Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 052

Tiga jam kemudian dia memasuki kota Payakumbuh. Truk itu berhenti dekat stasiun kereta api. Penumpang di atasnya yang berjumlahh empat orang, umumnya pedagang sayur dan beras, turun untuk mengisi perut.

Dengan perasaan berdebar, si Bungsu turun pula. Ada perasaan lain menyelinap dihatinya ketika kakinya menjejak kembali kota Payakumbuh. Kota itu sudah seperti kampung halamannya. Ketika ayahnya masih hidup dahulu, dia sering dibawa kemari. Itu waktu kecil. Ketika dia telah dewasa, dia sering pula ke kota ini. Pergi berjudi.

Dan kini dia datang lagi. Kenangan masa launya berlarian sempanjang jalan raya. Kereta api kelihatan mengepul asapnya dari kejauhan. Peluitnya terdengar memekik sayu. Dibelakang lokomotofnya yang tua terlihat enam buah gerbong. Merangkak lambat-lambat memasuki kota.



Si Bungsu telah matang oleh penderitaan. Telah masak oleh pengalaman hidup. Emosinya sudah tertempa. Dia kini seperti karang di samudera. Namun, dia tetap saja manusia. Melihat kereta api itu merangkak perlahan, mendengar pekik peluitnya yang sayu, dia segera teringat masa kecilnya.

Ketika bersama ayahnya pergi ke Baso, ke Biaro, ke Bukittinggi. Mereka naik kereta api. Tanpa dapat diatahan, air matanya mengalir dipipinya. Dia memandang keselatan. Jauh disana kelihatan Gunung Sago tegak dengan gagah disapu awan.

Dan dikaki gunung itu adalah kampung halamannya. Tempat darahnya tertumpah. Disanalah ayah ibu dan kakaknya berkubur. Kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh.

Dan tak berapa ratus meter dari stasiun itu adalah rumah dimana dahulu dia bertemu dengan Mei-mei.



Dahulu dia naik bus tua ke Bukittinggi dari kota ini berdua dengan Mei-mei. Dan kini dia datang lagi. Sendirian. Dan di Bukittinggi pagi tadi dia meninggalkan seorang gadis, gadis yang dia-diam telah mencuri sebahagian hatinya. Salma!

Dia menarik nafas. Menghapus air mata. Dan perlahan-lahan berjalan masuk kedai. Kedai nasi itu cukup besar. Ruangan dalamnya lebar. Pada sudut kiri dia lihat beberapa lelaki duduk. Dan selintas saja dia mengetahui bahwa lelaki-lelaki disudut itu sedang berjudi.

Dia teringat masa lalunya. Dia melihat seperti dirinya yang duduk ditikar itu. Bersila dan membagi kartu. Diablik kain dipinggang para lelaki itu dia yakin tersisip sebilah pisau. Hal itu dia ketahui sebab disitulah dahulu dunianya.

Pada bahagian depan kelihatan orang sedang makan. Si Bungsu menuju ke meja dekat seorang perempuan muda. Duduk dihadapnnya karena tak ada lagi tempat lain yang kosong.



“Nasi satu….” Katanya.

“Apa sambalnya?”



Dia memalingkan kepala ketempat ikan-ikan yang telah dimasak. Memperhatikannya.



 “Dendeng bakar dan sambal lado serta petai muda”



Orang kedai mengambilkan pesanannya. Meletakkan diatas meja. Si Bungsu mengangguk pada perempuan muda didepannya. Kemudian pada lelaki disampingnya. Lalu mulai menyuap.



“Nampaknya kita berhenti disini agak lama. Ada per yang patah. Dan ban bocor. Harus ditambal dulu. Jalan yang akan kita tempuh bukan main parahnya. Jauh lebih parah dari jalan yang telah kita lalui” sopir truk berkata sambil mengempaskan diri di balai-balai. Dan sopir itu meminta nasi.



Seorang lelaki tiba-tiba mendekati mereka. Dia mendekati perempuan muda yang duduk dihadapan si Bungsu. Berbicara perlahan. Perempuan itu menolak. Tapi lelaki itu nampaknya memaksa. Perempuan itu menolak kembali.

Dan akhirnya perempuan muda yang cukup cantik itu menyerah pada paksaan lelaki tersebut. Dia membuka gelang ditangannya. Memberikannya pada si lelaki. Dan lelaki itu kembali ke balai-balai disudut ruangan. Kembali berjudi!

Si Bungsu mengangkat kepala. Menatap perempuan itu. Perempuan itu menunduk. Dan si Bungsu dapat melihat betapa wajah perempuan muda itu kelihatan murung. Sebentar-sebentar dia melirik pada lelaki yang tadi mengambil gelangnya.

Si Bungsu meneruskan makan. Demikian pula sopir di meja yang satu lagi. Ketenangan rumah makan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suar pertengkaran. Pertengkaran itu berasal dari sudut dimana sedang berlangsung perjudian.



“Kalian main curang. Saya tak mau. Saya sudah banyak kalah!”



Terdengar suara seorang lelaki. Dan sebagai jawaban suaranya itu terdengar tertawa terkekeh.



“Ini Judi Sutan. Tak ada kata-kata curang. Mulut Sutan berbisa kami dengar. Apakah Sutan muak hidup…” suara lain mengancam.



Dan pemilik kedai serta orang-orang lain nampaknya tak mau ikut campur. Mungkin disebabkan dua hal kenapa mereka lebih baik diam saja. Pertama memang sudah biasa dalam setiap perjudian disudahi dengan pertengkaran. Atau sebab kedua adalah karena penjudi-penjudi itu orang bagak.

Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Dan sebentar saja setelah suara tadi, kini terdengar orang main hantam. Perempuan didepan si Bungsu terpekik. Tegak berlari kearah perjudian itu. Dan saat itu pula lelaki yang meminjam gelangnya terpental. Jatuh melabrak meja.

Meja terjungkir. Dua buah stoples yang berisi paniaram jatuh pecah. Perempuan itu menangis memeluk lelaki tersebut. Nampaknya mereka adalah suami isteri yang baru menikah. Tak diketahui apa sebabnya sampai terseret ke meja judi ini. Mungkin suaminya ini pencandu judi pula. Hingga tak segan-segan meminta gelang isterinya setelah kalah dalam tahap pertama. Pada tahap kedua, gelang istrinya ludes dan dia kena terjang pula.



“Kalau akan berkelahi diluar lah Datuk. Jangan dalam lapau saya!” pemilik kedai berkata perlahan.



Aneh, dia berkata perlahan saja. Padahal meja dan stoples serta kuenya berserakkan. Dari nada pembicaraan ini setiap orang bisa tahu, betapa pera penjudi itu amat ditakuti.

Dan benar saja, orang yang dipanggil Datuk itu tertawa menggerendeng.



“Berani waang melarang saya kini ya Murad? Apakah ingin saya panggang lapau waang ini?”



Pemilik kedai tak menjawab. Dengan menunduk habis-habisan dia membenahi meja dan toplesnya yang berserakkan.

Dan lelaki yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu maju. Melihat ke arah gulai dan sambal yang terletak dalam panci. Matanya menatap liar. Kemudian tangannya beraksi. Dengan tangan telanjang, dia mengacau panci yang dipenuhi gulai ayam.

Kemudian mengambilnya sepotong. Lalu duduk di kursi dimana perempuan muda tadi duduk. Persis berhadapan dengan si Bungsu. Dia mengunyah gulai ayam itu dengan rakus. Sementara tangannya hingga ke pergelangan dipenuhi kuah.

Dan sambil mengunyah gulai ayam itu, matanya tiba-tiba terpandang pada jari manis si Bungsu. Kunyahnya terhenti.



“Hmm, cincin berlian…” desisnya menatap lurus-lurus pada cincin itu.



Lalu tiba-tiba saja tangannya yang berkuah-kuah itu menyambar tangan kiri si Bungsu. Memegangnya kuat-kuat lalu menatap cincin itu. Kemudian dia tertawa menyeringai sambil menatap si Bungsu.



“Hei, waang mau menjual cincin ini pada saya buyung…?” katanya.



Si Bungsu menggeleng.



“Saya beli dengan harga tinggi. Berapa waang mau menjual?”

“Ini tanda mata dari adik saya. Saya tak berniat menjualnya…” si Bungsu menjawab perlahan.

“Ahh. Pasti tanda mata dari gendak waang. Bikin apa dia waang pikirkan. Cukup banyak betina lain yang bisa waang bawa tidur. Ayo jual saja pada saya..” Datuk itu masih berkata sambil mengguncang tangan si Bungsu.



Dia menarik nafas panjang. Lalu menggeleng. Dia berusaha menahan marahnya.



“Saya tak berniat menukarnya atau menjualnya pak…” jawabnya.

“Hei, akan saya buktikan pada waang, bahwa cukup banyak perempuan yang bisa ditiduri. Saya lihat waang dari tadi berminat pada perempuan itu..” Datuk ini menunjuk dengan mulutnya ke arah perempuan yang tadi duduk di depan si Bungsu. Yang kini duduk di kursi lain bersama suaminya.



Datuk itu bangkit. Tiga temannya tertawa menyeringai dari sudut memperhatikan.



“Jangan mengganggu bini orang di lapau ini Datuk…” pemilik kedai tadi coba memperingatkan.



Sebab kedainya bisa jadi lengang kalu terjadi hal-hal yang tak baik pada orang yang singgah makan. Namun ucapannya baru saja habis ketika tangan Datuk itu mendarat dipipinya. Suara tamparannya keras. Dan bibir pemilik kedai itu pecah!



“Sekali lagi waang mencampuri urusan saya Murad, saya jemur waang seperti dendeng di labuah sana…” ancamnya.



Dan dia meneruskan langkah ke dekat perempuan muda itu.



“Hei, upik manis. Laki upik baru saja kalah berjudi. Kenapa kau mau berlaki dengan penjudi tanggung seperti dia? Lebih baik kau menikah dengan anak muda itu. Lihat, dia punya cincin berlian. Hayo kuantar kau padanya…!”



Berkata begitu. Datuk itu menyentakkan tangan perempuan muda tersebut.

Perempuan itu terpekik. Suaminya bangkit. Namun sebuah terjangan membuat tubuhnya tercampak ke luar. Melihat kejadian ini, enam orang lelaki lain yang ada dalam kedai itu cepat-cepat membayar makanan mereka dan pergi meninggalkan kedai itu. Menghindar dari bencana yang akan timbul. Nampaknya Datuk dan ketiga koleganya adalah “orang bagak” di kota ini. Sebab kalau tak demikian, mustahil dia akan mau berbuat seperti itu. Stasiun kereta api ini terletak persis ditengah kota. Dan ditengah kota ini dia mau berbuat demikian, sungguh suatu perbuatan yang bagak benar.

Tangan perempuan itu direnggutkannya. Dan sekali dorong, perempuan itu terlempar ke pangkuan si Bungsu. Perempuan itu bangkit kemudian menampar wajah si Bungsu beberapa kali. Si Bungsu tetap duduk dan tetap diam. Datuk penjudi itu tertawa terkekeh-kekeh.



“Hei buyung, kalau dia menampar lelaki, itu tandanya dia mengajak ke tempat tidur, bawalah dia!”

“Saya mau menjual cincin ini..” tiba-tiba suara si Bungsu bergema.



Datuk itu terhenti tertawa. Dia mendekat. Orang-orang lain pada terdiam.



“Naah, itu bagus. Berapa waang jual?”

“Tidak dengan uang. Saya ingin bertukar…” si Bungsu berkata dengan kepala masih menunduk.

“Bagus! Bagus! Dengan apa? Dengan perempuan muda ini? Boleh!”

“Tidak!”

“Lalu dengan apa?”

“Dengan kepalamu, Datuk!”



Masih ada enam lelaki dan tiga perempuan lagi dalam kedai itu. Dan mereka semua mendengar suara anak muda itu dengan jelas. Datuk itu terdiam.



“Rasanya saya salah dengar. Dengan apa waang berniat menukar cincin berlian waang itu buyung….?”



Masih dengan kepala menunduk, dan dengan ketenangan yang luar biasa, si Bungsu menjawab.



“Dengan kepalamu, Datuk!” Dan suara anak muda ini lagi-lagi membuat isi kedai itu seperti mengkerut karena takut. Takut akan akibatnya. Yaitu pada amarah yang bakal menyembur dari diri Datuk itu.



Tapi anehnya Datuk itu tak berang. Dia justru tertawa terkekeh-kekeh. Sampai berair matanya karena tertawa. Orang-orang jadi heran. Namun tetap terdiam ditempatnya. Tak seorangpun yang berani beranjak.



“Kalian dengar Kudun? Muncak? Si buyung ini berniat menukar kepala saya dengan cincinnya. Haa…haa…haa. Hu…hu..hu. Baik. Saya tukar kepala saya dengan cincin waang. Tapi bagaimana caranya waang akan mengambil kepala saya?”



Dengan masih menunduk, anak muda itu berkata lagi dengan seluruh ketenangan yang ada padanya.



“Saya mampu mengambilnya Datuk. Saya bisa mengambil kepala Datuk dengan tangan saya…!”



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 051

No comments:

Post a Comment