Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 067



“Lalu bagaimana? Waang lari?”

“Jangan menghina ya! Buruk-buruk begini saya pesilat. Begitu kepalanya saya lihat, saya berkata: Maaf Inyiak, kami akan liwat” Lelaki itu berhenti dan menatap pada penduduk yang mendengarkan ceritanya. Penduduk itu pada ternganga.



Sementara Bilal dan si Bungsu dan beberapa pemuka kampung lainnya kelihatan bicara serius di teras mesjid.



“Kemudian “ lelaki itu myambung lagi

”Saya lihat harimau itu ragu. Saya menyuruh teman-teman semuanya berhenti. Saya letakkan mayat Belanda ditanah. Saya maju dua langkah…” lelaki itu membuat gerakan seperti meletakkan sesuatu di tanah, kemudian maju dua langkah. Penduduk mengikuti dengan tak berkedip.

“Kemudian saya baca ayat Kursi. Dan saya berkata: menghindarlah Inyiak, cucumu akan lewat..”

“Waang maju mendekati harimau ini  Pudin?” seorang lelaki tua yang tahu benar Pudin ini penakut bertanya memutuskan cerita lelaki itu. Lelaki itu mendelik, membusungkan dada.

“Ya. Tentu saja saya mendekati dan minta lewat. Bukankah begitu tata tertib dalam rimba? Saya tahu bagaimana caranya bersikap dalam rimba…”

“Lalu apa kata harimau itu?”

“Katanya, eh, mana pula dia bisa berkata. Tapi dia mendengus. Saya membuka langkah empat. Kalau dia menyerang saya sudah siap. Eh tahu-tahu harimau itu menyerang si Bungsu. Mungkin dia melihat tak ada “pintu” masuk dari pertahanan yang saya buat seperti ini…” dia menirukan langkah empat yang pernah dia pelajari sambil lalu dahulu.



Tiba-tiba dia terhenti. Karena ketika dia menoleh ternyata tak seorang pun diantara penduduk yang tegak mengelilinginya. Semua penduduk kini telah berkumpul di keliling Bilal di depan teras mesjid. Pudin si pembual itu tak jadi ber-akting. Dia juga membuat langkah empat menuju kerumunan orang ramai itu.



Di teras mesjid Bilal angkat bicara.

Saudara-saudara, pertama kami minta maaf atas jatuhnya korban kanak-kanak, perempuan dan beberapa orang penduduk kampung kita ini dalam perkelahian dengan Belanda tadi. Ada sembilan orang yang meninggal, suatu jumlah yang banyak.

Tapi itulah resiko perjuangan. Kami berterimakasih atas kerelaan saudara-saudara terhadap korban yang jatuh itu. Semoga Tuhan memberikan iman yang teguh bagi keluarga yang kematian familinya hari ini. Belanda barangkali akan mencari teman-teman mereka tadi kemari. Mungkin akan ada lagi korban yang jatuh. Meskipun kedatangannya kemari sangat tipis, mengingat jaraknya kampung ini yang terpencil dan jauh dari Pekanbaru, namun tak ada salahnya kita waspada. Kita akan menempatkan setiap hari dua orang pengintai. Yang satu di bahagian hulu sana. Yaitu untuk menjaga kalau-kalau Belanda datang lewat sungai dari Teratak Buluh seperti pagi tadi. Yang seorang lagi akan menjaga di kampung Kutik. Yaitu untuk mengawasi kalau-kalau patroli Belanda datang lewat darat. Hanya dua jalur itu yang akan ditempuh Belanda untuk datang ke Kampung ini.

Penjagaan akan bergilir tiap hari. Kalau kelihatan mereka datang, yang bertugas harus memukul tontong sebagai isyarat, penduduk harus segera meninggalkan kampung. Ada kesempatan satu jam untuk menyelamatkan diri. Bersembunyilah ke hutan. Jangan takut dengan harimau. Sebab mereka juga akan lari begitu melihat kita datang ramai-ramai.

Bersembunyilah yang jauh, agar tak tertangkap. Tentang keselamatan kampung ini, rumah dan harta benda, jangan khawatir. Kami para anggota fisabilillah akan menjaganya. Kalau Belanda masuk kemari, mereka akan kami sambut dengan peperangan. Kaum lelaki akan membantu kami. Untuk sampai ke kampung ini mereka harus naik sampan atau motor boat. Kami akan berusaha menenggelamkan mereka sebelum turun dari sampannya.



Untuk mengatur penyergapan itu nanti semua lelaki yang mau menyumbangkan bhaktinya untuk kampung ini, silakan masuk mesjid. Yang bersedia silahkan menunjuk,

Bilal tak usah menanti terlalu lama. Sebab begitu dia selesai ngomong, semua lelaki pada mengacungkan tangannya ke atas.

Si Bungsu melihat betapa tidak hanya pemuda-pemuda yang mengacungkan tangannya ke atas. Tetapi juga kanak-kanak dan lelaki-lelaki tua. Bahkan ada enam orang perempuan!



“Maaf kami bukan menolak yang tua-tua dan kanak-kanak. Tidak pula menganggap enteng akan kemampuan perempuan, tapi buat sementara kita belum lagi akan berperang”



Bilal berkata atas berusaha ikut berpartisipasinya yang tua, kanak-kanak dan kaum perempuan. Dia mencari cara yang baik untuk menolak mereka.



“Pada akhirnya bila pertempuran  terjadi, tidak hanya kami, melainkan seluruh kita, seluruh yang bernafas akan mempertahankan negeri ini dengan darah dan nyawa.

Tapi itu belum sekarang. Sekarang hanya dibutuhkan beberapa belas orang lelaki yang dewasa saja. Kaum perempuan kami harapkan bersama anak-anak dan adik-adiknya di persembunyian.

Bapak yang tua-tua kami harapkan tak tersinggung. Berikanlah kesempatan pada kami yang muda-muda untuk melindungi bapak”



Cara Bilal ini amat kena. Tak seorangpun yang membantah. Bilal segera saja menghimbau pada lelaki dewasa yang jumlahnya sekitar seratus orang. Memberi beberapa petunjuk. Kemudian dia sadar, bahwa ada sesuatu yang terlupa. Untuk itu dia lalu bicara lagi pada penduduk yang kini perhatiannya beralih pada bangkai harimau itu.



“Oh ya, Kami baru saja kembali dari rimba sana. Dan kami dicegat harimau besar ini. Kami telah menyaksikan suatu perkelahian yang dahsyat antara harimau itu dengan saudara Bungsu”



Bilal tahu menceritakan secara lengkap bagaimana perkelahian terjadi. Semua penduduk pada mendecah-decah. Kemudian beberapa orang lelaki pada mengguliti harimau tersebut. Perutnya dengan hati-hati dibelah dengan pisau tajam. Pekerjaan itu memakan waktu cukup lama. Hari telah senja. Mereka berhenti untuk sembahyang magrib. Selesai sembahyang mereka melanjutkan pekerjaannya. Beberapa lelaki telah berangkat ke pos pengintaian seperti yang dikatakan si Bilal. Tapi dalam mesjid itu seperti pasar malam. Mereka datang ke sana dengan memakai suluh. Dua buah lampu petromaks milik mesjid dibawa keluar. Cahayanya menerangi halaman mesjid tersebut.

Tiba-tiba terdengar seruan. Orang berbondong-bondong mendekati harimau tengah dibelah itu.

Para perempuan berteriak kaget. Demikian pula lelaki. Dari dalam perut harimau itu, mereka mengeluarkan beberapa buah gelang dan cincin emas. Ada cincin berbatu akik besar.



“Gelang Sumi! Ya, ini gelang Sumi!!” terdengar teriakan-teriakan. Orang makin banyak berkerumun.

“Nudin!Nudin! ini gelang istrimu!!” suara teriakan yang kacau balau timpa betimpa. Seorang lelaki dengan kumis jarang menyeruak.



Dan dia tertegun tegak takkala melihat gelang emas yang baru diambil dari perut harimau besar itu. Kemudian terdengar dia memekik. Ditangannya terpegang pisau. Dan sebelum orang sempat mencegahnya pisau itu sudah merajah bangkai harimau tersebut. Dan ketika orang-orang sadar bahwa kulit harimau itu harus diselamatkan, maka kesadaran itu sudah terlambat.

Nudin sudah merajah harimau itu dengan caci maki sambil menikamkan pisaunya berulang kali. Dan akhirnya dia tertegak terperangah. Orang-orang yang melihatnya juga pada terperangah.

Bangkai harimau itu seperti dicencang.



“Kenapa dia? Si Bungsu berbisik perlahan pada Bilal yang tegak disisinya.

“Lima bulan yang lalu, dia kehilanganistri. Waktu itu dia pergi menjual ikan ke Pekanbaru. Sepeninggalnya istrinya pergi menakik getah. Ketika dia kembali sore hari, istrinya tak divrumah. Mereka baru saja tiga bulan menikah.

Ketika magrib datang, istrinya belum juga muncul, dia mulai mencari ke tetangga. Tapi para tetangga mengatakan bahwa tak melihat istrinya sejak pagi. Dia jadi curiga. Bukankah pagi tadi istrinya berkata akan pergi menakik getah?

Bersama penduduk dia menyusul istrinya ke kebun getah mereka di hilir kampung sana. Dengan membawa suluh daun kelapa, mereka meneliti kebun tersebut.

Dan dekat sepohon karet yang dikelilingi semak rimbun, mereka menemukan jejak-jejak. Ada terompa, ada kantong tempat getah segrap. Ada darah dan tanah yang meninggalkan jejak harimau.

Mereka mengikuti jejak tersebut. Sebab bekas tubuh perempuan itu diseret nampak jelas di tanah. Tiga puluh depa dari tempat semula, mereka menemukan pisau penakik getah perempuan itu.

Nampaknya ketika ditangkap harimau, dia belum mati. Bahkan nampaknya berusaha melawan ketika tengkuknya dicengkram taring harimau itu dan menyeretnya pergi. Namun di tempat pisau pemotong karet itu jatuh, di sanalah mungkin ajalnya tiba.

Dan malam itu mereka tidak menemukan apa-apa. Besok dan besoknya lagi mereka mencari terus. Sepekan lamanya pencarian itu berlangsung. Namun mayat istrinya tak pernah dijumpai. Dan ternyata hari ini dia temui gelangnya dalam perut harimau itu…”



Si Bungsu sudah terbiasa hidup dalam kekerasan. Sudah tak lagi mempan akan kesedihan-kesedihan. Sebab hidupnya sendiri adalah rangkaian dari pada kesedihan yang sambung menyambung. Namun mendengar kisah tragis yang menimpa diri lelaki dari Buluh Cina ini, hatinya jadi terharu. Dan ketika dia melihat betapa lelaki itu duduk terhenyak di tanah, memandang dengan wajah pucat dan air mata berlinang. Si Bungsu jadi tak tahan. Dia beranjak dari sana. Berjalan masuk ke mesjid. Di dalam rumah Allah itu dia sembahyang sunat. Kemudian duduk membaca zikir.



Itu adalah hari terakhir si Bungsu di Buluh Cina. Sebab malamnya datang kurir Kapten Nurdin dari Pekanbaru memberitahukan bahwa besok ada kapal menuju Singapura. Dan di Singapura kelak ada orang Indonesia yang mengurus keberangkatan si Bungsu ke Jepang.

Malam itu juga si Bungsu kembali ke Pekanbaru. Meninggalkan Buluh Cina. Dia diantar oleh Bilal dan Badu sampai ke Marpuyan. Disana sudah ditunggu oleh anak buah Kapten Nurdin.

Esoknya sesuai dengan pesan Kapten Nurdin dia berangkat ke Singapura. Kapal yang ditompanginya adalah sebuah kapal kecil yang selalu hilir mudik di sungai Siak membawa para pedagang dan penyelundup.

Di Singapura beberapa pejuang bawah tanah Indonesia yang berada disana sebagai pencahari senjata telah menunggu dan memberangkatkan si Bungsu ke Jepang. Dia ditompangkan di sebuah kapal Jepang yang dicarter Inggeris. Kapal itu bernama Ichi Maru.

Dalam perjalanan menuju Jepang, debar jantungnya terasa mengencang. Dia kini tengah menuju sebuah negeri darimana pernah dikirim pasukan fasis yang amat kejam menjajah negerinya. Dia menuju sebuah negeri, darimana pernah dikirim tentara yang telah merobek-robek negeri dan kaum perempuan Indonesia. Membunuh banyak sekali kaum lelaki, kanak-kanak dan orang dewasa, lewat pembantaian dan…kerja paksa sebagai Romusha!

Dia kini menuju sebuah negeri dimana berdiam musuh besarnya. Orang yang pernah membunuh ayah, ibu dan kakanya. Dia kini menuju negeri Saburo Matsuyama!!

Ke Jepang dia datang, disana maut menghadang!



Tokyo, Kyoto dan Nagasaki atau kota manapun di Jepang saat ini, keadaannya sama saja. Dimana-mana tentara Amerika kelihatan mondar-mandir. Dimana-mana orang kelihatan dicekam rasa takut dan penuh ketergesaan.

Dan dimana-mana kelaparan dan kekacauan ekonomi merajalela. Itulah Jepang ditahun 50-an. Jepang yang ditaklukan sekutu dengan 2 bom atom di Nagasaki dan Hirosima.

Dan kini bulan November. Musim gugur sudah mendekati masa akhirnya. Desember salju akan turun. Dalam musim gugur begini, semua orang kelihatan bergegas kemana-mana.

Daun-daun pada berguguran meski angin tak bertiup. Pohon-pohon kini pada gundul. Dahan dan ranting kelihatan seperti akar tercabut yang diletakkan terbalik menggapai langit.

Angin kencang yang bertiup seperti mengiris daging terasa dalam cuaca begini. Orang lebih baik tetap tinggal di rumah. Berlindung di bawah selimut. Jalan-jalan kelihatan sepi. Tokyo yang besar dan berpenduduk ramai itu juga sepi dalam cuaca musim gugur begini.



Di bahagian utara, masih dalam lingkungan kota Tokyo, ada sebuah taman yang terbengkalai. Namanya Asakusa. Rencananya taman itu akan dibuat besar dan indah. Tapi kekalahan dalam perang membuat rencana taman itu tak jadi dikerjakan.

Di sudut taman yang belum rampung itu berdiri sebuah bangunan tua tapi bersih. Bangunan itu semula adalah rumah penginapan bagi pekerja-pekerja yang akan membangun taman tersebut.

Karena tamannya tak jadi, maka rumah itu kini dijadikan penginapan. Namanya diambil dari nama daerah dan taman dimana dia berada. Yaitu penginapan Asakusa.

Diluar, penginapan itu kelihatan sepi. Tamu-tamu tak seorangpun yang kelihatan di ruang depan. Pemilik penginapan sudah mulai bersiap-siap untuk mematikan lampu dan siap untuk tidur, ketika di depan penginapan itu terdengar suara mobil berhenti.



Kemudian disusul suara tawa dan pekik menghimbau. Setelah itu suara derap sepatu dan suara cekikikan perempuan. Pemilik penginapan itu segera bersinar wajahnya. Suara seperti itu pastilah pertanda uang masuk. Dia segera mendorong TO. Yaitu pintu yang bisa didorong ke kiri dan ke kanan yang terbuat dari kertas berbingkai kayu. Dan tiga orang serdadu Amerika dengan seragamnya yang mentereng segera saja masuk ke ruang tamu. Bersama mereka terlihat tiga orang perempuan Jepang.



“Konbanwa…!” yang berpangkat Letnan memberi ucapan “Selamat malam” dalam bahasa Jepang beraksen kasar.

“Konbawa…!” jawab pemilik penginapan sambil berkali-kali membungkuk memberi hormat.

“Kami butuh tiga kamar….” Tentara Amerika itu berkata. Dan kembali pemilik penginapan Asakusa itu mengangguk-angguk.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 066

No comments:

Post a Comment