“Lalu bagaimana?
Waang lari?”
“Jangan
menghina ya! Buruk-buruk begini saya pesilat. Begitu kepalanya saya lihat, saya
berkata: Maaf Inyiak, kami akan liwat” Lelaki itu berhenti dan menatap pada
penduduk yang mendengarkan ceritanya. Penduduk itu pada ternganga.
Sementara Bilal
dan si Bungsu dan beberapa pemuka kampung lainnya kelihatan bicara serius di
teras mesjid.
“Kemudian “
lelaki itu myambung lagi
”Saya lihat
harimau itu ragu. Saya menyuruh teman-teman semuanya berhenti. Saya letakkan
mayat Belanda ditanah. Saya maju dua langkah…” lelaki itu membuat gerakan
seperti meletakkan sesuatu di tanah, kemudian maju dua langkah. Penduduk mengikuti
dengan tak berkedip.
“Kemudian saya
baca ayat Kursi. Dan saya berkata: menghindarlah Inyiak, cucumu akan lewat..”
“Waang maju
mendekati harimau ini Pudin?” seorang
lelaki tua yang tahu benar Pudin ini penakut bertanya memutuskan cerita lelaki
itu. Lelaki itu mendelik, membusungkan dada.
“Ya. Tentu saja
saya mendekati dan minta lewat. Bukankah begitu tata tertib dalam rimba? Saya
tahu bagaimana caranya bersikap dalam rimba…”
“Lalu apa kata
harimau itu?”
“Katanya, eh,
mana pula dia bisa berkata. Tapi dia mendengus. Saya membuka langkah empat.
Kalau dia menyerang saya sudah siap. Eh tahu-tahu harimau itu menyerang si Bungsu.
Mungkin dia melihat tak ada “pintu” masuk dari pertahanan yang saya buat
seperti ini…” dia menirukan langkah empat yang pernah dia pelajari sambil lalu
dahulu.
Tiba-tiba dia
terhenti. Karena ketika dia menoleh ternyata tak seorang pun diantara penduduk
yang tegak mengelilinginya. Semua penduduk kini telah berkumpul di keliling
Bilal di depan teras mesjid. Pudin si pembual itu tak jadi ber-akting. Dia juga
membuat langkah empat menuju kerumunan orang ramai itu.
Di teras mesjid
Bilal angkat bicara.
Saudara-saudara,
pertama kami minta maaf atas jatuhnya korban kanak-kanak, perempuan dan
beberapa orang penduduk kampung kita ini dalam perkelahian dengan Belanda tadi.
Ada sembilan orang yang meninggal, suatu jumlah yang banyak.
Tapi itulah
resiko perjuangan. Kami berterimakasih atas kerelaan saudara-saudara terhadap
korban yang jatuh itu. Semoga Tuhan memberikan iman yang teguh bagi keluarga
yang kematian familinya hari ini. Belanda barangkali akan mencari teman-teman
mereka tadi kemari. Mungkin akan ada lagi korban yang jatuh. Meskipun
kedatangannya kemari sangat tipis, mengingat jaraknya kampung ini yang
terpencil dan jauh dari Pekanbaru, namun tak ada salahnya kita waspada. Kita
akan menempatkan setiap hari dua orang pengintai. Yang satu di bahagian hulu sana.
Yaitu untuk menjaga kalau-kalau Belanda datang lewat sungai dari Teratak Buluh
seperti pagi tadi. Yang seorang lagi akan menjaga di kampung Kutik. Yaitu untuk
mengawasi kalau-kalau patroli Belanda datang lewat darat. Hanya dua jalur itu
yang akan ditempuh Belanda untuk datang ke Kampung ini.
Penjagaan akan
bergilir tiap hari. Kalau kelihatan mereka datang, yang bertugas harus memukul
tontong sebagai isyarat, penduduk harus segera meninggalkan kampung. Ada
kesempatan satu jam untuk menyelamatkan diri. Bersembunyilah ke hutan. Jangan
takut dengan harimau. Sebab mereka juga akan lari begitu melihat kita datang
ramai-ramai.
Bersembunyilah
yang jauh, agar tak tertangkap. Tentang keselamatan kampung ini, rumah dan
harta benda, jangan khawatir. Kami para anggota fisabilillah akan menjaganya.
Kalau Belanda masuk kemari, mereka akan kami sambut dengan peperangan. Kaum
lelaki akan membantu kami. Untuk sampai ke kampung ini mereka harus naik sampan
atau motor boat. Kami akan berusaha menenggelamkan mereka sebelum turun dari
sampannya.
Untuk mengatur
penyergapan itu nanti semua lelaki yang mau menyumbangkan bhaktinya untuk
kampung ini, silakan masuk mesjid. Yang bersedia silahkan menunjuk,
Bilal tak usah
menanti terlalu lama. Sebab begitu dia selesai ngomong, semua lelaki pada
mengacungkan tangannya ke atas.
Si Bungsu
melihat betapa tidak hanya pemuda-pemuda yang mengacungkan tangannya ke atas.
Tetapi juga kanak-kanak dan lelaki-lelaki tua. Bahkan ada enam orang perempuan!
“Maaf kami
bukan menolak yang tua-tua dan kanak-kanak. Tidak pula menganggap enteng akan
kemampuan perempuan, tapi buat sementara kita belum lagi akan berperang”
Bilal berkata
atas berusaha ikut berpartisipasinya yang tua, kanak-kanak dan kaum perempuan.
Dia mencari cara yang baik untuk menolak mereka.
“Pada akhirnya
bila pertempuran terjadi, tidak hanya
kami, melainkan seluruh kita, seluruh yang bernafas akan mempertahankan negeri
ini dengan darah dan nyawa.
Tapi itu belum
sekarang. Sekarang hanya dibutuhkan beberapa belas orang lelaki yang dewasa
saja. Kaum perempuan kami harapkan bersama anak-anak dan adik-adiknya di
persembunyian.
Bapak yang
tua-tua kami harapkan tak tersinggung. Berikanlah kesempatan pada kami yang
muda-muda untuk melindungi bapak”
Cara Bilal ini
amat kena. Tak seorangpun yang membantah. Bilal segera saja menghimbau pada
lelaki dewasa yang jumlahnya sekitar seratus orang. Memberi beberapa petunjuk.
Kemudian dia sadar, bahwa ada sesuatu yang terlupa. Untuk itu dia lalu bicara
lagi pada penduduk yang kini perhatiannya beralih pada bangkai harimau itu.
“Oh ya, Kami
baru saja kembali dari rimba sana. Dan kami dicegat harimau besar ini. Kami
telah menyaksikan suatu perkelahian yang dahsyat antara harimau itu dengan
saudara Bungsu”
Bilal tahu
menceritakan secara lengkap bagaimana perkelahian terjadi. Semua penduduk pada
mendecah-decah. Kemudian beberapa orang lelaki pada mengguliti harimau
tersebut. Perutnya dengan hati-hati dibelah dengan pisau tajam. Pekerjaan itu
memakan waktu cukup lama. Hari telah senja. Mereka berhenti untuk sembahyang
magrib. Selesai sembahyang mereka melanjutkan pekerjaannya. Beberapa lelaki
telah berangkat ke pos pengintaian seperti yang dikatakan si Bilal. Tapi dalam
mesjid itu seperti pasar malam. Mereka datang ke sana dengan memakai suluh. Dua
buah lampu petromaks milik mesjid dibawa keluar. Cahayanya menerangi halaman
mesjid tersebut.
Tiba-tiba
terdengar seruan. Orang berbondong-bondong mendekati harimau tengah dibelah
itu.
Para perempuan
berteriak kaget. Demikian pula lelaki. Dari dalam perut harimau itu, mereka
mengeluarkan beberapa buah gelang dan cincin emas. Ada cincin berbatu akik
besar.
“Gelang Sumi!
Ya, ini gelang Sumi!!” terdengar teriakan-teriakan. Orang makin banyak
berkerumun.
“Nudin!Nudin!
ini gelang istrimu!!” suara teriakan yang kacau balau timpa betimpa. Seorang
lelaki dengan kumis jarang menyeruak.
Dan dia
tertegun tegak takkala melihat gelang emas yang baru diambil dari perut harimau
besar itu. Kemudian terdengar dia memekik. Ditangannya terpegang pisau. Dan
sebelum orang sempat mencegahnya pisau itu sudah merajah bangkai harimau
tersebut. Dan ketika orang-orang sadar bahwa kulit harimau itu harus
diselamatkan, maka kesadaran itu sudah terlambat.
Nudin sudah
merajah harimau itu dengan caci maki sambil menikamkan pisaunya berulang kali.
Dan akhirnya dia tertegak terperangah. Orang-orang yang melihatnya juga pada
terperangah.
Bangkai harimau
itu seperti dicencang.
“Kenapa dia? Si
Bungsu berbisik perlahan pada Bilal yang tegak disisinya.
“Lima bulan
yang lalu, dia kehilanganistri. Waktu itu dia pergi menjual ikan ke Pekanbaru.
Sepeninggalnya istrinya pergi menakik getah. Ketika dia kembali sore hari,
istrinya tak divrumah. Mereka baru saja tiga bulan menikah.
Ketika magrib
datang, istrinya belum juga muncul, dia mulai mencari ke tetangga. Tapi para
tetangga mengatakan bahwa tak melihat istrinya sejak pagi. Dia jadi curiga.
Bukankah pagi tadi istrinya berkata akan pergi menakik getah?
Bersama
penduduk dia menyusul istrinya ke kebun getah mereka di hilir kampung sana.
Dengan membawa suluh daun kelapa, mereka meneliti kebun tersebut.
Dan dekat
sepohon karet yang dikelilingi semak rimbun, mereka menemukan jejak-jejak. Ada
terompa, ada kantong tempat getah segrap. Ada darah dan tanah yang meninggalkan
jejak harimau.
Mereka
mengikuti jejak tersebut. Sebab bekas tubuh perempuan itu diseret nampak jelas
di tanah. Tiga puluh depa dari tempat semula, mereka menemukan pisau penakik
getah perempuan itu.
Nampaknya
ketika ditangkap harimau, dia belum mati. Bahkan nampaknya berusaha melawan
ketika tengkuknya dicengkram taring harimau itu dan menyeretnya pergi. Namun di
tempat pisau pemotong karet itu jatuh, di sanalah mungkin ajalnya tiba.
Dan malam itu
mereka tidak menemukan apa-apa. Besok dan besoknya lagi mereka mencari terus.
Sepekan lamanya pencarian itu berlangsung. Namun mayat istrinya tak pernah
dijumpai. Dan ternyata hari ini dia temui gelangnya dalam perut harimau itu…”
Si Bungsu sudah
terbiasa hidup dalam kekerasan. Sudah tak lagi mempan akan kesedihan-kesedihan.
Sebab hidupnya sendiri adalah rangkaian dari pada kesedihan yang sambung
menyambung. Namun mendengar kisah tragis yang menimpa diri lelaki dari Buluh
Cina ini, hatinya jadi terharu. Dan ketika dia melihat betapa lelaki itu duduk
terhenyak di tanah, memandang dengan wajah pucat dan air mata berlinang. Si
Bungsu jadi tak tahan. Dia beranjak dari sana. Berjalan masuk ke mesjid. Di
dalam rumah Allah itu dia sembahyang sunat. Kemudian duduk membaca zikir.
Itu adalah hari
terakhir si Bungsu di Buluh Cina. Sebab malamnya datang kurir Kapten Nurdin
dari Pekanbaru memberitahukan bahwa besok ada kapal menuju Singapura. Dan di
Singapura kelak ada orang Indonesia yang mengurus keberangkatan si Bungsu ke
Jepang.
Malam itu juga
si Bungsu kembali ke Pekanbaru. Meninggalkan Buluh Cina. Dia diantar oleh Bilal
dan Badu sampai ke Marpuyan. Disana sudah ditunggu oleh anak buah Kapten
Nurdin.
Esoknya sesuai
dengan pesan Kapten Nurdin dia berangkat ke Singapura. Kapal yang ditompanginya
adalah sebuah kapal kecil yang selalu hilir mudik di sungai Siak membawa para
pedagang dan penyelundup.
Di Singapura
beberapa pejuang bawah tanah Indonesia yang berada disana sebagai pencahari
senjata telah menunggu dan memberangkatkan si Bungsu ke Jepang. Dia
ditompangkan di sebuah kapal Jepang yang dicarter Inggeris. Kapal itu bernama
Ichi Maru.
Dalam
perjalanan menuju Jepang, debar jantungnya terasa mengencang. Dia kini tengah
menuju sebuah negeri darimana pernah dikirim pasukan fasis yang amat kejam
menjajah negerinya. Dia menuju sebuah negeri, darimana pernah dikirim tentara
yang telah merobek-robek negeri dan kaum perempuan Indonesia. Membunuh banyak
sekali kaum lelaki, kanak-kanak dan orang dewasa, lewat pembantaian dan…kerja
paksa sebagai Romusha!
Dia kini menuju
sebuah negeri dimana berdiam musuh besarnya. Orang yang pernah membunuh ayah,
ibu dan kakanya. Dia kini menuju negeri Saburo Matsuyama!!
Ke Jepang dia
datang, disana maut menghadang!
Tokyo, Kyoto
dan Nagasaki atau kota manapun di Jepang saat ini, keadaannya sama saja.
Dimana-mana tentara Amerika kelihatan mondar-mandir. Dimana-mana orang
kelihatan dicekam rasa takut dan penuh ketergesaan.
Dan dimana-mana
kelaparan dan kekacauan ekonomi merajalela. Itulah Jepang ditahun 50-an. Jepang
yang ditaklukan sekutu dengan 2 bom atom di Nagasaki dan Hirosima.
Dan kini bulan November.
Musim gugur sudah mendekati masa akhirnya. Desember salju akan turun. Dalam
musim gugur begini, semua orang kelihatan bergegas kemana-mana.
Daun-daun pada
berguguran meski angin tak bertiup. Pohon-pohon kini pada gundul. Dahan dan
ranting kelihatan seperti akar tercabut yang diletakkan terbalik menggapai
langit.
Angin kencang
yang bertiup seperti mengiris daging terasa dalam cuaca begini. Orang lebih
baik tetap tinggal di rumah. Berlindung di bawah selimut. Jalan-jalan kelihatan
sepi. Tokyo yang besar dan berpenduduk ramai itu juga sepi dalam cuaca musim
gugur begini.
Di bahagian
utara, masih dalam lingkungan kota Tokyo, ada sebuah taman yang terbengkalai.
Namanya Asakusa. Rencananya taman itu akan dibuat besar dan indah. Tapi
kekalahan dalam perang membuat rencana taman itu tak jadi dikerjakan.
Di sudut taman
yang belum rampung itu berdiri sebuah bangunan tua tapi bersih. Bangunan itu
semula adalah rumah penginapan bagi pekerja-pekerja yang akan membangun taman
tersebut.
Karena tamannya
tak jadi, maka rumah itu kini dijadikan penginapan. Namanya diambil dari nama
daerah dan taman dimana dia berada. Yaitu penginapan Asakusa.
Diluar,
penginapan itu kelihatan sepi. Tamu-tamu tak seorangpun yang kelihatan di ruang
depan. Pemilik penginapan sudah mulai bersiap-siap untuk mematikan lampu dan
siap untuk tidur, ketika di depan penginapan itu terdengar suara mobil
berhenti.
Kemudian
disusul suara tawa dan pekik menghimbau. Setelah itu suara derap sepatu dan
suara cekikikan perempuan. Pemilik penginapan itu segera bersinar wajahnya.
Suara seperti itu pastilah pertanda uang masuk. Dia segera mendorong TO. Yaitu
pintu yang bisa didorong ke kiri dan ke kanan yang terbuat dari kertas
berbingkai kayu. Dan tiga orang serdadu Amerika dengan seragamnya yang mentereng
segera saja masuk ke ruang tamu. Bersama mereka terlihat tiga orang perempuan
Jepang.
“Konbanwa…!”
yang berpangkat Letnan memberi ucapan “Selamat malam” dalam bahasa Jepang
beraksen kasar.
“Konbawa…!”
jawab pemilik penginapan sambil berkali-kali membungkuk memberi hormat.
“Kami butuh
tiga kamar….” Tentara Amerika itu berkata. Dan kembali pemilik penginapan
Asakusa itu mengangguk-angguk.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 066
No comments:
Post a Comment