Dia mengantar dua
tentara ke dua buah kamar yang kebetulan kosong. Dan si Letnan dia antarkan ke
kamar yang dekat taman. Pemilik kediaman itu mengetuk pintu.
“Gomenkudasai….”
Katanya keras menyuruh membuka pintu.
Ketika pintu
tak juga kunjung dibuka dari dalam, dia langsung mendorong pintu TO tersebut
hingga terbuka. Di dalamnya, seorang lelaki muda menggeliat di bawah selimut.
“Maaf, keluar
dahulu sebentar. Kamar ini akan dipakai…”
Lelaki muda itu
tak memprotes. Sebab sejak tiga bulan tinggal di penginapan ini, kejadian
seperti ini sudah sering terjadi. Kamarnya dipakai sementara untuk berbuat
mesum oleh tentara amerika. Kemudian jika selesai, dia masuk lagi. Yaitu
setelah tentara Amerika itu keluar. Menjijikkan memang. Tapi begitulah cara
hidup yang aman di Jepang saat itu. Persetan segala kejadian. Berani melawan?
Hmm, bisa ditangkap dengan tuduhan melawan tentara Amerika. Buat saat ini,
melawan tentara Amerika berkelahi misalnya, jauh lebih berbahaya daripada
membunuh dua atau tiga orang Jepang. Kalau membunuh dua atau tiga orang Jepang
masih ada jalur hukum yang ditempuh. Kepengadilan, pengusutan dll. Tapi melawan
tentara Amerika bisa ditembak di tempat. Tak peduli salah atau benar.
Sadar akan hal
inilah makanya anak muda itu lalu bangkit. Kemudian memakai pakaian seadanya.
Lalu melangkah keluar kamar. Di pintu langkahnya tiba-tiba berhenti. Menatap
pada gadis yang tegak dengan mata sembab bekas menangis di samping tentara
Amerika.
Gadis itu amat
cantik. Berambut hitam berhidung mancung dan bermata gemerlap. Tapi bukan kecantikannya itu yang membuat
langkahnya terhenti. Gadis itu pernah dia lihat dua hari yang lalu. Tapi
ingatannya hanya sampai di sana. Gadis itu telah ditarik oleh Letnan ke dalam.
Dan pintu TO itu ditutupkan oleh pemilik penginapan. Di dalam kamar, lelaki
muda itu mendengar gadis tadi. Suara bergumul seperti orang berlarian di dalam
kamar tersebut.
Dia
mengumpulkan ingatannya lagi. Bukankah gadis itu yang dia temui dua hari yang
lalu di jalan Ginza? Saat itu dia akan pergi ke Shibuya mencari temannya
sekapal dulu.
Dia bingung
harus naik apa. Ada kereta api, tapi dia tak tahu pasti apakah kereta itu akan
ke Shibuya. Tengah dia kebingungan begitu, dia melihat seorang gadis lewat
mengapit buku. Bergegas dia mendekati gadis itu dan membungkuk hormat.
“Sumimasen,
kono densha wa Shibuya e ikimasu ka” (Numpang tanya, apakah kereta listrik ini
pergi ke Shibuya). Tanyanya dalam bahasa Jepang yang terasa kaku.
Gadis itu
menoleh. Dan selintas saja dia melihat betapa cantiknya gadis Jepang tersebut.
Berumur paling banyak baru delapan belas. Berambut hitam panjang. Berhidung
mancung dan bermata gemerlap dengan tubuh yang indah. Tapi gadis itu segara
saja melotot lalu meneruskan perjalanannya tanpa menjawab sepatahpun. Dia jadi
malu. Dan kini, bukankah gadis itu yang ada dalam kamar bersama tentara Amerika
itu?
Hmm, gadis
cantik yang sombong. Ternyata jadi gula-gula tentara Amerika. Dia menarik nafas
panjang. Duduk bersandar di kursi di lorong di depan kamarnya itu sambil
berkelumun kain sarung.
Dari kamar-kamar
yang lain dia dengar suara tawa cekikikan perempuan. Tapi dari kamarnya yang
dia tinggalkan tadi, dia mendengar suara orang bergumul. Suara rintihan
perempuan. Suara caci maki tentara Amerika itu. Suara kain robek.
“Oh jangan.
Jangan….jangan!” suara gadis itu terdengar menghiba-hiba.
Dan tiba-tiba
pula, lelaki yang duduk berkelumun kain sarung di luar itu, yang tak lain dari
si Bungsu jadi tertegak! Gadis itu jelas tak menyukai perlakukan tentara
Amerika tersebut. Dia mendengar betapa sejak tadi sebenarnya gadis itu lebih
banyak meronta, menghindar dari perbuataan buas serdadu itu. Ketika dia dengar
gadis itu kembali bermohon menghiba-hiba, si Bungsu segera teringat pada
kakaknya yang diperkosa Saburo Matsuyama. Dan tanpa dapat dia tahan, tiba-tiba
pintu TO itu dia renggutkan dengan kasar. Letnan Amerika itu terhenti. Si
Bungsu melihat gadis itu terduduk lemah dengan pakaian yang compang camping di
sudut ruangan. Sementara Letnan itu dengan tubuh yang hampir telanjang berusaha
menyeretnya kembali ke atas kasur. Tentara Amerika itu mendelik padanya.
“Get Out!!”
Letnan itu berteriak berang.
Namun si Bungsu
dengan mata yang menatap dingin, tetap
tegak mengangkang di pintu. Menatap dengan wajah penuh benci pada tentara
Amerika tersebut.
“Keluar, syetan!!”
tentara Amerika itu kembali menghardik.
“Lebih baik
anda yang keluar. Gadis ini tidak mau diperlakukan demikian. Cari saja
perempuan yang lain….” Suara si Bungsu terdengar datar.
Dengan suatu
geraman seperti macan kelaparan, letnan bertubuh besar itu menerkam si Bungsu.
Rasa berkuasa sebagai tentara yang menang perang membuat tentara ini menganggap
semua orang bisa dia makan. Namun terkamannya terhenti separoh jalan. Si Bungsu
menanti terkaman itu dengan suatu tendangan telak. Kakinya mendarat di kerampang
letnan yang hanya bercelana kotok kecil itu. Terdengar dia mengeluh. Matanya
mendelik. Kemudian dengan sempoyongan sambil memaki panjang pendek, dia
berjalan keunggukan pakaiannya. Dan tiba-tiba dia membalik dengan pistol
ditangan.
Namun nasib
tentara ini bernasib malang. Anak muda yang dia hadapi itu ternyata seorang
yang sangat peka terhadap perkosaan. Di hatinya telah tergores luka dan dendam
yang luar biasa akibat perkosaan yang dilakukan pada kakaknya bertahun-tahun
yang lalu di Situjuh Ladang Laweh.
Dan saat ini,
naluri dendamnya itulah yang bicara. Begitu dia melihat letnan itu mengacungkan pistol ke arahnya, tanpa
membuang waktu tubuhnya berguling di lantai. Lompat tupai! Gerakan yang
tersohor ini dia pergunakan sesaat sebelum pistol itu menyalak.
Letusan itu
mengejutkan semua isi penginapan. Dan letusan itu menerkam pintu TO pada
bingkainya. Pintu tercampak.
Letnan itu
berputar mengarahkan pistolnya pada lelaki yang kini berada di kanannya. Namun
yang dia hadapi adalah seorang anak muda yang telah lolos dari ribuan maut yang
pernah mengancam. Anak muda yang dia hadapi sebenarnya adalah sisa-sisa
kebuasan perang dan kebuasan rimba raya yang jauh lebih dahsyat.
Kini anak muda itu tegak di sisinya dengan sebuah
tongkat di tangan kiri!. Dan begitu dia berniat menarik pelatuk pistolnya, saat
itu pula tangan anak muda itu bergerak. Segaris cahaya putih yang sulit untuk
diikuti kecepatannya, berkelabat.
Dan saat
berikutnya adalah rasa perih yang sangat pada tangan si Letnan. Dan letnan itu
terpekik takkala mengetahui bahwa tangannya yang berpistol itu telah putus
sampai ke bahu!
Dia meraung.
Tapi hanya sebentar sekali. Sebab begitu raungannya keluar, begitu tubuhnya
belah jadi dua! Darah menyembur-nyembur. Dan sesaat, anak muda itu tegak dengan
wajah dingin, tak berekspresi sedikitpun! Di luar terdengar derap sepatu
berlarian. Seseorang muncul di pintu dengan bedil di tangan. Dia adalah sersan
yang tadi datang bersama letnan yang mati itu. Matanya terbeliak melihat darah
dan tubuh yang pontong di lantai. Lalu tangannya yang berbedil stengun
tersebut. Tapi hanya sampai disana gerakannya. Sebab setelah itu gerakan anak
muda dari Gunung Sago itu terlalu cepat untuk bisa diamati. Tubuh sersan itu
melosoh ke lantai dengan dada dan perut belah. Mati dia! Dan setelah itu yang
terdengar adalah hiruk pikuk. Si Bungsu sadar bahwa maut mengancamnya. Dia
menyambar bungkusan kecil miliknya di sudut ruangan. Kemudian melompat ke
belakang. Dan lenyap pada gelapnya malam. Di penginapan suasana jadi sangat
heboh. Sebab peluit dan sirena mobil tentara terdengar meraung-raung. Penginapan
itu dikepung dalam waktu singkat. Tak seorangpun boleh keluar. Bahkan semutpun
akan diketahui bila keluar dari penginapan itu. Demikian rapat dan telitinya
tentara Amerika mengepung penginapan itu dalam rangka mencari pembunuh kedua
serdadunya.
Namun saat itu,
si Bungsu telah berada jauh sekali dari sana. Dia hapal jalan-jalan memintas
dari penginapan ke berbagai arah. Sebab dia sudah tiga bulan menginap di sana.
Dia tak berani naik taksi. Sebab ornag akan mengetahui kemana dia pergi. Dia
segera ingat, di daerah Ocha Nomizu dan Yotsuya ada terowongan bawah tanah.
Terowongan ini pada awalnya adalah untuk riol air. Tapi dibuat sedemikian
besarnya sehingga sebuah truk bisa masuk. Dan terowongan itu bersimpang siur di
bawah tanah. Terbuat dari beton. Sementara di atasnya ada jalan raya, jalan
kereta api atau bangunan. Dan di zaman perang Asia Pasifik, dimana Jepang
menerjunkan diri, malah bergabung dengan fasis Hitler di Eropah, terowongan bawah
tanah itu ditingkatkan menjadi lobang perlindungan.
Yaitu menjaga
kemungkinan sewaktu-waktu Tokyo diserbu tentara Sekutu. Terowongan itu bisa
memuat ratusan ribu penduduk. Tapi ternyata terowongan itu tak pernah
imanfaatkan. Artinya tak pernah dimanfaatkan untuk perlindungan peperangan. Sebab
tentara Sekutu tak pernah menyerbu Tokyo. Mereka hanya menjatuhkan 2 buah Bom
Atom, di Hirosima dan Nagasaki. Dan itu sudah cukup melumpuhkan seluruh Jepang.
Sebab kedua kota ini adalah kota utama menghimpun kekuatan militer Jepang. Di
kedua kota inilah terutama Hirosima seluruh persenjataan balatentara Jepang
dibuat. Kota ini adalah kota industri senjata. Dan begitu Bom meluluhkannya,
maka lumpuhlah kekuatan Balatentara Jepang. Kini tentara Amerika memang datang
ke Tokyo. Tapi penduduk Tokyo tak perlu lagi bersembunyi ke dalam terowongan.
Sebab tentara Amerika datang sebagai penguasa baru. Dan rakyat Jepang juga tak
seorangpun yang mengangkat bedil melawan Amerika. Mereka menanti sebagai orang
dikalahkan. Si bungsu berniat ke terowongan itu.
Tiga bulan di Tokyo
sejak kedatangannya dari Singapura, dia telah mengenal cukup banyak tentang
kota ini. Dia tahu, di dalam terowongan itu kini berkumpul anak-anak dan
orang-orang gembel. Berkumpul para perempuan lacur. Ya disanalah tempat yang
aman bagi gembel dan pelacur murahan. Jumlah mereka ratusan orang. Dimusim-
musim tertentu jumlahnya bisa mencapai ribuan. Tentara Amerika atau lelaki
Jepang yang berhasrat tak usah payah-payah mecari hotel. Cukup masuk ke
terowongan itu dan berbuat disana. Gembel-gembel serta anak-anak terlantar yang
ayahnya mati dalam peperangan juga aman disini. Apalagi di musim gugur seperti
sekarang. Terowongan ini pasti penuh sesak. Orang mencari perlindungan dari
udara dingin yang menyakitkan ke dalam terowongan tersebut.
Di dalam
terowongan itu, udara panas. Dia sudah masuk ke terowongan itu tiga kali. Dia
ikut teman sekapalnya bernama Kenji.
Temannya ini
ketika sampai di Tokyo mendapatkan kedua orang tuanya tak ada lagi. Menurut
tetangga, ayahnya meninggal karena TBC, ibunya meninggal ditabrak Jeep tentara
Amerika. Dan adik-adiknya yang berjumlah dua orang lenyap tak tentu rimbanya.
Orang menyuruh Kenji untuk mencari adik-adiknya ke terowongan bawah tanah itu.
Dan ke sanalah mereka pergi. Namun adik-adik Kenji tak pernah bersua. Mereka
menjalani semua terowongan itu dari pagi hingga sore. Mendatangi
kampung-kampung miskin di tepi kota Tokyo. Namun adik-adik Kenji tetap tak
pernah bersua. Dari Kenjilah si Bungsu banyak mengenal kota ini. Dan dari Kenji
pulalah, sahabat sekapalnya itu dia belajar bahasa Jepang.
Si Bungsu
dengan langkah pasti menuju ke terowongan itu. Kemana dia menuju, ke terowongan
di daerah Ocha Nomizu atau terowongan di daerah Yotsuya kah?
Ocha Nomizu
terlalu dekat ke daerah Asakusa. Kalau ada razia tentu Ocha Nomizu akan
digeledah pertama kali. Lebih baik ke terowongan di daerah Yotsuya saja,
pikirnya.
Dia melangkah
dalam udara dingin sambil menjinjing bungkusan kecilnya. Bungkusan itulah
penyambung nyawanya. Di sana ada perhiasan dan uang bekal yang dia bawa dari
Bukittinggi. Yaitu perhiasan yang mereka peroleh bersama Mei-mei dari ruang
bawah tanah rumah pelacuran tempat Mei-mei disekap di Payakumbuh.
Dia menyelusuri
rel kereta api menuju ke daerah Yotsuya. Angin dingin bulan November terasa
menampar dan mengiris kulitnya. Dingin dan pedih. Di Ocha Nomizu dia ditegur
seorang perempuan. Tegur sapa itu diiringi tawa cekikikan halus. Dia segera
mengetahui bahwa perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan malam yang
mungkin mencari uang untuk menghidupi keluarganya dalam saat sulit seperti ini.
Dia berjalan terus. Tak lama kemudian dia sampai di daerah Yotsuya. Dia
berjalan menuruni sebuah tebing kecil. Dan di bawahnya ada pintu terowongan.
Sambil berlari kecil, dia masuki terowongan itu. Membelok ke kiri, terus ke
kanan, dan dia mendapati tubuh manusia bergelimpangan di sepanjang pinggir
terowongan. Tidur dengan menyelimuti segenap pakaian yang ada. Terowongan itu
terang. Sebab pemerintah kota memberinya lampu listrik. Kini meski terowongan
itu tak berguna lagi, namun pemerintah kota tetap memberikan penerangan lampu.
Sebab pihak pemerintah kota nampaknya memaklumi, bahwa banyak warga kotanya
yang melarat melindungkan diri dalam terowongan itu.
Dalam keadaan
parah begini, dengan tetap menghidupkan lampu dalam terowongan,
sekurang-kurangnya pemerintah kota telah membantu meringankan beban warganya.
Si Bungsu
berjalan mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia berjalan terus.
Membelok ke kiri, ke kanan. Dia melihat perempuan-perempuan tidur berpagutan
dengan lelaki. Dia melihat kanak-kanak juga berpagutan dengan ibunya. Melihat
anak-anak miskin tidur dengan kain compang-camping. Dan diantara mereka tidur
pula dua tiga anjing kurus.
Isi terowongan
ini menggambarkan isi kota Tokyo yang sebenarnya. Jauh berbeda dari keadaan di
atas mereka. Dimana dalam gedung-gedung bertingkat, hidup orang-orang kaya,
para kolobolator dan pengkhianat-pengkhianat dengan tenteram dan mewah.
Isi terowongan
ini, adalah lembaran hitam Kota Tokyo. Tapi inilah penduduk yang sebenarnya.
Dia berhenti di
suatu tempat. Ada tempat ketinggian. Dan tempat itu kosong. Dia melihat ke kiri
dan ke kanan. Merasa aman lalu dia naik ke atas. Meletakkan bungkusan kecilnya
di sudut dan dia membaringkan diri. Namun belum begitu lama dia berbaring, dia
merasakan seseorang naik ke tempatnya.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 067
No comments:
Post a Comment