Dan sambil
mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan diri ke tikar pandan usang yang
mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga
mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu
bergoyang-goyang kena angin lemah yang masuk dari sela-sela lobang di dinding.
Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga kali sebanyak yang dia perlihatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke lampu togok yang bergoyang itu.
"Kalau lampu ini mati, kita akan susah....." tiba-tiba anak muda itu berkata.
Baribeh dan si Jul kaget . Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.
"Hei, sanak ada membawa api ?" Anak muda itu bertanya.
Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab. "Ada. Mengapa ?"
"Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya...... " anak muda itu berkata lagi.
Baribeh dan teman-temannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :
"Siapa pula yang akan mematikannya?"
"Angin!. Tak terasa angin makin kencang?"
Anak muda itu berkata seadanya. Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu. Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking menahan berang.
Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka, termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam. Mula-mula yang menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya terteleng kepalanya.
Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai. Teman si Jul menghantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin memungut duitnya yang berserakkan. Dan tendangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.
Keempat lelaki itu terkejut , tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut. Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.
Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahain yang tidak bisa disebut perkelahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam dinding
karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuhnya melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.
Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga kali sebanyak yang dia perlihatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke lampu togok yang bergoyang itu.
"Kalau lampu ini mati, kita akan susah....." tiba-tiba anak muda itu berkata.
Baribeh dan si Jul kaget . Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.
"Hei, sanak ada membawa api ?" Anak muda itu bertanya.
Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab. "Ada. Mengapa ?"
"Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya...... " anak muda itu berkata lagi.
Baribeh dan teman-temannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :
"Siapa pula yang akan mematikannya?"
"Angin!. Tak terasa angin makin kencang?"
Anak muda itu berkata seadanya. Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu. Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking menahan berang.
Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka, termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam. Mula-mula yang menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya terteleng kepalanya.
Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai. Teman si Jul menghantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin memungut duitnya yang berserakkan. Dan tendangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.
Keempat lelaki itu terkejut , tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut. Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.
Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahain yang tidak bisa disebut perkelahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam dinding
karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuhnya melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.
Kini dia
mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu,
terangkat perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti
main setelah menang besar sepekan yang lalu. Dia berniat membeli sawah, atau
pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa membosankannya.
Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera
lagi. Dan inilah akibatnya. Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka
dan sekujur tubuhnya yang bergelimang luluk. Meminum air sumur itu beberapa
teguk. Kemudian naik kembali ke surau.
Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.
"Babi halus ... Jarum udang ... Tali sirah...” katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut .
Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.
"Babi halus ... Jarum udang ... Tali sirah...” katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut .
Rokok itu tak
habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan
ketiga temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi
berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan orang-orang itu. Hanya kini dari mana
dia harus mencari modal? Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor itu? Ah,
Ibu dan ayahnya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya
paling-paling marah sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.
Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat . Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci melihat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat? Mending belajar judi. Uang dapat perut kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat .
Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh? Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu.
Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot .
Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun! Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui ”mata” berapa yang akan muncul di atas. Dan diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar-benar tak menyukainya.
Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah hari dia terbangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari surau tersebut. Kakinya melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.
"Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya ... ?"
Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu dia dipanggil dengan sebutan si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan mulai menyenduk nasi.
“Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . ."
"Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri "
"Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu”.
"Tak ada urusanku dengan mereka . ." "lni tentang pertunanganmu . ."
Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu.
Sementara sambil makan, sesekali sudut mata si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.
“Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding."
"Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?" "Ya. ."
"Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?”
”tapi . ."
"Soal perkawinan?"
Perempuan itu menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya.
"Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?" tanyanya dengan datar.
Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat . Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci melihat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat? Mending belajar judi. Uang dapat perut kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat .
Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh? Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu.
Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot .
Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun! Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui ”mata” berapa yang akan muncul di atas. Dan diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar-benar tak menyukainya.
Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah hari dia terbangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari surau tersebut. Kakinya melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.
"Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya ... ?"
Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu dia dipanggil dengan sebutan si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan mulai menyenduk nasi.
“Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . ."
"Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri "
"Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu”.
"Tak ada urusanku dengan mereka . ." "lni tentang pertunanganmu . ."
Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu.
Sementara sambil makan, sesekali sudut mata si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.
“Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding."
"Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?" "Ya. ."
"Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?”
”tapi . ."
"Soal perkawinan?"
Perempuan itu menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya.
"Mereka ingin mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?" tanyanya dengan datar.
Ibunya tidak
mengangguk dan tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang
tengah tanpa menukar pakaiannya yang compang camping itu. Ayahnya dan empat
lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya. Ayahnya nampak
sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri dengan perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan sehat wal afiat.
"Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?"
Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak.
"Bungsu! Beradab sedikit . Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!" Ayahnya membentak.
Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti.
“Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan....”
"Bungsu!" ayahnya membentak.
Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata:
"Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!"
Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
"Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . ." ayahnya menyumpah panjang pendek dengan muka yang merah padam.
Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri dengan perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan sehat wal afiat.
"Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?"
Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak.
"Bungsu! Beradab sedikit . Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!" Ayahnya membentak.
Dia menatap ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar berkata dengan pasti.
“Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan....”
"Bungsu!" ayahnya membentak.
Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata:
"Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!"
Sehabis ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
"Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . ." ayahnya menyumpah panjang pendek dengan muka yang merah padam.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 001
No comments:
Post a Comment