Dia jadi
waspada. Siapa ini? Pencuri? Pencuri bukan merupakan hal yang mustahil.
Kanak-kanak, orang dewasa, lelaki atau perempuan, bisa saja jadi pencuri. Dan
mereka tak pula dapat disalahkan. Keadaan memaksa mereka jadi begitu.
Siapa pencuri
yang menginginkan pekerjaan jadi pencuri? Tak seorangpun. Mana pula ada orang yang
ingin diburu rasa takut berkepanjangan. Mana ada orang yang mau menyambung
nyawa hanya untuk sesuap nasi.
Tapi keadaan
memaksa demikian. Daripada bertarung dengan rasa lapar, lebih baik bertarung
dengan manusia. Orang yang naik itu membaringkan tubuhnya pula. Kemudian
terdengar isakannya perlahan. Menangis. Dan dari isaknya si Bungsu tahu bahwa
orang itu adalah seorang perempuan.
Namun tak lama
isaknya lenyap. Dan suara nafasnya terdengar perlahan. Tertidur. Perempuan itu
tertidur. Kelelahan membuat dia tertidur. Dan tidur adalah kenikmatan yang
paling indah dalam segala penderitaan. Dalam tidur buat sejenak orang dapat
melupakan penderitaan dan sengsaranya. Dalam tidur buat sejenak orang melupakan
rasa laparnya.
Bukankah lupa
meski agak sejenak terhadanh penderitaan, kemalaratan dan kesengsaraan sudah
merupakan suatu “kemewahan”? dan si Bungsu juga tertidur. Mereka tertidur
saling membelakang.
Suara
pertengkaran membangunkannya dari tidur. Perlahan dia bangkit. Dan tak jauh
dari tempatnya berbaring dia lihat empat lelaki Jepang tengah membentak-bentak.
Memeriksa tas kain seorang lelaki. Kemudian mengambil jam tangan dari dalam tas
itu. Demikian terus, keempat lelaki Jepang itu memeriksa orang-orang yang duduk
atau berbaring dalam terowongan itu.
“Jakuza…”
katanya perlahan.
Jakuza adalah
nama suatu sindikat penjahat Jepang. Yang beroperasi mulai dari tingkat paling
bawah. Seperti halnya mengkoordinir tukang copet, meminta belasting seperti
yang dilakukan sekarang, sampai pada mengkoordinir kejahatan tingkat atas.
Mengatur
pelacuran. Mengatur perampokan, pembunuhan. Penderitaan rakyat Jepang saat itu
selain oleh perang, ditambah lagi oleh kelompok yang menangguk di air keruh
ini.
Alat negara
sendiri kewalahan menghadapi kelompok Jakuza ini. Sebab mereka mempunyai kaki
tangan yang amat banyak. Dan mempunyai kekuatan besar. Mereka umumnya
beroperasi dengan senjata samurai. Dan dikalangan pejabat sendiri, mereka
mempunyai beking.
Si Bungsu
mengetahui hal itu dari temannya Kenji. Dan itulah kenapa sebabnya ketika para
Jakuza itu sampai pada dirinya, dia menyerahkan uang dikantongnya. Ada beberapa
ratus Yen. Itu diserahkannya semua.
Keempat anggota
Jakuza itu menatap padanya agak lama.
“Anata wa
Tai-jin desu” (Anda orang Muangthai) salah seorang bertanya.
“Watashi wa
Indonesia-jin desu…” Saya orang Indonesia) jawabnya perlahan.
“Ooo… Anata wa
Indonesia-jin desu….”(ooo, orang Indonesia he?)
“Hai..” (ya)
jawabnya perlahan.
Dan keempat
Jepang itu tak peduli. Di negeri mereka ini kini cukup banyak suku bangsa
berdatangan. Ada orang Muangthai, Malaya, Philipina, Indonesia dan orang-orang
Korea. Bagi mereka tak ada soal. Selama orang itu tak mendatangkan kesulitan
bagi organisasi mereka, silahkan tinggal di Jepang.
Tapi sekali
orang itu salah jalan, artinya berbuat tak baik menurut ukuran kelompok Jakuza,
maka mereka tidak hanya sekedar diburu, tapi juga dibunuh.
“Anohito wa
dare desu ka” (siapa ini) tanya anggota Jakuza itu sambil menunjuk tubuh yang
berbaring disisi si Bungsu.
Dan untuk
pertama kalinya si Bungsu menyadari bahwa tubuh ini datang ketika dia telah
berbaring. Dan sejak saat itu, dia tak mengetahui dan tak peduli padanya.
Mereka tidur saling membelakang.
Kinipun tubuh
itu tidur membelakang padanya dengan kepala tertutup kain.
“Saya tidak
tahu…”
Kembali keempat
lelaki itu menatapnya.
“Anata wa
Nippon-go o hanasukoto ga dekimasu ka” (apakah anda bisa bicara dalam bahasa
Jepang?) tanya lelaki yang nampaknya menjadi pemimpin diantara yang berempat
itu.
“Hai, bisa sedikit” jawabnya.
“Nah bangunkan dia,
dia harus bayar pajak” lelaki itu berkata sambil menunjuk pada tubuh yang tidur
itu.
“Maaf, saya tak
mengenalnya. Dia datang ketika saya sedang tidur..”
“Bangunkan
dia!” suara Jepang itu memerintah.
Si Bungsu tak
mau cari perkara. Dia sudah berniat menbangunkan orang itu ketika tubuh
tersebut bergerak dan bangkit duduk. Dan mereka semua, termasuk si Bungsu jadi
tertegun. Orang itu ternyata seorang gadis. Dia pastilah gadis yang cantik
sekali. Sebab meski dalam keadaan pakaian yang tak menentu dan rambut kusut
masai, keadaannya masi tetap memikat.
“Hannako…”
Jepang yang bertindak jadi pimpinan itu berkata keheranan.
Gadis itu
menatap dengan dingin.
“Apakah kalian
masih belum puas?” tiba-tiba gadis itu berkata.
“Hannako,
kenapa kau pergi dari rumah Kawabata?”
Gadis itu
memandang muak pada keempat lelaki tersebut.
“Ayo kau ikut
kami. Kalau kau tak senang di rumah Kawabata, kau boleh tinggal di rumahku…”
lelaki yang bertindak sebagai pimpinan diantara yang berempat itu berkata lagi.
Gadis itu
terkejut. Namun dia tak diberi kesempatan. Tangannya ditarik dengan kuat. Dan
saat berikutnya dia sudah dipangku oleh yang bertubuh besar itu keluar
terowongan.
“Hmm, kau main
gila dengan Hannako he…?” Jepang yang bertubuh pendek berkata. Dan sebelum si
Bungsu menyadari apa yang dimaksud si pendek itu, mukanya kena tampar tiga
kali.
Dan ketiga
Jepang itu menyusul pimpinannya yang memangku Hannako. Si Bungsu mendengar
gadis itu berteriak dan menangis sambil memukuli punggung Jepang besar itu.
Namun
perlawanan gadis itu tak ada artinya dibanding dengan Jepang yang memangkunya.
Dalam waktu dekat, mereka telah sampai diluar terowongan. Mereka tidak
mengambil jalan ke rel kereta api. Tapi mengambil jalan ke belakang.
Penghuni terowongan
yang ratusan orang jumlahnya itu hanya menatap dengan diam. Mereka tak mau ikut
campur. Sebab masalah mereka saja tak bisa mereka atasi. Apalagi harus
berhadapan dengan komplotan Jakuza. Oi mak, minta ampunlah!
Keempat lelaki
Jepang itu mulai melangkahi padang semak menuju jalan raya. Namun mereka segera
terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari arah belakang.
Mereka menoleh.
Dan jadi terheran-heran ketika melihat bahwa yang memanggil itu adalah si
“Indonesia” tadi.
“Lepaskan gadis
itu….” Suara si “Indonesia” yang tak lain daripada si Bungsu itu terdengar
dingin.
Keempat lelaki
itu saling pandang. Kemudian tertawa meringis. Yang memangku tubuh Hannako itu
memberi isyarat. Sementara dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan. Ketiga anggota
Jakuza itu lalu mengelilingi si Bungsu.
“Hmm, kamu mau
Hannako ya? Orang jajahan mau makan orang Jepang ha!?” yang pendek yang tadi
menampar si Bungsu berkata.
Dan ketiga
mereka lalu menyiapkan suatu hajaran buat si “Indonesia” ini. Sementara itu yang
tinggi besar tadi sudah berjalan agak sepuluh langkah dari tempat dimana si
Bungsu tadi menahan mereka. Dia sudah akan melangkahi parit kecil ketika
kembali terdengar suara menahannya dari belakang. Dia berhenti dan menoleh. Dan
kali ini dia jadi kaget. Yang menahannya ternyata si “Indonesia” itu lagi.
Dia tak melihat
seorangpun diantara ketiga temannya tadi. Kemana mereka? Dia coba melihat
kebelakang. Dan jauh di sana, dengan terkejut dia lihat ada tiga sosok tubuh
terhantar di tanah tak bergerak!
Terdengar
serapah dari mulutnya.
Dia lalu
menjatuhkan tubuh Hannako. Gadis itu jatuh tertelungkup.
“Jahanam,
berani waang melawan orang Jepang!” lelaki besar itu berkata sambil maju.
Dan sebuah
tendangan khas Karate dilayangkannya ke tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini
telah awas. Sarung samurainya bergerak sambil menghindar dari tendangan itu.
Tendangan si besar menerpa tempat kosong. Dan tiba-tiba kepalanya kena hantam
sarung samurai. Suaranya berdetak dalam cuaca dingin dipagi hari itu. Bukan
main marahnya Jepang itu. Dia berputar dan kembali menyerang dengan
pukulan-pukulan Karate. Sebenarnya dia bukan lawan si Bungsu dalam hal begini.
Anak muda ini tak sedikitpun mengetahui ilmu beladiri itu. Tapi dia memang tak
berusaha melawan serangan maut itu.
Dia hanya
menghindar sebelum serangan itu tiba. Dan berkali-kali sarung samurainya
dihantamkan ke kepala Jepang itu. Suatu saat Jepang itu kelihatan kehabisan
rasa sabarnya. Tahu-tahu di tangannya kini terpegang samurai pendek.
“Kubunuh kau!”
desisnya sambil menyerang dengan kecepatan kilat dengan samurainya yang
tersohor itu. Jakuza adalah kelompok bandit yang mahir dengan samurai.
Tapi kali ini,
Jepang itu ketemu lawan yang tak pernah dia mimpikan untuk bertemu. Begitu dia
mengayunkan samurainya, saat itu pula sebaris cahaya putih menyilang dada,
perut dan lehernya. Amat cepat, amat luar biasa. Amat tak pernah terbayangkan.
Dan Jepang itu rubuh dengan perut, dada dan leher robek menyemburkan darah.
Mati! Dan hanya sepersepuluh detik setik setelah itu, si Bungsu telah
menyarungkan kembali samurainya. Ini adalah kali kedua dia mempergunakan
samurainya sejak datang di Tokyo tiga bulan yang lalu. Malam tadi yang pertama
ketika dia membunuh tiga tentara Amerika di penginapan Asakusa.
Angin bertiup
perlahan. Dia menatap gadis itu. Dan gadis yang bernama Hannako itu juga
menatapnya.
“Arigato.
Arigato. Domo arigato gozaimasu…” (Terimakasih… Terimakasih banyak) gadis itu
berkata di antara air matanya yang mengalir turun.
“Nakanaide
kudasai…” (Jangan menangis…) katanya perlahan membujuk gadis itu.
Tapi gadis itu
makin menangis. Dia memegang tangannya. Kemudian membawanya masuk kembali ke
terowongan darimana mereka tadi datang.
“Tenang, jangan
menangis. Engkau telah selamat dari mereka…”
“Terimakasih.
Anda telah menyelamatkan nyawa saya. Mereka sangat kejam. Mereka bukan
manusia…..mereka…”
“Tenanglah…”
Dan gadis itu
menangis di pundaknya dalam terowongan itu. Lama gadis itu menangis. Sampai
akhirnya dia tenang. Dan si Bungsu teringat, bahwa mereka belum makan apa-apa sejak
pagi. Dia membawa gadis itu keluar terowongan. Ke arah yang berlawanan dari
yang ditempuh keempat Jakuza tadi.
“Mereka akan
mencari orang yang membunuh temannya….” Gadis itu berkata perlahan ketika
mereka duduk dalam sebuah warung kecil di pinggir jalan.
“Mereka takkan
menyangka saya yang membunuhnya. Mereka pasti menduga ada perkelahian sesama
orang Jepang…” si Bungsu berkata tenang.
Hannako
menatapnya.
“Mari kita
makan. Nani ni nasaimasu ka” (mau pesan apa?) tanyanya. Gadis itu menatapnya.
“Anda fasih
berbahasa Jepang…”
“Tidak, saya
belajar sedikit dari seorang teman. Nah, saya pesan Sukiaki, anda pesan apa?”
“Watashi wa
Tempura desu” (Saya pesan Tempura) jawab gadis itu dengan senyum di bibirnya.
Si Bungsu lalu
memesan kedua jenis makanan tersebut. Sukiaki yang dia pesan adalah makanan
yang terdiri dari daging, sayur dan kacang yang direbus. Sementara Tempura yang
dipesan Hannako adalah makanan yang terdiri dari goreng udang, ayam, ikan yang
dicampur tepung terigu dan sayuran. Sukiaki terutama dimakan orang dimusim
dingin seperti sekarang. Si Bungsu teringat pada gadis yang malam tadi di hotelnya
di Asakusa. Kemana gadis itu kini? Malam tadi dia tak sempat menanyai dan
menolong gadis itu lebih lanjut. Dia buru-buru menyelamatkan diri. Gadis itu kini
tentulah diinterogasi oleh Polisi Militer tentara Amerika. Menanyakan siapa
yang telah membunuh kedua serdadu Amerika itu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 068
No comments:
Post a Comment