Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 066

Yang terdengar hanyalah geseran tubuh dengan dedaunan. Mereka melalui rimba yang lebat. Tak lama kemudian, mereka tiba ke tepi rawa dan bancah yang tadi disebutkan Bilal.

Si Bungsu menekankan samurainya ke dalam air. Menduga dalam bancah ini. Ujung samurainya menekan tanah dasar air. Cukup keras. Kemudian dia mulai melangkah masuk air. Yang lain menuruti.



“Kita ke seberang sana…?” tanyanya sambil menoleh pada Bilal yang berada di tengah barisan itu.



Bilal mengangguk. Bungsu menepi memberi jalan kepada orang yang di belakangnya. Lelaki itu lewat dengan mayat leutenant Belanda di bahunya. Berturut-turut lewat lelaki yang lain.

Namun tiba-tiba si Bungsu merasa dirinya jadi tegang.

Matanya menyipit. Inderanya yang sudah terlatih di rimba Gunung Sago tiba-tiba mengisyaratkan bahwa ada bahaya mengancam. Samurainya dengan cepat berpindah ke tangan kiri. Sementara tangan kanannya menggantung melemas.

Beberapa lelaki lagi lewat di hadapannya. Dia menatap dengan tegang. Bahaya yang tercium oleh firasatnya itu makin mendekat. Lelaki yang paling depan telah naik kembali ke tanah di seberang bancah sana. Jaraknya dengan si Bungsu ada sekitar dua depa.

Si Bungsu kenal benar dengan isyarat yang dia tangkap ini. Amat kenal. Hanya kini dia memastikan di mana sumber bahaya itu. Sedetik dia memejamkan mata, inderanya yang terlatih, yang melebihi ketajaman indera binatang buas manapun, segera mengetahui bahaya itu.



Tiba-tiba dia memekik seperti pekikan raja hutan. Pekikannya yang dahsyat itu diikuti oleh terangkatnya tubuhnya dari tempatnya tegak. Dirinya yang tadi tegak dalam rendaman air sebatas paha, tiba-tiba melambung dalam suatu lompat tupai yang terkenal itu.

Tubuhnya mengapung segera dari permukaan air bancah. Melambung ke arah depan dimana lelaki yang memangku mayat leutenant itu tegak.

Tidak hanya lelaki dengan mayat leutenant itu saja yang tertegak diam. Semua anggota rombongan pengubur mayat itu, termasuk Bilal yang berjumlah empat belas orang pada tertegak kaget, dan seperti dipakukan ke tanah begitu mendengar pekik si Bungsu tadi.

Dan kini dengan pandangan tak berkedip, mereka melihat tubuh si Bungsu turun di depan sekali. Persis di sisi Soli yang memangku mayat Leutenant itu.



Tangan kanan si Bungsu dengan kuat mendorong tubuh Soli. Karena di bahunya ada beban, Soli tak bisa menguasai keseimbangan, tubuhnya segera saja terdorong ke samping. Tak hanya sekedar terdorong, tapi terjatuh duduk.

Belum habis kaget Soli dan semua teman-temannya melihat tindakan si Bungsu, tiba-tiba saja dari hadapan tempat Soli tegak tadi, melesat suatu bayangan dengan suara menggeram hebat.

Bayangan itu justru menerpa tempat Soli tegak tadi bersama mayat leutenant tersebut di bahunya. Kini di tempat itu yang tegak bukan lagi Soli, tapi si Bungsu. Si Bungsu tak berani menerima terkaman itu. Yang menerkamannya tak lain daripada seekor harimau besar!

Dia melambung dengan lompat tupai ke kanan! Dan harimau itu menerpa tempat kosong! Semua lelaki yang segera melihat harimau itu pada tegak melongo. Hanya Bilal yang mengucap istigfar. Yang lain tanpa dapat dicegah pada menggigil. Mereka rata-rata memang pesilat. Tapi tak semua pesilat berani menghadapi harimau. Apa lagi di siang bolong dan di dalam rimba raya!



Mayat-mayat yang tadi mereka panggul. Pada berjatuhan tanpa mereka sadari. Dan mereka pada tegak menggigil!



“tetaplah diam di tempat kalian!” si Bungsu berteriak memperingati ketika dia lihat ada seorang dua yang ingin ambil langkah seribu.



Semua pada tertegak. Si Bungsu memperingatkan hal itu untuk menghindarkan korban. Sebab dia telah hidup dalam belantara Gunung Sago. Telah berkelahi dengan harimau-harimau di gunung Sago tersebut untuk mempertahankan hidupnya.

Dan dia jadi sangat kenal pada sifat harimau-harimau. Mereka akan memburu orang yang membelakanginya. Yang lari terbirit-birit! Hariumau justru jadi segan dan agak gentar pada orang yang tegak diam dan menatapnya!

Dan kini harimau yang besarnya bukan main itu mengeram. Beberapa lelaki ada yang terkencing. Si Bungsu dengan langkah ringan memutar tegak.

Dan kini dia persis di hadapan harimau itu. Harimau itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah. Meninggalkan jejak kukuk yang dalam pada tanah keras tersebut. Dan tiba-tiba tubuhnya merendah. Matanya nyalang menatap si Bungsu tak berkedip. Si Bungsu tegak dengan tenang. Dan kedua kakinya terpentang lebar. Dia balas menatap harimau itu dengan pandangan tak berkedip. Mereka sama-sama mengukur. Dan tiba-tiba tanpa memberitahu, tanpa bersuara sedesahpun, tubuh harimau itu melesat dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata. Menghambur ke arah si Bungsu.



Demikian cepatnya sergapan itu, sehingga hampir-hampir tak terikutkan oleh mata lelaki-lelaki yang ada di sana.  Yang dapat melihat dengan jelas gerakan itu hanyalah Bilal yang telah masak ilmu silatnya. Dia melihat betapa harimau itu tidak menerkam, tapi dalam lompatannya dia menampar ke arah si Bungsu. Dan hanya Bilal pulalah yang dapat sedikit melihat betapa dengan kecepatan yang sulit dimengerti, tangan kanan si Bungsu tiba-tiba telah memegang samurainya. Dan samurainya itu membabat ke arah harimau yang menerkamnya itu. Hanya itu yang terlihat. Bilal tak tahu apakah antara kedua lawan itu ada yang kena atau tidak. Tapi dia dan semua lelaki yang tertegak diam itu melihat betapa kini kedua mereka saling berhadapan kembali!

Harimau itu tegak mencekam tanah empat depa di belakang si Bungsu. Tegak tanpa cedera apapun. Sebaliknya si Bungsu juga tegak dengan posisi seperti tadi. Dengan tubuh tegak lurus dan dengan kaki yang terpentang lebar. Bedanya kini samurainya kembali telah tersisip dalam sarangnya di tangan kiri. Sementara tangan kananya tergantung lemas!

Dia juga tegak tanpa luka segorespun! Semua mereka menghela nafas. Ini adalah pertarungan yang belum pernah mereka saksikan seumur hidup. Belum pernah dan mungkin tak pernah terjadi untuk kedua kalinya!



Mereka memang banyak mendengar, bahwa pesilat-pesilat tangguh biasanya memutus kaji dengan bertarung melawan harimau. Dan mereka juga tahu, bahwa diantara pesilat-pesilat yang tangguh itu, Bilal konon adalah salah seorang yang telah lulus dari perkelahian seperti ini. Entah benar entah tidak, tapi sudah menjadi rahasia umum, sudah menjadi buah bibir, bahwa Bilal telah lulus dari ujian dengan “Niniek” belang. Mereka tak mengetahui dengan pasti karena tak melihatnya. Dan sebaliknya Bilal pun tak pernah membantah atau mengiyakan desas-desus itu. Yang jelas dia memang seorang pesilat tangguh yang telah masak! Dan kini. Manusia melawan harimau! Bila ada kesempatan seperti itu? Maka meski dengan celana basah karena kencing, mereka berusaha juga untuk tetap tegak. Berusaha agar mata mereka terbuka lebar menyaksikan perkelahian itu. Menyaksikan dengan tubuh terguncang-guncang karena menggigil ngeri!



Tiba-tiba mereka menyaksikan sesuatu yang aneh. Di belakang sana, harimau itu kembali mencengkamkan kaki depannya ke tanah. Matanya menatap marah pada si Bungsu yang membelakanginya. Membelakang! Bayangkan, ada manusia yang berani membelakanginya! Bukankah itu suatu penghinaan! Harimau itu benar-benar berang!

Dia tak mau dihina demikain. Apalagi di hadapan tatapan sekian banyak manusia. Dan dia berniat kali ini untuk mengoyak tubuh manusia sombong yang membelakanginya ini!

Akan halnya si Bungsu, kelihatan memejamkan matanya. Kemudian perlahan merendahkan tubuh. Lalu duduk bersila di tanah! Duduk dengan mata tetap terpejam! Inilah yang membuat heran dan terkejut lelaki-lelaki dari Buluh Cina itu. Termasuk Bilal!



Tak seorangpun yang tahu, bahwa jika dia telah berbuat demikian itu berarti di sekitarnya nada maut yang siap merengut nyawa setiap makhluk yang mendekati tubuhnya yang diam terpejam itu! Tak seorangpun yang mengetahui itu. Bahkan Bilal yang pesilat tangguh itu tak pula bisa menangkap secara penuh. Dia hanya bisa menerka-nerka. Bahwa anak muda itu sebenarnya barangkali sedang memusatkan inderanya. Sedang menghimpun segala makrifat. Tapi itu hanya dugaannya saja. Dia tetap saja cemas melihat hal itu.



Dan tiba-tiba, tanpa suara sedesahpun seperti tadi, bahkan kini seperti tak ada angin terkuat sedikitpun oleh tubuhnya yang besar dan dahsyat itu, harimau tersebut melesat dengan kecepatan hampir-hampir tiga kali kecepatan loncatannya yang pertama tadi. Meloncat dengan mulut yang diarahkan untuk menerkam tepat-tepat ke tengkuk si Bungsu!

Bilal tak melihat gerakkan sedikitpun dari pihak si Bungsu. Dan saat berikutnya, terlalu cepat buat diikuti mata siapapun. Terlalu cepat! Hanya bayangan yang tak jelas!

Mereka hanya melihat betapa kelebatan bayangan yang cepat itu akhirnya berhenti dalam bancah dari mana si Bungsu tadi melambung ke luar. Harimau itu tertegak dengan keempat kakinya di bancah itu. Separuh tubuhnya bahagian bawah terendam dalam bancah. Dan dibawahnya terhimpit si Bungsu. Yang kelihatan keluar mencuat dari bawah perut harimau itu hanyalah tangannya!



Tangan anak muda itu menggelepar dan buih aiar menggelembung ke atas! Gelembung air merah! Merah darah! Tangan si Bungsu sekali lagi kelihatan menggelepar. Harimau itu meraung panjang. Mengejutkan dan membuat isi rimba di darat kampung Buluh Cina itu berteperasan lari. Menyurukkan diri ke tempat yang paling jauh. Raungan raja hutan itu benar-benar dahsyat. Bilal sendiri seperti dicopoti tulang belulangnya.



“Ya Allah, Bungsu….” ucapan perlahan terdengar keluar dari bibirnya yang pucat.



Demikian hebatnya terjangan harimau itu tadi. Sehingga mementalkan tubuh si Bungsu dan dirinya ke bancah ini. Lontaran yang jauhnya enam depa dari tempat si Bungsu duduk bersila memejamkan mata tadi! Semua lelaki dari kampung kecil itu tegak dengan wajah pucat dan mulut ternganga. Harimau besar itu menoleh keliling. Dan tiba-tiba tubuhnya miring. Dan rubuh ke dalam air bancah yang telah menjadi merah disekitarnya! Tangan si Bungsu yang dirinya berada dalam air di bawah perut harimau itu sekali lagi seperti akan memegang sesuatu di udara. Meregang-regang. Kemudian tenggelam ke dalam air. Terlihat gelembung-gelembung air. Dan tiba-tiba kepalanya muncul! Dia menarik nafas terbatuk-batuk.



“Bungsuuu!!” Bilal berteriak dan memburu, si Bungsu terbatuk-batuk lagi. Kemudian memuntahkan air bancah yang terminum olehnya.



Dia dibantu tegak oleh Bilal. Sementara lelaki-lelaki yang lain masih tertegak diam. Takjub dan terpana. Untuk menegakkan si Bungsu, Bilal terpaksa mendorong harimau itu ke pinggir.

Harimau itu ternyata mati! Samurai si Bungsu menancap persis dijantungnya! Tembus hingga ke punggung. Dan tiba-tiba belantara itu seperti akan robek oleh pekik dan sorak gembira lelaki-lelaki dari Buluh Cina tersebut. Mereka melupakan celananya yang basah karena kencing. Bahkan dua orang diantaranya melupakan kentut dan berak yang memenuhi celana mereka takkala harimau itu meraung dengan menghimpit tubuh si Bungsu!

Mereka berlarian mengelilingi anak muda itu.

Si Bungsu membuka bajunya yang basah. Dan tiba-tiba semua lelaki dari Buluh Cina itu tertegun. Mereka menatap punggung, dada dan perut si Bungsu. Tubuh anak muda itu seperti habis sembuh dari suatu penjagalan. Bekas luka lebih dari selusin simpang siur pada tubuhnya itu. Mereka saling pandang sesamanya. Kemudian menatap pada si Bungsu. Dan si Bungsu segera mengetahui bahwa perut bekas luka yang malang melintang di tubuhnya menarik perhatian lelaki-lelaki itu. Dia memeras bajunya yang basah kuat-kuat untuk mengeringkan air bancah tadi.



“Kita kuburkan Belanda-Belanda ini? Katanya sambil menoleh pada Bilal. Bilal yang tegak didekatnya tersenyumdan mengangguk.



Mereka lalu kembali mengangkati mayat-mayat Belanda yang tadi berjatuhan di dalam bancah. Kemudian kembali naik ke daratan menerobos hutan di seberang bancah itu. Menggali lobang besar di tanah. Kemudian memasukkan keenam mayat Belanda itu sekaligus ke satu lobang. Lalu menimbunnya.



“Nah, kini kita kembali ke kampung. Kita bawa bangkai harimau ini. Saya rasa ini adalah harimau yang menangkapi kambing kita. Dan mungkin juga yang menangkap dan memakan Tuar, Karim dan Bodu dahulu….” Bilal berkata.



Dan para lelaki itu lalu mengikat kaki-kaki harimau tersebut. Dan sebuah kayu besar betis ditebang. Lalu dimasukkan di antara keempat kaki raja hutan itu. Dan dengan kayu itu, bangkai harimau besar tersebut dipikul oleh enam orang lelaki menuju ke kampung.

Di kampung mereka berpapasan dengan penduduk yang tadi disuruh Bilal menguburkan jenazah orang-orang yang meninggal dalam pertempuran di Pasar Jumat itu.

Dan penduduk segera saja jadi gempar takkala melihat mereka membawa bangkai raja hutan itu. Raja hutan itu segera diletakkan di pekarangan mesjid di tengah kampung.

Berita bahwa ada harimau mati dan bangkainya di halaman mesjid, segera saja menjalar ke seluruh rumah penduduk. Penduduk yang tadinya setelah penguburan pada naik ke rumah masing-masing, takut keluar disebabkan peristiwa dengan tentara Belanda itu, kini segera berdatangan.



Dalam waktu tak sampai lima belas menit, semua penduduk kampung yang sekitar seribu orang itu telah berkumpul di halaman mesjid. Mereka ternganga melihat bangkai harimau yang hampir sebesar kerbau itu. Kemudian lelaki-lelaki yang tadi pergi bersama si Bungsu dan Bilal, menyaksikan perkelahian itu pada bercerita pada orang di sebelahnya. Mereka menceritakan jalan perkelahian yang belum pernah terjadi itu.

Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa merekalah yang pertama melihat harimau itu.



“Saya lihat kepalanya di antara semak” kata lelaki yang ketika perkelahian itu terjadi, terpancar kencingnya dalam celananya.



Empat lima orang penduduk merapatkan tegaknya.


Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 065

No comments:

Post a Comment