Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 050

Akiyama membuka pistolnya memberikannya pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi waja dikepala, dan ransel di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak leluasa ini dia lucuti dan dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke pinggir.

Akhirnya dipinggangnya hanya ada samurai yang tergantung di pinggang kanan, seperti telah diceritakan terdahulu, ketika dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah seorang yang kidal dalam mempergunakan pedang samurainya.

Tapi Akiyama belum merasa cukup dengan menanggalkan benda-benda yang bergayut ditubuhnya itu. Dia membuka bajunya dan kini dengan dada telanjang, yang meperlihatkan tubuh yang kekar, dia tegak menghadap si Bungsu.

Jenderal Fujiyama diambilkan tempat duduknya. Dia duduk dengan perwira-perwira di belakangnya.



Kini kedua orang itu tegak berhadapan dalam jarak lima depa. Rambut si Bungsu yang agak gondrong, berkibar-kibar ditiup angin yang berhembus dari kaki gunung Merapi. Sementara kepala Akiyama yang botak licin, berkilat ditimpa cahaya matahari pagi.

Akiyama berlutut ditanah. Menghadap pada Jenderal Fujiyama. Menghormati dengan membungkuk dalam ke bumi sampai tiga kali. Lalu berputar menghadap si Bungsu. Masih dalam keadaan berlutut, dia membungkuk memberi hormat. Si Bungsu kaget dan buru-buru membalas penghormatan itu dengan merangkapkan kedua telapak tangannya dan meletakkan di depan wajah. Penghormatan silat seperti yang pernah ia lihat almarhum ayahnya lakukan.



Akiyama nampaknya menjalankan semacam sembahyang dan doa akhir. Mulutnya berkomat-kamit. Ketika tegak, seorang serdadu masuk ketengah membawa selembar kain hitam. Memberikannya kepada Akiyama. Dan Akiyama menerimanya, lalu mengebatkannya di kepala.



“Banzaaaaii!” tiba-tiba terdengar pekik gemuruh para serdadu Jepang. Demikian gemuruhnya, hingga seluruh yang hadir, anggota-anggota Heiho, pejuang-pejuang, penduduk pada terkejut. Tak terkecuali si Bungsu.

“Dia siap bertarung sampai mati. Pekikan Banzaaii itu adalah pekikan akhir seorang tentara Jepang yang siap menghadapi maut…” seorang perwira Heiho berbisik pada temannya.



Dan memang demikian keadaannya. Akiyama memang berniat bertarung habis-habisan. Sebab kalau sampai dia sampai kalah, maka jalan yang akan dia tempuh kalau tidak mati yaitu harakiri. Bunuh diri! Dia tak mau menanggung malu. Tapi jauh lebih terhormat lagi kalau dia berhasil memenangkan perkelahian ini.

Dia memang seorang pendekar samurai kidal yang jarang tandingannya. Kalau ada tandingannya diantara perwira Jepang, maka orangnya adalah Saburo Matsuyama. Saburo termasuk pelatihyan mempergunakan samurai ketika diketentaraan. Kini Saburo sudah pulang ke Jepang.



Namun demikian, meski dia seorang yang amat andal dalam mempergunakan samurai, kali ini dia tak berani main-main. Yang dia hadapi adalah si Bungsu. Dan dia telah merasakan sendiri kehebatan anak muda ini di Birugo dahulu. Masih dia ingat dengan jelas betapa anak muda ini bergulingan di tanah kemudian ketika dia mencabut samurai, samurai anak muda ini menghantam samurainya, dan tangannya kesemutan. Dan samurainya terlempar ke tanah. Dan anak muda ini meringkus dirinya dan mengancam lehernya dengan samurai!

Tindakan itu masih dia ingat. Masih dia ingat dengan jelas kehebatan si Bungsu itu. Makanya kini dia tak sedikitpun berani pandang enteng. Berlainan sekali halnya dengan si Bungsu. Kalau Akiyama mengetahui dengan pasti keadaan dirinya, maka si Bungsu tak mengetahui keadaan diri Akiyama. Dia tidak tahu dimana letak kemahiran Akiyama.

Yang dia tahu, seperti dikatakan Jenderal Fujiyama, Akiyama ini seorang yang mahir. Itulah semua yang diketahui.



Akiyama tiba-tiba menghunus samurainya. Memegang hulu samurai itu erat-erat. Tangan yang kanan pada bahagian bawah yaitu pada bahagian keujung gagang samurai, dan tangan kiri pada bahagian atas. Yaitu pada bahagian yang dekat ke mata samurai.

Kaki Akiyama terpentang selebar bahu. Dia mengambil kuda-kuda Haisoku Dachi. Yaitu kaki mengangkang selebar bahu. Lau lambat-lambat lututnya ditekik. Dan tubuhnya turun sedikit. Kuda-kudanya kini bertukar jadi Kiba Dachi yaitu sebuah kuda-kuda tangguh dalam sikap menanti serangan.

Si Bungsu mencabut samurainya pula. Dia tegak sebagaimana adanya. Kini semua mata menatap pada anak muda yang dianggap luar biasa ini. Para perwira Jepang pada berbisik ketika dia mencabut samurainya dan mereka menatap dengan dia ketika melihat betapa kaki anak muda itu tegak seenaknya saja. Tak ada dasar-dasar seorang samurai pada sikap awalnya.

Akiyama memindahkan kaki kirinya kedepan dengan ketat menekukkan kedua lututnya. Kuda-kudanya kini beralih menjadi kuda-kuda Neko Ashi Dashi. Kuda-kuda yang siap menerima serangan dan siap untuk menyerang dengan cepat. Kakinya bergeser perlahan di atas rumput lapangan.



Si Bungsu masih tegak dengan diam. Namun hatinya tidak diam. Dia bicara dalam hatinya berdoa pada Tuhan. Bicara pada almarhum ayahnya.



“Kuserahkan diriku padaMu Tuhan. Dan kuharapkan doamu dari alam barzah…ayah dan ibu. Kalau dingin perutmu mengandungku dulu ibu, maka Tuhan akan menyelamatkan diriku dari maut ini. Kalau tidak, maka disinilah ajalku. Aku masih ingin menuntutkan balas dendam kalian. Mencari Saburo Matsuyama jika aku keluar dari pertarungan ini dengan selamat. Membalaskan nista yang telah dia buat untuk keluarga kita…”



Pada saat itulah Akiyama menyerangnya. Babatan pertama didengar si Bungsu suitan anginnya. Dia menangkis! Tapi inilah kesalahannya. Tangkisannya justru mendatangkan bencana. Akiyama benar-benar seorang yang tangguh. Kini dia menyerang dengan segenap konsentrasi dengan dukungan moril yang tak tanggung-tanggung dari komandan dan teman-temannya.

Begitu samurai mereka beradu, begitu tangan si Bungsu terasa pedih pada telapaknya yang memegang hulu samurai itu. Namun dia masih menangkis serangan kedua. Dan kali ini tak tertahankan lagi, smurainya terpental ke udara!

Dan babatan berikutnya datang! Si Bungsu terkejut, namun dia segera ingat lompat tupai! Tapi tak urung behunya dirobek samurai begitu dia akan membungkuk.

Dia bergulingan empat kali ke belakang. Dan saat itu telinganya menangkap bunyi sesuatu yang meluncur turun. Dan crepp! Samurainya menancap sehasta disampingnya. Dia sambar dengan cepat, dan kini dia tegak!



Semua orang, tak terkecuali satupun, termasuk Fujiyama pada menarik nafas. Lalu tepuk tangan pecah dengan gemuruh. Mereka melihat sesuatu pertarungan yang bukan main. Namun beberapa pejuang Indonesia, yang pernah melihat makan tangan anak muda ini jadi kaget. Kenapa si Bungsu begitu lamban dan sempat terluka?

Darah merah memang mengalir membasahi baju gunting cina si Bungsu dipunggungnya. Namun luka itu tak begitu menyakitinya. Hanya luka sayatan yang agak dalam.

Akiyama menarik nafas panjang. Menahannya pada rongga dada. Mengeluarkannya sedikit sekali dengan bunyi yang ganjil. Kemudian menarik nafas lagi panjang-panjang lalu menahannya. Mukanya merah. Dan dia maju lagi dalam kuda-kuda yang mantap.

Si Bungsu memutar tegak. Dia melangkah dengan langkah biasa saja. Dan tentara-tentara Jepang takjub dan heran atas langkah yang tak menurut semestinya itu.



Tak ada yang berani bersuara. Semua pada terdiam. Si Bungsu masih melangkah melingkar. Dan Akiyama seperti memburunya. Dan tiba-tiba kembali Akiyama menyerang. Kali ini si Bungsu tak berani menangkis dengan samurainya. Dia juga balas menyerang sambil mengelak.

Tapi lagi-lagi dia terlambat! Sebuah sabetan melukai dadanya. Kali ini tidak hanya sekedar luka goresan. Tapi benar-benar luka yang dalam. Baju dan kulitnya menganga. Darah mengucur. Beberapa penduduk pada terpekik.

Para anggota Heiho, Gyugun dan pejuang pejuang-lainnya diam-diam pada berdoa untuk keselamatan anak muda ini. Beberapa orang diantara mereka justru ada yang menitikkan air mata.



Tapi si Bungsu masih tegak. Dua jurus berlalu sejak serangan pertama. Rasa sakit dan pedih terasa mencucuk. Dan tiba-tiba si Bungsu ingat lagi betapa Akiyama menghantam luka dibahunya ketika dia tertangkap di Koto Baru dahulu. Dan dia teringat betapa sambil duduk Akiyama menghantam perut Datuk Penghulu sampai belah dan putus ususnya.

Dia teringat latihannya beberapa hari yang lalau dibelakang rumah Salma. Betapa gadis itu melemparnya dengan delapan putik jambu sementara matanya terpejam. Konsentrasi! Bukankah itu yang tak dia lakukan? Bukankah selama ini dia mengandalkan kecepatan dan pendengarannya yang amat terlatih?  Bukankah Salma telah menunjukkan hal itu padanya beberapa hari yang lalu?



Dan tiba-tiba si Bungsu mengatur pernafasan. Menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dia duduk bersila di tanah. Duduk membelakangi Akiyama. Dan duduk memejamkan mata! Memusatkan konsentrasi dengan samurai yang berada dalam sarungnya dan terpegang ditangan kiri!

Akiyama tak mau tertipu. Meski orang yang melihat jadi kaget dengan sikap anak muda ini. Apakah anak muda ini telah menyerah? Tak mungkin. Sebab sudah ada dalam peraturan, bahwa seorang samurai yang menyerah haruslah melemparkan samurainya kehadapan lawannya dan harus menghormat dengan menunduk ke tanah seperti orang sujud. Dan hal ini tidak dilakukan oleh si Bungsu, berarti dia masih melawan!

Akiyama mulai melangkah mendekat. Dia tak mau menyerang dari belakang. Sebagai seorang satria, pantang baginya menyerang dari belakang. Kini dia menapak tegak kehadapan si Bungsu.



Sementara itu si Bungsu benar-benar telah memusatkan inderanya. Dia kini tidak hanya mendengar langkah Akiyama yang mengitarinya. Kini dia harus memisahkan suara-suara yang masuk ke inderanya itu. Memisahkannya dan memusatkan pendengaran pada langkah dan angin yang ditimbulkan oleh perpindahan samurai Akiyama.

Lambat-lambat Akiyama menghayun samurai. Kemudian menggeser tegak. Lalu tiba-tiba dengan pekik Banzaaii yang mengguntur, ia melakukan serangan penutup. Dua kali bacokan membelah kepala. Dua kali bacokan menebas leher dari kiri kekanan. Dan dua kali tusukan ke dada!



Namun gerakan itu terbaca oleh si Bungsu yang memejamkan mata. Tangannya bergerak mencabut samurai. Serangan pertama dia tangkis dengan melintangkan sarung samurainya dikepala. Serangan kedua dengan mengayunkan samurai itu. Dan serangan berikutnya dia elakkan dengan berputar, kemudian lebih cepat beberapa detik dari kelajuan samurai Akiyama!

“Crasss!” Samurainya membabat perut Akiyama. Dan dia berputar, lalu menikamkan samurainya ke belakang. Snapp! Hampir seluruh samurai itu masuk ke dada Akiyama! Tikam Samurai!

Akiyama tertegak. Samurai masih ditangannya. Terangkat ke atas. Siap dibacokkan ke bawah. Ketengkuk si Bungsu yang menunduk dan membelakanginya. Yang jaraknya hanya sehasta dari tubuhnya. Namun dia seperti tak ada tenaga. Dia seperti dipakukan di samurai anak muda itu.

Tiba-tiba samurainya jatuh. Matanya layu. Tangannya memegangi samurai yang menikam tentang jantungnya. Si Bungsu tegak, masih memegang samurainya agar tubuh Akiyama tak jatuh. Mereka bertatapan. Tubuh mereka sama-sama berlumur darah.



“Tuan seorang samurai yang tangguh. Saya mendapat pelajaran yang banyak dari gerakan kaki tuan…’ si Bungsu berkata perlahan. Mata Akiyama yang layu membuka sejenak.

“Anak muda. Demi Tuhan, engkaulah samurai yang paling cepat yang pernah kutemui…. Saburo pun akan susah mengalahkanmu..”



Akiyama memandang keliling. Terutama pada komandannya, pada teman-temannya yang saat itu sudah tertegak ditempat mereka. Dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Mati!

Jenderal Fujiyama dan para perwira itu pada berlompatan maju. Mereka berniat menyambut tubuh Akiyama. Namun si Bungsu telah memeluk tubuh lawannya itu. Dia membopongnya. Kemudian meletakkannya di atas podium dimana Fujiyama tadi tegak.

Kemudian perlahan dia mencabut samurainya. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal rasa haru. Emosi mereka telah terlatih demikian rupa. Kematian merupakan suatu kehormatan. Mati untuk Tenno Haika.



“Selamat atas kemenanganmu Bungsu. Engkau memang berhak atas kebebasanmu. Sesuatu yang kau perdapat dengan ketangguhan…” Jenderal Fujiyama berkata. Namun si Bungsu memasukkan samurai ke sarungnya. Kemudian di bawah tatapan ratusan pasangan mata, dia melangkah gontai meninggalkan lapangan itu.



Ketika tiba di jalan raya yang lebih tinggi dari lapangan dimana dia baru saja bertarung, dia menoleh ke belakang dan di sana, di atas podium itu, dia lihat tubuh Akiyama masih terbaring di kelilingi teman-temannya.

Dia memanggil sebuah bendi kemudian menyebutkan alamat yang di tuju. Dan bendi itu berjalan terguncang-guncang. Dia telah membalaskan dendam Datuk Penghulu, membalaskan kematiannya. Kematian yang dibalas dengan kematian pula. Utang nyawa dibalas nyawa. Tapi sampai kapankah dia akan mencabut nyawa manusia?



“Badan anak muda luka, apakah kita tidak ke rumah sakit?” kusir bendi yang ikut menonton bertanya. Si Bungsu menggeleng.

“Tidak. Bawa saya pulang. Ada adik saya yang akan merawat…” katanya perlahan.



Dan di rumah  Kari Basa, Salma terpekik melihat luka didada dan punggung si Bungsu. Dengan terhuyung si Bungsu dipapah oleh Salma kepembaringan di bilik depan.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 049

No comments:

Post a Comment