Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 064



Bila hujan turun karet tak dapat ditakik, mereka menangkap ikan. Bila air besar dan hujan turun pula, dimana getah dan ikan tak dapat ditangkap, mereka hanya berdiam dirumah.

Demikian kehidupan penduduk di kampung itu musim ke musim. Kampung itu merupakan salah satu dari sekian kampung di sekitarnya yang mempunyai struktur ganda. Maksudnya, dalam hal adat istiadat mereka berkiblat ke Minangkabau. Sebab dari sanalah nenek moyang mereka berasal.



Karenanya di kampung itu dikenal juga dengan sistim Suku dan gelar seperti jamaknya dikenal di Minangkabau. Dan sistim keluarga yang dianut juga sistim ibu sebagaimana jamaknya di Minangkabau. Namun dalam segi pemerintahan, mereka tunduk ke Riau.

Sebagaimana jamaknya di Minangkabau, dikampung ini pemuda-pemudanya juga belajar silat. Silat yang berkembang disini adalah silat aliran Pangian. Yaitu silat yang berasal dari negeri Pangian di Kabupaten 50 Kota dekat Lintau. Silat merupakan kebanggaan tua dan muda.



Hari itu adalah hari jumat. Yaitu setiap Jumat dimana pedagang-pedagang bersampan dan berkapal kecil-kecil singgah dalam perjalanan mereka menuju Teratak Buluh di hulu dari Langgam di hilir. Penduduk kampung berdekatan seperti Bontu di seberang agak ke hilir, dan penduduk dari kampung Kutik di seberang agak ke darat sudah berdatangan. Hari sekitar jam sepuluh pagi ketika tiba-tiba dari hulu terlihat orang berlarian.



“Belanda! Tentara Belanda datang!” pekiknya.



Suasana di tengah pasar itu mula-mula terbengong-benging saja. Tapi begitu tembakan pertama terdengar, suasana panik segara menjalar. Penduduk berlarian bertemperasan. Pedagang-pedagang berusaha menyelamatkan jualannya. Mereka berteriak meminta uang pada pembeli yang begitu panik menjalar segera saja angkat kaki. Lupa membayar barang yang telah dia ambil. Namun penduduk yang berlarian itu tak lama kemudian  kembali lagi ke pasar darurat tersebut. Mereka dihalau ke sana oleh tentara Belanda yang rupanya telah mengepung kampung itu dari hulu dan dari hilir. Tentara yang datang tak berapa orang. Hanya enam orang. Tapi enam orang tentara Belanda dengan senjata lengkap memang sudah cukup membuat penduduk jadi terkencing-kencing.



“Ayo kumpul semua!” bentakan terdengar dari mulut seorang Leutenant.



Dan kembali serentetan tembakan dari sten menyalak. Anak-anak pada bertangisan. Perempuan pada terpekik dan mereka digiring ke lapangan kecil dimana tadi seorang pedagang berjual obat. Kaum lelaki dan perempuan segera saja dipisahkan. Ada sekitar tiga puluh orang lelaki yang terjaring. Mereka semua disuruh duduk berjongkok di tanah.



“Periksa!” Leutenant itu memberi perintah.



Dan tiga orang serdadu yang terdiri dari seorang sersan, seorang kopral dan seorang soldaat segera menghampiri para lelaki yang duduk mencangkung itu.



“Bagaimana, kita lawan mereka?” si Bungsu yang terdapat diantara para lelaki itu berbisik pada Bilal yang duduk di sebelahnya.

“Tunggu dulu. Nampaknya mereka bukan mencari kita” Bilal menjawab.



Dan karenanya si Bungsu hanya diam menanti. Hari itu adalah bulan ketiga dia berada di kampung Buluh Cina ini semenjak peristiwa penyergapan di pendakian Pasir putih itu.

Tiga peluru yang menghajar tubuhnya, ternyata tak cukup kuat untuk merenggut nyawanya. Atau katakanlah, bahwa Bilal telah menolong nyawanya dari renggutan maut. Lelaki itu melarikan tubuh si Bungsu yang luka parah ke Buluh Cina. Kemudian di kampung itu si Bungsu ditolong dengan obat-obatan kampung. Lukanya diobat dengan berbagai ramuan. Diantaranya dengan bubuk yang dibuat dari kikisan tempurung kelapa. Pedih dan sakitnya bukan main.



Namun Tuhan masih memanjangkan umurnya. Buktinya dia berangsur sembuh. Sementara itu senjata yang berhasil mereka rampas dari Belanda-Belanda di pendakian Pasir Putih telah dikirim ke Pekanbaru. Kepada anggota-anggota fisabilillah dan tentara Indonesia. Dan di kampung ini hanya ada dua pucuk bedil. Satu pada Bilal, yaitu sebuah sten, kemudian sebuah lagi pada Badu. Yaitu sebuah jungle. Namun kini kedua bedil itu berada di rumah mereka. Dan kini Bilal, Badu dan si Bungsu terperangkap di Pasar Jumat tersebut. Dengan perasaan tegang mereka menanti ketiga serdadu Belanda itu menggeledah mereka. Satu demi satu mereka diperiksa. Diraba pinggang celana dan kantong-kantong mereka.



“Apa yang mereka cari?” si Bungsu berbisik.

“Entahlah…!” jawab Bilal perlahan.



Dan akhirnya penggeledahan itu selesai. Tak seorangpun nampaknya yang dicari oleh tentara Belanda tersebut. Si Bungsu menarik nafas panjang.

Ketiga serdadu yang memeriksa itu berjalan ke tempat Leutenat yang memimpin mereka. Melaporkan hasil pemeriksaan. Namun mata Leutenat itu menatap tepat-tepat pada Bilal. Bilal yang tahu bahwa dia sedang diperhatikan mencoba untuk tak acuh. Mencoba menatap ke bawah. Si Bungsu juga melihat kelainan tatapan mata Leutenant tersebut. Dan tiba-tiba saja Leutenant itu melangkah mendekati mereka.



“Dia kemari…!” si Bungsu berbisik.

“Ya, mau apa dia?” balas Bilal sambil menoleh ke tempat lain acuh tak acuh. Padahal hatinya berdebar keras.

“Apakah bapak dia kenali?” Bungsu bertanya.

“Saya tak tahu….” Jawab Bilal.



Pembicaraan itu terhenti takkala tiba-tiba saja tangan Leutenant itu menjambak rambut Bilal. Menyentakkan ke atas sehingga kepalanya tertengadah. Hampir saja Bilal menghantam kerampang Leutenant itu dengan lutut karena berangnya. Tapi untung dia dapat menahan emosi. Dia sadar, kalau berbuat yang tidak-tidak, banyak penduduk yang akan jadi korban sia-sia. Dia menahan amarahnya sambil mengikuti sentakan pada rambutnya hingga dia berdiri. Mata Leutenant itu menatap wajahnya dengan teliti.



“Hei, bukankah ini orang yang lewat di Simpang Tiga beberapa bulan yang lalu?” Leutenant itu berseru pada anak buahnya.



Anak buahnya menatap pada si Bilal. Dan si Bilal segera ingat pada saat mereka diperiksa di penjagaan Simpang Tiga. Yaitu ketika dia dengan si Bungsu dan Suman. Disaat dimana dia diludahi oleh seorang tentara KNIL. Lelaki yang lain pada berkuak. Tentara Belanda ini sebenarnya datang ke Buluh Cina bukannya mencari Bilal atau si Bungsu. Peristiwa lenyapnya tentara Belanda dengan sebuah Jeep dan sebuah Power Wagon tiga bulan yang lalu tak ada sangkut pautnya dengan kedatangan mereka kini.

Mereka datang kemari dalam rangka memburu seorang pembunuh. Seorang lelaki pribumi telah membunuh seorang pedagang di teratak Buluh. Pedagang itu orang asli Teratak Buluh yang terletak tiga jam bermotor tempel di hulu Teratak Buluh. Dan Belanda memburunya sampai kemari bukan tanpa alasan. Ada dua alasan kenapa tentara Belanda memburu pembunuh yang menghiliri sungai Kampar itu. Pertama, pedagang yang dibunuh itu adalah mata-mata Belanda. Kedua memang menegakkan hukum dengan baik meski di tanah jajahannya.



Mereka menyangka bahwa pembunuh itu berada di Pasar Jumat ini. Makanya mereka menghentikan motor tempel mereka di hulu. Kemudian dengan jalan kaki mengepung Pasar jumat ini. Tapi Leutenant yang memimpin pemburuan itu ternyata mengenali Bilal. Dan karena dia mengenal Bilal, dia segera ingat kembali akan lenyapnya teman-temannya tiga bulan yang lalu. Yaitu persis setelah lewatnya Bilal dengan kedua temannya di Simpang Tiga!



“Benar, dialah yang kita periksa dulu. Saya ingat benar, dia saya ludahi waktu dalam pos pemeriksaan…”

“Kalau begitu dia punya hubungan dengan lenyapnya teman-teman kita tiga bulan yang lalu. Cari temannya yang lain!” perintah leutenant itu menggelegar.



Si Bungsu kaget mendengar perintah itu. Dia ingin bertindak, namun tindakannya tinggal beberapa detik dari tindakan yang diambil oleh Bilal. Bilal yang pesilat itu, merupakan salah seorang pejuang dari pasukan Fisabilillah, segera menyadari bahwa bahaya yang hebat mengancam mereka bila dia tertangkap. Makanya begitu leutenant itu memerintahkan untuk mencari temannya yang lain, yang tak lain dari si Bungsu dan Suman, Bilal segera bertindak.

Saat leutenant tersebut masih mencekal rambut di kepalanya. Dengan sebuah tendangan yang penuh kebencian, lututnya menghantam perut leutenant itu. Leutenant itu mendelik matanya menahan sakit. Cekalannya pada rambut Bilal lepas. Kedua tangannya segera saja memegang perut yang dimakan lutut pejuang itu. Dan Bilal tak berhenti sampai disana, dia segera mencekik leher leutenant itu dari belakang. Kemudian sebilah pisau yang dia simpan di balik pinggang celananya segera saja keluar dan ditekankannya kuat-kuat ke dada sebelah kiri si Belanda .



“Kubunuh anjing ini kalau kalian bergerak!!” dia berteriak mengancam tentara Belanda yang lain. Yang semuanya masih tertegun kaget.



Seorang sersan mayor coba mengokang bedil. Namun saat berikutnya dia terhenti bersamaan dengan pekik si leutenant. Bilal rupanya memang tak sekedar menggertak.

Begitu dia lihat sersan itu mengokang bedil, pisau beracunnya dia tekankan. Demikian kuatnya, hingga menembus baju loreng si Letnan dan menembus dadanya. Meski pisau itu hanya menembus kira-kira sejari, tapi sakit dan kagetnya leutenant itu bukan alang kepalang. Kejadian tiba-tiba jadi tegang. Semua pada terdiam. Bilal sendiri tak tahu apa lagi yang akan dia perbuat. Dan si Bungsu segera menangkap keraguan ini. Dia bangkit dan melangkah. Namun gerakannya justru melindungi seorang kopral dari tatapan mata Bilal.

Kopral itu menyambar seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Dan persis seperti yang diperbuat Bilal, Kopral KNIL ini menodongkan bedilnya persis ke pelipis gadis kecil itu.



“Lepaskan leutenant itu, atau anak ini saya hancurkan benaknya!” kopral itu ganti menggertak.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 063

No comments:

Post a Comment