Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 069

Dia jadi waspada. Siapa ini? Pencuri? Pencuri bukan merupakan hal yang mustahil. Kanak-kanak, orang dewasa, lelaki atau perempuan, bisa saja jadi pencuri. Dan mereka tak pula dapat disalahkan. Keadaan memaksa mereka jadi begitu.

Siapa pencuri yang menginginkan pekerjaan jadi pencuri? Tak seorangpun. Mana pula ada orang yang ingin diburu rasa takut berkepanjangan. Mana ada orang yang mau menyambung nyawa hanya untuk sesuap nasi.

Tapi keadaan memaksa demikian. Daripada bertarung dengan rasa lapar, lebih baik bertarung dengan manusia. Orang yang naik itu membaringkan tubuhnya pula. Kemudian terdengar isakannya perlahan. Menangis. Dan dari isaknya si Bungsu tahu bahwa orang itu adalah seorang perempuan.



Namun tak lama isaknya lenyap. Dan suara nafasnya terdengar perlahan. Tertidur. Perempuan itu tertidur. Kelelahan membuat dia tertidur. Dan tidur adalah kenikmatan yang paling indah dalam segala penderitaan. Dalam tidur buat sejenak orang dapat melupakan penderitaan dan sengsaranya. Dalam tidur buat sejenak orang melupakan rasa laparnya.

Bukankah lupa meski agak sejenak terhadanh penderitaan, kemalaratan dan kesengsaraan sudah merupakan suatu “kemewahan”? dan si Bungsu juga tertidur. Mereka tertidur saling membelakang.



Suara pertengkaran membangunkannya dari tidur. Perlahan dia bangkit. Dan tak jauh dari tempatnya berbaring dia lihat empat lelaki Jepang tengah membentak-bentak. Memeriksa tas kain seorang lelaki. Kemudian mengambil jam tangan dari dalam tas itu. Demikian terus, keempat lelaki Jepang itu memeriksa orang-orang yang duduk atau berbaring dalam terowongan itu.



“Jakuza…” katanya perlahan.



Jakuza adalah nama suatu sindikat penjahat Jepang. Yang beroperasi mulai dari tingkat paling bawah. Seperti halnya mengkoordinir tukang copet, meminta belasting seperti yang dilakukan sekarang, sampai pada mengkoordinir kejahatan tingkat atas.

Mengatur pelacuran. Mengatur perampokan, pembunuhan. Penderitaan rakyat Jepang saat itu selain oleh perang, ditambah lagi oleh kelompok yang menangguk di air keruh ini.

Alat negara sendiri kewalahan menghadapi kelompok Jakuza ini. Sebab mereka mempunyai kaki tangan yang amat banyak. Dan mempunyai kekuatan besar. Mereka umumnya beroperasi dengan senjata samurai. Dan dikalangan pejabat sendiri, mereka mempunyai beking.



Si Bungsu mengetahui hal itu dari temannya Kenji. Dan itulah kenapa sebabnya ketika para Jakuza itu sampai pada dirinya, dia menyerahkan uang dikantongnya. Ada beberapa ratus Yen. Itu diserahkannya semua.

Keempat anggota Jakuza itu menatap padanya agak lama.



“Anata wa Tai-jin desu” (Anda orang Muangthai) salah seorang bertanya.

“Watashi wa Indonesia-jin desu…” Saya orang Indonesia) jawabnya perlahan.

“Ooo… Anata wa Indonesia-jin desu….”(ooo, orang Indonesia he?)

“Hai..” (ya) jawabnya perlahan.



Dan keempat Jepang itu tak peduli. Di negeri mereka ini kini cukup banyak suku bangsa berdatangan. Ada orang Muangthai, Malaya, Philipina, Indonesia dan orang-orang Korea. Bagi mereka tak ada soal. Selama orang itu tak mendatangkan kesulitan bagi organisasi mereka, silahkan tinggal di Jepang.

Tapi sekali orang itu salah jalan, artinya berbuat tak baik menurut ukuran kelompok Jakuza, maka mereka tidak hanya sekedar diburu, tapi juga dibunuh.



“Anohito wa dare desu ka” (siapa ini) tanya anggota Jakuza itu sambil menunjuk tubuh yang berbaring disisi si Bungsu.



Dan untuk pertama kalinya si Bungsu menyadari bahwa tubuh ini datang ketika dia telah berbaring. Dan sejak saat itu, dia tak mengetahui dan tak peduli padanya. Mereka tidur saling membelakang.

Kinipun tubuh itu tidur membelakang padanya dengan kepala tertutup kain.



“Saya tidak tahu…”



Kembali keempat lelaki itu menatapnya.



“Anata wa Nippon-go o hanasukoto ga dekimasu ka” (apakah anda bisa bicara dalam bahasa Jepang?) tanya lelaki yang nampaknya menjadi pemimpin diantara yang berempat itu.

“Hai,  bisa sedikit” jawabnya.

“Nah bangunkan dia, dia harus bayar pajak” lelaki itu berkata sambil menunjuk pada tubuh yang tidur itu.

“Maaf, saya tak mengenalnya. Dia datang ketika saya sedang tidur..”

“Bangunkan dia!” suara Jepang itu memerintah.



Si Bungsu tak mau cari perkara. Dia sudah berniat menbangunkan orang itu ketika tubuh tersebut bergerak dan bangkit duduk. Dan mereka semua, termasuk si Bungsu jadi tertegun. Orang itu ternyata seorang gadis. Dia pastilah gadis yang cantik sekali. Sebab meski dalam keadaan pakaian yang tak menentu dan rambut kusut masai, keadaannya masi tetap memikat.



“Hannako…” Jepang yang bertindak jadi pimpinan itu berkata keheranan.



Gadis itu menatap dengan dingin.



“Apakah kalian masih belum puas?” tiba-tiba gadis itu berkata.

“Hannako, kenapa kau pergi dari rumah Kawabata?”



Gadis itu memandang muak pada keempat lelaki tersebut.



“Ayo kau ikut kami. Kalau kau tak senang di rumah Kawabata, kau boleh tinggal di rumahku…” lelaki yang bertindak sebagai pimpinan diantara yang berempat itu berkata lagi.



Gadis itu terkejut. Namun dia tak diberi kesempatan. Tangannya ditarik dengan kuat. Dan saat berikutnya dia sudah dipangku oleh yang bertubuh besar itu keluar terowongan.



“Hmm, kau main gila dengan Hannako he…?” Jepang yang bertubuh pendek berkata. Dan sebelum si Bungsu menyadari apa yang dimaksud si pendek itu, mukanya kena tampar tiga kali.



Dan ketiga Jepang itu menyusul pimpinannya yang memangku Hannako. Si Bungsu mendengar gadis itu berteriak dan menangis sambil memukuli punggung Jepang besar itu.

Namun perlawanan gadis itu tak ada artinya dibanding dengan Jepang yang memangkunya. Dalam waktu dekat, mereka telah sampai diluar terowongan. Mereka tidak mengambil jalan ke rel kereta api. Tapi mengambil jalan ke belakang.

Penghuni terowongan yang ratusan orang jumlahnya itu hanya menatap dengan diam. Mereka tak mau ikut campur. Sebab masalah mereka saja tak bisa mereka atasi. Apalagi harus berhadapan dengan komplotan Jakuza. Oi mak, minta ampunlah!



Keempat lelaki Jepang itu mulai melangkahi padang semak menuju jalan raya. Namun mereka segera terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari arah belakang.

Mereka menoleh. Dan jadi terheran-heran ketika melihat bahwa yang memanggil itu adalah si “Indonesia” tadi.



“Lepaskan gadis itu….” Suara si “Indonesia” yang tak lain daripada si Bungsu itu terdengar dingin.



Keempat lelaki itu saling pandang. Kemudian tertawa meringis. Yang memangku tubuh Hannako itu memberi isyarat. Sementara dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan. Ketiga anggota Jakuza itu lalu mengelilingi si Bungsu.



“Hmm, kamu mau Hannako ya? Orang jajahan mau makan orang Jepang ha!?” yang pendek yang tadi menampar si Bungsu berkata.



Dan ketiga mereka lalu menyiapkan suatu hajaran buat si “Indonesia” ini. Sementara itu yang tinggi besar tadi sudah berjalan agak sepuluh langkah dari tempat dimana si Bungsu tadi menahan mereka. Dia sudah akan melangkahi parit kecil ketika kembali terdengar suara menahannya dari belakang. Dia berhenti dan menoleh. Dan kali ini dia jadi kaget. Yang menahannya ternyata si “Indonesia” itu lagi.

Dia tak melihat seorangpun diantara ketiga temannya tadi. Kemana mereka? Dia coba melihat kebelakang. Dan jauh di sana, dengan terkejut dia lihat ada tiga sosok tubuh terhantar di tanah tak bergerak!

Terdengar serapah dari mulutnya.

Dia lalu menjatuhkan tubuh Hannako. Gadis itu jatuh tertelungkup.



“Jahanam, berani waang melawan orang Jepang!” lelaki besar itu berkata sambil maju.



Dan sebuah tendangan khas Karate dilayangkannya ke tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini telah awas. Sarung samurainya bergerak sambil menghindar dari tendangan itu. Tendangan si besar menerpa tempat kosong. Dan tiba-tiba kepalanya kena hantam sarung samurai. Suaranya berdetak dalam cuaca dingin dipagi hari itu. Bukan main marahnya Jepang itu. Dia berputar dan kembali menyerang dengan pukulan-pukulan Karate. Sebenarnya dia bukan lawan si Bungsu dalam hal begini. Anak muda ini tak sedikitpun mengetahui ilmu beladiri itu. Tapi dia memang tak berusaha melawan serangan maut itu.

Dia hanya menghindar sebelum serangan itu tiba. Dan berkali-kali sarung samurainya dihantamkan ke kepala Jepang itu. Suatu saat Jepang itu kelihatan kehabisan rasa sabarnya. Tahu-tahu di tangannya kini terpegang samurai pendek.



“Kubunuh kau!” desisnya sambil menyerang dengan kecepatan kilat dengan samurainya yang tersohor itu. Jakuza adalah kelompok bandit yang mahir dengan samurai.



Tapi kali ini, Jepang itu ketemu lawan yang tak pernah dia mimpikan untuk bertemu. Begitu dia mengayunkan samurainya, saat itu pula sebaris cahaya putih menyilang dada, perut dan lehernya. Amat cepat, amat luar biasa. Amat tak pernah terbayangkan. Dan Jepang itu rubuh dengan perut, dada dan leher robek menyemburkan darah. Mati! Dan hanya sepersepuluh detik setik setelah itu, si Bungsu telah menyarungkan kembali samurainya. Ini adalah kali kedua dia mempergunakan samurainya sejak datang di Tokyo tiga bulan yang lalu. Malam tadi yang pertama ketika dia membunuh tiga tentara Amerika di penginapan Asakusa.

Angin bertiup perlahan. Dia menatap gadis itu. Dan gadis yang bernama Hannako itu juga menatapnya.



“Arigato. Arigato. Domo arigato gozaimasu…” (Terimakasih… Terimakasih banyak) gadis itu berkata di antara air matanya yang mengalir turun.

“Nakanaide kudasai…” (Jangan menangis…) katanya perlahan membujuk gadis itu.



Tapi gadis itu makin menangis. Dia memegang tangannya. Kemudian membawanya masuk kembali ke terowongan darimana mereka tadi datang.



“Tenang, jangan menangis. Engkau telah selamat dari mereka…”

“Terimakasih. Anda telah menyelamatkan nyawa saya. Mereka sangat kejam. Mereka bukan manusia…..mereka…”

“Tenanglah…”



Dan gadis itu menangis di pundaknya dalam terowongan itu. Lama gadis itu menangis. Sampai akhirnya dia tenang. Dan si Bungsu teringat, bahwa mereka belum makan apa-apa sejak pagi. Dia membawa gadis itu keluar terowongan. Ke arah yang berlawanan dari yang ditempuh keempat Jakuza tadi.



“Mereka akan mencari orang yang membunuh temannya….” Gadis itu berkata perlahan ketika mereka duduk dalam sebuah warung kecil di pinggir jalan.

“Mereka takkan menyangka saya yang membunuhnya. Mereka pasti menduga ada perkelahian sesama orang Jepang…” si Bungsu berkata tenang.



Hannako menatapnya.



“Mari kita makan. Nani ni nasaimasu ka” (mau pesan apa?) tanyanya. Gadis itu menatapnya.

“Anda fasih berbahasa Jepang…”

“Tidak, saya belajar sedikit dari seorang teman. Nah, saya pesan Sukiaki, anda pesan apa?”

“Watashi wa Tempura desu” (Saya pesan Tempura) jawab gadis itu dengan senyum di bibirnya.



Si Bungsu lalu memesan kedua jenis makanan tersebut. Sukiaki yang dia pesan adalah makanan yang terdiri dari daging, sayur dan kacang yang direbus. Sementara Tempura yang dipesan Hannako adalah makanan yang terdiri dari goreng udang, ayam, ikan yang dicampur tepung terigu dan sayuran. Sukiaki terutama dimakan orang dimusim dingin seperti sekarang. Si Bungsu teringat pada gadis yang malam tadi di hotelnya di Asakusa. Kemana gadis itu kini? Malam tadi dia tak sempat menanyai dan menolong gadis itu lebih lanjut. Dia buru-buru menyelamatkan diri. Gadis itu kini tentulah diinterogasi oleh Polisi Militer tentara Amerika. Menanyakan siapa yang telah membunuh kedua serdadu Amerika itu.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 068

No comments:

Post a Comment