Bilal membalik
dan baru saja akan balas bicara ketika tiba-tiba ibu anak tersebut memekik dan
menghambur ke arah anaknya.
“Biarkan dia,
jangan dekati…..!” Bilal coba mengingatkan perempuan itu. Namun perempuan itu
mana mau anaknya terancam bahaya. Sambil memekik dia terus memburu kopral itu.
“Jangan dekati
ke sanaaa!!” Bilal berteriak lagi sementara tangannya tetap mengunci leher
leutenant itu.
Tapi perempuan
itu tak peduli. Dia memegang tangan anaknya. Dan kini dia saling tarik dengan
kopral KNIL itu.
“Lepaskan
anakku! Lepaskan anakkuuu!!” pekiknya sambil menolong-nolong.
“Anjing pigi
kowe! Pigi kowe sana!!” kopral itu membentak.
Dan suatu saat,
kakinya terangkat. Sepatu larasnya yang berpaku menerjang perempuan tersebut.
Perempuan itu tercampak. Dadanya kena hantam. Dia muntah darah. Dan tergolek
diam di tanah!
Keadaan kembali
tegang. Empat serdadu Belanda yang lain tetap saja tak bisa berbuat apa-apa.
Sebab mereka melihat betapa ujung pisau Bilal tetap saja menancap di dada
komandan mereka.
“Ayola lepaskan
Leutenant!!” kopral KNIL itu membentak lagi.
Namun Bilal
segera dapat menguasai kekagetannya.
“Kau
perintahkan semuanya melemparkan bedil letnant!” Dia mendesis dipangkal telinga
leutenant itu.
Dan ketika
letnan itu masih berdiam diri, dia menekankan lagi ujung pisaunya.
“Perintahkan
mereka melemparkan senjatanya!!”.
Namun tiba-tiba
saja tanpa disengaja sedikitpun, mungkin karena gugup, senjata ditangan kopral
yang mengancam gadis kecil itu meledak. Dan bencana tak dapat dihindarkan.
Kepala gadis itu rengkah dan dia mati tanpa memekik sedikitpun. Semua jadi
kaget. Semua seperti dipakukan ke tanah. Bilal lah yang pertama mengadakan
reaksi.
“Anjiiing!
Kubunuh kalian!! Kubunuuuuuuh!” dan dia memang membuktikan ucapannya.
Dia memang tak
main-main. Dia memang sia dengan segala kemungkinan. Dia memang kental hatinya.
Kental darah pejuangnya. Dia menekankan pisaunya hingga membenam seluruh ke
dada leutenant itu. Seluruhnya terbenam. Leutenant itu memekik dan
meronta-ronta mengelak dari renggutan maut. Namun pisau beracun itu sebenarnya
sudah sejak tadi beraksi di tubuhnya. Pisau itu begitu ditekankan begitu
menghujam ke jantungnya. Dan dengan mata mendelik, dia tercampak di tanah.
Kembali semua orang jadi tertegun. Kaget dan ngeri. Tentara-tentara Belanda
yang lima orang itu juga ternganga. Tertegak kaget. Tertegak ngeri.
Namun hanya
sebentar. Dan setelah itu mautpun menyeringai serta merenggut nyawa di sekitar
pasar itu. Yang pertama beraksi adalah sergeant. Bedil di tangannya menyalak.
Yang dia tuju adalah Bilal. Tapi pesilat itu sudah lebih dahulu arif. Dia cepat
bergulingan di tanah. Dia terhindar dari terkaman maut. Tapi orang yang berada
di belakangnya, yaitu seorang lelaki petani justru jadi korban. Lelaki itu
terpekik dan terpental lalu roboh dan mati.
Dan setelah itu
tak lagi diketahui siapa-siapa yang terkena tembak. Sebab letusan telah
membahana. Si Bungsu hanya bisa bergerak menurut firasatnya saja. Tubuhnya
bergulingan, dan begitu tegak, samurainya bekerja. Kopral yang menembak mati
gadis kecil itu jadi korban pertama mata samurainya. Tangan kopral yang
memegang bedil itu putus hingga lengan dekat bahu.
Kemudian
samurai si Bungsu berkelabat lagi. Dan kaki Belanda itu putus. Cukup sekian. Si
Bungsu membiarkan Belanda itu memekik-mekik tanpa tangan kanan dan tanpa kaki
kiri!
Sebuah desingan
dan rasa panas menyambar pelipisnya. Dia menjatuhkan diri. Bergulingan kekanan
menurut arah peluru tadi datang. Kemudian sambil bangkit, samurainya bekerja.
Sergeant yang
tadi menembak, terkena makan mata samurainya. Perut sergeant itu belah. Dan
tubuhnya menggelepar-gelepar lalu diam. Lalu mati! Dan suasana tiba-tiba juga
diam! Si Bungsu menyisipkan samurainya. Memandang keliling. Keenam serdadu Belanda
itu telah tergeletak. Lima diantaranya mati! Dua orang mati di tangan si
Bungsu. Yang lain disudahi oleh Bilal dan enam orang lelaki yang menyerang
memakai pisau, parang dan golok!
Tiba-tiba semua
mata memandang pada tubuh kopral KNIL yang masih tergolek dan meraung-raung
itu. Mereka beranjak dari tempat masing-masing. Mendekati tubuh kopral itu.
Membuat lingkaran mengitarinya.
Dan tiba-tiba
seorang lelaki menyeruak. Dia masuk ke tengah memangku mayat gadis kecil yang
tadi ditembak si Kopral. Dia adalah ayah gadis itu. Semua pada diam menatapnya.
Dia tidak anggota fisabilillah. Dia hanya seorang petani biasa. Tapi tadi dia
telah ikut menghujamkan pisaunya ke dada dua orang Belanda. Dan kini dia tegak
dengan kaki terkangkang memangku mayat anaknya. Menatap pada tentara Belanda
yang telah membunuh putrinya itu. KNIL itu tiba-tiba terdiam pula dari raung
kesakitannya. Dia menatap dengan mata terbuka lebar pada lelaki yang memangku
gadis kecil itu. Dia segera mengenali gadis berambut hitam lebat itu. Gadis
yang dia bunuh tadi.
“Mengapa kau
bunuh dia?” lelaki itu bertanya.
Suaranya
perlahan. Aneh. Pertanyaan yang jujur dari seorang lelaki jujur dan bodoh.
Lelaki kampung yang tak tahu menahu dengan peperangan atau politik.
“Mengapa kau
bunuh anakku, padahal dia tak pernah menyakitimu? Kami tak pernah menyakiti
kalian. Kenapa kau bunuh anakku, kau sakiti istriku?”
Suara lelaki
itu terdengar serak. Dia tatap tentara KNIL itu tepat-tepat. Dan KNIL itu
tiba-tiba seperti kehilangan seluruh rasa sakit di lengan dan di kakinya yang
putus.
Dia merasa
heran, merasa takjub dan sekaligus juga merasa luluh atas pertanyaan yang lugu
dan polos itu. Dan isteri lelaki itu, yang tadi kena tendang berdiri di samping
suaminya. Menangis melihat mayat anaknya. Dan tiba-tiba lelaki itu melangkah
lewat di sisi KNIL itu, melangkah terus memangku anaknya.
“Ampunkan
saya…ampunkan saya pak…” KNIL itu bermohon.
Sementara air
mata penyesalan mengalir di pipinya. Namun lelaki itu seperti tak mendengar
ucapannya. Dia melangkah terus bersama istrinya. Membawa mayat anaknya.
“Ampunkan
saya…” KNIL itu bermohon. Dia benar-benar merasa amat berdosa.
Dan dia merasa
tersiksa atas perlakuan lelaki pribumi yang tak mau membalas sakit hatinya.
Kenapa lelaki itu hanya bertanya, kemudian pergi? Kenapa dia tak menikamnya
saja?
Dan akhirnya
KNIL itu menangis terisak-isak.
“Bunuhlah saya…
bunuhlah saya. Saya tak layak untuk diampuni. Bunuhlah saya…bunuhlah saya….!”
Dia bermohon pada penduduk yang mengitarinya.
Namun semua
penduduk hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Kemudian satu demi satu
mengurusi mayat teman-temannya yang mati kena tembakan tadi. Yang perempuan
menangisi suaminya yang mati. Demikian pula kanak-kanak menangisi mayat ayahnya
atau ibunya.
Dalam
perkelahian yang singkat itu, selain kelima tentara Belanda yang mati itu,
ternyata ada enam penduduk yang meninggal. Empat orang lelaki dewasa, seorang
perempuan dan seorang anak-anak. Kemudian satu demi satu mayat-mayat itu mereka
angkut ke rumah masing-masing. Dan kini di lapangan bekas Pasar Jumat itu hanya
ada enam tubuh tentara Belanda. Lima diantaranya sudah jadi mayat, yang satu
lagi menatap ke sekitarnya dengan perasaan tak menentu. Dia adalah tentara KNIL
yang menembak anak ibu yang tangan dan kakinya dibabat si Bungsu. Dia menoleh
keliling. Dan matanya berpapasan dengan tatapan mata si Bungsu. Dia menatap
pada samurai di tangan anak muda itu.
“Tolonglah
saya. Bunuhlah saya. Jangan biarkan saya menderita seperti ini…” mohonnya.
Si Bungsu
menatapnya dengan tenang. Dia teringat pada nasib seorang Datuk penyamun yang
nasibnya juga sama dengan KNIL ini. Yaitu ketika Datuk itu bersama temannya
datang ke Penginapan kecil di Aur Tajungkang untuk membalas dendam padanya.
Kemudian menista Mei-mei. Datuk itu dia babat kedua tangan dan kedua kakinya. Kemudian
dia tinggalkan berguling mengerang dan memohon-mohon untuk dibunuh di lantai
penginapan dan demikian pulalah yang dialami KNIL ini. Dia lebih suka mati
daripada menanggung malu tak bertangan dan tak berkaki. Si Bungsu sebenarnya
memang ingin membunuh KNIL jahanam ini. Tapi dia ingin memberi pelajaran atas
pembunuhan yang telah berkali-kali dilakukan si KNIL tersebut.
“Tolong
bunuhlah saya…” KNIL itu memohon lagi.
“Bukan urusan
saya. Orang kampung ini akan menentukan nasibmu. Engkau datang ke kampung ini
membawa bedil, membunuh kanak-kanak. Menembaki perempuan dan lelaki yang tak
berdosa. Bukankah penduduk di kampung ini tak pernah menyakiti kalian? Kenapa
hari ini kalian datang membunuhi mereka”
KNIL itu tak
bisa bicara. Sementara itu, pedagang-pedagang selesai mengumpulkan jualan yang
tertambat di tepian batang Kampar itu. Lalu tanpa bicara ba atau bu, mereka
segera membuka tambatan sampan.
“Harap jangan
terdengar oleh Belanda di Teratak Buluh atas peristiwa yang terjadi di sini.
Katakan saja bahwa kalian tak pernah bertemu dengan Belanda di kampung ini…”
Bilal berseru
dari tebing kepada pedagang-pedagang itu. Sebab kalau sempat saja peristiwa ini
bocor, maka dia sudah bisa meramalkan bahwa akan ke kampung ini seluruh pasukan
Belanda untuk membunuhi mereka. Para pedagang itu tak ada yang menyahut.
“Kalau ternyata
peristiwa ini bocor, maka ingatlah, kami akan mencegat kalian bila hilir ke
Langgam. Dan kita akan bermusuhan sepanjang zaman….!” Bilal berseru lagi.
Sumpahnya ini
membuat bulu tengkuk pedagang-pedagang yang akan berkayuh itu pada merinding.
Kalau penduduk kampung ini memang bermusuhan dengan mereka sepanjang zaman itu
berarti sepanjang zaman pula mereka tak dapat melayari sungai ini! Dan itu
berarti mereka kehabisan mata pencaharian pula. Sebab satu-satunya tempat
berjualan yang menghasilkan uang adalah ke Teratak Buluh. Dan bila dagangan di sana
habis, mereka bisa jalan darat membeli dagangan baru ke Pekanbaru.
“Percayalah
Bilal, dari kami takkan pernah terbuka rahasia ini. Kami bangga pada kalian,
yang telah berani melawan dan membunuhi penjajah…” Pimpinan dari
pedagang-pedagang itu berseru pula.
Dan mereka lalu
berkayuh ke hulu satu demi satu. Ada dua belas sampan dan tongkang pedagang
itu. Bergerak seperti siput merangkak pada arus sungai Kampar ke arah hulu.
Bilal menatap
sampan itu bergerak. Setelah jauh, dia membalik. Menghadap pada kopral KNIL
yang masih terbaring itu. Sementara penduduk kampung yang lain, atas petunjuk
Suman mengangkati mayat-mayat Belanda yang lain ke arah perkampungan.
Bilal melangkah
mendekati KNIL itu.
“Kami takkan
membunuhmu. Kematian merupakan hal yang terlalu enak bagimu. Tapi engkau akan
tetap mati kehabisan darah”
Bilal mencabut
pisau yang tadi dia tikamkan ke dada leutenant. Melemparkan hingga tertancap
disisi tubuh KNBIL itu.
“Engkau boleh
pilih, mati secara perlahan di sini atau bunuh diri dengan pisau itu…”
Dan Bilal
memberi isyarat pada si Bungsu untuk meninggalkan tempat tersebut! Bungsu
melangkah mengikuti Bilal ke arah mayat-mayat Belanda tadi diangkuti. Namun
beberapa langkah mereka berjalan, KNIL tadi terdengar mengeluh. Mereka menoleh,
dan melihat betapa pisau yang diberikan Bilal tadi telah menancap di dadanya.
KNIL itu ternyata lebih suka bunuh diri daripada tetap dibiarkan terguling tak
berdaya di sana. Dia lebih suka mempercepat kematiannya daripada harus menunggu
maut merangkak secara perlahan menyakiti nyawa dan jasadnya.
“Dia memilih
jalan singkat….” Bilal berkata.
Bungsu hanya
menatap. Bilal menyuruh dua orang penduduk untuk mengangkat mayat KNIL itu.
“Bersihkan
bekas-bekas darah di tanah! Dan Asir…kau biasa membawa motor tempel. Bawa motor
tempel Belanda itu ke Danau Baru. Tenggelamkan disana…”
Orang-orang
yang disuruh itu melaksanakan tugas mereka. Dan Bilal membawa si Bungsu ke arah
mayat-mayat Belanda itu diangkuti. Mayat-mayat itu teranyata diangkuti ke
belakang kampung. Ke hutan belantara yang masih perawan.
Kaum lelaki
berkumpul di sana. Menanti Bilal dan si Bungsu. Semua mereka menoleh pada Bilal
dan si Bungsu yang baru muncul. Menatap dengan diam. Guruh tiba-tiba menderam
di angkasa. Bilal berhenti, demikian pula si Bungsu. Para lelaki melirik ke
samurai yang terpegang di tangan kanan si Bungsu.
Dari cerita
yang pernah mereka dengar, anak muda ini mahir dan amat cepat dengan samurai
Jepang itu. Tapi di pasar Jumat tadi, beberapa orang sempat melihatnya. Itupun
secara tak pasti. Sebab hampir semua mereka terlibat dalam perkelahian yang
hanya sebentar.
Hanya saja,
dari mayat-mayat yang mereka bawa ini, ada dua orang tentara Belanda yang belah
perut dan dadanya. Dan itu pasti termakan samurai. Jadi dengan kopral yang
putus kaki dan tangan kanannya itu, ada tiga serdadu Belanda yang dibabat
samurai tersebut.
Hanya itu
sebagai bukti bagi penduduk bahwa anak muda ini memang cepat dengan samurainya.
Hanya sayangnya tak seorangpun yang sempat melihat dengan pasti bagaimana
caranya dia memainkan senjata maut itu.
Kini mereka
tegak membisu. Bilal yang merupakan seorang pemuka di kampung itu akhirnya
bersuara.
“Asir saya suruh
membawa motor tempel Belanda itu ke Danau Baru. Menenggelamkan di sana. Saya
rasa kalaupun ada pencaharian oleh pihak Belanda kemari mereka takkan menemukan
jejak sedikitpun”
Dia berhenti.
Para lelaki itu tak ada yang bersuara. Bilal menyambung:
“Kini kita
kuburkan mayat-mayat Belanda ini. Kuburkan bersama pakaian mereka. Senjata
simpan di rumah Suman. Kita kuburkan mereka lebih ke hutan sana. Lewati
paya-paya tersebut agar jejak kita tak mudah ditemukan. Kubur yang dalam, agar
mayat mereka tak digali harimau…!”
Masih tanpa
suara, kaum lelaki itu mulai mengangkati mayat keenam serdadu Belanda tersebut.
Guruh kembali menderam rusuh di kaki langit. Mengirimkan suasana seram ke hati
mereka.
Satu demi satu
mulai menyeruak rimba menuju paya-paya.
“Biar saya di depan
membuka jalan….” Si Bungsu berkata sambil mendahului rombongan pemangku mayat
tersebut.
Di depan dia
menghunus samurainya. Ketika dia akan menebas semak untuk membuka jalan, dia
terhenti mendengar seruan Bilal.
“Jangan
ditebas!”
“Tapi ini menyulitkan
pejalan yang memangku mayat..”
“Ya, tapi
tebasan itu juga akan memudahkan Belanda masuk untuk mencari jejak mayat
teman-temannya”
Si Bungsu
menjadi mengerti duduk soalnya. Dia mengagumi ketajaman firasat Bilal. Oleh
karena itu dia memasukkan kembali samurainya. Kemudian dengan mempergunakan
samurai bersarung itu dia menguakkan semak-semak untuk membuat jalan bagi
temannya yang di belakang.
Mereka berjalan
dengan diam.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 064
No comments:
Post a Comment