyergap rapat di Birugo?”



Tubuh si Bungsu tiba-tiba menegang mengingat Mayor itu.



“Masih ingat bukan?” Kari Basa bertanya lagi. Dengan perasaan sumbang si Bungsu mengangguk.

“Nah, dialah Akiyama!”

“Akiyama…!” si Bungsu berkata perlahan.

“Ya. Dialah orangnya…”



Pikiran si Bungsu segera merekam kembali saat penangkapannya di Koto Baru. Betapa Mayor itu memerintahkan mereka untuk keluar dari rumah Tabib tempat dia berobat.

Kemudian ketika dia keluar bersama Kari Basa, Mayor itu menyuruh melemparkan samurainya ke tanah. Ketika samurainya telah dia lemparkan, dan telah dipungut oleh seorang Kempetai. Mayor itu maju. Kemudian dengan tusukan jari-jari tangannya dia menghantam luka di bahunya. Dua kali. Dan dia jatuh ke tanah dalam sakit yang tak terkira. Dan saat itu dia lihat Datuk Penghulu melayang. Menendang Mayor itu… dan Datuk Penghulu mati dicabik samurai Mayor tersebut. Dia iangat lagi semuanya itu. Ingat benar.

Kiranya Mayor itu masih hidup.



“Hei, kami ada oleh-oleh untukmu….” Kari Basa tiba-tiba ingat sesuatu.

“Salma, bawa kemari yang ayah suruh simpan kemarin….” Kari Basa berseru tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk bicara.



Tak lama kemudian anak gadis Kari Basa itu muncul dengan sebuah kayu ditangannya. Si Bungsu segera saja tertegak melihat oleh-oleh yang berada di tangan gadis itu.



“Samurai….” Katanya begitu dia mengenali benda itu sebagai samurai miliknya.

“Ya. Itu samurai milikmu…” kata Kari Basa.

“Ya. Ini milikku, dimana bapat dapat?”

“Bukan saya yang mendapatkannya. Dua malam yang lalu ada pejuang yang mencoba memasuki rumah Akiyama. Maksudnya ingin membunuhnya. Sebab sudah banyak kekejaman yang dilakukan Akiyama di negeri ini. Namun Akiyama tak dirumah. Yang ditemuinya hanya seorang Kopral. Kopral itu dibunuh. Dan di dinding, dia melihat samurai ini. Dia segera mengenalinya sebagai samurai milikmu. Karena dia ikut dalam penjagaan rapat di Birugo yang digerebek Jepang itu. Dia melihat engkau yang memakai samurai ini. Dia ambil, dan dia berikan kepada kami…”

“Ah, terima kasih. Terima kasih…” si Bungsu menerima dan mencabut samurainya.



Melihat matanya. Menjamahnya dengan ibu jari. Kemudian tanpa dia sadari matanya terpejam. Dan tiba-tiba tangannya berkelabat. Amat cepat, dan samurai itu masuk kembali kesarangnya. Dan di meja, seekor lalat mati dengan tubuh terbelah dua.

Kari Basa menatap pada anaknya. Salma tegak terpaku melihat kecepatan anak muda itu.



“Ah…sudah lama sekali rasanya tak mempergunakan samurai. Saya harus berlatih lagi dari awal. Sudah kaku sekali,,,,” dia berkata sambil menimbang-nimbang samurainya.

“Lambat? Lihatlah, engkau berhasil membelah seekor lalat yang sedang terbang. Persis belah dua…” Kari Basa menunjuk pada lalat yang terhantar di meja itu.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 045

No comments:

Post a Comment