Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 054

“Maaf, saya rasa anaknya hanya dua orang. Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama Renobulan…”

“Ya. Datuk Maruhun itulah ayah saya…”

“Tapi…”

“Ayah berbini dua. Ibu Kak Reno adalah istrinya yang tua. Ibu saya istrinya yang kedua. Ayah menikah dengan ibu ketika berdagang ke Tanjung Pinang. Sejak Jepang masuk ayah tak pernah lagi datang ke Pinang. Kini kami datang untuk mencarinya. Apakah beliau ada sehat-sehat…?



Si Bungsu terdiam. Dikepalanya terbayang lagi masa lalunya di kampung Situjuh Ladang Laweh itu. Terbayang betapa suatu malam dia tertangkap ketika mengintai orang sedang latihan silat. Yang sedang latihan adalah Datuk Maruhun dan anak buahnya. Datuk Maruhun adalah wakil ayahnya. Wakil ayahnya sebagai guru silat. Dia sedang mengintai ketika Jepang datang menangkapnya.

Dan beberapa murid Datuk Maruhun terbunuh malam itu oleh Jepang. Dan Datuk Maruhun menyangka dia yang memberitahu Jepang tempat latihan itu. Dia dituduh membocorkan tempat latihan itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.



“Apakah ayah masih hidup?” tiba-tiba si Bungsu kembali dikagetkan oleh pertanyaan perempuan muda didepannya.

“Saya tak tahu dengan pasti upik. Suatu malam dia ditangkap oleh Jepang. Rencananya akan dikirim ke Logas untuk kerja paksa. Tapi sebulan kemudian dia lolos bersama tiga orang temannya setelah membunuh dua orang tentara jepang yang menjaganya.

Mereka pulang ke kampung dimalam buta. Kemudian membawa istri dan anak-anaknya pergi melarikan diri. Sejak saat itu saya tak lagi mendengar dimana beliau. Tapi kini mungkin sudah di kampung. Kalau tidak ada di sana, carilah anaknya. Anaknya yang tua, yang bernama Mukhtar kini menjadi anggota Gyugun di Padang. Pangkatnya kalau tidak salah Gun Syo (Sersan satu). Dari dia barangkali engkau dapat tahu di mana beliau..”

“Abang juga tak tahu di mana Kak Renobulan?” si Bungsu menggeleng. Perempuan itu menarik nafas. Wajahnya murung. Kemudian berkata perlahan…:

“Dahulu, dari seorang pedagang yang datang dari kampung, kami dengar Kak Reno akan menikah. Tunangannya seorang anak muda gagah tapi pejudi. Kabarnya ayah tak menyukai pertunangan itu. Tapi Kak Reno sendiri kabarnya mencintai anak muda itu sepenuh hatinya… hanya itu yang sempat saya dengar di Pinang. Apakah tak mungkin dia telah menikah dengan tunangannya itu…?”



Perempuan muda itu menatap pada si Bungsu. Si Bungsu jadi pucat.

Tapi dia yakin perempuan itu memang bertanya dengan jujur. Tidak mempunyai prasangka apa-apa. Makanya dia mencoba menguasai diri.



“Tidak. Saya rasa mereka tak jadi menikah…” jawab si Bungsu cepat. Perempuan itu kembali menarik nafas.

“Darimana Abang tahu bahwa mereka tak menikah. Apakah Abang mengenali tunangan Kak Reno?” si Bungsu kembali jadi pucat. Namun sebisa-bisanya dia menjawab juga.

“Ya. Ya. Saya kenal padanya. Kami sama-sama pejudi. Dan teman saya itu seingat saya belum pernah menikah…”

“Dimana tunangannya itu kini, apa kerjanya…?”

“Ah, tunangannya itu memang seorang lelaki pejudi. Mujur Renobulan tak jadi menikah dengannya. Kini dia kabarnya jadi luntang-lantung diburu-buru karena pernah membunuh orang….”



Si Bungsu menjawab pasti dengan mimik muka ikut membenci “tunangan” Renobulan itu.



“Kasihan kak Reno. Kabarnya mereka sama-sama mencintai. Dan yang pasti, kabarnya ka Renolah yang sangat mencintai tunangannya itu.” Si Bungsu menghirup kopinya. Kopi manis itu tiba-tiba terasa pahit ditenggorokkannya.

Diluar stokar truk itu memperbaiki terus per yang patah dan membuka ban yang bocor. Memberikannya ke tukang tambal. Jalan Payakumbuh ke Pekan Baru adalah jalan parah. Jalan menembus hutan rimba. Mendaki gunung dan menuruni lembah. Itulah jalan yang akan mereka tempuh sebentar lagi.



Kota Pekan Baru yang disebut-sebut sebagai dagang baru yang ramai disinggahi pedagang dari Minangkabau itu ternyata hanya sebuah kampung yang tak lebih besar dari Payakumbuh.

Malah dalam beberapa hal Payakumbuh lebih bagus. Jalannya sudah diaspal. Sementara Pekanbaru umumnya jalannya masih tanah. Di Payakumbuh sudah banyak rumah-rumah gedung yang bagus. Sementara di Pekan Baru hanya rumah papan.

Yang ramai hanyalah sekitar Pasar Bawah dan dekat Sungai Siak dimana terdapat sebuah pelabuhan kecil. Karena pelabuhan inilah rupanya kota kecil itu jadi ramai.

Orang banyak berdagang ke Kepulauan Riau yang mata uangnya sama dengan mata uang Malaya dan Singapura. Yaitu mata uang dolar. Sebahagian besar dari kampung yang disebut kota itu terdiri dari kebun getah dan rawa-rawa. Dibahagian kehulu pelabuhan ada sebuah mesjid yang indah. Mesjid Raya yang dibangun Sultan Siak Sri Indrapura. Di sekitar mesjid ini kampungnya bolehlah sedikit. Bersih dan teratur.



Tapi jauh dari situ, di dalam hutan-hutan karet yang terurus itu, masih sering orang diterkam harimau. Jauh arah ke barat, ada sebuah lapangan terbang darurat yang dulu dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lapangan itu tak bernama. Terletak di kampung kecil yang berpenduduk sekitar seratus orang. Kampung itu bernama Simpang Tiga.

Tak ada yang baru di kota itu nampaknya. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi anehnya, orang-orang dari Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh banyak yang pindah kemari.

Mereka membuat rumah-rumah papan disepanjang pinggir jalan di Pasar Bawah. Pasar itu makin lama makin lebar ke barat. Akhirnya berdiri pula sederetan toko darurat di bahagian atas dari Pasar Bawah di dekat pelabuhan itu.

Orang-orang menyebutnya dengan Pasar Tengah. Disinilah pedagang-pedagang itu membuka toko. Menjual beras, sayur-sayuran dan menukarnya dengan karet.

Karet mereka jual pada kapal-kapal yang berlayar ke Kepulauan Riau untuk kemudian dijual ke Malaya dan Singapura. Kota ini udaranya terasa panas. Apalagi si Bungsu yang baru saja datang dari Bukittinggi.



Perbedaan udara terasa sekali. Namun dia merasa tenteram di kota ini. Disini tak ada orang yang mengenalnya. Dia bebas kemana-mana. Perjalanannya dengan truk dari Payakumbuh dahulu ternyata tak semudah dan secepatnya yang dia bayangkan. Disangkanya bisa dalam dua hari.Ternyata dia baru sampai setelah menelan waktu sepekan!.

Bayangkan, untuk menempuh jarak yang lebih kurang 200 km dari Payakumbuh itu dibutuhkan waktu sepekan! Berkali-kali truk gaek itu patah per. Berkali-kali bannya pecah. Berkali-kali truk itu terpuruk kedalam lobang jalan yang dalamnya sedalam Ngarai Sianok! Bah! Benar-benar perjalanan kalera!.

Dan ketika sampai ke Pekan Baru, semua sayur yang dibawa pedagang sudah jadi bubur. Yang selamat hanyalah beras dan bawang. Lain daripada itu luluh lantak semua.

Dan karena terlambat itu, si Bungsu telah ketinggalan kapal.



“Sudah lama berangkat kapal itu?” tanyanya pada seorang tua di pelabuhan.

“Maksudmu Kapal Suto Maru ke Singapura?” orang tua itu balik bertanya.

“Ya. Suto Maru itu..”

“Baru kemaren. Seharusnya lima hari yang lalu. Tapi karena kerusakan mesin, baru kemaren sore dia berangkat…’ Si Bungsu terterangah.

“Kemaren sore…”

“Ya. Kemaren..”

“Jam berapa?”

“Kalau tidak salah jam lima…”



Si Bungsu mengucap-ngucap kecil dalam hatinya. Kemaren sore jam tiga dia sudah sampai di Simpang Tiga. Celakanya truk tua itu rusak lagi disana. Tali kipasnya putus. Kaburatornya bocor. Dan mereka menanti sampai malam. Baru malam tadi dia masuk kota. Padahal jaraknya antara Simpang Tiga dengan kota ini hanya sembilan kilometer! Memang belum nasibnya untuk bisa berangkat.

Tapi kalaupun dia datang sore kemaren, dia akan susah jua. Sebab dia tak punya paspor. Nah, hari-hari tak ada kapal ini dia pergunakan untuk mengurus paspor. Dengan memberikan uang lebih banyak, paspornya cepat saja keluar.

Dalam keterangan dalam paspor itu disebutkan bahwa dia anak kapal. Dan pemberian paspor saat itu tak bertele-tele. Tak banyak berbelit-belit.



Untuk memudahkan mengetahui bila ada kapal ke Singapura atau ke Jepang yang datang, dia lalu menginap di sebuah penginapan kecil dekat pelabuhan itu.

Penginapan itu dua tingkat. Bangunannya terbuat dari papan. Bahagian atas untuk penginapan. Bahagian bawah rumah makan. Kalau akan mandi cukup menyeberangi jalan kecil di depan penginapan itu maka akan sampailah di Sungai Siak. Mandi mencebur saja di sungai itu.

Sungai itu airnya berwarna merah, airnya bagus untuk memasak atau diminum. Dan mencuci kain tak ada pengaruhnya. Artinya kain tak ikut menjadi merah karena warna air tersebut.

Sebagaimana jamaknya sebuah pelabuhan, kota itu menjadi persinggahan banyak orang. Tempat pertemuan banyak suku bangsa. Di penginapan kecil tempat si Bungsu menginap itu juga menginap berbagai suku.



Di kamar sebelahnya menginap dua orang Tapanuli. Di kamar depannya menginap orang Jawa. Dan bahkan di kamar depan sekali, yaitu kamar besar yang menghadap ke Sungai Siak, menginap dua orang asing. Mungkin orang Amerika. Yang satu lelaki, yang satu perempuan. Mereka kabarnya akan terus ke Kerajaan Siak Sri Indrapura jauh di hilir kota Pekanbaru ini. Mereka akan mengadakan penelitian sejarah.

Keduanya belum begitu berumur. Mungkin sekitar tiga puluh lima umurnya. Tapi yang perempuan bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik. Kemana-mana mereka membawa alat pemotret.



Yang orang Tapanuli kabarnya beberapa kali kerja di kapal. Kini mereka tengah menunggu kapal lain untuk melamar pekerjaan. Mereka sudah bosan bekerja di kapal kecil yang ke Kepulauan Riau. Mereka ingin bekerja di kapal besar yang trayeknya ke luar negeri.

Sementara yang orang Jawa kabarnya adalah mantri kebun kelapa sawit. Mereka datang kemari untuk mengadakan penelitian terhadap peremajaan kebun-kebun kelapa sawit. Hanya malangnya tak diketahui kenapa mereka sampai ke Pekanbaru.

Di kota ini yang mereka jumpai hanya kebun karet. Tak sepohonpun kelapa sawit. Kabarnya mereka menanti kapal untuk membawa mereka kehilir. Menurut kabarnya pula di hilir kota ini, yaitu di Okura ada perkebunan kelapa sawit. Kesanalah mereka akan pergi.

Yang tak habis dimengerti oleh si Bungsu adalah, kenapa mereka bisa berangkat dengan meraba-raba begitu. Kalau mereka pegawai negeri, kenapa tak ada petunjuk yang pasti?

Tapi itu urusan mereka, pikirnya.



Sementara penginap-penginap lainnya umumnya orang Minang, pekerjaan mereka berbagai ragam. Siang hari dia lihat ada yang berjalan hilir mudik. Mencari barang yang patut dibeli dengan harga murah. Kemudian dijual dengan harga mahal. Tak peduli apa barangnya.

Ada juga pedagang-pedagang yang menanti kapal untuk berlayar ke Kepulauan Riau. Pedagang-pedagang ini sudah mempunyai bekal yang cukup. Ada yang membawa tembaga, aluminium, ada pula yang membawa kain batik. Kabarnya barang-barang seperti itu amat laris di Kepulauan Riau atau di Malaya.

Sementara ada pula yang malam-malam hari menggelar tikar dihalaman penginapan. Memasang lampu, kemudian meniup salung. Yang satu lagi berdendang. Nah, kegiatan mereka inilah yang banyak menarik peminat. Hampir tiap malam halaman penginapan itu penuh oleh pengunjung yang ingin mendengarkan Saluang tersebut. Sudah tentu semuanya orang Minang.



Mereka pada melemparkan uang ke atas tikar meminta lagu-lagu yang mereka sukai. Malam itu terang bulan. Di bawah kelihatan ramai sekali. Si Bungsu tak ikut turun. Dia hanya melihat dari jendela kamarnya yang kebetulan menghadap ke jalan.

Pada akhir bait-bait pantun selalu terdengar pekik sorak orang. Dan dari jendela si Bungsu melihat orang Amerika itu asik memotret-motret dengan tustelnya. Lampu pijarnya menyala-nyala. Setiap kali habis memotret, dia menukar lampunya yang telah hangus itu dengan yang baru.

Tapi si Bungsu hanya melihat yang lelaki. Sementara perempuannya yang bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik itu tak kelihatan.



Anak muda ini sudah berniat untuk takkan menjatuhkan tangan kejam kepada orang. Sejak dia meninggalkan rumah Kari Basa di Bukittinggi, dia telah berniat demikian.

Ketika terjadi peristiwa dengan Datuk Hitam di Kedai dekat stasiun kereta api Payakumbuh itupun sebenarnya dia tak berniat untuk mencari huru hara.

Apalagi saat itu dia merasa berada di kampung halamannya. Dia tak sampai hati mencelakakan orang kampungnya sendiri.

Namun ada pendapat orang-orang tua, bahwa bagi seorang pemelihara “orang halus” meskipun dia telah berniat untuk tak lagi berhubungan, akan tetap ada kekuatan lain yang suatu saat memaksanya untuk berhubungan lagi dengan peliharaannya.

Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang mempunyai “harimau” untuk menjaga dirinya. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan si Bungsu. Meskipun dia telah berniat untuk tidak terlibat dalam perkelahian, tapi “himbauan” samurai itu mempunyai kekuatan sendiri.

Kekuatan itu terkadang datangnya tanpa dapat dicegah. Jika tidak dikehendaki oleh pemiliknya maka orang lainlah yang menghendaki.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 053

No comments:

Post a Comment