“Sumimasen,
anata wa Indonesia-jin desu” (Maaf, apakah anda orang Indonesia) tiba-tiba dia
dikejutkan oleh pertanyaan gadis itu.
“Hai….watashi
wa Indonesia-jin desu” (Ya, saya orang Indonesia) jawabnya.
“Sudah berapa
lama di Jepang?”
“Baru tiga
bulan”
“Di sini
tinggal sendiri?”
“Ya..”
Dan pembicaraan
mereka terputus takala makanan yang mereka pesan diletakkan di atas meja. Mereka
makan dengan lahap. Selesai makan, si Bungsu membayar makanan tersebut. Dan
mereka lalu keluar dari kedai kecil itu.
“Anata no uchi
wa doko ni arimasu ka” (Rumah anda dimana?) tanyanya pada Hannako.
Gadis itu
menunduk lemah.
“Saya tak punya
rumah. Tak punya orang tua….” Jawabnya lirih.
“Jangan sedih.
Mari kita pergi….” Si Bungsu cepat memutuskan kesedihan gadis itu.
“Saya belum
tahu nama anda, nama saya Hannako” gadis itu berkata sambil bergegas mengikuti
langkahnya.
“Hannako, hmm
itu artinya Bunga dalam bahasa Jepang bukan?”
“Hai. Tapi
siapa nama anda?”
“Bungsu…”
“Bungsu…?”
“Hai..”
“Apakah itu
nama bunga atau benda lain?”
“Tidak. Saya
anak yang paling kecil dalam keluarga saya. Dan anak yang paling kecil di kampung
saya disebut Bungsu”
Mereka berjalan
menyelusuri jalan raya tanpa tujuan. Menjelang tengah hari, mereka berhenti di
taman Korakuen. Korakuen adalah sebuah taman di tengah kota. Pohon-pohon dan
bunga-bunga sudah gundul. Mereka duduk di kursi kayu. Sedikit cahaya matahari
di musim gugur ini membuat suasana cukup hangat. Puluhan lelaki dan perempuan
kelihatan duduk atau berjalan di taman itu. Ada yang duduk membaca. Ada yang
merajut sambil makan roti goreng. Sambil duduk,
Hannako menceritakan betapa dia melarikan diri dari Kawabata. Yaitu
salah seorang anggota Jakuza di daerah Shinjuku. Suatu daerah di pinggir barat
Tokyo. Dia teringat ke dalam perlakuan yang tak senonoh takkala dia berusaha
mencari makanan bagi adiknya. Kawabata yang baik itu membawanya ke rumahnya.
Tapi di rumah itu yang dia terima bukan makanan. Melainkan obat bius yang
membuat dia tertidur.
Dan begitu dia
sadar dari bius, dia mendapati dirinya sudah tak suci lagi. Peristiwa itu
berulang terus. Sementara usahanya untuk mengetahui dimana adiknya berada tak
pernah berhasil.
Dia tak
diperkenankan untuk keluar. Dan di sanalah dia, di rumah Kawabata, di daerah
Shinjuku terkurung selama dua bulan. Dia dijadikan pemuas nafsu lelaki jahanam
itu. Dan malam tadi dia berhasil melarikan diri takkala di rumah itu diadakan
pesta semalam suntuk. Dikala isi rumah sedang mabuk kepayang, ada yang bergumul
dengan perempuan-perempuan dalam kamar, Hannako mempergunakan kesempatan itu
untuk kabur.
Tak dinyana dia
bertemu lagi dengan teman-teman Kawabata di dalam terowongan di daerah Yotsuya
pagi tadi.
“Untung saya
tidur dekat Bungsu-san (Kak Bungsu) malam tadi…” kata gadis itu perlahan.
Dan matanya
memandang pada “tongkat” ditangan si Bungsu. Dari tongkat itu, matanya menatap
pada wajah anak muda tersebut.
“Bungsu-san
sangat mahir mempergunakan samurai. Dimana Bungsu-san belajar? Apakah di
Indonesia juga ada orang belajar samurai seperti di Jepang ini?”
Si Bungsu hanya
tersenyum. Dia sudah akan bercerita ketika dari jauh dia lihat seseorang
bersama dua kanak-kanak lelaki.
“Tunggu
sebentar di sini…” katanya sambil berdiri dari duduk. “Kenjiii….Kenji-san…!
Himbaunya.
Lelaki yang dia panggil itu menoleh.
“Bungsu-san…”
balasnya. Dan mereka saling berlarian melintas padang rumput. Kemudian saling
peluk.
“Bungsu-san,
Bungsu-san saya telah temukan adik lelaki saya. Ini dia…” Kenji dengan terharu
memperkenalkan kanak-kanak itu pada Bungsu.
Kanak-kanak itu
membungkuk memberi hormat padanya. Si Bungsu jadi terharu.
“Syukurlah
kalian telah berkumpul. Bagaimana dengan adikmu yang besar?”
Kenji menarik
nafas berat. Wajahnya amat berduka.
“Saya tak tahu
bagaimana nasibnya Bungsu-san. Barangkali dia telah jadi korban keganasan
lelaki. Negeri ini telah berobah jadi neraka. Dahulu penduduk Jepang adalah
orang-orang yang sopan santun. Tapi selama kita disini kau lihat sendiri, semua
berobah jadi serigala… adik perempuanku itu…”
Suaranya
terputus ketika dari belakang si Bungsu dia lihat seorang gadis tegak dari
bangku yang tadi juga diduduki si Bungsu. Gadis itu berjalan dengan terkejut ke
arah mereka.
“Hanako….Hanako…”
suara Kenji mengambang.
Si Bungsu
menoleh. Dan dia melihat Hannako yang dia tolong itu berjalan mendekati mereka.
“Ani…”(abang…)
himbau gadis itu.
“Imoto…” (adik….)
himbau Kenji.
Dan tiba-tiba
mereka saling peluk. Mereka berpelukan bertiga beradik. Saling peluk dalam
tangis yang penuh haru. Tanpa dapat ditahan, si Bungsu merasa matanya basah.
Merasa pipinya basah. Merasa hatinya basa.
“Bungsu-san….inilah
adik saya yang tua, Hanako…” Kenji berkata diantara air matanya yang mengalir
turun.
“Bungsu-san…inilah
abang saya, dan ini adik-adik yang saya ceritakan tadi….” Hannako juga berkata.
Dan baik Kenji
maupun Hannako saling heran. Kenji merasa heran, sebab kenapa adiknya ini bisa
kenal dengan Bungsu. Sebaliknya Hannako juga heran, kenapa abangnya kenal pula
dengan si Bungsu? Si Bungsu benar-benar tak bisa bersuara. Dia seperti
berkumpul lagi dengan kakak dan keluarganya. Dia dapat merasakan kebahagian
Kenji dan Hannako.
Karenanya dia
hanya mengangguk berkali-kali. Menghapus airmatanya yang mengalir dipipi.
“Aku telah
mengenal abangmu, Hanako. Kami telah berkenalan sejak di kapal. Dan aku telah
mengenal adikmu, Kenji. Kami berkenalan malam tadi. Di terowongan di daerah
Yotsuya…”
Mereka lalu
mencari tempat duduk di taman itu. Dan Hannako lalu menceritakan pada Kenji
bagaimana nasibnya di rumah Kawabata. Dan bagaimana dia dibela si Bungsu pagi
tadi.
Kenji tiba-tiba
berlutut di depan si Bungsu. Dia bersujud di tanah seperti halnya kaum Yudoka
memberi hormat. Di antara air mata dan isaknya yang tertahan, terdengar
suaranya bergetar mengucapkan terimakasih.
“Domo arigato
gozaimu Bungsu-san. Domo arigato gozaimasu…”
Si Bungsu jadi
kaget melihat sikap Kenji ini. Dia cepat-cepat memegang bahu Kenji. Kemudian
membawanya berdiri.
“Saya gembira
kalian berkumpul Kenji. Saya gembira. Bersyukurlah pada Tuhan…” dia berkata
penuh haru.
Kenji adalah
seorang pemuda Jepang di kapal Ichi Maru yang ditompangi si Bungsu dari
Singapura ke Tokyo. Kapal itu adalah kapal Jepang. Tapi orang Jepang yang
bekerja disana hanya empat orang. Tiga orang terdiri dari Nahkoda, Mualim I,
kepala Bahagian Mesin. Sedangkan Kenji adalah Stirman II dibawah Mualim II.
Selain mereka berempat, awak kapal yang lain terdiri dari orang Inggris,
Amerika dan Cina. Kapal Jepang itu dicarter oleh Perusahaan Inggris untuk
mengangkut barang-barang dari Inggris ke Jepang melalui Singapura setelah
berakhirnya perang Dunia II. Di kapal itulah mereka berkenalan. Kenji tahu
bahwa tentara Jepang menjajah Indonesia.
“Tentara yang
menjajah negerimu Bungsu-san. Bukan bangsa Jepang. Bangsa kami bukan bangsa
Agresor. Saya berani bertaruh, semua penduduk Sipil Jepang tak setuju dengan
ekspansi tentara Jepang ke negeri-negeri Asia. Tapi penduduk sipil tak punya
daya apa-apa bila bedil dan mesiu telah berbunyi…”
Demikian Kenji
pernah ngomong disuatu saat di kapal pada si Bungsu. dia termasuk pemuda-pemuda
Jepang yang secara diam-diam menentang penjajahan yang dilakukan pihak militer.
Si Bungsu hanya
menarik nafas panjang. Kenji adalah perwira muda di kapal itu yang usianya tak
jauh beda dengan si Bungsu. Barangkali mereka sebaya. Perkenalan mereka bermula
ketika si Bungsu mencari kamar di kapal itu. Karena kapal itu bukan kapal
penumpang, melainkan kapal barang maka para penumpang biasanya menempati dek
atau kalau akan menyewa kamar, mereka menyewa kamar para awak kapal. Si Bungsu
menempati sebuah kamar. Dan kamar itu adalah kamar Kenji. Dia menyewa kamar
tersebut pada Kenji. Sudah lazim bagi awak kapal menyewakan kamarnya kepada
para penumpang untuk sekedar penambah uang rokok.
Persahabatan
mereka terjalin secara perlahan tapi akrab. Dari si Bungsu Kenji banyak mengenal
Indonesia. Selain cerita tentang Indonesia, dia juga belajar bahasa Indonesia
dari si Bungsu.
“Kapal kami
sudah dua kali berlabuh di Priok dan sekali di Surabaya. Saya sulit turun ke
darat karena tak mengerti bahasa Indonesia” kata Kenji.
Dia giat belajar
selama pelayaran. Dan sebagai “tukarannya” Kenji mengajarkan pula bahasa Jepang
pada si Bungsu. Ternyata kedua mereka maju dengan pesat dalam pelajaran
masing-masing.
“Untuk apa kau
datang ke Jepang?” suatu saat ketika kapal mereka akan merapat di pelabuhan
Tokyo, Kenji bertanya.
Si Bungsu
menatap Kenji sesaat. Kemudian melemparkan pandangannya ke pulau Honshu yang
kelihatan sayup-sayup di balik kabut. Pulau Honshu adalah pulau terbesar di antara
kepulauan di negara Jepang. Di pulau Honshu terletak kota-kota besar Jepang
seperti Tokyo, Kyoto, Nagoya dan Osaka. Pandangannya seperti menembus kabut.
Wajahnya datar seperti danau tak beriak sedikitpun. Ada api yang marak di
dadanya. Ada teluk dendam yang alangkah dalamnya dan alangkah berpiuhnya direlung
hatinya. Namun semuanya tak berbekas keluar. Dan Kenji seperti dapat merasakan
semuanya. Seperti mengetahui ada sesuatu yang bergelora dan berbuih di hati
sahabatnya ini. Dia merasakannya, meski tak tahu dengan pasti.
“Tak usah kau
katakan Bungsu-san. Saya hanya mendoakan, agar apa yang kau cari, kau temui.
Dan saya berdoa agar engkau bisa kembali ke negerimu dengan selamat dan dengan
perasaan yang tenteram….” Kenji akhirnya berkata.
“Terimakasih.
Kenji-san…” katanya perlahan. Dan apa maksud kedatangannya ke Jepang ini,
semenjak pertanyaan pertama itu, tak lagi pernah diungkit oleh Kenji.
Namun kini,
setelah dia bertemu dengan adiknya Hannako, setelah dia ketahui bahwa adiknya
diselamatkan oleh si Bungsu dengan samurai, Kenji kembali ingin mengetahui apa
maksud kedatangan anak muda ini.
Mereka kini
tinggal serumah, Kenji dengan ketiga adiknya, dan si Bungsu. Kenji mempunyai
uang yang cukup banyak dari penghasilan menjadi Stirman di kapal Ichi Maru
selama 5 tahun. Dengan uang itu, dia membeli sebuah rumah di jalan Uchibori.
Rumah dengan taman di belakangnya.
Rumah itu tak
begitu besar, namun untuk mereka rumah itu sudah lebih dari cukup. Di bahagian
depan ada dua pohon Sakura yang kini tengah gundul. Dan untuk kamar si Bungsu,
Hannako memilihkan kamar depan yang bagus.
Namun si Bungsu
meminta kamar yang di belakang. Soal kamar ini sempat membuat Hannako jadi
merajuk. Soalnya dia telah memilihkan dua kamar terbaik untuk kedua pemuda itu.
Kamar pertama untuk abangnya Kenji. Berada di bahagian kanan jika mula masuk ke
rumah tersebut.
Kamar kedua
yang dia siapkan secara baik dan indah adalah kamar yang sebelah kiri.
Berhadapan dengan kamar abangnya. Dan kamar itu dia atur khusus untuk si
Bungsu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 069
No comments:
Post a Comment