Salma membuka
baju si Bungsu. Kemudian mengambil baskom. Mengambil kain bersih dan
membersihkan luka si Bungsu dengan air panas-panas kuku.
“Mana pak
Kari….” Tanyanya perlahan.
“Kata Ayah dia
ke Padang….”
“Masih lama
akan kembali…?”
“Saya tidak
tahu uda. Tapi diamlah, jangan banyak membuang tenaga….”
Dan anak muda
itu memang terdiam. Bukan karena tak mau bicara. Tapi karena tak bisa bicara.
Dia pingsan! Hal itu meleluasakan Salma untuk bekerja merawat luka si Bungsu.
Untuk kali
ketiga, kembali gadis ini merawatnya dengan penuh ketekunan. Si Bungsu sadar
bahwa berkali-kali dia datang pada gadis ini dalam keadaan luka. Dan Salma
merawatnya hingga sembuh. Dia tidak hanya merawat luka di tubuh si Bungsu tapi
juga juga luka dihatinya.
Ketika dia
telah sembuh, suatu hari didapatinya rumah itu penuh oleh beberapa perwira
bekas Gyugun, Heiho dan pejuang-pejuang Indonesia.
“Kami datang
untuk menyampaikan rasa terimakasih kami. Saudara telah banyak membantu
perjuangan mencapai kemerdekaan. Telah banyak jasa saudara. Untuk itu kami
ingin menyampaikan tanda penghargaan…’ salah seorang diantara pimpinan yang dia
ketahui merupakan pimpinan pejuang-pejuang bawah tanah ketika penjajahan dahulu
berkata.
Semua orang
yang hadir dalam rumah itu menatap padanya dengan kagum.
Dia juga
menatap pada pejuang-pejuang itu dengan tenang. Lalu berkata:
“Terimakasih
atas perhatian bapak-bapak. Tapi mohon dimaafkan saya tak berani menerima penghargaan
dari bapak-bapak. Penghormatan untuk tanah air, perjuangan demi kemerdekaan
Nusa dan Bangsa? Ah, saya bertanya pada diri saya, apakah hal itu memang pernah
saya lakukan? Tidak, seingat saya tak pernah, jangan jadikan saya bahan
lelucon”.
“Maafkan kami
Bungsu. Tak sedikitpun kami berniat menjadikan saudara bahan lelucon.
Penghargaan ini semata-mata karena ikhlas. Karena memang sudah menjadi hak
saudara. Saudara telah berjuang jauh sebelum beberapa diantara kami berbuat
apa-apa.
“Telah banyak
korban saudara. Ayah, ibu, kakak, tunangan. Dan telah banyak yang saudara bela.
Saudara telah membantu kami dan para pejuang ketika akan ditangkap Jepang di
Birugo. Saudara telah membantu Datuk Penghulu, salah seorang perwira kami.
Saudara telah memperlihatkan pengorbanan yang tak ada duanya…”
Si Bungsu
menarik nafas.
“Baiklah, saya
juga tak bermaksud untuk mengatakan bahwa bapak-bapak akan menjadikan saya
lelucon. Namun sayalah justru yang merasa jadi badut kalau sampai menerima
penghormatan itu. Secara riil saya ingin menyampaikan bahwa kematian ayah, ibu
dan kakak saya bukan karena saya seorang pejuang. Tidak, mereka meninggal
justru karena kebodohan saya. Kalau saja bukan karena ibu ingin membawa saya
lari, tentu mereka sudah pergi jauh. Dan selamat dari pembantaian Jepang. Tapi
malam itu saya tak dirumah. Ayah pulang menjemput kami untuk lari. Ibu bertahan
agar menunggu saya pulang kemudian bersama lari dari kejaran Jepang.
Ayah akhirnya
mengalah… tapi setelah hari subuh, bukan saya yang datang melainkan Jepang.
Mereka tertangkap. Dan ayah, ibu serta kakak saya mati dihadapan mata saya.
Tanpa sedikitpun saya dapat berbuat apa-apa. Malah saya lari ketakutan. Itukah
kepahlawanan yang tuan-tuan katakan gagah perkasa, yang akan tuan-tuan beri
penghargaan?”
Si Bungsu
berhenti. Suaranya terdengar getir. Dia tersenyum pahit. Menatap pada
pejuang-pejuang itu dengan diam. Karena tak ada yang bersuara, dia melanjutkan:
“Kemudian
pembunuhan-pembunuhan kepada Jepang itu,… kalau itu yang tuan-tuan katakan
perjuangan saya buat Nusa dan Bangsa, itu juga suatu kebohongan. Saya membunuhi
mereka karena saya ingin membalas dendam atas kematian keluarga saya. Ingin
menutupi kepengecutan saya dimasa lalu. Itulah yang saya lakukan mula-mula
turun dari tempat mengasingkan diri di Gunung Sago. Dan hari-hari setelah itu
adalah hari-hari dimana maut selalu mengancam saya. Saya dicari Jepang, bukan
karena saya seorang pejuang yang akan memerdekakan negeri ini. Tidak. Saya
tidak mau jadi orang munafik. Saya dicari Jepang karena saya membunuh perwira
dan prajurit-prajurit mereka.
Maka kalau
kemudian banyak Jepang yang saya bunuhi, itu juga bukan karena demi
kemerdekaan, demi tanah air. Tapi semata-mata karena saya membela diri. Saya
takut dibunuh, maka saya membunuh. Daripada dibunuh lebih baik membunuh.
Terakhir, saya melawan Letnan Kolonel Akiyama, itupun karena saya membalaskan
sakit hati saya. Dia telah menghantam luka saya ketika tertangkap di Koto Baru.
Demikian kuatnya, hingga saya pingsan. Kemudian dia juga telah membunuh Datuk
Penghulu. Lelaki yang saya anggap sebagai pengganti orang tua saya. Semuanya
saya lakukan demi membalas dendam.
Apakah tindakan
begini yang akan bapak-bapak beri penghargaan? Tidak, saya bukan seorang
pejuang. Sebenarnya saya seorang
pembunuh. Hanya kebetulan saja membunuh orang yang menjajah negeri ini”
“Tapi anak
muda, yang, yang engkau lakukan telah mengobarkan semangat juang didada pemuda
kita. Telah mengobarkan semangat dan rasa percaya bahwa kita juga mampu
mengadakan perlawanan, Dihati para Gyugun pun semangat itu berkobar. Tak ada
seorangpun diantara kami ataupun penduduk yang memungkiri, bahwa engkau adalah
seorang pahlawan.”
Si Bungsu
tertawa letih. Ada kepahitan dalam ketawanya.
“Pahlawan.
Jangan buat saya menjadi tersiksa seumur hidup. Kalau penghargaan itu saya
terima, saya akan senantiasa teringat, bahwa sayalah seorang pahlawan yang
telah membiarkan dengan pengecut keluarganya punah. Carilah orang lain, yang
pantas untuk diberi penghargaan itu. Cari pejuang lain yang pantas untuk
diberikan gelar pahlawan. Orang yang benar-benar berjuang demi Nusa dan Bangsa.
Gelar mulia itu tak pantas orang seperti saya menyandangnya. Saya bukan
pejuang, bukan pahlawan. Maafkan saya. Saya terpaksa menolak anugerah
itu…apapun bentuknya…”
Beberapa orang
diantaranya jadi tertunduk. Diam dan merasa kecil dihadapan anak muda ini.
Mereka malu dan kecil karena sikapnya yang jujur. Mereka teringat, betapa
banyak diantara mereka yang saling rebut tempat dan kekuasaan. Saling rebut
pangkat dan jabatan, padahal kemerdekaan baru dalam bentuk “orok”. Ada diantara
mereka yang hadir hari ini, yang kerjanya hanya ongkang-ongkang, tapi mengaku
telah banyak berjuang.
Kini anak muda
yang tubuhnya pernah dicabik-cabik samurai musuh ini, yang darahnya banyak
sudah tersiram kebumi pertiwi dalam memerangi penjajahan, ternyata menolak
sebutan pahlawan bagi dirinya. Usahkan sebutan pahlawan, sebutan sebagai
pejuang saja dia tak mau.
Dia merasa
tidak pernah berjuang. Bayangkan, ke mana muka mereka disurukkan di hadapan
anak muda itu. Dan hari itu mereka pulang dengan perasaan campur aduk.
Ada yang bangga
terhadap sikap anak muda tersebut. Bangga karena ada seorang pemuda Indonesia
yang berpendirian mulia dan teguh seperti itu. Ada pula yang merasa malu. Malu
karena dirinya bertolak belakang dengan anak muda itu.
Dan hari itu,
dihari dia tidak mau menerima penghargaan itu, si Bungsu mohon diri. Dia
kembali menyampaikan niatnya untuk pergi ke Jepang. Salma termenung. Demikian
pula Kari Basa.
“Saya dengar ada kapal yang akan berangkat sepekan
lagi dari Pekan Baru ke Singapura. Kemudian langsung ke Jepang. Kapal pembawa
minyak, mungkin saya dapat menumpang…”
“Bila engkau
berniat untuk pergi….?”
“Kalau bisa
besok pagi-pagi pak…”
“Tak ada yang
dapat kami perbuat, selain mendoakan engkau selamat pulang pergi….”
“Terimakasih
pak…”
“Teman-teman….para
pejuang yang tadi kemari, sebenarnya memang sangat menghormatimu. Mereka tak
berniat untuk menyakiti hatimu. Mereka memang ikhlas memberikan penghargaan
itu….”
“Saya tahu. Dan
saya juga tidak tersinggung. Saya khawatir merekalah yang tersinggung. Karena
saya menolak. Saya benar-benar merasa tidak pantas untuk menerima penghargaan
itu pak. Bagaimana saya menerima pemberian sehelai baju misalnya, kalau saya
menjadi demam dan tersiksa memakainya. Atau kalau baju itu terlalu longgar bagi
tubuh saya yang kecil. Itulah yang saya rasakan. Dan itu saya kemukakan dengan
segenap kejujuran pula”.
Dan percakapan
itu terhenti sampai disana. Si Bungsu bersiap-siap malam itu. Dia masih
memiliki uang dari penjualan perhiasan yang mereka ambil dengan Mei-mei dirumah
Cina di Payakumbuh dahulu.
Sebenarnya tak
banyak yang dia persiapkan. Hanya ada sepasalinan pakaian. Kemudian uangnya dia
simpan dalam kantong kain. Lalu sebuah samurai. Itulah bekalnya.
Salma tengah menyulam
diruangan tengah ketika si Bungsu muncul. Mereka bertatapan, dan si Bungsu
dapat melihat betapa mata gadis itu basah sejak sore tadi.
“Salma….”
Katanya.
Gadis itu tidak
mau mengangkat wajah. Dia menunduk. Tidak menyulam karena tubuhnya terguncang-guncang
menahan tangis.
“Saya banyak
berutang budi padamu. Tak tahu bagaimana saya membalasnya. Hanya pada Tuhan
saya berdoa agar kebaikanmu dan kebaikan ayahmu dibalasNya setimpal”
Dia lalu
meletakkan sebuah bungkusan di meja di depan Salma.
“Ini bukan
sebagai tanda terimakasih saya. Tidak. Ini sebagai kenang-kenangan. Saya tidak
tahu apakah warnanya engkau senangi atau tidak. Guntinglah kain ini, saya beli
kemarin. Gunting dan buatlah kebaya panjang, kemudian ini ada sebuah untuk
kebaya pendek. Ini kain baik. Dan…ada sepasang subang dan gelang serta
peniti….saya tak tahu apakah benda-benda ini berguna bagimu. Tapi… inilah tanda
mata dari saya. Dan… ini sebuah cincin. Saya senang kalau kelak engkau
memakainya ketika hari pernikahanmu….”
Salma tak lagi
dapat menahan tangisnya. Dia menangis terisak-isak mendengar ucapan si Bungsu.
Banyak yang ingin dibicarakan gadis ini. Tapi dia seorang wanita. Orang yang
lebih banyak berbicara dengan hatinya. Berbicara dan menyimpan apa yang tersasa
dibatinnya jauh-jauh tanpa seorangpun yang tahu. Begitulah kaum wanita selalu.
Dan sebagai ganti ucapan, dia hanya mampu menangis.
Karena sebagai
perempuan, apakah lagi yang bisa dia perbuat? Dia tatap kain dan perhiasan yang
ditinggalkan si Bungsu untuknya. Kainnya dari bahan yang halus. Berwarna biru
dengan kain batik buatan jawa yang halus.
Dan malam itu
adalah malam yang tak terpicingkan oleh mata Salma. Demikian pula dengan si
Bungsu. Dia ingin tinggal di kota ini. Dia jatuh hati pada gadis yang telah
merawatnya itu. Namun apakah itu mungkin?
Bukankah dia
telah bersumpah akan menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakaknya? Dan satu
hal yang amat penting, apakah gadis itu juga mencintainya? Ah, dia tak berani
memikirkan itu. Gadis itu baik padanya pastilah hanya karena dia dianggap
sebagai bangnya.
Dia bolak-balik
ditempat tidurnya. Menelungkup. Menelentang.
Dan akhirnya
kedua mereka sama-sama tertidur takkala subuh hampir datang. Dan pagi harinya
si Bungsu bersiap-siap untuk berangkat. Salma hanya sebentar tertidur. Kemudian
bangkit sembahyang subuh. Lalu bertanak dan memasak kopi.
Ketika ayahnya
dan si Bungsu selesai sembahyang, dia telah selesai pula dengan masakannya. Di
tikar di ruang tengah telah terhidang nasi padi baru. Gulai ayam yang telah
disembelih sore kemarin. Kopi panas.
Tanpa banyak
yang bisa dipercakapkan mereka makan bertiga.
Akhirnya sampai
juga saatnya bagi anak muda itu mohon diri. Mereka bersalaman. Lalu si Bungsu
pun mengambil buntalan pakaiannya. Berjalan ke pintu. Dia terhenti ketika
didengarnya Salma memanggil.
Gadis itu
mendekat dengan kepala tunduk.
“Terimakasih
atas pemberian uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda
terimakasih. Tapi….saya berharap uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan
dari saya. Dimanapun uda berada, lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa
pemiliknya selalu mendoakan semoga selamat dan bahagia selalu…” Salma
menanggalkan cincin bermata intan dijari manisnya.
Kemudian dengan
masih menunduk, dia meraih tangan si Bungsu. Memasukkan cincin itu kejari manis
si Bungsu. Persis ukurannya, cincin itu ternyata pas. Tubuh si Bungsu yang tak
begitu besar ternyata memungkinkan cincin itu pas di jari manisnya. Dan sehabis
memakaikan cincin itu, Salma berlari ke kamarnya. Dia menangis disana.
Si Bungsu hanya
tertegak diam. Sekilas tadi dia melihat di jari manis itu terpasang cincin yang
kemaren dia berikan. Dia menoleh pada Kari Basa, orang tua itu hanya menatapnya
dengan tenang. Sekali lagi si Bungsu menyalami orang tua itu. Kemudian cepat
berbalik dan melangkah ke jalan raya.
Pagi itu dia
meninggalkan Bukittinggi. Kota itu, seperti halnya seluruh kota-kota lainnya di
Sumatera, masih dikuasai Jepang secara de facto. Kekuasaan menjelang datangnya
tentara sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan tersebut.
Dengan sebuah
truk mengangkut sayur-sayuran dia meninggalkan kota itu. Jalan yang ditempuh
bukan main buruknya. Berlobang-lobang dan hanya dibeberapa bahagian saja yang
beraspal.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 050
No comments:
Post a Comment