Akiyama membuka
pistolnya memberikannya pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi
waja dikepala, dan ransel di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak
leluasa ini dia lucuti dan dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke
pinggir.
Akhirnya
dipinggangnya hanya ada samurai yang tergantung di pinggang kanan, seperti
telah diceritakan terdahulu, ketika dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah
seorang yang kidal dalam mempergunakan pedang samurainya.
Tapi Akiyama
belum merasa cukup dengan menanggalkan benda-benda yang bergayut ditubuhnya
itu. Dia membuka bajunya dan kini dengan dada telanjang, yang meperlihatkan
tubuh yang kekar, dia tegak menghadap si Bungsu.
Jenderal
Fujiyama diambilkan tempat duduknya. Dia duduk dengan perwira-perwira di
belakangnya.
Kini kedua
orang itu tegak berhadapan dalam jarak lima depa. Rambut si Bungsu yang agak
gondrong, berkibar-kibar ditiup angin yang berhembus dari kaki gunung Merapi.
Sementara kepala Akiyama yang botak licin, berkilat ditimpa cahaya matahari
pagi.
Akiyama berlutut
ditanah. Menghadap pada Jenderal Fujiyama. Menghormati dengan membungkuk dalam
ke bumi sampai tiga kali. Lalu berputar menghadap si Bungsu. Masih dalam keadaan
berlutut, dia membungkuk memberi hormat. Si Bungsu kaget dan buru-buru membalas
penghormatan itu dengan merangkapkan kedua telapak tangannya dan meletakkan di
depan wajah. Penghormatan silat seperti yang pernah ia lihat almarhum ayahnya
lakukan.
Akiyama
nampaknya menjalankan semacam sembahyang dan doa akhir. Mulutnya
berkomat-kamit. Ketika tegak, seorang serdadu masuk ketengah membawa selembar
kain hitam. Memberikannya kepada Akiyama. Dan Akiyama menerimanya, lalu
mengebatkannya di kepala.
“Banzaaaaii!”
tiba-tiba terdengar pekik gemuruh para serdadu Jepang. Demikian gemuruhnya,
hingga seluruh yang hadir, anggota-anggota Heiho, pejuang-pejuang, penduduk
pada terkejut. Tak terkecuali si Bungsu.
“Dia siap
bertarung sampai mati. Pekikan Banzaaii itu adalah pekikan akhir seorang
tentara Jepang yang siap menghadapi maut…” seorang perwira Heiho berbisik pada
temannya.
Dan memang
demikian keadaannya. Akiyama memang berniat bertarung habis-habisan. Sebab
kalau sampai dia sampai kalah, maka jalan yang akan dia tempuh kalau tidak mati
yaitu harakiri. Bunuh diri! Dia tak mau menanggung malu. Tapi jauh lebih
terhormat lagi kalau dia berhasil memenangkan perkelahian ini.
Dia memang
seorang pendekar samurai kidal yang jarang tandingannya. Kalau ada tandingannya
diantara perwira Jepang, maka orangnya adalah Saburo Matsuyama. Saburo termasuk
pelatihyan mempergunakan samurai ketika diketentaraan. Kini Saburo sudah pulang
ke Jepang.
Namun demikian,
meski dia seorang yang amat andal dalam mempergunakan samurai, kali ini dia tak
berani main-main. Yang dia hadapi adalah si Bungsu. Dan dia telah merasakan
sendiri kehebatan anak muda ini di Birugo dahulu. Masih dia ingat dengan jelas
betapa anak muda ini bergulingan di tanah kemudian ketika dia mencabut samurai,
samurai anak muda ini menghantam samurainya, dan tangannya kesemutan. Dan
samurainya terlempar ke tanah. Dan anak muda ini meringkus dirinya dan
mengancam lehernya dengan samurai!
Tindakan itu
masih dia ingat. Masih dia ingat dengan jelas kehebatan si Bungsu itu. Makanya
kini dia tak sedikitpun berani pandang enteng. Berlainan sekali halnya dengan
si Bungsu. Kalau Akiyama mengetahui dengan pasti keadaan dirinya, maka si
Bungsu tak mengetahui keadaan diri Akiyama. Dia tidak tahu dimana letak
kemahiran Akiyama.
Yang dia tahu,
seperti dikatakan Jenderal Fujiyama, Akiyama ini seorang yang mahir. Itulah
semua yang diketahui.
Akiyama
tiba-tiba menghunus samurainya. Memegang hulu samurai itu erat-erat. Tangan
yang kanan pada bahagian bawah yaitu pada bahagian keujung gagang samurai, dan
tangan kiri pada bahagian atas. Yaitu pada bahagian yang dekat ke mata samurai.
Kaki Akiyama
terpentang selebar bahu. Dia mengambil kuda-kuda Haisoku Dachi. Yaitu kaki
mengangkang selebar bahu. Lau lambat-lambat lututnya ditekik. Dan tubuhnya
turun sedikit. Kuda-kudanya kini bertukar jadi Kiba Dachi yaitu sebuah
kuda-kuda tangguh dalam sikap menanti serangan.
Si Bungsu
mencabut samurainya pula. Dia tegak sebagaimana adanya. Kini semua mata menatap
pada anak muda yang dianggap luar biasa ini. Para perwira Jepang pada berbisik
ketika dia mencabut samurainya dan mereka menatap dengan dia ketika melihat
betapa kaki anak muda itu tegak seenaknya saja. Tak ada dasar-dasar seorang
samurai pada sikap awalnya.
Akiyama
memindahkan kaki kirinya kedepan dengan ketat menekukkan kedua lututnya.
Kuda-kudanya kini beralih menjadi kuda-kuda Neko Ashi Dashi. Kuda-kuda yang
siap menerima serangan dan siap untuk menyerang dengan cepat. Kakinya bergeser
perlahan di atas rumput lapangan.
Si Bungsu masih
tegak dengan diam. Namun hatinya tidak diam. Dia bicara dalam hatinya berdoa
pada Tuhan. Bicara pada almarhum ayahnya.
“Kuserahkan
diriku padaMu Tuhan. Dan kuharapkan doamu dari alam barzah…ayah dan ibu. Kalau
dingin perutmu mengandungku dulu ibu, maka Tuhan akan menyelamatkan diriku dari
maut ini. Kalau tidak, maka disinilah ajalku. Aku masih ingin menuntutkan balas
dendam kalian. Mencari Saburo Matsuyama jika aku keluar dari pertarungan ini
dengan selamat. Membalaskan nista yang telah dia buat untuk keluarga kita…”
Pada saat
itulah Akiyama menyerangnya. Babatan pertama didengar si Bungsu suitan
anginnya. Dia menangkis! Tapi inilah kesalahannya. Tangkisannya justru
mendatangkan bencana. Akiyama benar-benar seorang yang tangguh. Kini dia
menyerang dengan segenap konsentrasi dengan dukungan moril yang tak
tanggung-tanggung dari komandan dan teman-temannya.
Begitu samurai
mereka beradu, begitu tangan si Bungsu terasa pedih pada telapaknya yang
memegang hulu samurai itu. Namun dia masih menangkis serangan kedua. Dan kali
ini tak tertahankan lagi, smurainya terpental ke udara!
Dan babatan
berikutnya datang! Si Bungsu terkejut, namun dia segera ingat lompat tupai!
Tapi tak urung behunya dirobek samurai begitu dia akan membungkuk.
Dia bergulingan
empat kali ke belakang. Dan saat itu telinganya menangkap bunyi sesuatu yang
meluncur turun. Dan crepp! Samurainya menancap sehasta disampingnya. Dia sambar
dengan cepat, dan kini dia tegak!
Semua orang,
tak terkecuali satupun, termasuk Fujiyama pada menarik nafas. Lalu tepuk tangan
pecah dengan gemuruh. Mereka melihat sesuatu pertarungan yang bukan main. Namun
beberapa pejuang Indonesia, yang pernah melihat makan tangan anak muda ini jadi
kaget. Kenapa si Bungsu begitu lamban dan sempat terluka?
Darah merah
memang mengalir membasahi baju gunting cina si Bungsu dipunggungnya. Namun luka
itu tak begitu menyakitinya. Hanya luka sayatan yang agak dalam.
Akiyama menarik
nafas panjang. Menahannya pada rongga dada. Mengeluarkannya sedikit sekali
dengan bunyi yang ganjil. Kemudian menarik nafas lagi panjang-panjang lalu
menahannya. Mukanya merah. Dan dia maju lagi dalam kuda-kuda yang mantap.
Si Bungsu
memutar tegak. Dia melangkah dengan langkah biasa saja. Dan tentara-tentara
Jepang takjub dan heran atas langkah yang tak menurut semestinya itu.
Tak ada yang
berani bersuara. Semua pada terdiam. Si Bungsu masih melangkah melingkar. Dan
Akiyama seperti memburunya. Dan tiba-tiba kembali Akiyama menyerang. Kali ini
si Bungsu tak berani menangkis dengan samurainya. Dia juga balas menyerang sambil
mengelak.
Tapi lagi-lagi
dia terlambat! Sebuah sabetan melukai dadanya. Kali ini tidak hanya sekedar
luka goresan. Tapi benar-benar luka yang dalam. Baju dan kulitnya menganga.
Darah mengucur. Beberapa penduduk pada terpekik.
Para anggota
Heiho, Gyugun dan pejuang pejuang-lainnya diam-diam pada berdoa untuk
keselamatan anak muda ini. Beberapa orang diantara mereka justru ada yang
menitikkan air mata.
Tapi si Bungsu
masih tegak. Dua jurus berlalu sejak serangan pertama. Rasa sakit dan pedih
terasa mencucuk. Dan tiba-tiba si Bungsu ingat lagi betapa Akiyama menghantam
luka dibahunya ketika dia tertangkap di Koto Baru dahulu. Dan dia teringat
betapa sambil duduk Akiyama menghantam perut Datuk Penghulu sampai belah dan
putus ususnya.
Dia teringat
latihannya beberapa hari yang lalau dibelakang rumah Salma. Betapa gadis itu
melemparnya dengan delapan putik jambu sementara matanya terpejam. Konsentrasi!
Bukankah itu yang tak dia lakukan? Bukankah selama ini dia mengandalkan
kecepatan dan pendengarannya yang amat terlatih? Bukankah Salma telah menunjukkan hal itu
padanya beberapa hari yang lalu?
Dan tiba-tiba
si Bungsu mengatur pernafasan. Menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dia duduk
bersila di tanah. Duduk membelakangi Akiyama. Dan duduk memejamkan mata! Memusatkan
konsentrasi dengan samurai yang berada dalam sarungnya dan terpegang ditangan
kiri!
Akiyama tak mau
tertipu. Meski orang yang melihat jadi kaget dengan sikap anak muda ini. Apakah
anak muda ini telah menyerah? Tak mungkin. Sebab sudah ada dalam peraturan,
bahwa seorang samurai yang menyerah haruslah melemparkan samurainya kehadapan
lawannya dan harus menghormat dengan menunduk ke tanah seperti orang sujud. Dan
hal ini tidak dilakukan oleh si Bungsu, berarti dia masih melawan!
Akiyama mulai
melangkah mendekat. Dia tak mau menyerang dari belakang. Sebagai seorang
satria, pantang baginya menyerang dari belakang. Kini dia menapak tegak
kehadapan si Bungsu.
Sementara itu
si Bungsu benar-benar telah memusatkan inderanya. Dia kini tidak hanya
mendengar langkah Akiyama yang mengitarinya. Kini dia harus memisahkan
suara-suara yang masuk ke inderanya itu. Memisahkannya dan memusatkan
pendengaran pada langkah dan angin yang ditimbulkan oleh perpindahan samurai
Akiyama.
Lambat-lambat
Akiyama menghayun samurai. Kemudian menggeser tegak. Lalu tiba-tiba dengan
pekik Banzaaii yang mengguntur, ia melakukan serangan penutup. Dua kali bacokan
membelah kepala. Dua kali bacokan menebas leher dari kiri kekanan. Dan dua kali
tusukan ke dada!
Namun gerakan
itu terbaca oleh si Bungsu yang memejamkan mata. Tangannya bergerak mencabut
samurai. Serangan pertama dia tangkis dengan melintangkan sarung samurainya
dikepala. Serangan kedua dengan mengayunkan samurai itu. Dan serangan
berikutnya dia elakkan dengan berputar, kemudian lebih cepat beberapa detik
dari kelajuan samurai Akiyama!
“Crasss!”
Samurainya membabat perut Akiyama. Dan dia berputar, lalu menikamkan samurainya
ke belakang. Snapp! Hampir seluruh samurai itu masuk ke dada Akiyama! Tikam
Samurai!
Akiyama
tertegak. Samurai masih ditangannya. Terangkat ke atas. Siap dibacokkan ke
bawah. Ketengkuk si Bungsu yang menunduk dan membelakanginya. Yang jaraknya
hanya sehasta dari tubuhnya. Namun dia seperti tak ada tenaga. Dia seperti
dipakukan di samurai anak muda itu.
Tiba-tiba
samurainya jatuh. Matanya layu. Tangannya memegangi samurai yang menikam
tentang jantungnya. Si Bungsu tegak, masih memegang samurainya agar tubuh
Akiyama tak jatuh. Mereka bertatapan. Tubuh mereka sama-sama berlumur darah.
“Tuan seorang
samurai yang tangguh. Saya mendapat pelajaran yang banyak dari gerakan kaki
tuan…’ si Bungsu berkata perlahan. Mata Akiyama yang layu membuka sejenak.
“Anak muda.
Demi Tuhan, engkaulah samurai yang paling cepat yang pernah kutemui…. Saburo
pun akan susah mengalahkanmu..”
Akiyama
memandang keliling. Terutama pada komandannya, pada teman-temannya yang saat
itu sudah tertegak ditempat mereka. Dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Mati!
Jenderal
Fujiyama dan para perwira itu pada berlompatan maju. Mereka berniat menyambut
tubuh Akiyama. Namun si Bungsu telah memeluk tubuh lawannya itu. Dia
membopongnya. Kemudian meletakkannya di atas podium dimana Fujiyama tadi tegak.
Kemudian
perlahan dia mencabut samurainya. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal rasa
haru. Emosi mereka telah terlatih demikian rupa. Kematian merupakan suatu
kehormatan. Mati untuk Tenno Haika.
“Selamat atas
kemenanganmu Bungsu. Engkau memang berhak atas kebebasanmu. Sesuatu yang kau
perdapat dengan ketangguhan…” Jenderal Fujiyama berkata. Namun si Bungsu
memasukkan samurai ke sarungnya. Kemudian di bawah tatapan ratusan pasangan
mata, dia melangkah gontai meninggalkan lapangan itu.
Ketika tiba di
jalan raya yang lebih tinggi dari lapangan dimana dia baru saja bertarung, dia
menoleh ke belakang dan di sana, di atas podium itu, dia lihat tubuh Akiyama
masih terbaring di kelilingi teman-temannya.
Dia memanggil
sebuah bendi kemudian menyebutkan alamat yang di tuju. Dan bendi itu berjalan
terguncang-guncang. Dia telah membalaskan dendam Datuk Penghulu, membalaskan
kematiannya. Kematian yang dibalas dengan kematian pula. Utang nyawa dibalas
nyawa. Tapi sampai kapankah dia akan mencabut nyawa manusia?
“Badan anak
muda luka, apakah kita tidak ke rumah sakit?” kusir bendi yang ikut menonton
bertanya. Si Bungsu menggeleng.
“Tidak. Bawa
saya pulang. Ada adik saya yang akan merawat…” katanya perlahan.
Dan di
rumah Kari Basa, Salma terpekik melihat
luka didada dan punggung si Bungsu. Dengan terhuyung si Bungsu dipapah oleh
Salma kepembaringan di bilik depan.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 049
No comments:
Post a Comment