Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 071

Begitu si Bungsu menolak kamar itu dan justru meminta kamar yang di belakang, Hannako berlinang matanya. Si Bungsu jadi kaget. Kenji hanya bisa angkat bahu melihat perangai adiknya itu.

“Sumimasen Hanako-san, saya tak bermaksud melukai hatimu. Saya memilih kamar di belakang hanya karena ingin dekat dengan taman. Saya ingin keluar masuk ke taman tanpa mengganggu kalian”

Untunglah kejadian itu tak berlarut-larut. Hanako akhirnya memindahkan peralatan di kamar depan itu ke kamar yang diminta si Bungsu.

“Dozo okamainaku Hanako-san” (Jangan terlalu bersusah payah Hanako) katanya takkala melihat betapa Hanako sibuk menyiapkan kamarnya.

Hannako hanya tersenyum. Dan si Bungsu harus mengakui bahwa Hannako adalah salah satu diantara gadis Jepang yang cantik. Dia teringat pada gadis Jepang sombong yang ditanyanya tak mau menjawab di daerah Ginza dahulu. Yang kemudian bertemu dengannya di penginapan Asakusa dibawa oleh tentara Amerika. Yang telah melibatkan dirinya dalam perkelahian dengan letnan tersebut. Kemana gadis itu? Pikirnya. Apakah gadis itu selamat atau tidak? Dia memang tak mengetahui apa yang terjadi setelah itu. Gadis itu seorang mahasiswi, malam itu diangkut ke pusat bala tentara Amerika di jalan Hibiya di pusat kota. Dia diinterogasi. Siapa yang telah membunuh kedua tentara Amerika itu. Gadis itu membayangkan kedua tentara Amerika. Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Mula pertama dia masuk ke hotel itu dia segera ingat anak muda itu adalah anak muda yang bertanya padanya di daerah Ginza dua hari sebelumnya. Dan dia ingat betul, bahwa dia merasa benci pada anak muda asing itu. Anak muda itu pastilah orang Philipina atau Indonesia. Dan kedua bangsa itu dia benci karena perang dengan kedua bangsa itu telah memisahkan dia dengan ayahnya.

“Kau kenal siapa lelaki yang membunuh Letnan itu?” Polisi Militer Amerika itu bertanya kembali. Gadis itu mengangguk.
“Siapa dia?”
“Dia membunuhnya dengan samurai” gadis itu berkata pasti.
“Ya, kami tahu itu. Melihat luka tangan dan perut serta leher yang robek itu, pastilah karena samurai. Hanya siapa lelaki itu?”

Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Seorang anak muda yang gagah sebenarnya. Dan dia masih ingat betapa disaat terakhir dia akan diperkosa letnan itu, pintu terbuka. Anak muda itu tegak dengan kaki terpentang di pintu.

“Tolonglah saya…” katanya.

Anak muda itu menatap penuh kebencian pada tentara Amerika itu. Dan dia dapat melihat bahwa dibalik sikapnya yang diam dan lemah lembut itu, tersimpan api yang amat berbahaya. Dan bahaya itu segera menampakkan diri takkala letnan itu menerkamnya. Kaki anak muda itu terangkat, dan letnan itu meluk. Lalu terjadilah hal yang diluar dugaanya.
Ketika letnan itu mengangkat pistol, anak muda itu bergerak amat cepat. Tahu-tahu tubuh letnan itu telah cabik-cabik dimakan samurai! Dimakan samurai! Bayangkan, adakah lelaki asing yang mahir mempergunakan samurai?

“Katakan siapa lelaki itu!” Polisi Militer Amerika itu kembali bertanya.
“Dia seorang Jepang bertubuh gemuk dan pendek..” gadis itu akhirnya memberitahukan ciri-ciri orang yang membunuh letnan tersebut.
“Pendek dan gemuk?” ulang Polisi Militer itu.
“Ya..”

Polisi Militer itu mencatat dengan steno keterangan tersebut.

“Rambutnya?”

Gadis itu membayangkan rambut anak muda yang telah menolongnya. Lebat, hitam, berobak dan agak gondrong.

“Rambutnya digunting pendek..’ katanya.
“Digunting pendek?”
“Ya, pendek sekali, seperti sikat sepatu…” katanya pasti.

Dan Polisi Militer itu menulis lagi dalam proses verbalnya. Menulis dengan penuh bayangan keyakinan bahwa yang membantai kedua serdadu Amerika itu adalah seorang lelaki Jepang dengan tubuh gemuk, pendek, buncit, bermata sipit, berambut pendek seperti jamaknya kaum samurai yang berwajah bengis di negeri ini.

“Kau kenal siapa dia?”

Gadis itu menggeleng. Kali ini dia memang tak berdusta seperti keterangannya terdahulu. Dia memang tak kenal sedikitpun dengan pemuda yang menolongnya itu. Dan dia dia menyesal kenapa tak mengenal sebelumnya. Kemana dia sekarang? Pikirnya sambil membayangkan orang asing bersamurai itu.

“Waktu nona masuk, ada seorang anak muda asing di kamar itu. Nah, waktu kejadian ini dimana dia?”

Gadis itu berdebar. Dia khawatir kalau-kalau anak muda itu tertangkap karena keterangannya.

“Saya tak tahu di mana dia. Tapi menurut hemat saya dia melarikan diri begitu mendengar tembakan…”
“Ya. Ya. Cocok dengan keterangan pemilik penginapan. Anak muda itu pasti telah melarikan diri karena takut..”

Dan pemeriksaan terhadap gadis itu berakhir. Dia dilepas. Dan gadis itu kembali menjalani tempat di mana dia pernah bertemu dengan anak muda itu. Dia berharap bisa bertemu untuk mengucapkan terimakasih. Untuk mengucapkan maaf karena tak mengacuhkan pertanyaannya ketika di Ginza Dori itu. Namun mencari seorang lelaki di antara jutaan manusia di kota Tokyo bukanlah suatu pekerjaan enteng. Dia sia-sia mencarinya.

Di salah satu rumah di Uchibori Dori, di malam yang sepi, seseorang kelihatan duduk di batu layah di taman belakang. Musim gugur di bulan-bulan Kugatsu, Jugatsu dan Juichigatsu (september, oktober dan nopember) telah berlalu. Kini negeri Jepang memasuki musim dingin di bulan Junigatsu (Desember)
Salju sudah menyelimuti bumi. Musim dingin bersalju ini akan berakhir pada bulan Februari. Makin lama udara makin dingin menusuk. Semua orang menggenakan pakaian tebal yang terbuat dari bulu atau wool. Atau memakai kimono yang berlapis. Bagi pendatang baru ke negeri ini, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang paling menyiksa. Udara dingin benar-benar mencucuk ke tulang sum-sum. Namun tidak demikian halnya dengan si Bungsu.

Kelaparan, pembantaian, udara dingin dan maut…ah dia telah melewatinyai semua.
Pembantaian mana yang tidak dia alami  selama di kampungnya? Bukankah tubuhnya penuh rajahan bekas dibantai Saburo ketika dia coba melarikan diri dari kampungnya sesaat setelah keluarganya dibantai perwira itu? Bukankah jari jemarinya, dan tubuhnya juga dicencang oleh Kempetai di dalam terowongan rahasia di bawah Bukittinggi ketika dia ditangkap bersama seorang pejuang bawah tanah di kota itu? Kelaparan dan udara dingin mana pula yang tak dia rasakan ketika bertarak di Gunung Sago dahulu? Memang tak ada salju disana. Tapi dinginnya udara bila musim hujan atau malam hari, lebih parah dari pada selusin musim salju. Apalagi keadaannya waktu itu dalam sakit parah. Dan saat itu bukankah dia juga harus mempertahankan hidupnya dari dicabik-cabik binatang buas yang berkuasa mutlak di gunung yang tak pernah dijamah manusia itu? Ternyata dia turun dari gunung itu dalam keadaan hidup. Justru itulah musim dingin di Jepang ini tak ada pengaruh terhadap dirinya.

Selain dirinya telah terlatih hidup dalam kesulitan yang paling parah sekalipun, dia juga menguasai ilmu pernafasan Silat Tuo yang diajarkan ayahnya dahulu. Dia memang tak mengerti silat, tapi cara pernafasannya dia kuasai setelah berlatih sendiri di Gunung Sago.
Dia berlatih dengan mengingat-ingat petunjuk ayahnya dahulu. Berkat keras hati, dia ternyata berhasil. Dan ilmu pernafasan itu ternyata sangat membantu dalam cuaca dingin begini. Orang Jepang juga memiliki ilmu pernafasan yang bagus dalam ilmu beladirinya. Ilmu pernafasan itu bernama San Chin. Tapi ilmu pernafasan beladiri Jepang ini tak sebaik ilmu pernafasan Silek Tuo yang diturunkan ayahnya. Ilmu pernafasan San Chin hanyalah mengatur pernafasan agar tak cepat lelah. Agar kekuatan bisa disimpan dan digunakan secara efisien. Sementara ilmu pernafasan Silek Tuo, selain berfungsi sama dengan San Chin, juga berfungsi untuk mempercepat aliran darah. Mempercepat aliran darah berarti membangkitkan daya bakar dalam tubuh. Membangkitkan daya bakar dalam tubuh berarti suatu pemanasan dari dalam. Dengan mengatur pernafasan mengikuti petunjuk Silek Tuo, tubuhnya bisa bertahan tetap panas dalam dingin dipenuhi salju itu!

Dan kini di musim dingin bersalju ini, di malam yang sepi, dia duduk diam mematung di atas batu layah di belakang rumah. Duduk dengan dada telanjang. Memejamkan mata. Membusungkan dada. Menghirup nafas panjang sekali. Lagi dan lagi. Sampai dadanya menggelembung dipenuhi udara. Kemudian dia keluarkan sedikit demi sedikit. Dia tahan separoh. Dia tarik lagi penuh-penuh. Demikian dia lakukan dengan teratur dan dengan tekun. Dan tubuhnya berpeluh. Tubuh atasnya yang telanjang berpeluh dalam siraman gerimis salju. Dan perlahan kelihatan asap tipis mengepul dari tubuhnya. Asap tipis yang berasal dari salju yang menguap begitu menyentuh tubuhnya yang berpeluh.
Benar-benar latihan pernafasan yang amat sempurna. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata yang diam-diam memperhatikan latihannya di tengah malam buta itu.
Yang pertama adalah mata Kenji. Pemuda ini makin hari makin ingin tahu, untuk apa si Bungsu datang ke negerinya. Dia merasa ada seseorang yang dicari anak muda itu. Seseorang yang ingin dia temui untuk bunuh. Dia melihat dendam yang alangkah dahsyatnya terpendam di balik matanya yang tenang dan sayu.
Anak muda ini datang untuk membalas dendam. Dan pastilah dendam terhadap seorang tentara Jepang yang telah mencelakai keluarganya. Demikian pikiran Kenji terhadap sahabatnya ini.
Dia sudah merasa bersaudara dengan orang Indonesia yang satu ini. Dan dia merasa kagum akan ketahanan tubuh dan latihan khas yang dilakukan anak muda itu. Diam-diam dia memperhatikan terus latihan si Bungsu dari kamarnya. Orang kedua yang memperhatikannya adalah Hannako. Adik Kenji. Gadis ini berhutang budi pada pertolongan yang diberikan si Bungsu. Dan tanpa dapat dia cegah, diam-diam dia harus tunduk pada takdir, bahwa dia mencintai pemuda asing ini. Sikapnya yang pendiam, sikapnya yang jujur, rendah hati dan lemah lembut membuat hati Hannako benar-benar terpaut. Namun dia adalah gadis Jepang yang umumnya amat pemalu. Amat menjunjung rasa kesopanan. Gadis-gadis Jepang tak begitu saja mau menunjukkan rasa sayang pada lelaki. Dan keadaan dirinya yang tak lagi suci menyebabkan gadis ini “tahu diri”. Dia tahu setiap lelaki menginginkan kesucian calon isterinya. Dan Hannako akhirnya hanya bisa menghapus air mata jika teringat betapa dirinya telah ternoda berkali-kali oleh jahanam Kawabata anggota Jakuza terkutuk itu.

Kawabata, lelaki jahanam anggota Jakuza itu ternyata memang tak pernah melupakan Hannako. Gadis cantik itu sangat merangsang birahinya. Dan sejak gadis itu melarikan diri dari rumahnya, dia telah menyebar beberapa anak buahnya untuk mencari jejak gadis tersebut. Dan bagi Jakuza tak sulit mencari jejak seseorang di seluruh Jepang. Negeri ini berada dalam cengkraman mereka. Mereka mempunyai jaringan di seluruh kota dan desa. Organisasi mereka benar-benar hebat. Mengalahkan organisasi Kepolisian Jepang.
Itulah sebabnya dalam waktu yang tak begitu lama jejak Hannako segera diketahui. Mereka mengetahui bahwa Hannako tinggal bersama abangnya. Bekas awak kapal Ichi Maru. Tinggal di sebuah rumah di jalan Uchibori. Dan mereka lalu mematai-matai rumah itu.
Siang itu si Bungsu sedang duduk di beranda depan ketika dari seberang sana dia dengar suara-suara bentakan. Berkali-kali dan berulang-ulang. Suara itu sudah beberapa hari ini dia dengar dan berasal dari sebuah gedung besar. Dia melihat banyak orang berdatangan. Umumnya anak-anak muda. Tapi selain anak muda juga orang-orang tua.

“Hanako-san, asoko ni nani ga arimasu ka” (dik Hanako, disana ada apa?) tanyanya pada Hannako sambil menunjuk ke rumah besar di seberang sana.

Hannako menoleh ke arah yang ditunjuk si Bungsu. Ke gedung besar jauh di seberang sana.

“Itu gedung Budokan…”
“Budokan?”
“Ya”
“Tempat apa itu?”
“Di sana tempat orang-orang berlatih Judo. Bang Kenji dahulu juga berlatih Judo disana”
“Dia belajar Judo disana?”
“Ya. Dia malah sudah menjadi Sensei dengan tingkat Dan III sebelum berangkat jadi pelaut”
“Apa itu tingkat Dan III?”
“Pemegang Dan adalah Pemegang Sabuk Hitam. Dimulai dari Dan I setelah naik dari sabuk coklat”

Si Bungsu manggut-manggut.

“Abang juga seorang Karateka tingkat Dan  II, pergilah kesana, abang sedang latihan disana”

Hannako berkata.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 070

No comments:

Post a Comment