Tiga jam
kemudian dia memasuki kota Payakumbuh. Truk itu berhenti dekat stasiun kereta
api. Penumpang di atasnya yang berjumlahh empat orang, umumnya pedagang sayur
dan beras, turun untuk mengisi perut.
Dengan perasaan
berdebar, si Bungsu turun pula. Ada perasaan lain menyelinap dihatinya ketika
kakinya menjejak kembali kota Payakumbuh. Kota itu sudah seperti kampung
halamannya. Ketika ayahnya masih hidup dahulu, dia sering dibawa kemari. Itu
waktu kecil. Ketika dia telah dewasa, dia sering pula ke kota ini. Pergi
berjudi.
Dan kini dia
datang lagi. Kenangan masa launya berlarian sempanjang jalan raya. Kereta api
kelihatan mengepul asapnya dari kejauhan. Peluitnya terdengar memekik sayu.
Dibelakang lokomotofnya yang tua terlihat enam buah gerbong. Merangkak
lambat-lambat memasuki kota.
Si Bungsu telah
matang oleh penderitaan. Telah masak oleh pengalaman hidup. Emosinya sudah
tertempa. Dia kini seperti karang di samudera. Namun, dia tetap saja manusia.
Melihat kereta api itu merangkak perlahan, mendengar pekik peluitnya yang sayu,
dia segera teringat masa kecilnya.
Ketika bersama
ayahnya pergi ke Baso, ke Biaro, ke Bukittinggi. Mereka naik kereta api. Tanpa
dapat diatahan, air matanya mengalir dipipinya. Dia memandang keselatan. Jauh
disana kelihatan Gunung Sago tegak dengan gagah disapu awan.
Dan dikaki
gunung itu adalah kampung halamannya. Tempat darahnya tertumpah. Disanalah ayah
ibu dan kakaknya berkubur. Kampung kecil bernama Situjuh Ladang Laweh.
Dan tak berapa
ratus meter dari stasiun itu adalah rumah dimana dahulu dia bertemu dengan
Mei-mei.
Dahulu dia naik
bus tua ke Bukittinggi dari kota ini berdua dengan Mei-mei. Dan kini dia datang
lagi. Sendirian. Dan di Bukittinggi pagi tadi dia meninggalkan seorang gadis,
gadis yang dia-diam telah mencuri sebahagian hatinya. Salma!
Dia menarik
nafas. Menghapus air mata. Dan perlahan-lahan berjalan masuk kedai. Kedai nasi
itu cukup besar. Ruangan dalamnya lebar. Pada sudut kiri dia lihat beberapa
lelaki duduk. Dan selintas saja dia mengetahui bahwa lelaki-lelaki disudut itu
sedang berjudi.
Dia teringat
masa lalunya. Dia melihat seperti dirinya yang duduk ditikar itu. Bersila dan
membagi kartu. Diablik kain dipinggang para lelaki itu dia yakin tersisip
sebilah pisau. Hal itu dia ketahui sebab disitulah dahulu dunianya.
Pada bahagian
depan kelihatan orang sedang makan. Si Bungsu menuju ke meja dekat seorang
perempuan muda. Duduk dihadapnnya karena tak ada lagi tempat lain yang kosong.
“Nasi satu….”
Katanya.
“Apa
sambalnya?”
Dia memalingkan
kepala ketempat ikan-ikan yang telah dimasak. Memperhatikannya.
“Dendeng bakar dan sambal lado serta petai
muda”
Orang kedai
mengambilkan pesanannya. Meletakkan diatas meja. Si Bungsu mengangguk pada
perempuan muda didepannya. Kemudian pada lelaki disampingnya. Lalu mulai
menyuap.
“Nampaknya kita
berhenti disini agak lama. Ada per yang patah. Dan ban bocor. Harus ditambal
dulu. Jalan yang akan kita tempuh bukan main parahnya. Jauh lebih parah dari
jalan yang telah kita lalui” sopir truk berkata sambil mengempaskan diri di
balai-balai. Dan sopir itu meminta nasi.
Seorang lelaki
tiba-tiba mendekati mereka. Dia mendekati perempuan muda yang duduk dihadapan
si Bungsu. Berbicara perlahan. Perempuan itu menolak. Tapi lelaki itu nampaknya
memaksa. Perempuan itu menolak kembali.
Dan akhirnya
perempuan muda yang cukup cantik itu menyerah pada paksaan lelaki tersebut. Dia
membuka gelang ditangannya. Memberikannya pada si lelaki. Dan lelaki itu
kembali ke balai-balai disudut ruangan. Kembali berjudi!
Si Bungsu
mengangkat kepala. Menatap perempuan itu. Perempuan itu menunduk. Dan si Bungsu
dapat melihat betapa wajah perempuan muda itu kelihatan murung.
Sebentar-sebentar dia melirik pada lelaki yang tadi mengambil gelangnya.
Si Bungsu
meneruskan makan. Demikian pula sopir di meja yang satu lagi. Ketenangan rumah
makan itu tiba-tiba dipecahkan oleh suar pertengkaran. Pertengkaran itu berasal
dari sudut dimana sedang berlangsung perjudian.
“Kalian main
curang. Saya tak mau. Saya sudah banyak kalah!”
Terdengar suara
seorang lelaki. Dan sebagai jawaban suaranya itu terdengar tertawa terkekeh.
“Ini Judi
Sutan. Tak ada kata-kata curang. Mulut Sutan berbisa kami dengar. Apakah Sutan
muak hidup…” suara lain mengancam.
Dan pemilik
kedai serta orang-orang lain nampaknya tak mau ikut campur. Mungkin disebabkan
dua hal kenapa mereka lebih baik diam saja. Pertama memang sudah biasa dalam
setiap perjudian disudahi dengan pertengkaran. Atau sebab kedua adalah karena
penjudi-penjudi itu orang bagak.
Kemungkinan ini
bisa saja terjadi. Dan sebentar saja setelah suara tadi, kini terdengar orang
main hantam. Perempuan didepan si Bungsu terpekik. Tegak berlari kearah
perjudian itu. Dan saat itu pula lelaki yang meminjam gelangnya terpental.
Jatuh melabrak meja.
Meja
terjungkir. Dua buah stoples yang berisi paniaram jatuh pecah. Perempuan itu
menangis memeluk lelaki tersebut. Nampaknya mereka adalah suami isteri yang
baru menikah. Tak diketahui apa sebabnya sampai terseret ke meja judi ini.
Mungkin suaminya ini pencandu judi pula. Hingga tak segan-segan meminta gelang
isterinya setelah kalah dalam tahap pertama. Pada tahap kedua, gelang istrinya
ludes dan dia kena terjang pula.
“Kalau akan
berkelahi diluar lah Datuk. Jangan dalam lapau saya!” pemilik kedai berkata
perlahan.
Aneh, dia
berkata perlahan saja. Padahal meja dan stoples serta kuenya berserakkan. Dari
nada pembicaraan ini setiap orang bisa tahu, betapa pera penjudi itu amat
ditakuti.
Dan benar saja,
orang yang dipanggil Datuk itu tertawa menggerendeng.
“Berani waang
melarang saya kini ya Murad? Apakah ingin saya panggang lapau waang ini?”
Pemilik kedai
tak menjawab. Dengan menunduk habis-habisan dia membenahi meja dan toplesnya
yang berserakkan.
Dan lelaki yang
dipanggil dengan sebutan Datuk itu maju. Melihat ke arah gulai dan sambal yang
terletak dalam panci. Matanya menatap liar. Kemudian tangannya beraksi. Dengan
tangan telanjang, dia mengacau panci yang dipenuhi gulai ayam.
Kemudian
mengambilnya sepotong. Lalu duduk di kursi dimana perempuan muda tadi duduk.
Persis berhadapan dengan si Bungsu. Dia mengunyah gulai ayam itu dengan rakus.
Sementara tangannya hingga ke pergelangan dipenuhi kuah.
Dan sambil
mengunyah gulai ayam itu, matanya tiba-tiba terpandang pada jari manis si
Bungsu. Kunyahnya terhenti.
“Hmm, cincin
berlian…” desisnya menatap lurus-lurus pada cincin itu.
Lalu tiba-tiba
saja tangannya yang berkuah-kuah itu menyambar tangan kiri si Bungsu.
Memegangnya kuat-kuat lalu menatap cincin itu. Kemudian dia tertawa menyeringai
sambil menatap si Bungsu.
“Hei, waang mau
menjual cincin ini pada saya buyung…?” katanya.
Si Bungsu
menggeleng.
“Saya beli
dengan harga tinggi. Berapa waang mau menjual?”
“Ini tanda mata
dari adik saya. Saya tak berniat menjualnya…” si Bungsu menjawab perlahan.
“Ahh. Pasti
tanda mata dari gendak waang. Bikin apa dia waang pikirkan. Cukup banyak betina
lain yang bisa waang bawa tidur. Ayo jual saja pada saya..” Datuk itu masih
berkata sambil mengguncang tangan si Bungsu.
Dia menarik
nafas panjang. Lalu menggeleng. Dia berusaha menahan marahnya.
“Saya tak
berniat menukarnya atau menjualnya pak…” jawabnya.
“Hei, akan saya
buktikan pada waang, bahwa cukup banyak perempuan yang bisa ditiduri. Saya
lihat waang dari tadi berminat pada perempuan itu..” Datuk ini menunjuk dengan mulutnya
ke arah perempuan yang tadi duduk di depan si Bungsu. Yang kini duduk di kursi
lain bersama suaminya.
Datuk itu
bangkit. Tiga temannya tertawa menyeringai dari sudut memperhatikan.
“Jangan
mengganggu bini orang di lapau ini Datuk…” pemilik kedai tadi coba
memperingatkan.
Sebab kedainya
bisa jadi lengang kalu terjadi hal-hal yang tak baik pada orang yang singgah
makan. Namun ucapannya baru saja habis ketika tangan Datuk itu mendarat
dipipinya. Suara tamparannya keras. Dan bibir pemilik kedai itu pecah!
“Sekali lagi
waang mencampuri urusan saya Murad, saya jemur waang seperti dendeng di labuah
sana…” ancamnya.
Dan dia
meneruskan langkah ke dekat perempuan muda itu.
“Hei, upik
manis. Laki upik baru saja kalah berjudi. Kenapa kau mau berlaki dengan penjudi
tanggung seperti dia? Lebih baik kau menikah dengan anak muda itu. Lihat, dia
punya cincin berlian. Hayo kuantar kau padanya…!”
Berkata begitu.
Datuk itu menyentakkan tangan perempuan muda tersebut.
Perempuan itu
terpekik. Suaminya bangkit. Namun sebuah terjangan membuat tubuhnya tercampak
ke luar. Melihat kejadian ini, enam orang lelaki lain yang ada dalam kedai itu
cepat-cepat membayar makanan mereka dan pergi meninggalkan kedai itu.
Menghindar dari bencana yang akan timbul. Nampaknya Datuk dan ketiga koleganya
adalah “orang bagak” di kota ini. Sebab kalau tak demikian, mustahil dia akan
mau berbuat seperti itu. Stasiun kereta api ini terletak persis ditengah kota.
Dan ditengah kota ini dia mau berbuat demikian, sungguh suatu perbuatan yang
bagak benar.
Tangan
perempuan itu direnggutkannya. Dan sekali dorong, perempuan itu terlempar ke
pangkuan si Bungsu. Perempuan itu bangkit kemudian menampar wajah si Bungsu
beberapa kali. Si Bungsu tetap duduk dan tetap diam. Datuk penjudi itu tertawa
terkekeh-kekeh.
“Hei buyung,
kalau dia menampar lelaki, itu tandanya dia mengajak ke tempat tidur, bawalah
dia!”
“Saya mau
menjual cincin ini..” tiba-tiba suara si Bungsu bergema.
Datuk itu
terhenti tertawa. Dia mendekat. Orang-orang lain pada terdiam.
“Naah, itu
bagus. Berapa waang jual?”
“Tidak dengan
uang. Saya ingin bertukar…” si Bungsu berkata dengan kepala masih menunduk.
“Bagus! Bagus!
Dengan apa? Dengan perempuan muda ini? Boleh!”
“Tidak!”
“Lalu dengan
apa?”
“Dengan
kepalamu, Datuk!”
Masih ada enam
lelaki dan tiga perempuan lagi dalam kedai itu. Dan mereka semua mendengar
suara anak muda itu dengan jelas. Datuk itu terdiam.
“Rasanya saya
salah dengar. Dengan apa waang berniat menukar cincin berlian waang itu
buyung….?”
Masih dengan
kepala menunduk, dan dengan ketenangan yang luar biasa, si Bungsu menjawab.
“Dengan
kepalamu, Datuk!” Dan suara anak muda ini lagi-lagi membuat isi kedai itu
seperti mengkerut karena takut. Takut akan akibatnya. Yaitu pada amarah yang
bakal menyembur dari diri Datuk itu.
Tapi anehnya
Datuk itu tak berang. Dia justru tertawa terkekeh-kekeh. Sampai berair matanya
karena tertawa. Orang-orang jadi heran. Namun tetap terdiam ditempatnya. Tak
seorangpun yang berani beranjak.
“Kalian dengar
Kudun? Muncak? Si buyung ini berniat menukar kepala saya dengan cincinnya.
Haa…haa…haa. Hu…hu..hu. Baik. Saya tukar kepala saya dengan cincin waang. Tapi
bagaimana caranya waang akan mengambil kepala saya?”
Dengan masih
menunduk, anak muda itu berkata lagi dengan seluruh ketenangan yang ada
padanya.
“Saya mampu
mengambilnya Datuk. Saya bisa mengambil kepala Datuk dengan tangan saya…!”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 051
No comments:
Post a Comment