Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 070

“Sumimasen, anata wa Indonesia-jin desu” (Maaf, apakah anda orang Indonesia) tiba-tiba dia dikejutkan oleh pertanyaan gadis itu.
“Hai….watashi wa Indonesia-jin desu” (Ya, saya orang Indonesia) jawabnya.
“Sudah berapa lama di Jepang?”
“Baru tiga bulan”
“Di sini tinggal sendiri?”
“Ya..”

Dan pembicaraan mereka terputus takala makanan yang mereka pesan diletakkan di atas meja. Mereka makan dengan lahap. Selesai makan, si Bungsu membayar makanan tersebut. Dan mereka lalu keluar dari kedai kecil itu.

“Anata no uchi wa doko ni arimasu ka” (Rumah anda dimana?) tanyanya pada Hannako.

Gadis itu menunduk lemah.

“Saya tak punya rumah. Tak punya orang tua….” Jawabnya lirih.
“Jangan sedih. Mari kita pergi….” Si Bungsu cepat memutuskan kesedihan gadis itu.
“Saya belum tahu nama anda, nama saya Hannako” gadis itu berkata sambil bergegas mengikuti langkahnya.
“Hannako, hmm itu artinya Bunga dalam bahasa Jepang bukan?”
“Hai. Tapi siapa nama anda?”
“Bungsu…”
“Bungsu…?”
“Hai..”
“Apakah itu nama bunga atau benda lain?”
“Tidak. Saya anak yang paling kecil dalam keluarga saya. Dan anak yang paling kecil di kampung saya disebut Bungsu”

Mereka berjalan menyelusuri jalan raya tanpa tujuan. Menjelang tengah hari, mereka berhenti di taman Korakuen. Korakuen adalah sebuah taman di tengah kota. Pohon-pohon dan bunga-bunga sudah gundul. Mereka duduk di kursi kayu. Sedikit cahaya matahari di musim gugur ini membuat suasana cukup hangat. Puluhan lelaki dan perempuan kelihatan duduk atau berjalan di taman itu. Ada yang duduk membaca. Ada yang merajut sambil makan roti goreng. Sambil duduk,  Hannako menceritakan betapa dia melarikan diri dari Kawabata. Yaitu salah seorang anggota Jakuza di daerah Shinjuku. Suatu daerah di pinggir barat Tokyo. Dia teringat ke dalam perlakuan yang tak senonoh takkala dia berusaha mencari makanan bagi adiknya. Kawabata yang baik itu membawanya ke rumahnya. Tapi di rumah itu yang dia terima bukan makanan. Melainkan obat bius yang membuat dia tertidur.
Dan begitu dia sadar dari bius, dia mendapati dirinya sudah tak suci lagi. Peristiwa itu berulang terus. Sementara usahanya untuk mengetahui dimana adiknya berada tak pernah berhasil.

Dia tak diperkenankan untuk keluar. Dan di sanalah dia, di rumah Kawabata, di daerah Shinjuku terkurung selama dua bulan. Dia dijadikan pemuas nafsu lelaki jahanam itu. Dan malam tadi dia berhasil melarikan diri takkala di rumah itu diadakan pesta semalam suntuk. Dikala isi rumah sedang mabuk kepayang, ada yang bergumul dengan perempuan-perempuan dalam kamar, Hannako mempergunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tak dinyana dia bertemu lagi dengan teman-teman Kawabata di dalam terowongan di daerah Yotsuya pagi tadi.

“Untung saya tidur dekat Bungsu-san (Kak Bungsu) malam tadi…” kata gadis itu perlahan.

Dan matanya memandang pada “tongkat” ditangan si Bungsu. Dari tongkat itu, matanya menatap pada wajah anak muda tersebut.

“Bungsu-san sangat mahir mempergunakan samurai. Dimana Bungsu-san belajar? Apakah di Indonesia juga ada orang belajar samurai seperti di Jepang ini?”

Si Bungsu hanya tersenyum. Dia sudah akan bercerita ketika dari jauh dia lihat seseorang bersama dua kanak-kanak lelaki.

“Tunggu sebentar di sini…” katanya sambil berdiri dari duduk. “Kenjiii….Kenji-san…!

Himbaunya. Lelaki yang dia panggil itu menoleh.

“Bungsu-san…” balasnya. Dan mereka saling berlarian melintas padang rumput. Kemudian saling peluk.
“Bungsu-san, Bungsu-san saya telah temukan adik lelaki saya. Ini dia…” Kenji dengan terharu memperkenalkan kanak-kanak itu pada Bungsu.

Kanak-kanak itu membungkuk memberi hormat padanya. Si Bungsu jadi terharu.

“Syukurlah kalian telah berkumpul. Bagaimana dengan adikmu yang besar?”

Kenji menarik nafas berat. Wajahnya amat berduka.

“Saya tak tahu bagaimana nasibnya Bungsu-san. Barangkali dia telah jadi korban keganasan lelaki. Negeri ini telah berobah jadi neraka. Dahulu penduduk Jepang adalah orang-orang yang sopan santun. Tapi selama kita disini kau lihat sendiri, semua berobah jadi serigala… adik perempuanku itu…”

Suaranya terputus ketika dari belakang si Bungsu dia lihat seorang gadis tegak dari bangku yang tadi juga diduduki si Bungsu. Gadis itu berjalan dengan terkejut ke arah mereka.

“Hanako….Hanako…” suara Kenji mengambang.

Si Bungsu menoleh. Dan dia melihat Hannako yang dia tolong itu berjalan mendekati mereka.

“Ani…”(abang…) himbau gadis itu.
“Imoto…” (adik….) himbau Kenji.

Dan tiba-tiba mereka saling peluk. Mereka berpelukan bertiga beradik. Saling peluk dalam tangis yang penuh haru. Tanpa dapat ditahan, si Bungsu merasa matanya basah. Merasa pipinya basah. Merasa hatinya basa.

“Bungsu-san….inilah adik saya yang tua, Hanako…” Kenji berkata diantara air matanya yang mengalir turun.
“Bungsu-san…inilah abang saya, dan ini adik-adik yang saya ceritakan tadi….” Hannako juga berkata.

Dan baik Kenji maupun Hannako saling heran. Kenji merasa heran, sebab kenapa adiknya ini bisa kenal dengan Bungsu. Sebaliknya Hannako juga heran, kenapa abangnya kenal pula dengan si Bungsu? Si Bungsu benar-benar tak bisa bersuara. Dia seperti berkumpul lagi dengan kakak dan keluarganya. Dia dapat merasakan kebahagian Kenji dan Hannako.
Karenanya dia hanya mengangguk berkali-kali. Menghapus airmatanya yang mengalir dipipi.

“Aku telah mengenal abangmu, Hanako. Kami telah berkenalan sejak di kapal. Dan aku telah mengenal adikmu, Kenji. Kami berkenalan malam tadi. Di terowongan di daerah Yotsuya…”

Mereka lalu mencari tempat duduk di taman itu. Dan Hannako lalu menceritakan pada Kenji bagaimana nasibnya di rumah Kawabata. Dan bagaimana dia dibela si Bungsu pagi tadi.
Kenji tiba-tiba berlutut di depan si Bungsu. Dia bersujud di tanah seperti halnya kaum Yudoka memberi hormat. Di antara air mata dan isaknya yang tertahan, terdengar suaranya bergetar mengucapkan terimakasih.

“Domo arigato gozaimu Bungsu-san. Domo arigato gozaimasu…”

Si Bungsu jadi kaget melihat sikap Kenji ini. Dia cepat-cepat memegang bahu Kenji. Kemudian membawanya berdiri.

“Saya gembira kalian berkumpul Kenji. Saya gembira. Bersyukurlah pada Tuhan…” dia berkata penuh haru.

Kenji adalah seorang pemuda Jepang di kapal Ichi Maru yang ditompangi si Bungsu dari Singapura ke Tokyo. Kapal itu adalah kapal Jepang. Tapi orang Jepang yang bekerja disana hanya empat orang. Tiga orang terdiri dari Nahkoda, Mualim I, kepala Bahagian Mesin. Sedangkan Kenji adalah Stirman II dibawah Mualim II. Selain mereka berempat, awak kapal yang lain terdiri dari orang Inggris, Amerika dan Cina. Kapal Jepang itu dicarter oleh Perusahaan Inggris untuk mengangkut barang-barang dari Inggris ke Jepang melalui Singapura setelah berakhirnya perang Dunia II. Di kapal itulah mereka berkenalan. Kenji tahu bahwa tentara Jepang menjajah Indonesia.

“Tentara yang menjajah negerimu Bungsu-san. Bukan bangsa Jepang. Bangsa kami bukan bangsa Agresor. Saya berani bertaruh, semua penduduk Sipil Jepang tak setuju dengan ekspansi tentara Jepang ke negeri-negeri Asia. Tapi penduduk sipil tak punya daya apa-apa bila bedil dan mesiu telah berbunyi…”

Demikian Kenji pernah ngomong disuatu saat di kapal pada si Bungsu. dia termasuk pemuda-pemuda Jepang yang secara diam-diam menentang penjajahan yang dilakukan pihak militer.
Si Bungsu hanya menarik nafas panjang. Kenji adalah perwira muda di kapal itu yang usianya tak jauh beda dengan si Bungsu. Barangkali mereka sebaya. Perkenalan mereka bermula ketika si Bungsu mencari kamar di kapal itu. Karena kapal itu bukan kapal penumpang, melainkan kapal barang maka para penumpang biasanya menempati dek atau kalau akan menyewa kamar, mereka menyewa kamar para awak kapal. Si Bungsu menempati sebuah kamar. Dan kamar itu adalah kamar Kenji. Dia menyewa kamar tersebut pada Kenji. Sudah lazim bagi awak kapal menyewakan kamarnya kepada para penumpang untuk sekedar penambah uang rokok.

Persahabatan mereka terjalin secara perlahan tapi akrab. Dari si Bungsu Kenji banyak mengenal Indonesia. Selain cerita tentang Indonesia, dia juga belajar bahasa Indonesia dari si Bungsu.

“Kapal kami sudah dua kali berlabuh di Priok dan sekali di Surabaya. Saya sulit turun ke darat karena tak mengerti bahasa Indonesia” kata Kenji.

Dia giat belajar selama pelayaran. Dan sebagai “tukarannya” Kenji mengajarkan pula bahasa Jepang pada si Bungsu. Ternyata kedua mereka maju dengan pesat dalam pelajaran masing-masing.

“Untuk apa kau datang ke Jepang?” suatu saat ketika kapal mereka akan merapat di pelabuhan Tokyo, Kenji bertanya.

Si Bungsu menatap Kenji sesaat. Kemudian melemparkan pandangannya ke pulau Honshu yang kelihatan sayup-sayup di balik kabut. Pulau Honshu adalah pulau terbesar di antara kepulauan di negara Jepang. Di pulau Honshu terletak kota-kota besar Jepang seperti Tokyo, Kyoto, Nagoya dan Osaka. Pandangannya seperti menembus kabut. Wajahnya datar seperti danau tak beriak sedikitpun. Ada api yang marak di dadanya. Ada teluk dendam yang alangkah dalamnya dan alangkah berpiuhnya direlung hatinya. Namun semuanya tak berbekas keluar. Dan Kenji seperti dapat merasakan semuanya. Seperti mengetahui ada sesuatu yang bergelora dan berbuih di hati sahabatnya ini. Dia merasakannya, meski tak tahu dengan pasti.

“Tak usah kau katakan Bungsu-san. Saya hanya mendoakan, agar apa yang kau cari, kau temui. Dan saya berdoa agar engkau bisa kembali ke negerimu dengan selamat dan dengan perasaan yang tenteram….” Kenji akhirnya berkata.
“Terimakasih. Kenji-san…” katanya perlahan. Dan apa maksud kedatangannya ke Jepang ini, semenjak pertanyaan pertama itu, tak lagi pernah diungkit oleh Kenji.

Namun kini, setelah dia bertemu dengan adiknya Hannako, setelah dia ketahui bahwa adiknya diselamatkan oleh si Bungsu dengan samurai, Kenji kembali ingin mengetahui apa maksud kedatangan anak muda ini.
Mereka kini tinggal serumah, Kenji dengan ketiga adiknya, dan si Bungsu. Kenji mempunyai uang yang cukup banyak dari penghasilan menjadi Stirman di kapal Ichi Maru selama 5 tahun. Dengan uang itu, dia membeli sebuah rumah di jalan Uchibori. Rumah dengan taman di belakangnya.

Rumah itu tak begitu besar, namun untuk mereka rumah itu sudah lebih dari cukup. Di bahagian depan ada dua pohon Sakura yang kini tengah gundul. Dan untuk kamar si Bungsu, Hannako memilihkan kamar depan yang bagus.
Namun si Bungsu meminta kamar yang di belakang. Soal kamar ini sempat membuat Hannako jadi merajuk. Soalnya dia telah memilihkan dua kamar terbaik untuk kedua pemuda itu. Kamar pertama untuk abangnya Kenji. Berada di bahagian kanan jika mula masuk ke rumah tersebut.

Kamar kedua yang dia siapkan secara baik dan indah adalah kamar yang sebelah kiri. Berhadapan dengan kamar abangnya. Dan kamar itu dia atur khusus untuk si Bungsu.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 069

No comments:

Post a Comment