Yang terdengar
hanyalah geseran tubuh dengan dedaunan. Mereka melalui rimba yang lebat. Tak
lama kemudian, mereka tiba ke tepi rawa dan bancah yang tadi disebutkan Bilal.
Si Bungsu
menekankan samurainya ke dalam air. Menduga dalam bancah ini. Ujung samurainya
menekan tanah dasar air. Cukup keras. Kemudian dia mulai melangkah masuk air.
Yang lain menuruti.
“Kita ke
seberang sana…?” tanyanya sambil menoleh pada Bilal yang berada di tengah
barisan itu.
Bilal
mengangguk. Bungsu menepi memberi jalan kepada orang yang di belakangnya.
Lelaki itu lewat dengan mayat leutenant Belanda di bahunya. Berturut-turut
lewat lelaki yang lain.
Namun tiba-tiba
si Bungsu merasa dirinya jadi tegang.
Matanya
menyipit. Inderanya yang sudah terlatih di rimba Gunung Sago tiba-tiba
mengisyaratkan bahwa ada bahaya mengancam. Samurainya dengan cepat berpindah ke
tangan kiri. Sementara tangan kanannya menggantung melemas.
Beberapa lelaki
lagi lewat di hadapannya. Dia menatap dengan tegang. Bahaya yang tercium oleh
firasatnya itu makin mendekat. Lelaki yang paling depan telah naik kembali ke
tanah di seberang bancah sana. Jaraknya dengan si Bungsu ada sekitar dua depa.
Si Bungsu kenal
benar dengan isyarat yang dia tangkap ini. Amat kenal. Hanya kini dia
memastikan di mana sumber bahaya itu. Sedetik dia memejamkan mata, inderanya
yang terlatih, yang melebihi ketajaman indera binatang buas manapun, segera mengetahui
bahaya itu.
Tiba-tiba dia
memekik seperti pekikan raja hutan. Pekikannya yang dahsyat itu diikuti oleh
terangkatnya tubuhnya dari tempatnya tegak. Dirinya yang tadi tegak dalam
rendaman air sebatas paha, tiba-tiba melambung dalam suatu lompat tupai yang
terkenal itu.
Tubuhnya
mengapung segera dari permukaan air bancah. Melambung ke arah depan dimana
lelaki yang memangku mayat leutenant itu tegak.
Tidak hanya
lelaki dengan mayat leutenant itu saja yang tertegak diam. Semua anggota
rombongan pengubur mayat itu, termasuk Bilal yang berjumlah empat belas orang
pada tertegak kaget, dan seperti dipakukan ke tanah begitu mendengar pekik si
Bungsu tadi.
Dan kini dengan
pandangan tak berkedip, mereka melihat tubuh si Bungsu turun di depan sekali.
Persis di sisi Soli yang memangku mayat Leutenant itu.
Tangan kanan si
Bungsu dengan kuat mendorong tubuh Soli. Karena di bahunya ada beban, Soli tak
bisa menguasai keseimbangan, tubuhnya segera saja terdorong ke samping. Tak
hanya sekedar terdorong, tapi terjatuh duduk.
Belum habis
kaget Soli dan semua teman-temannya melihat tindakan si Bungsu, tiba-tiba saja
dari hadapan tempat Soli tegak tadi, melesat suatu bayangan dengan suara
menggeram hebat.
Bayangan itu
justru menerpa tempat Soli tegak tadi bersama mayat leutenant tersebut di bahunya.
Kini di tempat itu yang tegak bukan lagi Soli, tapi si Bungsu. Si Bungsu tak
berani menerima terkaman itu. Yang menerkamannya tak lain daripada seekor
harimau besar!
Dia melambung
dengan lompat tupai ke kanan! Dan harimau itu menerpa tempat kosong! Semua
lelaki yang segera melihat harimau itu pada tegak melongo. Hanya Bilal yang
mengucap istigfar. Yang lain tanpa dapat dicegah pada menggigil. Mereka
rata-rata memang pesilat. Tapi tak semua pesilat berani menghadapi harimau. Apa
lagi di siang bolong dan di dalam rimba raya!
Mayat-mayat
yang tadi mereka panggul. Pada berjatuhan tanpa mereka sadari. Dan mereka pada
tegak menggigil!
“tetaplah diam
di tempat kalian!” si Bungsu berteriak memperingati ketika dia lihat ada
seorang dua yang ingin ambil langkah seribu.
Semua pada
tertegak. Si Bungsu memperingatkan hal itu untuk menghindarkan korban. Sebab
dia telah hidup dalam belantara Gunung Sago. Telah berkelahi dengan
harimau-harimau di gunung Sago tersebut untuk mempertahankan hidupnya.
Dan dia jadi
sangat kenal pada sifat harimau-harimau. Mereka akan memburu orang yang
membelakanginya. Yang lari terbirit-birit! Hariumau justru jadi segan dan agak
gentar pada orang yang tegak diam dan menatapnya!
Dan kini
harimau yang besarnya bukan main itu mengeram. Beberapa lelaki ada yang
terkencing. Si Bungsu dengan langkah ringan memutar tegak.
Dan kini dia
persis di hadapan harimau itu. Harimau itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah.
Meninggalkan jejak kukuk yang dalam pada tanah keras tersebut. Dan tiba-tiba
tubuhnya merendah. Matanya nyalang menatap si Bungsu tak berkedip. Si Bungsu
tegak dengan tenang. Dan kedua kakinya terpentang lebar. Dia balas menatap
harimau itu dengan pandangan tak berkedip. Mereka sama-sama mengukur. Dan
tiba-tiba tanpa memberitahu, tanpa bersuara sedesahpun, tubuh harimau itu
melesat dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata. Menghambur ke arah si
Bungsu.
Demikian
cepatnya sergapan itu, sehingga hampir-hampir tak terikutkan oleh mata
lelaki-lelaki yang ada di sana. Yang
dapat melihat dengan jelas gerakan itu hanyalah Bilal yang telah masak ilmu
silatnya. Dia melihat betapa harimau itu tidak menerkam, tapi dalam lompatannya
dia menampar ke arah si Bungsu. Dan hanya Bilal pulalah yang dapat sedikit
melihat betapa dengan kecepatan yang sulit dimengerti, tangan kanan si Bungsu
tiba-tiba telah memegang samurainya. Dan samurainya itu membabat ke arah
harimau yang menerkamnya itu. Hanya itu yang terlihat. Bilal tak tahu apakah
antara kedua lawan itu ada yang kena atau tidak. Tapi dia dan semua lelaki yang
tertegak diam itu melihat betapa kini kedua mereka saling berhadapan kembali!
Harimau itu
tegak mencekam tanah empat depa di belakang si Bungsu. Tegak tanpa cedera
apapun. Sebaliknya si Bungsu juga tegak dengan posisi seperti tadi. Dengan
tubuh tegak lurus dan dengan kaki yang terpentang lebar. Bedanya kini
samurainya kembali telah tersisip dalam sarangnya di tangan kiri. Sementara
tangan kananya tergantung lemas!
Dia juga tegak
tanpa luka segorespun! Semua mereka menghela nafas. Ini adalah pertarungan yang
belum pernah mereka saksikan seumur hidup. Belum pernah dan mungkin tak pernah
terjadi untuk kedua kalinya!
Mereka memang
banyak mendengar, bahwa pesilat-pesilat tangguh biasanya memutus kaji dengan
bertarung melawan harimau. Dan mereka juga tahu, bahwa diantara pesilat-pesilat
yang tangguh itu, Bilal konon adalah salah seorang yang telah lulus dari
perkelahian seperti ini. Entah benar entah tidak, tapi sudah menjadi rahasia
umum, sudah menjadi buah bibir, bahwa Bilal telah lulus dari ujian dengan
“Niniek” belang. Mereka tak mengetahui dengan pasti karena tak melihatnya. Dan
sebaliknya Bilal pun tak pernah membantah atau mengiyakan desas-desus itu. Yang
jelas dia memang seorang pesilat tangguh yang telah masak! Dan kini. Manusia
melawan harimau! Bila ada kesempatan seperti itu? Maka meski dengan celana
basah karena kencing, mereka berusaha juga untuk tetap tegak. Berusaha agar
mata mereka terbuka lebar menyaksikan perkelahian itu. Menyaksikan dengan tubuh
terguncang-guncang karena menggigil ngeri!
Tiba-tiba
mereka menyaksikan sesuatu yang aneh. Di belakang sana, harimau itu kembali
mencengkamkan kaki depannya ke tanah. Matanya menatap marah pada si Bungsu yang
membelakanginya. Membelakang! Bayangkan, ada manusia yang berani
membelakanginya! Bukankah itu suatu penghinaan! Harimau itu benar-benar berang!
Dia tak mau
dihina demikain. Apalagi di hadapan tatapan sekian banyak manusia. Dan dia
berniat kali ini untuk mengoyak tubuh manusia sombong yang membelakanginya ini!
Akan halnya si
Bungsu, kelihatan memejamkan matanya. Kemudian perlahan merendahkan tubuh. Lalu
duduk bersila di tanah! Duduk dengan mata tetap terpejam! Inilah yang membuat
heran dan terkejut lelaki-lelaki dari Buluh Cina itu. Termasuk Bilal!
Tak seorangpun
yang tahu, bahwa jika dia telah berbuat demikian itu berarti di sekitarnya nada
maut yang siap merengut nyawa setiap makhluk yang mendekati tubuhnya yang diam
terpejam itu! Tak seorangpun yang mengetahui itu. Bahkan Bilal yang pesilat
tangguh itu tak pula bisa menangkap secara penuh. Dia hanya bisa menerka-nerka.
Bahwa anak muda itu sebenarnya barangkali sedang memusatkan inderanya. Sedang
menghimpun segala makrifat. Tapi itu hanya dugaannya saja. Dia tetap saja cemas
melihat hal itu.
Dan tiba-tiba, tanpa
suara sedesahpun seperti tadi, bahkan kini seperti tak ada angin terkuat
sedikitpun oleh tubuhnya yang besar dan dahsyat itu, harimau tersebut melesat
dengan kecepatan hampir-hampir tiga kali kecepatan loncatannya yang pertama
tadi. Meloncat dengan mulut yang diarahkan untuk menerkam tepat-tepat ke
tengkuk si Bungsu!
Bilal tak
melihat gerakkan sedikitpun dari pihak si Bungsu. Dan saat berikutnya, terlalu
cepat buat diikuti mata siapapun. Terlalu cepat! Hanya bayangan yang tak jelas!
Mereka hanya
melihat betapa kelebatan bayangan yang cepat itu akhirnya berhenti dalam bancah
dari mana si Bungsu tadi melambung ke luar. Harimau itu tertegak dengan keempat
kakinya di bancah itu. Separuh tubuhnya bahagian bawah terendam dalam bancah.
Dan dibawahnya terhimpit si Bungsu. Yang kelihatan keluar mencuat dari bawah
perut harimau itu hanyalah tangannya!
Tangan anak
muda itu menggelepar dan buih aiar menggelembung ke atas! Gelembung air merah!
Merah darah! Tangan si Bungsu sekali lagi kelihatan menggelepar. Harimau itu
meraung panjang. Mengejutkan dan membuat isi rimba di darat kampung Buluh Cina
itu berteperasan lari. Menyurukkan diri ke tempat yang paling jauh. Raungan
raja hutan itu benar-benar dahsyat. Bilal sendiri seperti dicopoti tulang
belulangnya.
“Ya Allah,
Bungsu….” ucapan perlahan terdengar keluar dari bibirnya yang pucat.
Demikian
hebatnya terjangan harimau itu tadi. Sehingga mementalkan tubuh si Bungsu dan
dirinya ke bancah ini. Lontaran yang jauhnya enam depa dari tempat si Bungsu
duduk bersila memejamkan mata tadi! Semua lelaki dari kampung kecil itu tegak
dengan wajah pucat dan mulut ternganga. Harimau besar itu menoleh keliling. Dan
tiba-tiba tubuhnya miring. Dan rubuh ke dalam air bancah yang telah menjadi
merah disekitarnya! Tangan si Bungsu yang dirinya berada dalam air di bawah
perut harimau itu sekali lagi seperti akan memegang sesuatu di udara.
Meregang-regang. Kemudian tenggelam ke dalam air. Terlihat gelembung-gelembung
air. Dan tiba-tiba kepalanya muncul! Dia menarik nafas terbatuk-batuk.
“Bungsuuu!!”
Bilal berteriak dan memburu, si Bungsu terbatuk-batuk lagi. Kemudian
memuntahkan air bancah yang terminum olehnya.
Dia dibantu
tegak oleh Bilal. Sementara lelaki-lelaki yang lain masih tertegak diam. Takjub
dan terpana. Untuk menegakkan si Bungsu, Bilal terpaksa mendorong harimau itu
ke pinggir.
Harimau itu
ternyata mati! Samurai si Bungsu menancap persis dijantungnya! Tembus hingga ke
punggung. Dan tiba-tiba belantara itu seperti akan robek oleh pekik dan sorak
gembira lelaki-lelaki dari Buluh Cina tersebut. Mereka melupakan celananya yang
basah karena kencing. Bahkan dua orang diantaranya melupakan kentut dan berak
yang memenuhi celana mereka takkala harimau itu meraung dengan menghimpit tubuh
si Bungsu!
Mereka
berlarian mengelilingi anak muda itu.
Si Bungsu
membuka bajunya yang basah. Dan tiba-tiba semua lelaki dari Buluh Cina itu
tertegun. Mereka menatap punggung, dada dan perut si Bungsu. Tubuh anak muda
itu seperti habis sembuh dari suatu penjagalan. Bekas luka lebih dari selusin
simpang siur pada tubuhnya itu. Mereka saling pandang sesamanya. Kemudian
menatap pada si Bungsu. Dan si Bungsu segera mengetahui bahwa perut bekas luka
yang malang melintang di tubuhnya menarik perhatian lelaki-lelaki itu. Dia
memeras bajunya yang basah kuat-kuat untuk mengeringkan air bancah tadi.
“Kita kuburkan
Belanda-Belanda ini? Katanya sambil menoleh pada Bilal. Bilal yang tegak
didekatnya tersenyumdan mengangguk.
Mereka lalu
kembali mengangkati mayat-mayat Belanda yang tadi berjatuhan di dalam bancah.
Kemudian kembali naik ke daratan menerobos hutan di seberang bancah itu.
Menggali lobang besar di tanah. Kemudian memasukkan keenam mayat Belanda itu
sekaligus ke satu lobang. Lalu menimbunnya.
“Nah, kini kita
kembali ke kampung. Kita bawa bangkai harimau ini. Saya rasa ini adalah harimau
yang menangkapi kambing kita. Dan mungkin juga yang menangkap dan memakan Tuar,
Karim dan Bodu dahulu….” Bilal berkata.
Dan para lelaki
itu lalu mengikat kaki-kaki harimau tersebut. Dan sebuah kayu besar betis
ditebang. Lalu dimasukkan di antara keempat kaki raja hutan itu. Dan dengan
kayu itu, bangkai harimau besar tersebut dipikul oleh enam orang lelaki menuju
ke kampung.
Di kampung
mereka berpapasan dengan penduduk yang tadi disuruh Bilal menguburkan jenazah
orang-orang yang meninggal dalam pertempuran di Pasar Jumat itu.
Dan penduduk
segera saja jadi gempar takkala melihat mereka membawa bangkai raja hutan itu. Raja
hutan itu segera diletakkan di pekarangan mesjid di tengah kampung.
Berita bahwa
ada harimau mati dan bangkainya di halaman mesjid, segera saja menjalar ke
seluruh rumah penduduk. Penduduk yang tadinya setelah penguburan pada naik ke
rumah masing-masing, takut keluar disebabkan peristiwa dengan tentara Belanda
itu, kini segera berdatangan.
Dalam waktu tak
sampai lima belas menit, semua penduduk kampung yang sekitar seribu orang itu
telah berkumpul di halaman mesjid. Mereka ternganga melihat bangkai harimau
yang hampir sebesar kerbau itu. Kemudian lelaki-lelaki yang tadi pergi bersama
si Bungsu dan Bilal, menyaksikan perkelahian itu pada bercerita pada orang di
sebelahnya. Mereka menceritakan jalan perkelahian yang belum pernah terjadi
itu.
Dan bahkan ada
yang menyatakan bahwa merekalah yang pertama melihat harimau itu.
“Saya lihat
kepalanya di antara semak” kata lelaki yang ketika perkelahian itu terjadi,
terpancar kencingnya dalam celananya.
Empat lima
orang penduduk merapatkan tegaknya.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 065
No comments:
Post a Comment