Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 068



Dia mengantar dua tentara ke dua buah kamar yang kebetulan kosong. Dan si Letnan dia antarkan ke kamar yang dekat taman. Pemilik kediaman itu mengetuk pintu.



“Gomenkudasai….” Katanya keras menyuruh membuka pintu.



Ketika pintu tak juga kunjung dibuka dari dalam, dia langsung mendorong pintu TO tersebut hingga terbuka. Di dalamnya, seorang lelaki muda menggeliat di bawah selimut.



“Maaf, keluar dahulu sebentar. Kamar ini akan dipakai…”



Lelaki muda itu tak memprotes. Sebab sejak tiga bulan tinggal di penginapan ini, kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Kamarnya dipakai sementara untuk berbuat mesum oleh tentara amerika. Kemudian jika selesai, dia masuk lagi. Yaitu setelah tentara Amerika itu keluar. Menjijikkan memang. Tapi begitulah cara hidup yang aman di Jepang saat itu. Persetan segala kejadian. Berani melawan? Hmm, bisa ditangkap dengan tuduhan melawan tentara Amerika. Buat saat ini, melawan tentara Amerika berkelahi misalnya, jauh lebih berbahaya daripada membunuh dua atau tiga orang Jepang. Kalau membunuh dua atau tiga orang Jepang masih ada jalur hukum yang ditempuh. Kepengadilan, pengusutan dll. Tapi melawan tentara Amerika bisa ditembak di tempat. Tak peduli salah atau benar.



Sadar akan hal inilah makanya anak muda itu lalu bangkit. Kemudian memakai pakaian seadanya. Lalu melangkah keluar kamar. Di pintu langkahnya tiba-tiba berhenti. Menatap pada gadis yang tegak dengan mata sembab bekas menangis di samping tentara Amerika.

Gadis itu amat cantik. Berambut hitam berhidung mancung dan bermata gemerlap.  Tapi bukan kecantikannya itu yang membuat langkahnya terhenti. Gadis itu pernah dia lihat dua hari yang lalu. Tapi ingatannya hanya sampai di sana. Gadis itu telah ditarik oleh Letnan ke dalam. Dan pintu TO itu ditutupkan oleh pemilik penginapan. Di dalam kamar, lelaki muda itu mendengar gadis tadi. Suara bergumul seperti orang berlarian di dalam kamar tersebut.

Dia mengumpulkan ingatannya lagi. Bukankah gadis itu yang dia temui dua hari yang lalu di jalan Ginza? Saat itu dia akan pergi ke Shibuya mencari temannya sekapal dulu.

Dia bingung harus naik apa. Ada kereta api, tapi dia tak tahu pasti apakah kereta itu akan ke Shibuya. Tengah dia kebingungan begitu, dia melihat seorang gadis lewat mengapit buku. Bergegas dia mendekati gadis itu dan membungkuk hormat.



“Sumimasen, kono densha wa Shibuya e ikimasu ka” (Numpang tanya, apakah kereta listrik ini pergi ke Shibuya). Tanyanya dalam bahasa Jepang yang terasa kaku.



Gadis itu menoleh. Dan selintas saja dia melihat betapa cantiknya gadis Jepang tersebut. Berumur paling banyak baru delapan belas. Berambut hitam panjang. Berhidung mancung dan bermata gemerlap dengan tubuh yang indah. Tapi gadis itu segara saja melotot lalu meneruskan perjalanannya tanpa menjawab sepatahpun. Dia jadi malu. Dan kini, bukankah gadis itu yang ada dalam kamar bersama tentara Amerika itu?

Hmm, gadis cantik yang sombong. Ternyata jadi gula-gula tentara Amerika. Dia menarik nafas panjang. Duduk bersandar di kursi di lorong di depan kamarnya itu sambil berkelumun kain sarung.



Dari kamar-kamar yang lain dia dengar suara tawa cekikikan perempuan. Tapi dari kamarnya yang dia tinggalkan tadi, dia mendengar suara orang bergumul. Suara rintihan perempuan. Suara caci maki tentara Amerika itu. Suara kain robek.



“Oh jangan. Jangan….jangan!” suara gadis itu terdengar menghiba-hiba.



Dan tiba-tiba pula, lelaki yang duduk berkelumun kain sarung di luar itu, yang tak lain dari si Bungsu jadi tertegak! Gadis itu jelas tak menyukai perlakukan tentara Amerika tersebut. Dia mendengar betapa sejak tadi sebenarnya gadis itu lebih banyak meronta, menghindar dari perbuataan buas serdadu itu. Ketika dia dengar gadis itu kembali bermohon menghiba-hiba, si Bungsu segera teringat pada kakaknya yang diperkosa Saburo Matsuyama. Dan tanpa dapat dia tahan, tiba-tiba pintu TO itu dia renggutkan dengan kasar. Letnan Amerika itu terhenti. Si Bungsu melihat gadis itu terduduk lemah dengan pakaian yang compang camping di sudut ruangan. Sementara Letnan itu dengan tubuh yang hampir telanjang berusaha menyeretnya kembali ke atas kasur. Tentara Amerika itu mendelik padanya.



“Get Out!!” Letnan itu berteriak berang.



Namun si Bungsu dengan mata  yang menatap dingin, tetap tegak mengangkang di pintu. Menatap dengan wajah penuh benci pada tentara Amerika tersebut.



“Keluar, syetan!!” tentara Amerika itu kembali menghardik.

“Lebih baik anda yang keluar. Gadis ini tidak mau diperlakukan demikian. Cari saja perempuan yang lain….” Suara si Bungsu terdengar datar.



Dengan suatu geraman seperti macan kelaparan, letnan bertubuh besar itu menerkam si Bungsu. Rasa berkuasa sebagai tentara yang menang perang membuat tentara ini menganggap semua orang bisa dia makan. Namun terkamannya terhenti separoh jalan. Si Bungsu menanti terkaman itu dengan suatu tendangan telak. Kakinya mendarat di kerampang letnan yang hanya bercelana kotok kecil itu. Terdengar dia mengeluh. Matanya mendelik. Kemudian dengan sempoyongan sambil memaki panjang pendek, dia berjalan keunggukan pakaiannya. Dan tiba-tiba dia membalik dengan pistol ditangan.

Namun nasib tentara ini bernasib malang. Anak muda yang dia hadapi itu ternyata seorang yang sangat peka terhadap perkosaan. Di hatinya telah tergores luka dan dendam yang luar biasa akibat perkosaan yang dilakukan pada kakaknya bertahun-tahun yang lalu di Situjuh Ladang Laweh.



Dan saat ini, naluri dendamnya itulah yang bicara. Begitu dia melihat letnan itu  mengacungkan pistol ke arahnya, tanpa membuang waktu tubuhnya berguling di lantai. Lompat tupai! Gerakan yang tersohor ini dia pergunakan sesaat sebelum pistol itu menyalak.

Letusan itu mengejutkan semua isi penginapan. Dan letusan itu menerkam pintu TO pada bingkainya. Pintu tercampak.

Letnan itu berputar mengarahkan pistolnya pada lelaki yang kini berada di kanannya. Namun yang dia hadapi adalah seorang anak muda yang telah lolos dari ribuan maut yang pernah mengancam. Anak muda yang dia hadapi sebenarnya adalah sisa-sisa kebuasan perang dan kebuasan rimba raya yang jauh lebih dahsyat.

Kini anak  muda itu tegak di sisinya dengan sebuah tongkat di tangan kiri!. Dan begitu dia berniat menarik pelatuk pistolnya, saat itu pula tangan anak muda itu bergerak. Segaris cahaya putih yang sulit untuk diikuti kecepatannya, berkelabat.

Dan saat berikutnya adalah rasa perih yang sangat pada tangan si Letnan. Dan letnan itu terpekik takkala mengetahui bahwa tangannya yang berpistol itu telah putus sampai ke bahu!



Dia meraung. Tapi hanya sebentar sekali. Sebab begitu raungannya keluar, begitu tubuhnya belah jadi dua! Darah menyembur-nyembur. Dan sesaat, anak muda itu tegak dengan wajah dingin, tak berekspresi sedikitpun! Di luar terdengar derap sepatu berlarian. Seseorang muncul di pintu dengan bedil di tangan. Dia adalah sersan yang tadi datang bersama letnan yang mati itu. Matanya terbeliak melihat darah dan tubuh yang pontong di lantai. Lalu tangannya yang berbedil stengun tersebut. Tapi hanya sampai disana gerakannya. Sebab setelah itu gerakan anak muda dari Gunung Sago itu terlalu cepat untuk bisa diamati. Tubuh sersan itu melosoh ke lantai dengan dada dan perut belah. Mati dia! Dan setelah itu yang terdengar adalah hiruk pikuk. Si Bungsu sadar bahwa maut mengancamnya. Dia menyambar bungkusan kecil miliknya di sudut ruangan. Kemudian melompat ke belakang. Dan lenyap pada gelapnya malam. Di penginapan suasana jadi sangat heboh. Sebab peluit dan sirena mobil tentara terdengar meraung-raung. Penginapan itu dikepung dalam waktu singkat. Tak seorangpun boleh keluar. Bahkan semutpun akan diketahui bila keluar dari penginapan itu. Demikian rapat dan telitinya tentara Amerika mengepung penginapan itu dalam rangka mencari pembunuh kedua serdadunya.



Namun saat itu, si Bungsu telah berada jauh sekali dari sana. Dia hapal jalan-jalan memintas dari penginapan ke berbagai arah. Sebab dia sudah tiga bulan menginap di sana. Dia tak berani naik taksi. Sebab ornag akan mengetahui kemana dia pergi. Dia segera ingat, di daerah Ocha Nomizu dan Yotsuya ada terowongan bawah tanah. Terowongan ini pada awalnya adalah untuk riol air. Tapi dibuat sedemikian besarnya sehingga sebuah truk bisa masuk. Dan terowongan itu bersimpang siur di bawah tanah. Terbuat dari beton. Sementara di atasnya ada jalan raya, jalan kereta api atau bangunan. Dan di zaman perang Asia Pasifik, dimana Jepang menerjunkan diri, malah bergabung dengan fasis Hitler di Eropah, terowongan bawah tanah itu ditingkatkan menjadi lobang perlindungan.



Yaitu menjaga kemungkinan sewaktu-waktu Tokyo diserbu tentara Sekutu. Terowongan itu bisa memuat ratusan ribu penduduk. Tapi ternyata terowongan itu tak pernah imanfaatkan. Artinya tak pernah dimanfaatkan untuk perlindungan peperangan. Sebab tentara Sekutu tak pernah menyerbu Tokyo. Mereka hanya menjatuhkan 2 buah Bom Atom, di Hirosima dan Nagasaki. Dan itu sudah cukup melumpuhkan seluruh Jepang. Sebab kedua kota ini adalah kota utama menghimpun kekuatan militer Jepang. Di kedua kota inilah terutama Hirosima seluruh persenjataan balatentara Jepang dibuat. Kota ini adalah kota industri senjata. Dan begitu Bom meluluhkannya, maka lumpuhlah kekuatan Balatentara Jepang. Kini tentara Amerika memang datang ke Tokyo. Tapi penduduk Tokyo tak perlu lagi bersembunyi ke dalam terowongan. Sebab tentara Amerika datang sebagai penguasa baru. Dan rakyat Jepang juga tak seorangpun yang mengangkat bedil melawan Amerika. Mereka menanti sebagai orang dikalahkan. Si bungsu berniat ke terowongan itu.



Tiga bulan di Tokyo sejak kedatangannya dari Singapura, dia telah mengenal cukup banyak tentang kota ini. Dia tahu, di dalam terowongan itu kini berkumpul anak-anak dan orang-orang gembel. Berkumpul para perempuan lacur. Ya disanalah tempat yang aman bagi gembel dan pelacur murahan. Jumlah mereka ratusan orang. Dimusim- musim tertentu jumlahnya bisa mencapai ribuan. Tentara Amerika atau lelaki Jepang yang berhasrat tak usah payah-payah mecari hotel. Cukup masuk ke terowongan itu dan berbuat disana. Gembel-gembel serta anak-anak terlantar yang ayahnya mati dalam peperangan juga aman disini. Apalagi di musim gugur seperti sekarang. Terowongan ini pasti penuh sesak. Orang mencari perlindungan dari udara dingin yang menyakitkan ke dalam terowongan tersebut.



Di dalam terowongan itu, udara panas. Dia sudah masuk ke terowongan itu tiga kali. Dia ikut teman sekapalnya bernama Kenji.

Temannya ini ketika sampai di Tokyo mendapatkan kedua orang tuanya tak ada lagi. Menurut tetangga, ayahnya meninggal karena TBC, ibunya meninggal ditabrak Jeep tentara Amerika. Dan adik-adiknya yang berjumlah dua orang lenyap tak tentu rimbanya. Orang menyuruh Kenji untuk mencari adik-adiknya ke terowongan bawah tanah itu. Dan ke sanalah mereka pergi. Namun adik-adik Kenji tak pernah bersua. Mereka menjalani semua terowongan itu dari pagi hingga sore. Mendatangi kampung-kampung miskin di tepi kota Tokyo. Namun adik-adik Kenji tetap tak pernah bersua. Dari Kenjilah si Bungsu banyak mengenal kota ini. Dan dari Kenji pulalah, sahabat sekapalnya itu dia belajar bahasa Jepang.



Si Bungsu dengan langkah pasti menuju ke terowongan itu. Kemana dia menuju, ke terowongan di daerah Ocha Nomizu atau terowongan di daerah Yotsuya kah?

Ocha Nomizu terlalu dekat ke daerah Asakusa. Kalau ada razia tentu Ocha Nomizu akan digeledah pertama kali. Lebih baik ke terowongan di daerah Yotsuya saja, pikirnya.

Dia melangkah dalam udara dingin sambil menjinjing bungkusan kecilnya. Bungkusan itulah penyambung nyawanya. Di sana ada perhiasan dan uang bekal yang dia bawa dari Bukittinggi. Yaitu perhiasan yang mereka peroleh bersama Mei-mei dari ruang bawah tanah rumah pelacuran tempat Mei-mei disekap di Payakumbuh.



Dia menyelusuri rel kereta api menuju ke daerah Yotsuya. Angin dingin bulan November terasa menampar dan mengiris kulitnya. Dingin dan pedih. Di Ocha Nomizu dia ditegur seorang perempuan. Tegur sapa itu diiringi tawa cekikikan halus. Dia segera mengetahui bahwa perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan malam yang mungkin mencari uang untuk menghidupi keluarganya dalam saat sulit seperti ini. Dia berjalan terus. Tak lama kemudian dia sampai di daerah Yotsuya. Dia berjalan menuruni sebuah tebing kecil. Dan di bawahnya ada pintu terowongan. Sambil berlari kecil, dia masuki terowongan itu. Membelok ke kiri, terus ke kanan, dan dia mendapati tubuh manusia bergelimpangan di sepanjang pinggir terowongan. Tidur dengan menyelimuti segenap pakaian yang ada. Terowongan itu terang. Sebab pemerintah kota memberinya lampu listrik. Kini meski terowongan itu tak berguna lagi, namun pemerintah kota tetap memberikan penerangan lampu. Sebab pihak pemerintah kota nampaknya memaklumi, bahwa banyak warga kotanya yang melarat melindungkan diri dalam terowongan itu.



Dalam keadaan parah begini, dengan tetap menghidupkan lampu dalam terowongan, sekurang-kurangnya pemerintah kota telah membantu meringankan beban warganya.

Si Bungsu berjalan mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia berjalan terus. Membelok ke kiri, ke kanan. Dia melihat perempuan-perempuan tidur berpagutan dengan lelaki. Dia melihat kanak-kanak juga berpagutan dengan ibunya. Melihat anak-anak miskin tidur dengan kain compang-camping. Dan diantara mereka tidur pula dua tiga anjing kurus.

Isi terowongan ini menggambarkan isi kota Tokyo yang sebenarnya. Jauh berbeda dari keadaan di atas mereka. Dimana dalam gedung-gedung bertingkat, hidup orang-orang kaya, para kolobolator dan pengkhianat-pengkhianat dengan tenteram dan mewah.

Isi terowongan ini, adalah lembaran hitam Kota Tokyo. Tapi inilah penduduk yang sebenarnya.



Dia berhenti di suatu tempat. Ada tempat ketinggian. Dan tempat itu kosong. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Merasa aman lalu dia naik ke atas. Meletakkan bungkusan kecilnya di sudut dan dia membaringkan diri. Namun belum begitu lama dia berbaring, dia merasakan seseorang naik ke tempatnya.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 067

No comments:

Post a Comment