Si Bungsu
tersenyum tipis.
“Hanya seekor…
Bapak tahu berapa ekor yang ingin saya bunuh tadi? Ada empat ekor mereka
terbang. Dan ternyata hanya seekor yang kena. Dahulu keempatnya pasti mati.
Tapi kini, lihatlah, saya sudah terlalu lambat….” Dia berkata.
Kari Basa
menggeleng-geleng. Takjub. Kagum.
Dan siang itu
si Bungsu memang mulai berlatih mempergunakan samurainya. Dia berlatih
dihalaman belakang. Mula-mula dia berlatih mencabut samurai itu. Sekali-dua,
tiga kali, empat kali, sebelas….tiga puluh, delapan puluh, seratus dua puluh.
Dan peluh membasahi tubuhnya.
Tangan kananya
yang mencabut samuari itu rasa kesemutan. Sebab kecepatannya mencabut samurai
sudah agak lumayan. Dia sadar sepenuhnya, dalam pertarungan dengan samurai
kecepatan mencabut samurai sangat menentukan. Apalagi kalau perkelahian
dilakukan dalam jarak sejangkauan tangan.
Dan perkelahian
antara pesilat-pesilat yang tangguh dan perkelahian satria, memang dilakukan
dalam jarak jangkau samurai.
Namun tak kalah
pentingnya dari kecepatan adalah faktor kecepatan. Cepat dalam mencabut
samurai, dan tepat dalam teknik menyerang. Itulah yang sempurna. Kecepatan saja
tanpa ketepatan serangan, percuma saja. Setelah samurai dicabut, lalu diapakan?
Maka ketepatan yang menentukan.
“Makanlah, nasi
telah saya letakkan…” tiba-tiba dia mendengar suara Salma. Dia mengambil handuk
kecil di jemuran. Kemudian melangkah ke bawah pohon jambu perawas.
“Apakah bapak
sudah kembali?” tanyanya.
“Tidak. Bapak
sudah berpesan, bahwa dia akan ke Tigo Baleh. Ada urusan di sana. Dan mungkin
sampai malam nanti dia tak kembali…”
Si Bungsu
segera ingat bahwa malam nanti akan ada rapat di “tempat biasa” seperti yang
dikatakan kurir tadi pagi.
Dia menatap
pada Salma. Sebuah rencana muncul dikepalanya. Sebuah rencana lagi. Tapi harus
dia laksanakan. Yaitu sebelum dia pergi meninggalkan negeri ini menuju Jepang.
Namun sebelum rencana itu dilaksanakan, dia harus latihan dulu dengan baik.
“Salma, mau
membantu saya ?”
Salma
menatapnya. Kemudian tersenyum. Dan turun kehalaman belakang.
“Apa yang dapat
saya perbuat ?”
“Tunggu
sebentar…” dan si Bungsu memanjat batang jambu perawas didekatnya. Mengambil
putiknya. Ketika dia tengah memetik putik buah perawas itu dia teringat belum
minta izin. Dia menoleh lagi pada Salam.
“Boleh kuambil
putiknya ini bukan ?” tanyanya. Salma hanya tersenyum.
“Boleh ndak?”
tanyanya ragu melihat senyum gadis itu. Dia ragu dan berdebar melihat senyum
Salma yang memikat. Masih tetap tersenyum, gadis itu menjawab:
“Ambillah.
Abang tinggal memilih mana yang abang suka untuk memetiknya…” si Bungsu merasa
disindir. Tapi dia memetik terus.
“Tolong tampung
di bawah…” katanya.
Salma mengambil
sebuah panci. Kemudian menampung putik-putik perawas itu. Umumnya yang dipetik
si Bungsu adalah yang sebesar ibu jari. Cukup lama dia memetik. Ketika sudah
terkumpul sekitar seratus buah, dia baru turun. Salma jadi heran, untuk apa
putik perawas sebanyak ini oleh anak muda itu? Tapi keherannya dia simpan saja
dihati.
“Nah, kini
tetaplah tegak di sini, ambil dua buah kemudian lemparkan kearahku kuat-kuat.
Mengerti…?”
Salma
mengangguk. Kini dia mengerti bahwa putik jambu itu akan dipergunakan sebagai
alat untuk latihan. Si Bungsu mengambil jarak sepuluh depa di depan Salma.
Kemudian memandang pada gadis itu. Samurainya dia pegang dengan tangan kiri.
Sementara tangan kanannya tergantung lemas disisi tubuh. Dia memusatkan
konsentrasi. Menatap diam-diam pada Salma. Salma jadi gugup ditatap begitu.
Kemudian menunduk.
“Hei, jangan
menunduk!” si Bungsu berseru. Salma jadi merah mukanya.
“Habis abang
tatap begitu terus-terusan. Saya jadi gugup…” katanya tersipu-sipu. Dan
tiba-tiba si Bungsu pula yang jadi jengah. Namun dia kuat-kuatkan hatinya.
Dengan muka yang juga bersemu merah, dia kembali menatap Salma. Gadis itu juga
menatapnya.
“Nah…siaplah.
Engkau boleh melemparkan dua buah putik jambu itu bila saja engkau sukai. Dan
jangan berhenti. Lemparkan terus sekali dua buah. Mengerti ?”
Salma
mengangguk. Dia ingin membantu anak muda ini. Membantu mengembalikan semangat
dan kepercayaan terhadap dirinya.
Dialah yang
paling mengetahui, betapa anak muda ini kehilangan kepercayaan terhadap dirinya
sejak disiksa dalam terowongan itu. Dia mengetahui hal itu ketika merawatnya
dibiliknya lebih dari sebulan. Dia mendengar betapa anak muda ini merintih.
Memekik. Mengeluh dan bahkan menggigil melihat jari-jari tangan kirinya yang
dipatahkan Jepang.
Dan ketika telah
sembuh, dia melihat betapa setiap kali anak muda itu merenung. Menatap pada
tangannya. Mengepal-ngepalkan tangannya itu. Kemudian menggerak-gerakkannya.
Kini nampaknya dia ingin berlatih. Dan Salma berniat membantunya sekuat tenaga.
“Awas…!” gadis
itu berteriak tiba-tiba sambil melemparkan dua buah putik perawas.
Lemparannya
cukup cepat dan kuat. Si Bungsu terkejut, dan tangannya menggapai kehulu
samurai. Tapi kedua putik perawas itu telah mengenai tubuhnya sementara
samurainya belum keluar sedikitpun!
Salma jadi
kaget. Kenapa terlalu lamban anak muda itu?
“Uda, kenapa?”
tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. Si Bungsu menggelan. Salma tegak
disisinya.
“Kenapa.
Tanganmu sakit lagi…?” tanyanya sambil memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu
tambah menunduk. Menarik nafas. Panjang, kemudian menatap pada Salma.
“Ya. Tidak
hanya tangan, tapi tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi
pucat.
“Kenapa…?”
bisiknya.
“Karena
matamu..” jawab si Bungsu. Salma membelalak. “ Ya. Saya seperti lumpuh engkau
tatap begitu Salma”.
Dan tiba-tiba
gadis itu menunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah.
Dan si Bungsu terkejut, ketika dilihatnya pipi gadis itu basah.
“Salma..? saya
menyakitimu…?’ Salma masih menggaris-garis tanah dengan ibu jari kakinya.
Kemudian menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda
mempermainkan saya….” Jawabnya perlahan. Dia sebenarnya bahagia. Tapi sekaligus
juga sedih. Bukankah dalam mimpinya, dalam igaunya ketika sakit, dia dengar si
Bungsu puluhan kali menyebut nama Mei-Mei?
“Mempermainkan…?
Sungguh mati, saya jadi gugup seperti lumpuh kau tatap seperti itu…. Tapi
maafkan kalau ucapan saya itu menyinggung perasaanmu…”
Salma
mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Betapapun dia harus membantu anak muda
itu mengembalikan kepercayaan dirinya.
“Tidak marah…?
Tanya si Bungsu. Salma menggeleng. Salma tersenyum. Si Bungsu menarik nafas. Si
Bungsu balas tersenyum. Kemudian Salma kembali ketempatnya, kesisi baskom yang
berisi putik jambu di atas meja kecil di bawah batang perawas.
“Kita mulai
lagi…?” tanyanya.
“Ya, tapi
jangan kau sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak…” jawab si Bungsu
bergurau. Salma tertawa kecil. Tangannya mengambil dua buah putik perawas
disampinya. Kemudia tegak lurus.
“Siap..?”
tanyanya.
Si Bungsu
menarik nafas. Memusatkan perhatian kemudian mengangguk. Salma tak segera
melemparkan putik jambu itu. Ada beberapa saat dia berdiam, kemudia baru
melemparkannya sekuat tenaga.
Samurai si
Bungsu berkelabat. Memancung kekiri dan kekanan. Kemudian samurainya masuk
kembali kesarangnya. Namun kedua putik jambu itu mengenai tubuhnya. Gagal!
Salma menatapnya.
“Saya gagal…”
kata si Bungsu perlahan.
Namun saat ini
Salma sudah mengambil dua buah lagi putik jambu dari dalam baskom. Dan ketika
kata-kata “gagal” itu diucapkan si Bungsu, Salma melemparkan putik jambu
tersebut. Jambu itu melayang cepat sekali. Si Bungsu tak sempat berfikir,
dengan cepat mengandalkan instingnya, tangannya bergerak. Mencabut samurai dan
membabat ke depan.
Kena! Ya,
sebuah dari putik-putik jambu itu kena. Meski tak tepat, tapi putik jambu itu
sempat sumbing. Mereka bertatapan lagi.
“Sudah mulai
sedikit…!” Salma berkata sambil mengambil lagi putik jambu tersebut. Dan
tiba-tiba melemparkannya kembali, si Bungsu mencabut samurainya.
Membabatkannya. Gagal! Dia gagal lagi.
Samurainya
memang tercabut dengan cepat. Bahkan hampir-hampir tak terkejutkan oleh mata
Salma. Namun babatannya meleset. Demikian mereka ulangi berkali-kali. Sampai
akhirnya si Bungsu mulai biasa lagi. Tangannya mulai melemas tidak kaku seperti
awalnya. Beberapa kali, samurainya sempat membelah sebuah putik jambu itu
persis di tengah. Kemudian gagal lagi. Kemudian tepat lagi. Begitu silih
berganti.
Tapi menjelang
putik jambu itu habis dua pertiga, dia sudah bisa membelah dua putik jambu yang
dilemparkan Salma. Mereka hanya istirahat kalau tangan Salma atau tangan si
Bungsu sendiri sudah penat dan pegal. Lalu mereka mengulangi lagi latihan itu.
Suatu saat,
Salma berkata:
“Nah, itu ayah
pulang…” si Bungsu menoleh kebelakang, dan saat itulah Salma melemparkan kedua
putik jambu di tangannya ke arah si Bungsu. Telinga si Bungsu tajam mendengar
sesuatu menuju ke arahnya. Dia berpaling, dan saat itulah kedua putik jambu
yang dilemparkan Salma menghantam dada dan kepalanya! Si Bungsu tertegun. Dia
kaget bukan main. Salma menarik nafas panjang.
“Abang tertipu,
dan kurang waspada…” katanya perlahan. Si Bungsu mengangguk. Dia jadi kagum
akan kecerdasan gadis ini.
“Terimakasih
Salma. Engkau mengingatkan aku sesuatu…kini kita lanjutkan latihan dengan
caramu itu, engkau lelah…?”
Salma menghapus
peluh di wajahnya yang memerah seperti tomat. Kemudian menggeleng. Si Bungsu
membelakang kemudian berkata:
“Nah, untuk
tahap pertama, engkau harus bersuara bila melemparkan putik jambu itu. Nanti
kalau sudah tebiasa, baru engkau lemparkan tanpa peringatan…”
“Awas…!!” Salma
melemparkan putik jambu ditangannya tanpa memberi kesempatan jarak pada si
Bungsu. Si Bungsu menajamkan pendengaran. Kemudian mencabut samurai dan
berputar sambil menghayunsamurai ditangannya.
“Tras! Tras!
Tapi samurainya menerpa angin kosong! Salah satu diantara putik jambu itu
mengenai dadanya yang satu lagi terus ke belakang jatuh ke tanah.
“Gagal, kita
teruskan…” katanya sambil berputar. Salma kali ini memberi kesempatan pada anak
muda itu untuk bernafas. Perlahan mengambil buah jambu di baskom. Kemudian
dengan teriakkan “Awas” sekali lagi, dia melemparkan putik jambu itu.
Si Bungsu
mencabut samurai menanti sesaat kemudian berputar sambil menghayun samurainya.
Kena! Ya, kini satu diantara putik jambu itu kena persis pada pertengahannya.
Dan latihan itu
mereka ulangi terus. Terus dan terus hingga si Bungsu dengan tepat mengenai
kedua putik jambu yang dilemparkan disaat dia membelakangi itu.
Hari-hari
berikutnya si Bungsu mencoba methode yang dulu pernah dia lakukan di Gunung
Sago. Yaitu mengendalikan pendengarannya sambil memicingkan mata. Dia duduk
bersila di tanah kemudian memejamkan mata. Dan Salma kembali melemparkan
putik-putik jambu itu.
Seperti halnya
setiap permulaan, pada awal-awalnya dia selalu gagal. Tetapi makin lama,
tangannya makin mahir. Dan pendengarannya makin terlatih. Dan kini kedua putik
jambu itu senantiasa terbabat belah dua!.
Suatu saat si
Bungsu merasa ada lebih dari dua putik jambu yang menyerangnya. Dia membabat
tiga kali. Kena. Suatu saat empat, lima, enam. Dan dengan kecepatan yang luar
biasa, sambil tetap memicing dia membabat terus. Dan kena!
Dan akhirnya
dia mendengar tarikan nafas di kejauhan. Tak ada lagi putik jambu yang dilemparkan.
Lambat-lambat dia membuka mata. Dan dibawah pohon perawas sana, dia lihat Salma
dengan tubuh berpeluh. Gadis itu menatap padanya dengan tersenyum.
“Lelah…?”
tanyanya sambil bangkit mendekati Salma.
“Penat dan
kehabisan peluru….” Jawab Salma. Dan si Bungsu melihat betapa panci di depan
gadis itu sudah kosong. Dia tersenyum.
“Bukan main,
yang terakhir delapan buah sekali saya lemparkan. Lihatlah…semua kena” kata
Salma.
“Lapan buah?”
si Bungsu kini balik bertanya dengan heran.
“Ya, delapan
buah. Masa tak tahu..”.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 046
No comments:
Post a Comment