“Maaf, saya
rasa anaknya hanya dua orang. Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama
Renobulan…”
“Ya. Datuk
Maruhun itulah ayah saya…”
“Tapi…”
“Ayah berbini
dua. Ibu Kak Reno adalah istrinya yang tua. Ibu saya istrinya yang kedua. Ayah
menikah dengan ibu ketika berdagang ke Tanjung Pinang. Sejak Jepang masuk ayah
tak pernah lagi datang ke Pinang. Kini kami datang untuk mencarinya. Apakah
beliau ada sehat-sehat…?
Si Bungsu
terdiam. Dikepalanya terbayang lagi masa lalunya di kampung Situjuh Ladang
Laweh itu. Terbayang betapa suatu malam dia tertangkap ketika mengintai orang
sedang latihan silat. Yang sedang latihan adalah Datuk Maruhun dan anak
buahnya. Datuk Maruhun adalah wakil ayahnya. Wakil ayahnya sebagai guru silat.
Dia sedang mengintai ketika Jepang datang menangkapnya.
Dan beberapa
murid Datuk Maruhun terbunuh malam itu oleh Jepang. Dan Datuk Maruhun menyangka
dia yang memberitahu Jepang tempat latihan itu. Dia dituduh membocorkan tempat
latihan itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.
“Apakah ayah
masih hidup?” tiba-tiba si Bungsu kembali dikagetkan oleh pertanyaan perempuan
muda didepannya.
“Saya tak tahu
dengan pasti upik. Suatu malam dia ditangkap oleh Jepang. Rencananya akan
dikirim ke Logas untuk kerja paksa. Tapi sebulan kemudian dia lolos bersama
tiga orang temannya setelah membunuh dua orang tentara jepang yang menjaganya.
Mereka pulang
ke kampung dimalam buta. Kemudian membawa istri dan anak-anaknya pergi
melarikan diri. Sejak saat itu saya tak lagi mendengar dimana beliau. Tapi kini
mungkin sudah di kampung. Kalau tidak ada di sana, carilah anaknya. Anaknya
yang tua, yang bernama Mukhtar kini menjadi anggota Gyugun di Padang.
Pangkatnya kalau tidak salah Gun Syo (Sersan satu). Dari dia barangkali engkau
dapat tahu di mana beliau..”
“Abang juga tak
tahu di mana Kak Renobulan?” si Bungsu menggeleng. Perempuan itu menarik nafas.
Wajahnya murung. Kemudian berkata perlahan…:
“Dahulu, dari
seorang pedagang yang datang dari kampung, kami dengar Kak Reno akan menikah.
Tunangannya seorang anak muda gagah tapi pejudi. Kabarnya ayah tak menyukai
pertunangan itu. Tapi Kak Reno sendiri kabarnya mencintai anak muda itu sepenuh
hatinya… hanya itu yang sempat saya dengar di Pinang. Apakah tak mungkin dia
telah menikah dengan tunangannya itu…?”
Perempuan muda
itu menatap pada si Bungsu. Si Bungsu jadi pucat.
Tapi dia yakin
perempuan itu memang bertanya dengan jujur. Tidak mempunyai prasangka apa-apa.
Makanya dia mencoba menguasai diri.
“Tidak. Saya
rasa mereka tak jadi menikah…” jawab si Bungsu cepat. Perempuan itu kembali
menarik nafas.
“Darimana Abang
tahu bahwa mereka tak menikah. Apakah Abang mengenali tunangan Kak Reno?” si
Bungsu kembali jadi pucat. Namun sebisa-bisanya dia menjawab juga.
“Ya. Ya. Saya
kenal padanya. Kami sama-sama pejudi. Dan teman saya itu seingat saya belum
pernah menikah…”
“Dimana
tunangannya itu kini, apa kerjanya…?”
“Ah,
tunangannya itu memang seorang lelaki pejudi. Mujur Renobulan tak jadi menikah
dengannya. Kini dia kabarnya jadi luntang-lantung diburu-buru karena pernah
membunuh orang….”
Si Bungsu
menjawab pasti dengan mimik muka ikut membenci “tunangan” Renobulan itu.
“Kasihan kak
Reno. Kabarnya mereka sama-sama mencintai. Dan yang pasti, kabarnya ka Renolah
yang sangat mencintai tunangannya itu.” Si Bungsu menghirup kopinya. Kopi manis
itu tiba-tiba terasa pahit ditenggorokkannya.
Diluar stokar
truk itu memperbaiki terus per yang patah dan membuka ban yang bocor.
Memberikannya ke tukang tambal. Jalan Payakumbuh ke Pekan Baru adalah jalan
parah. Jalan menembus hutan rimba. Mendaki gunung dan menuruni lembah. Itulah
jalan yang akan mereka tempuh sebentar lagi.
Kota Pekan Baru
yang disebut-sebut sebagai dagang baru yang ramai disinggahi pedagang dari
Minangkabau itu ternyata hanya sebuah kampung yang tak lebih besar dari
Payakumbuh.
Malah dalam
beberapa hal Payakumbuh lebih bagus. Jalannya sudah diaspal. Sementara
Pekanbaru umumnya jalannya masih tanah. Di Payakumbuh sudah banyak rumah-rumah
gedung yang bagus. Sementara di Pekan Baru hanya rumah papan.
Yang ramai hanyalah
sekitar Pasar Bawah dan dekat Sungai Siak dimana terdapat sebuah pelabuhan
kecil. Karena pelabuhan inilah rupanya kota kecil itu jadi ramai.
Orang banyak
berdagang ke Kepulauan Riau yang mata uangnya sama dengan mata uang Malaya dan
Singapura. Yaitu mata uang dolar. Sebahagian besar dari kampung yang disebut
kota itu terdiri dari kebun getah dan rawa-rawa. Dibahagian kehulu pelabuhan
ada sebuah mesjid yang indah. Mesjid Raya yang dibangun Sultan Siak Sri
Indrapura. Di sekitar mesjid ini kampungnya bolehlah sedikit. Bersih dan
teratur.
Tapi jauh dari
situ, di dalam hutan-hutan karet yang terurus itu, masih sering orang diterkam
harimau. Jauh arah ke barat, ada sebuah lapangan terbang darurat yang dulu
dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lapangan itu tak bernama. Terletak di
kampung kecil yang berpenduduk sekitar seratus orang. Kampung itu bernama
Simpang Tiga.
Tak ada yang
baru di kota itu nampaknya. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi anehnya,
orang-orang dari Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh
banyak yang pindah kemari.
Mereka membuat
rumah-rumah papan disepanjang pinggir jalan di Pasar Bawah. Pasar itu makin
lama makin lebar ke barat. Akhirnya berdiri pula sederetan toko darurat di
bahagian atas dari Pasar Bawah di dekat pelabuhan itu.
Orang-orang
menyebutnya dengan Pasar Tengah. Disinilah pedagang-pedagang itu membuka toko.
Menjual beras, sayur-sayuran dan menukarnya dengan karet.
Karet mereka
jual pada kapal-kapal yang berlayar ke Kepulauan Riau untuk kemudian dijual ke Malaya
dan Singapura. Kota ini udaranya terasa panas. Apalagi si Bungsu yang baru saja
datang dari Bukittinggi.
Perbedaan udara
terasa sekali. Namun dia merasa tenteram di kota ini. Disini tak ada orang yang
mengenalnya. Dia bebas kemana-mana. Perjalanannya dengan truk dari Payakumbuh
dahulu ternyata tak semudah dan secepatnya yang dia bayangkan. Disangkanya bisa
dalam dua hari.Ternyata dia baru sampai setelah menelan waktu sepekan!.
Bayangkan,
untuk menempuh jarak yang lebih kurang 200 km dari Payakumbuh itu dibutuhkan
waktu sepekan! Berkali-kali truk gaek itu patah per. Berkali-kali bannya pecah.
Berkali-kali truk itu terpuruk kedalam lobang jalan yang dalamnya sedalam
Ngarai Sianok! Bah! Benar-benar perjalanan kalera!.
Dan ketika
sampai ke Pekan Baru, semua sayur yang dibawa pedagang sudah jadi bubur. Yang
selamat hanyalah beras dan bawang. Lain daripada itu luluh lantak semua.
Dan karena
terlambat itu, si Bungsu telah ketinggalan kapal.
“Sudah lama
berangkat kapal itu?” tanyanya pada seorang tua di pelabuhan.
“Maksudmu Kapal
Suto Maru ke Singapura?” orang tua itu balik bertanya.
“Ya. Suto Maru
itu..”
“Baru kemaren.
Seharusnya lima hari yang lalu. Tapi karena kerusakan mesin, baru kemaren sore
dia berangkat…’ Si Bungsu terterangah.
“Kemaren sore…”
“Ya. Kemaren..”
“Jam berapa?”
“Kalau tidak
salah jam lima…”
Si Bungsu
mengucap-ngucap kecil dalam hatinya. Kemaren sore jam tiga dia sudah sampai di
Simpang Tiga. Celakanya truk tua itu rusak lagi disana. Tali kipasnya putus.
Kaburatornya bocor. Dan mereka menanti sampai malam. Baru malam tadi dia masuk
kota. Padahal jaraknya antara Simpang Tiga dengan kota ini hanya sembilan
kilometer! Memang belum nasibnya untuk bisa berangkat.
Tapi kalaupun
dia datang sore kemaren, dia akan susah jua. Sebab dia tak punya paspor. Nah,
hari-hari tak ada kapal ini dia pergunakan untuk mengurus paspor. Dengan
memberikan uang lebih banyak, paspornya cepat saja keluar.
Dalam
keterangan dalam paspor itu disebutkan bahwa dia anak kapal. Dan pemberian
paspor saat itu tak bertele-tele. Tak banyak berbelit-belit.
Untuk
memudahkan mengetahui bila ada kapal ke Singapura atau ke Jepang yang datang,
dia lalu menginap di sebuah penginapan kecil dekat pelabuhan itu.
Penginapan itu
dua tingkat. Bangunannya terbuat dari papan. Bahagian atas untuk penginapan.
Bahagian bawah rumah makan. Kalau akan mandi cukup menyeberangi jalan kecil di
depan penginapan itu maka akan sampailah di Sungai Siak. Mandi mencebur saja di
sungai itu.
Sungai itu
airnya berwarna merah, airnya bagus untuk memasak atau diminum. Dan mencuci
kain tak ada pengaruhnya. Artinya kain tak ikut menjadi merah karena warna air
tersebut.
Sebagaimana
jamaknya sebuah pelabuhan, kota itu menjadi persinggahan banyak orang. Tempat
pertemuan banyak suku bangsa. Di penginapan kecil tempat si Bungsu menginap itu
juga menginap berbagai suku.
Di kamar
sebelahnya menginap dua orang Tapanuli. Di kamar depannya menginap orang Jawa.
Dan bahkan di kamar depan sekali, yaitu kamar besar yang menghadap ke Sungai
Siak, menginap dua orang asing. Mungkin orang Amerika. Yang satu lelaki, yang
satu perempuan. Mereka kabarnya akan terus ke Kerajaan Siak Sri Indrapura jauh
di hilir kota Pekanbaru ini. Mereka akan mengadakan penelitian sejarah.
Keduanya belum
begitu berumur. Mungkin sekitar tiga puluh lima umurnya. Tapi yang perempuan
bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik. Kemana-mana mereka membawa alat
pemotret.
Yang orang
Tapanuli kabarnya beberapa kali kerja di kapal. Kini mereka tengah menunggu
kapal lain untuk melamar pekerjaan. Mereka sudah bosan bekerja di kapal kecil
yang ke Kepulauan Riau. Mereka ingin bekerja di kapal besar yang trayeknya ke
luar negeri.
Sementara yang
orang Jawa kabarnya adalah mantri kebun kelapa sawit. Mereka datang kemari
untuk mengadakan penelitian terhadap peremajaan kebun-kebun kelapa sawit. Hanya
malangnya tak diketahui kenapa mereka sampai ke Pekanbaru.
Di kota ini
yang mereka jumpai hanya kebun karet. Tak sepohonpun kelapa sawit. Kabarnya
mereka menanti kapal untuk membawa mereka kehilir. Menurut kabarnya pula di
hilir kota ini, yaitu di Okura ada perkebunan kelapa sawit. Kesanalah mereka
akan pergi.
Yang tak habis
dimengerti oleh si Bungsu adalah, kenapa mereka bisa berangkat dengan
meraba-raba begitu. Kalau mereka pegawai negeri, kenapa tak ada petunjuk yang
pasti?
Tapi itu urusan
mereka, pikirnya.
Sementara
penginap-penginap lainnya umumnya orang Minang, pekerjaan mereka berbagai
ragam. Siang hari dia lihat ada yang berjalan hilir mudik. Mencari barang yang
patut dibeli dengan harga murah. Kemudian dijual dengan harga mahal. Tak peduli
apa barangnya.
Ada juga
pedagang-pedagang yang menanti kapal untuk berlayar ke Kepulauan Riau.
Pedagang-pedagang ini sudah mempunyai bekal yang cukup. Ada yang membawa
tembaga, aluminium, ada pula yang membawa kain batik. Kabarnya barang-barang
seperti itu amat laris di Kepulauan Riau atau di Malaya.
Sementara ada
pula yang malam-malam hari menggelar tikar dihalaman penginapan. Memasang
lampu, kemudian meniup salung. Yang satu lagi berdendang. Nah, kegiatan mereka
inilah yang banyak menarik peminat. Hampir tiap malam halaman penginapan itu
penuh oleh pengunjung yang ingin mendengarkan Saluang tersebut. Sudah tentu
semuanya orang Minang.
Mereka pada
melemparkan uang ke atas tikar meminta lagu-lagu yang mereka sukai. Malam itu
terang bulan. Di bawah kelihatan ramai sekali. Si Bungsu tak ikut turun. Dia
hanya melihat dari jendela kamarnya yang kebetulan menghadap ke jalan.
Pada akhir
bait-bait pantun selalu terdengar pekik sorak orang. Dan dari jendela si Bungsu
melihat orang Amerika itu asik memotret-motret dengan tustelnya. Lampu pijarnya
menyala-nyala. Setiap kali habis memotret, dia menukar lampunya yang telah
hangus itu dengan yang baru.
Tapi si Bungsu
hanya melihat yang lelaki. Sementara perempuannya yang bertubuh menggiurkan dan
berwajah cantik itu tak kelihatan.
Anak muda ini
sudah berniat untuk takkan menjatuhkan tangan kejam kepada orang. Sejak dia
meninggalkan rumah Kari Basa di Bukittinggi, dia telah berniat demikian.
Ketika terjadi
peristiwa dengan Datuk Hitam di Kedai dekat stasiun kereta api Payakumbuh
itupun sebenarnya dia tak berniat untuk mencari huru hara.
Apalagi saat
itu dia merasa berada di kampung halamannya. Dia tak sampai hati mencelakakan
orang kampungnya sendiri.
Namun ada
pendapat orang-orang tua, bahwa bagi seorang pemelihara “orang halus” meskipun
dia telah berniat untuk tak lagi berhubungan, akan tetap ada kekuatan lain yang
suatu saat memaksanya untuk berhubungan lagi dengan peliharaannya.
Hal yang sama
juga terjadi pada orang-orang yang mempunyai “harimau” untuk menjaga dirinya.
Hal-hal seperti ini banyak terjadi di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan
si Bungsu. Meskipun dia telah berniat untuk tidak terlibat dalam perkelahian,
tapi “himbauan” samurai itu mempunyai kekuatan sendiri.
Kekuatan itu
terkadang datangnya tanpa dapat dicegah. Jika tidak dikehendaki oleh pemiliknya
maka orang lainlah yang menghendaki.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 053
No comments:
Post a Comment