“Bagaimana
kalau waang tak bisa?”
“Cincin dan
kepala saya jadi tukarannya…!”
Lelaki itu
tiba-tiba berteriak mengejutkan semua orang ada di kedai itu.
“Hei, kalian
dengar, anak muda ini berkata akan mampu mengambil kepala saya dengan
tangannya. Kalau dia tidak bisa, maka kepalanya dan cincin berlian ditangannya
dia berikan kepada saya. Kalian jadi saksi semua. Dengar?!. Dengar?! He?”
Semua yang ada
dalam kedai itu mengangguk seperti balam. Mengangguk karena takut.
“Nah anak muda,
sudah banyak saksinya. Sekarang cobalah ambil kepala saya. Usahakan
mengambilnya, bisa saja waang menjamah rambut saya, maka saya akan meminum
kencing waang!”
Dan lelaki itu
tegak berkacak pinggang di hadapan si Bungsu. Jarak mereka hanya dipisahkan
oleh meja makan. Si Bungsu jadi muak. Dia tahu benar tipe lelaki ini. Pejudi,
pemerkosa anak bini orang. Dan terakhir kerjanya pastilah mengkhianati
bangsanya.
Mustahil dia
akan berani berbuat onar seperti ini di jantung kota yang dikuasai Jepang kalau
dia tak punya tulang punggung. Dan si Bungsu yakin, bahwa orang bagak ini
adalah cecunguk Jepang.
“Berapa orang
anakmu yang akan yatim piatu kalau engkau mati?” si Bungsu bertanya dengan
suara dingin.
Tanya ini
sebenarnya bukan untuk menyakiti hati lelaki itu. Tapi pertanyaan yang jujur.
Kalau saja lelaki itu menjawab dengan jujur mengatakan bahwa anaknya banyak,
maka mungkin si Bungsu takkan menurunkan tangan jahat. Tetapi lelaki yang
dasarnya pongah, jadi amat tersinggung.
“Jangan banyak
cakap waang buyung. Kalau dalam lima hitungan waang tak berhasil memegang
rambut saya, waang akan saya jadikan “anak jawi” pemuas selera
saya…..hee…hee…!”
“Baiklah,
engkau yang menghendaki…” si Bungsu berkata perlahan.
“Satu…dua…!”
lelaki itu mulai menghitung.
Ketika mulutnya
akan mengana menyebut tiga, saat itulah si Bungsu menyambar samurai di depannya.
Samurai itu berkelabat sangat cepat. Dan tak seorangpun yang tahu bagaimana
terjadinya. Apa penyebabnya.
Yang terlihat
setelah itu adalah, kepala lelaki itu putus dan tercampak keluar kedai.
Tubuhnya jatuh dan menggelinjang-gelinjang seperti ayam disembelih. Darah
menyembur-nyembur kemana-mana. Sudah itu diam!
Suara pekik dan
gaduh terdengar. Isi kedai tercekam diam tak bisa keluar karena merasa lumpuh
melihat kejadian yang mengerikan itu.
Dan kegemparan itu
sampai ke telinga Kempetai yang posnya hanya berjarak dua ratus meter dari
stasiun itu.
“Anak muda.
Lihatlah. Kempetai datang. Datuk itu kaki tangan Kempetai. Sudah banyak
pejuang-pejuang dan penduduk yang jadi korban Datuk itu. Datuk itu tukang tunjuk.
Mata-mata Jepang. Pergilah sebelum engkau ditangkap…”
Pemilik kedai
itu berkata dengan gugup. Sementara ketiga teman Datuk itu terhenyak di tikar
ditempat mereka berjudi tadi. Usahkan untuk bangkit, untuk bernafaspun mereka
takut. Mereka benar-benar seperti melihat hantu pada anak muda itu.
Dalam sekali
tebas, kepala Datuk Hitam putus. Siapa bisa menyangka? Siapa tak kenal Datuk
Hitam? Juara silat dan orang yang sangat ditakuti di Luhak Lima Puluh ini. Tapi
kini anak muda itu telah menebas kepalanya dengan penuh ketenangan.
Ketiga teman
Datuk itu tak berani bergerak. Malah yang bernama Sarip, celananya telah basah
sendiri. Si Bungsu melihat pada pemilik kedai itu. Kemudian menghela nafas. Dia
menghirup kopinya dengan tenang. Dan tetap pula duduk dengan tenang.
Di luar
terdengar orang berbisik-bisk. Kempetai datang! Empat orang Kempetai muncul di hadapan
kedai itu. Keempatnya tertegak kaget melihat kepala Datuk Hitam yang tergolek
dengan mata mendelik. Dan serentak keempat Kempetai itu memandang ke dalam kedai.
Belum begitu jelas. Sebab di luar cahaya sangat terang. Di dalam kedai itu agak
samar-samar.
“Tangkap semuanya
yang ada dalam lapau itu…!” terdengar perintah salah seorang dari ke empat
Kempetai tersebut.
Tiga
diantaranya menyerbu masuk. Namun sebuah suara yang dingin menghentikan gerakan
mereka.
“Saya yang
membunuh Datuk itu. Kalau akan ditangkap, cukup saya sendiri…”
Ketiga Kempetai
itu menoleh. Dan mereka tersurut takkala melihat siapa yang bicara sambil
menghirup kopi itu.
“Bungsu…!!” tanpa
dapat ditahan, mulut mereka bicara serentak.
Si Bungsu hanya
diam. Tapi semua orang yang ada dalam kedai itu pada menatap padanya. Si
Bungsu! Siapa yang tak pernah mendengar nama itu? Dan kini ternyata anak muda
itu muncul di hadapan mereka.
Sopir truk yang
membawa si Bungsu pun menoleh padanya. Dia jadi ternganga. Benar-benar tak dia
sangka, penumpangnya yang pendiam itu ternyata si Bungsu. Si Bungsu yang
namanya jadi buah bibir itu. Dia jadi malu kenapa tak melayani anak muda ini
dengan hormat.
Ketiga Jepang
itu berlari keluar. Berkata kepada komandan yang memerintahkan untuk menangkapi
semua isi kedai itu. Komandannya ini tertegun mendengar laporan ketiga
bawahannya, ia bergegas masuk. Dan tertegak dipintu begitu melihat si Bungsu.
“Bungsu…! mulutnya
juga berkata tertahan.
Lambat-lambat
si Bungsu menatap padanya. Kemudian berkata perlahan.
“Ya. Sayalah si
Bungsu. Ingin menangkap saya sekarang?”
Kempetai yang
berpangkat Go Cho (Sersan dua) itu cepat-cepat menggeleng.
“Tidak! Tak
seorangpun diantara balatentara Jepang yang boleh menangkap si Bungsu. Panglima
Pasukan Balatentara Dai Nippon di Sumatera telah menjamin kebebasanmu sejak
pertarungan dengan Overste Akiyama di Bukittinggi. Tentara Jepang tak pernah
memungkiri janjinya…”
“Tapi saya telah
membunuh kaki tangan kalian. Mata-mata kalian”
“Oh itu… itu
resiko dirinya sendiri. Hai” berkata begitu Go Cho ini membungkuk memberi
hormat, kemudian memerintahkan beberapa penduduk mengangkat mayat Datuk Hitam
itu. Lalu cepat-cepat meninggalkan kedai itu.
Si Bungsu
menarik nafas. Dia menoleh pada ketiga teman Datuk Hitam yang masih terduduk di
sudut ruangan. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“”Lelaki itu….”
Kata si Bungsu sambil menunjuk pada suami perempuan muda yang menamparnya tadi.
“tadi kalah main dengan kalian. Dan kali kedua dia menggadaikan gelang
isterinya. Kini kembalikan semua padanya…”
“Teta…tetapi…semuanya
ada pada Datuk….” Ucapannya terputus ketika melihat si Bungsu meraih
samurainya.
“Yiy…ya..yay…
Ya! Pada kami ada, kami kembalikan…” dengan pucat dan menggigil dia merogoh
kantong. Mengambil segenggam uang. Lalu mengode temannya. Temannya merogoh
kantong pula. Kemudian mengeluarkan sebuah gelang.
Si Bungsu
menoleh pada suami perempuan muda itu.
“Ambillah….”
Katanya perlahan. Lelaki itu bergerak ke arah ketiga pejudi tersebut. Menerima
uang dan gelang isterinya kembali.
“Nah, kalian
yang bertiga, dengarlah. Kalian harus meninggalkan Luhak Lima Puluh ini segera.
Kalau sore nanti kalian masih saya lihat di Luhak ini, atau lain kali saya
dengar kalian masih membuat huru hara, saya akan cari kalian. Dan saya akan
menebas kepala kalian seperti menebas kepala Datuk itu. Kini pergilah!”
Ucapan si
Bungsu baru saja habis, ketika ketiganya lari berhamburan. Yang satu lari
terbirit-birit lewat pintu, yang dua lagi mengambil jalan singkat, yaitu
meloncat dari jendela di dekat mereka. Ketiganya lenyap. Ya, bagi mereka itulah
saat yang paling berbahagia. Berbahagia terlepas dari elmaut.
Saat itu juga
mereka tak kembali ke rumah. Tapi terus cigin meninggalkan Luhak Lima Puluh itu
seperti yang diperintahkan si Bungsu. Tak seorangpun yang tahu kemana mereka
lenyap.
Kini keadaan
dalam kedai sepi. Si Bungsu kembali menoleh pada suami perempuan muda itu. Ia
berkata perlahan-lahan.
“Hei sanak.
Saya dulu juga pejudi. Tapi saya tidak hanya sekedar pejudi kelas murahan. Saya
raja judi di negeri ini.Tak pernah saya kalah dalam tiap permainan. Tapi
ketahuilah, hidup saya tak pernah tenang. Sedangkan saya yang selalu menang
hidup tak tenang, apalagi kalau selalu kalah. Nah, saya pesankan pada sanak,
lebih baik mencangkul daripada harus berjudi. Istrimu seorang perempuan lembut
dan cantik. Bagaimana kalau tadi dia sempat dilaknati oleh Datuk itu?”
Lelaki itu
menunduk.
“Terimakasih
sanak. Terimakasih. Saya berhutang budi pada sanak…”
Lelaki itu
berkata perlahan. Matanya basah. Istrinya bangkit. Berjalan mendekati si
Bungsu. Pada wajahnya kelihatan penyesalan. Dia teringat betapa tadi dia
menampar anak muda ini. Dia menyangka anak muda ini temannya Datuk jahanam itu.
Itulah sebabnya dia menampar si Bungsu begitu dirinya didorong kepangkuan anak
muda ini.
“Maafkan saya
bang…saya telah salah sangka tadi…” katanya perlahan. Si Bungsu menatapnya.
Kemudian tersenyum.
“Tidak apa.
Saya lihat engkau mencintai suamimu. Tapi mencintai suami bukan berarti harus
menuruti segela kehendaknya. Kalau engkau merasa pekerjaan yang dia lakukan
adalah pekerjaan tercela, engkau berkewajiban melarangnya. Seperti tadi ketika
dia meminta gelangmu untuk berjudi. Walaupun engkau dia tampar, tapi jangan
berikan. Soalnya bukan berapa nilai gelangmu, tapi yang penting adalah akibat
judi itu sangat buruk. Paham bukan…?”
Perempuan itu
menghapus air matanya. Dan lambat-lambat duduk di hadapan si Bungsu.
“Kalian dari
mana?”
“Kami dari
Pekan Baru”
“Hmm, merantau
ke sana?”
“Ya. Kami
merantau sejak lama di Tanjung Pinang. Di sana kami bertemu dan kawin…”
“Kini akan
kemana?”
“Pulang ke
kampung…”
“Di mana, masih
jauh?”
“Tidak, kampung
kami di Situjuh…”
“Situjuh?”
tanya si Bungsu kaget.
“Ya. Situjuh
Ladang Laweh…”
“Di sana
kampung kalian keduanya?”
“Tidak. Di sana
kampung saya, kampung uda Rasid di Kubang…”
“Siapa ayahmu
di Situjuh..?”
Perempuan itu
menatap padanya.
“Abang pernah
ke sana?” si Bungsu menunduk. Menarik nafas panjang.
“Tidak hanya sekadar
“pernah” upik. Di sana lah darah saya tertumpah. Situjuh Ladang Laweh adalah
kampung saya pula…” gadis itu terbelalak.
“Abang orang
Situjuh Ladang Laweh?”
“Ya. Kita
Sekampung…. Siapa nama ayahmu?”
“Datuk
Maruhun…..” si Bungsu kaget.
“Ya. Datuk Maruhun.
Abang kenal padanya?”
Si Bungsu
menatap gadis itu tepat-tepat. Seingatnya tak ada anak Datuk Maruhun seperti
perempuan ini. Datuk itu hanya punya dua orang anak. Yang satu lelaki. Kini
jadi Gyugun di Padang. Yang satu lagi perempuan, namanya Renobulan.
Dan betapa dia
tak kenal pada Datuk Maruhun?
Renobulan anak
Datuk itu adalah bekas tunangannya dahulu. Pertunangan mereka putus karena
Datuk itu tidak suka calon menantunya seorang pejudi. Dan sejak putus
tunangannya itu, dia tidak lagi pernah mengetahui kemana perginya Renobulan.
Gadis tercantik dikampungnya itu.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 052
No comments:
Post a Comment