“Jangan lupa
sampaikan pada Akiyama, saya mencarinya!! Si Bungsu berteriak.
Dua orang
tentara Jepang saking takutnya sambil berlari itu lalu mengiyakan. Angguk
ketakutan.
Si Bungsu melihat
kaki dan rusuknya yang pedih tadi. Hanya luka tergores. Tak Parah. Meski darah
mengalir cukup banyak.
“Jika ada
diantara kalian pejuang bawah tanah, ambillah bedil ini dan pergi cepat sebelum
Jepang tiba….” Dia berkata. Sunyi sejenak.
Dan tiba-tiba
saja empat lelaki berkain sarung dibahunya muncul ketengah. Mengambil
senjata-senjata dan pakaian yang ditinggalkan Jepang itu. Mereka menatap
sejenak pada si Bungsu.
“Kami sudah
banyak mendengar tentang nama besarmu anak muda. Dan hari ini kami lihat betapa
nama besarmu itu tidak kosong semata. Terimakasih atas bantuanmu. Tuhan akan
selalu melindungimu…..” salah seorang dari yang barkain dan bersebo yang
berkumis dan bertubuh kekar berkata.
Dan sehabis
berkata begini, keempat mereka hilang diantara palunan manusia. Menyelinap
dibalik-balik rumah. Dan lenyap entah kemana.
“Kalian
menghindarlah dari sini, jangan sampai didapati Kempetai nanti….” Si Bungsu
memberi ingat pada penduduk sambil berjalan cepat-cepat.
Pendudukpun
pada bertebaran menghindarkan diri. Namun beberapa orang masih tegak disana
menatap pada sersan yang mati itu. Dan saat itulah selusin lebih Kempetai telah
mengepung tempat tersebut.
Ada enam orang
lelaki, dan tiga orang perempuan yang tak sempat menghindarkan diri. Yang masih
terlongo-longo menatap mayat sersan itu ketika Kempetai datang. Semua mereka
ditangkap untuk pemeriksaan dan menanyakan kemana si Bungsu dan siapa yang
mengambil bedil yang ditinggalkan tadi.
Kalau saja
mereka mengikuti petunjuk si Bungsu agar menghindar cepat dari sana, maka
mereka tentulah tak usah dapat kesusahan ditangkap Kempetai. Tapi mereka tak
dapat pula disalahkan sepenuhnya. “Pertunjukkan” seperti yang baru saja mereka
lihat, dimana seorang pemuda Indonesia melawan dan menelanjangi tentara Jepang,
seorang lawan enam orang, dan pemuda Indonesia yang seorang itu menang pula,
benar-benar belum pernah bersua dalam hidup mereka.
Bahkan mungkin
takkan pernah lagi mereka menemuinya. Mereka sudah banyak mendengar dari mulut
ke mulut, bahwa ada seorang anak muda yang bernama si Bungsu, yang berasal dari
Payakumbuh, dari kakai gunung Sago, yang selalu berhasil membunuhi Jepang.
Diam-diam, nama
anak muda itu menjadi macam tokoh dongeng dan legenda kehidupan mereka. Kaum
lelaki dan perempuan, tua dan muda, menganggap anak muda itu sebagai suatu
tokoh pahlawan yang hanya hidup dalam zaman dongeng.
Namun tiba-tiba
saja, hari ini pahlawan dongeng mereka itu muncul. Dan kemunculannya tidak
hanya sambil lenggang kangkung. Dia muncul lengkap dengan kemahirannya melucuti
dan membunuh Jepang dengan samurainya. Dia muncul lengkap dengan kehebatannya
memainkan samurai. Suatu kemunculan yang komplit seperti didalam dongeng yang
mereka dengan selama ini.
Memang tak
dapat disalahkan penduduk yang masih tetap tinggal ditempat kejadian itu.
Barangkali mereka tak merasa rugi telah ditangkap Kempetai. Malah bila telah
bebas, meski kena tampar sebelas dua belas kali, kepada teman dan kenalan,
kepada sanak famili, kepada anak cucu, mereka bisa menepuk dada. Bercerita
tentang kehebatan si Bungsu. Bercerita bahwa mereka ikut dalam “aksi” membunuh
dan menelanjangi enam orang Jepang di dekat jembatan gantung itu bersama si
Bungsu. Bersama si Bungsu!
Hm, bayangkan
kebanggan yang akan mereka perdapat.
Demikian selalu
rakyat kecil. Harapannya tak pula besar. Kecil saja, sekecil kehidupan mereka.
Bagi mereka, kebanggaan-kebanggan bertegur sapa atau berdekatan dengan tokoh
yang dikagumi, sudah meruapakan suatu kebahagian. Dan itu mereka perdapat hari
ini.
Peristiwa di
dekat jembatan gantung itu segera menyebar seperti menelan lalang. Bersambung
dari satu mulut ke mulut yang lain. Makin lama, kehebatan peritiwa itu makin
menjadi-jadi. Ada yang bercerita bahwa pakaian kelima serdadu Jepang itu
tanggal hanya karena bentakkan si Bungsu.
Artinya,
bentakkan si Bungsu mengandung tenaga dalam yang tangguh. Ada pula yang
menceritakan bahwa dia melihat benar dengan mata kepala sendiri, betapa si
Bungsu tetap saja tegak ketika ditembak belasan kali oleh Kempetai-Kempetai
itu. Setelah perluru pistol Kempetai itu habis barulah si Bungsu beraksi dengan
samurainya. Bukan main hebatnya cerita itu bertebar dan bersambung dari mulut
ke mulut. Yang sejengkal djadi sedepa.
Namun begitulah
selalu rakyat kecil. Jika mereka tidak mampu memperoleh yang besar-besar,
bahkan memperoleh yang kecil sekalipun susah, maka mereka cukup merasa puas
dengan hanya menceritakan sesuatu yang besar.
Atau
sekurang-kurangnya membesar-besarkan peritiwa kecil. Bukankah itu termasuk juga
suatu”pekerjaan” yang besar?
Letnan Kolonel
Akiyama mencak-mencak saking berangnya mendengar laporan kelima serdadu yang
ditelanjangi itu. Mukanya merah padam. Persis udang yang dibakar hidup-hidup.
Kelima serdadu yang hanya bercelana kotok itu dia biarkan terus bercelana
kotok. Tak dia biarkan memakai pakaian.
“Goblok!
Pandir! Kalian tak punya otak. Tak mampu melawan seorang anak ingusan yang
hanya pakai samurai. Sialan” dan tangannya bekerja menampari kelima orang
serdadunya itu. Puak…puak-puak…pak! Berkatintam tangannya mendarat datar di
pipi, kepala dan tengkuk kelima serdadu itu.
Kelima serdadu
itu hanya dapat tegak dengan diam dan sikap sempurna. Masih untung mereka
ditampar disana dan dibiarkan berserawa kotok. Bagaimana kalau mereka diseret
ketahanan kemudian disiksa? Cukup banyak serdadu Jepang yang mengalami siksaan
dibawah perintah Letnan Kolonel ini. Dia memang arsitek bidang siksa menyiksa.
Tapi tiba-tiba
Letnan Kolonel itu jadi terdiam pula. Dia ingat kembali kata-katanya barusan.
“Goblok, pandir, beruk. Kalian tak punya otak, tak mampu melawan anak ingusan
yang hanya pakai samurai. Sialan” begitu ucapan makiannya sebentar ini. Dan dia
jadi terdiam tertegak seperti patung justru mengingat kejadian di Birugo
dahulu. Bukankah dia juga dibuat tak berkutik oleh ancaman samuari anak muda
itu?
Bahkan waktu itu
dia justru punya kekuatan jauh lebih besar. Dia membawa hampir tiga puluh orang
serdadu. Tapi dengan kekuatan begitu, dia justru berhasil direndam anak muda
itu dalam tebat. Bahkan Letnan Atto, ajudannya mati dibabat anak muda itu di
depan matanya! Dia terdiam karena merasa malu. Dia baru saja memaki anak
buahnya. Bukankah itu juga berarti memaki dirinya sendiri?
“Jahanam. Pergi
kalian dari hadapanku! Bagero, beruk semuaa!” dia membentak sambil menendangi
pantat anak buahnya yang lima orang itu. Ada yang terpancar kentutnya kena
tendangan itu. Selagi ada kesempatan, ketika diusir itu lebih cepat menghindar
lebih baik pikir mereka.
Dan kini
tinggallah Overste itu sendiri. Terengah-engah dengan muka sebentar pucat
sebentar merah. Si Bungsu sudah keterlaluan.Sudah melumuri kepala botakku
dengan cirit, pikirnya. Dengan menelanjangi tentara Jepang dimuka orang ramai,
membunuh komandan regunya, kemudia berpesan pula agar menyampaikan ancaman pada
Akiyama, bukankah itu sebuah tantangan yang tak alang kepalang.
Oh Budha, kalau
saja bom atom tak meledak di Nagasaki dan Hirosyima, kalau saja Jepang tak
bertekuk lutut pada Sekutu, dia pasti sudah menyuruh menangangkapi semua orang
di Bukittinggi ini. Menangkapin mereka sambil memaksa buka mulut untuk
menunjukkan dimana si Bungsu sembunyi. Anak setan itu pasti dalam kota ini.
Pasti, tapi dimana?
Malangnya
Jepang telah menyerah. Jadi kekuatan mereka tak begitu berarti lagi. Mereka
harus banyak menekan perasaan. Tapi Akiyama bersumpah, dia harus menangkap dan
membunuh si Bungsu jahanam itu. Harus!
Sebaliknya si
Bungsu juga bersumpah pada dirinya untuk menuntut balas pada Akiyama. Masih
ingat dia betapa Letnan Kolonel itu, semasa dia masih berpangkat Mayor,
menghantam luka dibahunya. Lukanya dia tusuk dengan keempat jarinya sehingga
jebol ke dalam. Bukan main sakitnya.
Tapi yang
paling sakit perasaannya adalah ketika dia ketahui bahwa Datuk Penghulu mati
dihantam samurai Akiyama. Inilah dendam yang harus dia balaskan. Membalas
kematian Datuk Penghulu.
Dan akhirnya
kedua musuh bebuyutan yang saling membenci ini bertemu muka. Mereka bertemu
dalam saat-saat yang menguntungkan bagi posisi si Bungsu. Waktu itu ada suatu
upacara dimana selain bala tentara Jepang, juga hadir anggota-anggota pejuang
Indonesia dan anggota Gyugun.
Tentara Jepang
yang hadir sekitar satu kompi (seratus orang). Pihak pejuang-pejuang Indonesia
agak kurang, namun sudah mempunyai senjata agak komplit.
Upacara itu
berlangsung di depan asrama militer Birugo. Ada lapangan luas di depan markas
itu. Upacara dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Fujiyama.
Ketika upacara
itu selesai, pasukan Indonesia sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan
upacara. Demikian pula pasukan Jepang siap untuk kembali ke markas mereka yang
terletak di belakang lapangan upcara itu. Saat itulah Akiyama tiba-tiba melihat
seorang anak muda di antara puluhan penduduk sipil yang tegak di tepi lapangan
melihat jalannya upacara itu.
“Bungsu!!!” dia
berseru dari tempat tegaknya.
Semua orang
terkejut. Termasuk Jenderal Fujiyama. Akiyama saat itu tengah bertindak sebagai
Komandan Upacara. Dia masih tegak dititik putih tengah lapangan ketika dia
menyebut nama si Bungsu.
Setiap tentara
Jepang, setiap anggota Gyugun mengenal nama itu dengan baik. Makanya tentara
yang sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan itu, segera tegak kembali
ditempatnya. Jenderal Fujiyama sendiri juga tertegak di atas podium kehormatan.
Demikian pula perwira-perwira Jepang lainnya.
Penduduk yang
tegak diarah mana Akiyama menoleh pada surut dengan takut. Dan kini tinggallah
disana seorang anak muda. Memakai pantalon biasa. Memakai baju gunting cina dan
sebuah tongkat di tangannya.
“Ya, sayalah
ini, Akiyama….” Anak muda itu berkata perlahan. Seruan-seruan tertahan
terdengar dari mulut para serdadu Jepang. Sementara anggota-anggoat Heiho,
Gyugun, para pejuang lainnya dan penduduk pada berbisik.
“Akhirnya kau
kudapatkan Bungsu…” Akiyama berseru lagi.
“Ya, saya
memang datang untuk mencarimu….” Si Bungsu tak kalah gertak. Dan sebelum
Akiyama mempergunakan kekuasaannya untuk memerintahkan menangkap dirinya, si
Bungsu cepat-cepat berkata dengan lantang.
“Sebagai
seorang Samurai, saya tantang anda untuk bertarung sampai mati. Bertarung
secara kesatria di hadapan semua yang hadir sebagai saksi. Itu kalau anda
memang benar-benar seorang Samurai Sejati!” suaranya lantang. Bergema diudara
yang begitu panas. Muka Akiyama jadi merah.
“Seluruh
tentara Jepang jadi saksi untuk tuan. Seluruh tentara Indonesia menjadi saksi
untuk saya…” si Bungsu berkata lagi. Suasana sepi.
Tiba-tiba Letnan
Kolonel itu menghadap pada Jenderal Fujiyama kemudian melangkah mendekatinya.
Pada jarak empat depa dia berhenti. Kemudian memberi hormat dengan sikap gagah.
Lalu bicara dalam bahasa Jepang, Fujiyama kelihatan mengangguk-ngangguk.
Kemudian Akiyama memberi hormat lagi. Kali ini Jenderal Fujiyama memutar tegak
menghadap si Bungsu. Lalu terdengar suaranya bergema :
“Saya sudah
lama mendengar namamu anak muda. Hari ini engkau menantang saya. Bagi samurai
Jepang adalah suatu kehormatan tertinggi untuk menerima tantangan berkelahi
dengan Samurai melawan musuh. Namun untuk engkau ketahui, baru kali ini terjadi
dalam sejarah kemiliteran Jepang, ada seorang asing yang menantang seorang
Jepang untuk bertarung dengan pedang Samurai. Saya telah mendengar permintaanmu,
kemudian mendengar penjelasan Akiyama. Dia bersedia melayanimu. Dan saya
merestuinya. Akiyama adalah seorang perwira kami yang sangat mahir dengan
samurainya. Saya sangat menyesalkan kalau engkau sampai mati ditangannya. Baik,
saya jadi saksi, berikut seluruh tentara Jepang. Dan segenap pejuang-pejuang
Indonesia serta masyarakat umum yang ada saat ini jadi saksi untukmu. Saya
menjamin kebebasan bagimu, andainya engkau menang. Engkau boleh pergi kemana
engkau suka, jika engkau keluar dengan selamat dalam pertarungan ini. Bagi
kami, tantanganmu adalah suatu kehormatan, dan bila engkau menang adalah
menjadi kehormatan pula bagi kami untuk membiarkan engkau bebas, Bersiaplah!”
No comments:
Post a Comment