Begitu si
Bungsu menolak kamar itu dan justru meminta kamar yang di belakang, Hannako
berlinang matanya. Si Bungsu jadi kaget. Kenji hanya bisa angkat bahu melihat
perangai adiknya itu.
“Sumimasen
Hanako-san, saya tak bermaksud melukai hatimu. Saya memilih kamar di belakang
hanya karena ingin dekat dengan taman. Saya ingin keluar masuk ke taman tanpa
mengganggu kalian”
Untunglah
kejadian itu tak berlarut-larut. Hanako akhirnya memindahkan peralatan di kamar
depan itu ke kamar yang diminta si Bungsu.
“Dozo
okamainaku Hanako-san” (Jangan terlalu bersusah payah Hanako) katanya takkala
melihat betapa Hanako sibuk menyiapkan kamarnya.
Hannako hanya
tersenyum. Dan si Bungsu harus mengakui bahwa Hannako adalah salah satu
diantara gadis Jepang yang cantik. Dia teringat pada gadis Jepang sombong yang
ditanyanya tak mau menjawab di daerah Ginza dahulu. Yang kemudian bertemu
dengannya di penginapan Asakusa dibawa oleh tentara Amerika. Yang telah
melibatkan dirinya dalam perkelahian dengan letnan tersebut. Kemana gadis itu?
Pikirnya. Apakah gadis itu selamat atau tidak? Dia memang tak mengetahui apa
yang terjadi setelah itu. Gadis itu seorang mahasiswi, malam itu diangkut ke
pusat bala tentara Amerika di jalan Hibiya di pusat kota. Dia diinterogasi.
Siapa yang telah membunuh kedua tentara Amerika itu. Gadis itu membayangkan
kedua tentara Amerika. Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut.
Mula pertama dia masuk ke hotel itu dia segera ingat anak muda itu adalah anak
muda yang bertanya padanya di daerah Ginza dua hari sebelumnya. Dan dia ingat
betul, bahwa dia merasa benci pada anak muda asing itu. Anak muda itu pastilah
orang Philipina atau Indonesia. Dan kedua bangsa itu dia benci karena perang
dengan kedua bangsa itu telah memisahkan dia dengan ayahnya.
“Kau kenal
siapa lelaki yang membunuh Letnan itu?” Polisi Militer Amerika itu bertanya
kembali. Gadis itu mengangguk.
“Siapa dia?”
“Dia
membunuhnya dengan samurai” gadis itu berkata pasti.
“Ya, kami tahu
itu. Melihat luka tangan dan perut serta leher yang robek itu, pastilah karena
samurai. Hanya siapa lelaki itu?”
Gadis itu
membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Seorang anak muda yang gagah
sebenarnya. Dan dia masih ingat betapa disaat terakhir dia akan diperkosa
letnan itu, pintu terbuka. Anak muda itu tegak dengan kaki terpentang di pintu.
“Tolonglah
saya…” katanya.
Anak muda itu
menatap penuh kebencian pada tentara Amerika itu. Dan dia dapat melihat bahwa
dibalik sikapnya yang diam dan lemah lembut itu, tersimpan api yang amat
berbahaya. Dan bahaya itu segera menampakkan diri takkala letnan itu
menerkamnya. Kaki anak muda itu terangkat, dan letnan itu meluk. Lalu
terjadilah hal yang diluar dugaanya.
Ketika letnan
itu mengangkat pistol, anak muda itu bergerak amat cepat. Tahu-tahu tubuh
letnan itu telah cabik-cabik dimakan samurai! Dimakan samurai! Bayangkan,
adakah lelaki asing yang mahir mempergunakan samurai?
“Katakan siapa
lelaki itu!” Polisi Militer Amerika itu kembali bertanya.
“Dia seorang
Jepang bertubuh gemuk dan pendek..” gadis itu akhirnya memberitahukan ciri-ciri
orang yang membunuh letnan tersebut.
“Pendek dan
gemuk?” ulang Polisi Militer itu.
“Ya..”
Polisi Militer
itu mencatat dengan steno keterangan tersebut.
“Rambutnya?”
Gadis itu membayangkan
rambut anak muda yang telah menolongnya. Lebat, hitam, berobak dan agak
gondrong.
“Rambutnya
digunting pendek..’ katanya.
“Digunting
pendek?”
“Ya, pendek
sekali, seperti sikat sepatu…” katanya pasti.
Dan Polisi
Militer itu menulis lagi dalam proses verbalnya. Menulis dengan penuh bayangan
keyakinan bahwa yang membantai kedua serdadu Amerika itu adalah seorang lelaki
Jepang dengan tubuh gemuk, pendek, buncit, bermata sipit, berambut pendek
seperti jamaknya kaum samurai yang berwajah bengis di negeri ini.
“Kau kenal
siapa dia?”
Gadis itu
menggeleng. Kali ini dia memang tak berdusta seperti keterangannya terdahulu.
Dia memang tak kenal sedikitpun dengan pemuda yang menolongnya itu. Dan dia dia
menyesal kenapa tak mengenal sebelumnya. Kemana dia sekarang? Pikirnya sambil
membayangkan orang asing bersamurai itu.
“Waktu nona
masuk, ada seorang anak muda asing di kamar itu. Nah, waktu kejadian ini dimana
dia?”
Gadis itu
berdebar. Dia khawatir kalau-kalau anak muda itu tertangkap karena keterangannya.
“Saya tak tahu
di mana dia. Tapi menurut hemat saya dia melarikan diri begitu mendengar
tembakan…”
“Ya. Ya. Cocok
dengan keterangan pemilik penginapan. Anak muda itu pasti telah melarikan diri
karena takut..”
Dan pemeriksaan
terhadap gadis itu berakhir. Dia dilepas. Dan gadis itu kembali menjalani
tempat di mana dia pernah bertemu dengan anak muda itu. Dia berharap bisa
bertemu untuk mengucapkan terimakasih. Untuk mengucapkan maaf karena tak
mengacuhkan pertanyaannya ketika di Ginza Dori itu. Namun mencari seorang
lelaki di antara jutaan manusia di kota Tokyo bukanlah suatu pekerjaan enteng.
Dia sia-sia mencarinya.
Di salah satu
rumah di Uchibori Dori, di malam yang sepi, seseorang kelihatan duduk di batu
layah di taman belakang. Musim gugur di bulan-bulan Kugatsu, Jugatsu dan
Juichigatsu (september, oktober dan nopember) telah berlalu. Kini negeri Jepang
memasuki musim dingin di bulan Junigatsu (Desember)
Salju sudah
menyelimuti bumi. Musim dingin bersalju ini akan berakhir pada bulan Februari.
Makin lama udara makin dingin menusuk. Semua orang menggenakan pakaian tebal
yang terbuat dari bulu atau wool. Atau memakai kimono yang berlapis. Bagi
pendatang baru ke negeri ini, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang
paling menyiksa. Udara dingin benar-benar mencucuk ke tulang sum-sum. Namun
tidak demikian halnya dengan si Bungsu.
Kelaparan,
pembantaian, udara dingin dan maut…ah dia telah melewatinyai semua.
Pembantaian
mana yang tidak dia alami selama di kampungnya?
Bukankah tubuhnya penuh rajahan bekas dibantai Saburo ketika dia coba melarikan
diri dari kampungnya sesaat setelah keluarganya dibantai perwira itu? Bukankah
jari jemarinya, dan tubuhnya juga dicencang oleh Kempetai di dalam terowongan
rahasia di bawah Bukittinggi ketika dia ditangkap bersama seorang pejuang bawah
tanah di kota itu? Kelaparan dan udara dingin mana pula yang tak dia rasakan
ketika bertarak di Gunung Sago dahulu? Memang tak ada salju disana. Tapi
dinginnya udara bila musim hujan atau malam hari, lebih parah dari pada selusin
musim salju. Apalagi keadaannya waktu itu dalam sakit parah. Dan saat itu
bukankah dia juga harus mempertahankan hidupnya dari dicabik-cabik binatang
buas yang berkuasa mutlak di gunung yang tak pernah dijamah manusia itu? Ternyata
dia turun dari gunung itu dalam keadaan hidup. Justru itulah musim dingin di
Jepang ini tak ada pengaruh terhadap dirinya.
Selain dirinya
telah terlatih hidup dalam kesulitan yang paling parah sekalipun, dia juga
menguasai ilmu pernafasan Silat Tuo yang diajarkan ayahnya dahulu. Dia memang
tak mengerti silat, tapi cara pernafasannya dia kuasai setelah berlatih sendiri
di Gunung Sago.
Dia berlatih
dengan mengingat-ingat petunjuk ayahnya dahulu. Berkat keras hati, dia ternyata
berhasil. Dan ilmu pernafasan itu ternyata sangat membantu dalam cuaca dingin
begini. Orang Jepang juga memiliki ilmu pernafasan yang bagus dalam ilmu
beladirinya. Ilmu pernafasan itu bernama San Chin. Tapi ilmu pernafasan
beladiri Jepang ini tak sebaik ilmu pernafasan Silek Tuo yang diturunkan
ayahnya. Ilmu pernafasan San Chin hanyalah mengatur pernafasan agar tak cepat
lelah. Agar kekuatan bisa disimpan dan digunakan secara efisien. Sementara ilmu
pernafasan Silek Tuo, selain berfungsi sama dengan San Chin, juga berfungsi
untuk mempercepat aliran darah. Mempercepat aliran darah berarti membangkitkan
daya bakar dalam tubuh. Membangkitkan daya bakar dalam tubuh berarti suatu
pemanasan dari dalam. Dengan mengatur pernafasan mengikuti petunjuk Silek Tuo,
tubuhnya bisa bertahan tetap panas dalam dingin dipenuhi salju itu!
Dan kini di musim
dingin bersalju ini, di malam yang sepi, dia duduk diam mematung di atas batu
layah di belakang rumah. Duduk dengan dada telanjang. Memejamkan mata.
Membusungkan dada. Menghirup nafas panjang sekali. Lagi dan lagi. Sampai dadanya
menggelembung dipenuhi udara. Kemudian dia keluarkan sedikit demi sedikit. Dia
tahan separoh. Dia tarik lagi penuh-penuh. Demikian dia lakukan dengan teratur
dan dengan tekun. Dan tubuhnya berpeluh. Tubuh atasnya yang telanjang berpeluh
dalam siraman gerimis salju. Dan perlahan kelihatan asap tipis mengepul dari
tubuhnya. Asap tipis yang berasal dari salju yang menguap begitu menyentuh
tubuhnya yang berpeluh.
Benar-benar
latihan pernafasan yang amat sempurna. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata yang
diam-diam memperhatikan latihannya di tengah malam buta itu.
Yang pertama
adalah mata Kenji. Pemuda ini makin hari makin ingin tahu, untuk apa si Bungsu
datang ke negerinya. Dia merasa ada seseorang yang dicari anak muda itu.
Seseorang yang ingin dia temui untuk bunuh. Dia melihat dendam yang alangkah
dahsyatnya terpendam di balik matanya yang tenang dan sayu.
Anak muda ini
datang untuk membalas dendam. Dan pastilah dendam terhadap seorang tentara
Jepang yang telah mencelakai keluarganya. Demikian pikiran Kenji terhadap
sahabatnya ini.
Dia sudah
merasa bersaudara dengan orang Indonesia yang satu ini. Dan dia merasa kagum
akan ketahanan tubuh dan latihan khas yang dilakukan anak muda itu. Diam-diam
dia memperhatikan terus latihan si Bungsu dari kamarnya. Orang kedua yang
memperhatikannya adalah Hannako. Adik Kenji. Gadis ini berhutang budi pada
pertolongan yang diberikan si Bungsu. Dan tanpa dapat dia cegah, diam-diam dia
harus tunduk pada takdir, bahwa dia mencintai pemuda asing ini. Sikapnya yang
pendiam, sikapnya yang jujur, rendah hati dan lemah lembut membuat hati Hannako
benar-benar terpaut. Namun dia adalah gadis Jepang yang umumnya amat pemalu.
Amat menjunjung rasa kesopanan. Gadis-gadis Jepang tak begitu saja mau
menunjukkan rasa sayang pada lelaki. Dan keadaan dirinya yang tak lagi suci
menyebabkan gadis ini “tahu diri”. Dia tahu setiap lelaki menginginkan kesucian
calon isterinya. Dan Hannako akhirnya hanya bisa menghapus air mata jika
teringat betapa dirinya telah ternoda berkali-kali oleh jahanam Kawabata
anggota Jakuza terkutuk itu.
Kawabata,
lelaki jahanam anggota Jakuza itu ternyata memang tak pernah melupakan Hannako.
Gadis cantik itu sangat merangsang birahinya. Dan sejak gadis itu melarikan
diri dari rumahnya, dia telah menyebar beberapa anak buahnya untuk mencari
jejak gadis tersebut. Dan bagi Jakuza tak sulit mencari jejak seseorang di seluruh
Jepang. Negeri ini berada dalam cengkraman mereka. Mereka mempunyai jaringan di
seluruh kota dan desa. Organisasi mereka benar-benar hebat. Mengalahkan organisasi
Kepolisian Jepang.
Itulah sebabnya
dalam waktu yang tak begitu lama jejak Hannako segera diketahui. Mereka
mengetahui bahwa Hannako tinggal bersama abangnya. Bekas awak kapal Ichi Maru.
Tinggal di sebuah rumah di jalan Uchibori. Dan mereka lalu mematai-matai rumah
itu.
Siang itu si
Bungsu sedang duduk di beranda depan ketika dari seberang sana dia dengar
suara-suara bentakan. Berkali-kali dan berulang-ulang. Suara itu sudah beberapa
hari ini dia dengar dan berasal dari sebuah gedung besar. Dia melihat banyak
orang berdatangan. Umumnya anak-anak muda. Tapi selain anak muda juga
orang-orang tua.
“Hanako-san,
asoko ni nani ga arimasu ka” (dik Hanako, disana ada apa?) tanyanya pada
Hannako sambil menunjuk ke rumah besar di seberang sana.
Hannako menoleh
ke arah yang ditunjuk si Bungsu. Ke gedung besar jauh di seberang sana.
“Itu gedung
Budokan…”
“Budokan?”
“Ya”
“Tempat apa
itu?”
“Di sana tempat
orang-orang berlatih Judo. Bang Kenji dahulu juga berlatih Judo disana”
“Dia belajar
Judo disana?”
“Ya. Dia malah
sudah menjadi Sensei dengan tingkat Dan III sebelum berangkat jadi pelaut”
“Apa itu
tingkat Dan III?”
“Pemegang Dan
adalah Pemegang Sabuk Hitam. Dimulai dari Dan I setelah naik dari sabuk coklat”
Si Bungsu
manggut-manggut.
“Abang juga
seorang Karateka tingkat Dan II,
pergilah kesana, abang sedang latihan disana”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 070
No comments:
Post a Comment