Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 051



Salma membuka baju si Bungsu. Kemudian mengambil baskom. Mengambil kain bersih dan membersihkan luka si Bungsu dengan air panas-panas kuku.



“Mana pak Kari….” Tanyanya perlahan.

“Kata Ayah dia ke Padang….”

“Masih lama akan kembali…?”

“Saya tidak tahu uda. Tapi diamlah, jangan banyak membuang tenaga….”



Dan anak muda itu memang terdiam. Bukan karena tak mau bicara. Tapi karena tak bisa bicara. Dia pingsan! Hal itu meleluasakan Salma untuk bekerja merawat luka si Bungsu.

Untuk kali ketiga, kembali gadis ini merawatnya dengan penuh ketekunan. Si Bungsu sadar bahwa berkali-kali dia datang pada gadis ini dalam keadaan luka. Dan Salma merawatnya hingga sembuh. Dia tidak hanya merawat luka di tubuh si Bungsu tapi juga juga luka dihatinya.

Ketika dia telah sembuh, suatu hari didapatinya rumah itu penuh oleh beberapa perwira bekas Gyugun, Heiho dan pejuang-pejuang Indonesia.



“Kami datang untuk menyampaikan rasa terimakasih kami. Saudara telah banyak membantu perjuangan mencapai kemerdekaan. Telah banyak jasa saudara. Untuk itu kami ingin menyampaikan tanda penghargaan…’ salah seorang diantara pimpinan yang dia ketahui merupakan pimpinan pejuang-pejuang bawah tanah ketika penjajahan dahulu berkata.



Semua orang yang hadir dalam rumah itu menatap padanya dengan kagum.

Dia juga menatap pada pejuang-pejuang itu dengan tenang. Lalu berkata:



“Terimakasih atas perhatian bapak-bapak. Tapi mohon dimaafkan saya tak berani menerima penghargaan dari bapak-bapak. Penghormatan untuk tanah air, perjuangan demi kemerdekaan Nusa dan Bangsa? Ah, saya bertanya pada diri saya, apakah hal itu memang pernah saya lakukan? Tidak, seingat saya tak pernah, jangan jadikan saya bahan lelucon”.

“Maafkan kami Bungsu. Tak sedikitpun kami berniat menjadikan saudara bahan lelucon. Penghargaan ini semata-mata karena ikhlas. Karena memang sudah menjadi hak saudara. Saudara telah berjuang jauh sebelum beberapa diantara kami berbuat apa-apa.

“Telah banyak korban saudara. Ayah, ibu, kakak, tunangan. Dan telah banyak yang saudara bela. Saudara telah membantu kami dan para pejuang ketika akan ditangkap Jepang di Birugo. Saudara telah membantu Datuk Penghulu, salah seorang perwira kami. Saudara telah memperlihatkan pengorbanan yang tak ada duanya…”



Si Bungsu menarik nafas.



“Baiklah, saya juga tak bermaksud untuk mengatakan bahwa bapak-bapak akan menjadikan saya lelucon. Namun sayalah justru yang merasa jadi badut kalau sampai menerima penghormatan itu. Secara riil saya ingin menyampaikan bahwa kematian ayah, ibu dan kakak saya bukan karena saya seorang pejuang. Tidak, mereka meninggal justru karena kebodohan saya. Kalau saja bukan karena ibu ingin membawa saya lari, tentu mereka sudah pergi jauh. Dan selamat dari pembantaian Jepang. Tapi malam itu saya tak dirumah. Ayah pulang menjemput kami untuk lari. Ibu bertahan agar menunggu saya pulang kemudian bersama lari dari kejaran Jepang.

Ayah akhirnya mengalah… tapi setelah hari subuh, bukan saya yang datang melainkan Jepang. Mereka tertangkap. Dan ayah, ibu serta kakak saya mati dihadapan mata saya. Tanpa sedikitpun saya dapat berbuat apa-apa. Malah saya lari ketakutan. Itukah kepahlawanan yang tuan-tuan katakan gagah perkasa, yang akan tuan-tuan beri penghargaan?”



Si Bungsu berhenti. Suaranya terdengar getir. Dia tersenyum pahit. Menatap pada pejuang-pejuang itu dengan diam. Karena tak ada yang bersuara, dia melanjutkan:



“Kemudian pembunuhan-pembunuhan kepada Jepang itu,… kalau itu yang tuan-tuan katakan perjuangan saya buat Nusa dan Bangsa, itu juga suatu kebohongan. Saya membunuhi mereka karena saya ingin membalas dendam atas kematian keluarga saya. Ingin menutupi kepengecutan saya dimasa lalu. Itulah yang saya lakukan mula-mula turun dari tempat mengasingkan diri di Gunung Sago. Dan hari-hari setelah itu adalah hari-hari dimana maut selalu mengancam saya. Saya dicari Jepang, bukan karena saya seorang pejuang yang akan memerdekakan negeri ini. Tidak. Saya tidak mau jadi orang munafik. Saya dicari Jepang karena saya membunuh perwira dan prajurit-prajurit mereka.

Maka kalau kemudian banyak Jepang yang saya bunuhi, itu juga bukan karena demi kemerdekaan, demi tanah air. Tapi semata-mata karena saya membela diri. Saya takut dibunuh, maka saya membunuh. Daripada dibunuh lebih baik membunuh. Terakhir, saya melawan Letnan Kolonel Akiyama, itupun karena saya membalaskan sakit hati saya. Dia telah menghantam luka saya ketika tertangkap di Koto Baru. Demikian kuatnya, hingga saya pingsan. Kemudian dia juga telah membunuh Datuk Penghulu. Lelaki yang saya anggap sebagai pengganti orang tua saya. Semuanya saya lakukan demi membalas dendam.

Apakah tindakan begini yang akan bapak-bapak beri penghargaan? Tidak, saya bukan seorang pejuang. Sebenarnya saya seorang pembunuh. Hanya kebetulan saja membunuh orang yang menjajah negeri ini”

“Tapi anak muda, yang, yang engkau lakukan telah mengobarkan semangat juang didada pemuda kita. Telah mengobarkan semangat dan rasa percaya bahwa kita juga mampu mengadakan perlawanan, Dihati para Gyugun pun semangat itu berkobar. Tak ada seorangpun diantara kami ataupun penduduk yang memungkiri, bahwa engkau adalah seorang pahlawan.”



Si Bungsu tertawa letih. Ada kepahitan dalam ketawanya.



“Pahlawan. Jangan buat saya menjadi tersiksa seumur hidup. Kalau penghargaan itu saya terima, saya akan senantiasa teringat, bahwa sayalah seorang pahlawan yang telah membiarkan dengan pengecut keluarganya punah. Carilah orang lain, yang pantas untuk diberi penghargaan itu. Cari pejuang lain yang pantas untuk diberikan gelar pahlawan. Orang yang benar-benar berjuang demi Nusa dan Bangsa. Gelar mulia itu tak pantas orang seperti saya menyandangnya. Saya bukan pejuang, bukan pahlawan. Maafkan saya. Saya terpaksa menolak anugerah itu…apapun bentuknya…”



Beberapa orang diantaranya jadi tertunduk. Diam dan merasa kecil dihadapan anak muda ini. Mereka malu dan kecil karena sikapnya yang jujur. Mereka teringat, betapa banyak diantara mereka yang saling rebut tempat dan kekuasaan. Saling rebut pangkat dan jabatan, padahal kemerdekaan baru dalam bentuk “orok”. Ada diantara mereka yang hadir hari ini, yang kerjanya hanya ongkang-ongkang, tapi mengaku telah banyak berjuang.

Kini anak muda yang tubuhnya pernah dicabik-cabik samurai musuh ini, yang darahnya banyak sudah tersiram kebumi pertiwi dalam memerangi penjajahan, ternyata menolak sebutan pahlawan bagi dirinya. Usahkan sebutan pahlawan, sebutan sebagai pejuang saja dia tak mau.



Dia merasa tidak pernah berjuang. Bayangkan, ke mana muka mereka disurukkan di hadapan anak muda itu. Dan hari itu mereka pulang dengan perasaan campur aduk.

Ada yang bangga terhadap sikap anak muda tersebut. Bangga karena ada seorang pemuda Indonesia yang berpendirian mulia dan teguh seperti itu. Ada pula yang merasa malu. Malu karena dirinya bertolak belakang dengan anak muda itu.

Dan hari itu, dihari dia tidak mau menerima penghargaan itu, si Bungsu mohon diri. Dia kembali menyampaikan niatnya untuk pergi ke Jepang. Salma termenung. Demikian pula Kari Basa.



“Saya  dengar ada kapal yang akan berangkat sepekan lagi dari Pekan Baru ke Singapura. Kemudian langsung ke Jepang. Kapal pembawa minyak, mungkin saya dapat menumpang…”

“Bila engkau berniat untuk pergi….?”

“Kalau bisa besok pagi-pagi pak…”

“Tak ada yang dapat kami perbuat, selain mendoakan engkau selamat pulang pergi….”

“Terimakasih pak…”

“Teman-teman….para pejuang yang tadi kemari, sebenarnya memang sangat menghormatimu. Mereka tak berniat untuk menyakiti hatimu. Mereka memang ikhlas memberikan penghargaan itu….”

“Saya tahu. Dan saya juga tidak tersinggung. Saya khawatir merekalah yang tersinggung. Karena saya menolak. Saya benar-benar merasa tidak pantas untuk menerima penghargaan itu pak. Bagaimana saya menerima pemberian sehelai baju misalnya, kalau saya menjadi demam dan tersiksa memakainya. Atau kalau baju itu terlalu longgar bagi tubuh saya yang kecil. Itulah yang saya rasakan. Dan itu saya kemukakan dengan segenap kejujuran pula”.



Dan percakapan itu terhenti sampai disana. Si Bungsu bersiap-siap malam itu. Dia masih memiliki uang dari penjualan perhiasan yang mereka ambil dengan Mei-mei dirumah Cina di Payakumbuh dahulu.

Sebenarnya tak banyak yang dia persiapkan. Hanya ada sepasalinan pakaian. Kemudian uangnya dia simpan dalam kantong kain. Lalu sebuah samurai. Itulah bekalnya.

Salma tengah menyulam diruangan tengah ketika si Bungsu muncul. Mereka bertatapan, dan si Bungsu dapat melihat betapa mata gadis itu basah sejak sore tadi.



“Salma….” Katanya.



Gadis itu tidak mau mengangkat wajah. Dia menunduk. Tidak menyulam karena tubuhnya terguncang-guncang menahan tangis.



“Saya banyak berutang budi padamu. Tak tahu bagaimana saya membalasnya. Hanya pada Tuhan saya berdoa agar kebaikanmu dan kebaikan ayahmu dibalasNya setimpal”



Dia lalu meletakkan sebuah bungkusan di meja di depan Salma.



“Ini bukan sebagai tanda terimakasih saya. Tidak. Ini sebagai kenang-kenangan. Saya tidak tahu apakah warnanya engkau senangi atau tidak. Guntinglah kain ini, saya beli kemarin. Gunting dan buatlah kebaya panjang, kemudian ini ada sebuah untuk kebaya pendek. Ini kain baik. Dan…ada sepasang subang dan gelang serta peniti….saya tak tahu apakah benda-benda ini berguna bagimu. Tapi… inilah tanda mata dari saya. Dan… ini sebuah cincin. Saya senang kalau kelak engkau memakainya ketika hari pernikahanmu….”



Salma tak lagi dapat menahan tangisnya. Dia menangis terisak-isak mendengar ucapan si Bungsu. Banyak yang ingin dibicarakan gadis ini. Tapi dia seorang wanita. Orang yang lebih banyak berbicara dengan hatinya. Berbicara dan menyimpan apa yang tersasa dibatinnya jauh-jauh tanpa seorangpun yang tahu. Begitulah kaum wanita selalu. Dan sebagai ganti ucapan, dia hanya mampu menangis.

Karena sebagai perempuan, apakah lagi yang bisa dia perbuat? Dia tatap kain dan perhiasan yang ditinggalkan si Bungsu untuknya. Kainnya dari bahan yang halus. Berwarna biru dengan kain batik buatan jawa yang halus.



Dan malam itu adalah malam yang tak terpicingkan oleh mata Salma. Demikian pula dengan si Bungsu. Dia ingin tinggal di kota ini. Dia jatuh hati pada gadis yang telah merawatnya itu. Namun apakah itu mungkin?

Bukankah dia telah bersumpah akan menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakaknya? Dan satu hal yang amat penting, apakah gadis itu juga mencintainya? Ah, dia tak berani memikirkan itu. Gadis itu baik padanya pastilah hanya karena dia dianggap sebagai bangnya.

Dia bolak-balik ditempat tidurnya. Menelungkup. Menelentang.



Dan akhirnya kedua mereka sama-sama tertidur takkala subuh hampir datang. Dan pagi harinya si Bungsu bersiap-siap untuk berangkat. Salma hanya sebentar tertidur. Kemudian bangkit sembahyang subuh. Lalu bertanak dan memasak kopi.

Ketika ayahnya dan si Bungsu selesai sembahyang, dia telah selesai pula dengan masakannya. Di tikar di ruang tengah telah terhidang nasi padi baru. Gulai ayam yang telah disembelih sore kemarin. Kopi panas.

Tanpa banyak yang bisa dipercakapkan mereka makan bertiga.



Akhirnya sampai juga saatnya bagi anak muda itu mohon diri. Mereka bersalaman. Lalu si Bungsu pun mengambil buntalan pakaiannya. Berjalan ke pintu. Dia terhenti ketika didengarnya Salma memanggil.

Gadis itu mendekat dengan kepala tunduk.



“Terimakasih atas pemberian uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih. Tapi….saya berharap uda mau menerima ini….sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada, lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga selamat dan bahagia selalu…” Salma menanggalkan cincin bermata intan dijari manisnya.



Kemudian dengan masih menunduk, dia meraih tangan si Bungsu. Memasukkan cincin itu kejari manis si Bungsu. Persis ukurannya, cincin itu ternyata pas. Tubuh si Bungsu yang tak begitu besar ternyata memungkinkan cincin itu pas di jari manisnya. Dan sehabis memakaikan cincin itu, Salma berlari ke kamarnya. Dia menangis disana.

Si Bungsu hanya tertegak diam. Sekilas tadi dia melihat di jari manis itu terpasang cincin yang kemaren dia berikan. Dia menoleh pada Kari Basa, orang tua itu hanya menatapnya dengan tenang. Sekali lagi si Bungsu menyalami orang tua itu. Kemudian cepat berbalik dan melangkah ke jalan raya.



Pagi itu dia meninggalkan Bukittinggi. Kota itu, seperti halnya seluruh kota-kota lainnya di Sumatera, masih dikuasai Jepang secara de facto. Kekuasaan menjelang datangnya tentara sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan tersebut.

Dengan sebuah truk mengangkut sayur-sayuran dia meninggalkan kota itu. Jalan yang ditempuh bukan main buruknya. Berlobang-lobang dan hanya dibeberapa bahagian saja yang beraspal.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 050

No comments:

Post a Comment