Bila hujan
turun karet tak dapat ditakik, mereka menangkap ikan. Bila air besar dan hujan
turun pula, dimana getah dan ikan tak dapat ditangkap, mereka hanya berdiam dirumah.
Demikian
kehidupan penduduk di kampung itu musim ke musim. Kampung itu merupakan salah
satu dari sekian kampung di sekitarnya yang mempunyai struktur ganda.
Maksudnya, dalam hal adat istiadat mereka berkiblat ke Minangkabau. Sebab dari
sanalah nenek moyang mereka berasal.
Karenanya di kampung
itu dikenal juga dengan sistim Suku dan gelar seperti jamaknya dikenal di
Minangkabau. Dan sistim keluarga yang dianut juga sistim ibu sebagaimana
jamaknya di Minangkabau. Namun dalam segi pemerintahan, mereka tunduk ke Riau.
Sebagaimana
jamaknya di Minangkabau, dikampung ini pemuda-pemudanya juga belajar silat.
Silat yang berkembang disini adalah silat aliran Pangian. Yaitu silat yang
berasal dari negeri Pangian di Kabupaten 50 Kota dekat Lintau. Silat merupakan
kebanggaan tua dan muda.
Hari itu adalah
hari jumat. Yaitu setiap Jumat dimana pedagang-pedagang bersampan dan berkapal
kecil-kecil singgah dalam perjalanan mereka menuju Teratak Buluh di hulu dari
Langgam di hilir. Penduduk kampung berdekatan seperti Bontu di seberang agak ke
hilir, dan penduduk dari kampung Kutik di seberang agak ke darat sudah
berdatangan. Hari sekitar jam sepuluh pagi ketika tiba-tiba dari hulu terlihat
orang berlarian.
“Belanda!
Tentara Belanda datang!” pekiknya.
Suasana di tengah
pasar itu mula-mula terbengong-benging saja. Tapi begitu tembakan pertama
terdengar, suasana panik segara menjalar. Penduduk berlarian bertemperasan.
Pedagang-pedagang berusaha menyelamatkan jualannya. Mereka berteriak meminta
uang pada pembeli yang begitu panik menjalar segera saja angkat kaki. Lupa
membayar barang yang telah dia ambil. Namun penduduk yang berlarian itu tak
lama kemudian kembali lagi ke pasar
darurat tersebut. Mereka dihalau ke sana oleh tentara Belanda yang rupanya
telah mengepung kampung itu dari hulu dan dari hilir. Tentara yang datang tak
berapa orang. Hanya enam orang. Tapi enam orang tentara Belanda dengan senjata
lengkap memang sudah cukup membuat penduduk jadi terkencing-kencing.
“Ayo kumpul
semua!” bentakan terdengar dari mulut seorang Leutenant.
Dan kembali
serentetan tembakan dari sten menyalak. Anak-anak pada bertangisan. Perempuan
pada terpekik dan mereka digiring ke lapangan kecil dimana tadi seorang
pedagang berjual obat. Kaum lelaki dan perempuan segera saja dipisahkan. Ada
sekitar tiga puluh orang lelaki yang terjaring. Mereka semua disuruh duduk
berjongkok di tanah.
“Periksa!”
Leutenant itu memberi perintah.
Dan tiga orang
serdadu yang terdiri dari seorang sersan, seorang kopral dan seorang soldaat
segera menghampiri para lelaki yang duduk mencangkung itu.
“Bagaimana,
kita lawan mereka?” si Bungsu yang terdapat diantara para lelaki itu berbisik
pada Bilal yang duduk di sebelahnya.
“Tunggu dulu.
Nampaknya mereka bukan mencari kita” Bilal menjawab.
Dan karenanya
si Bungsu hanya diam menanti. Hari itu adalah bulan ketiga dia berada di
kampung Buluh Cina ini semenjak peristiwa penyergapan di pendakian Pasir putih
itu.
Tiga peluru
yang menghajar tubuhnya, ternyata tak cukup kuat untuk merenggut nyawanya. Atau
katakanlah, bahwa Bilal telah menolong nyawanya dari renggutan maut. Lelaki itu
melarikan tubuh si Bungsu yang luka parah ke Buluh Cina. Kemudian di kampung
itu si Bungsu ditolong dengan obat-obatan kampung. Lukanya diobat dengan
berbagai ramuan. Diantaranya dengan bubuk yang dibuat dari kikisan tempurung
kelapa. Pedih dan sakitnya bukan main.
Namun Tuhan
masih memanjangkan umurnya. Buktinya dia berangsur sembuh. Sementara itu
senjata yang berhasil mereka rampas dari Belanda-Belanda di pendakian Pasir Putih
telah dikirim ke Pekanbaru. Kepada anggota-anggota fisabilillah dan tentara
Indonesia. Dan di kampung ini hanya ada dua pucuk bedil. Satu pada Bilal, yaitu
sebuah sten, kemudian sebuah lagi pada Badu. Yaitu sebuah jungle. Namun kini
kedua bedil itu berada di rumah mereka. Dan kini Bilal, Badu dan si Bungsu
terperangkap di Pasar Jumat tersebut. Dengan perasaan tegang mereka menanti
ketiga serdadu Belanda itu menggeledah mereka. Satu demi satu mereka diperiksa.
Diraba pinggang celana dan kantong-kantong mereka.
“Apa yang
mereka cari?” si Bungsu berbisik.
“Entahlah…!”
jawab Bilal perlahan.
Dan akhirnya
penggeledahan itu selesai. Tak seorangpun nampaknya yang dicari oleh tentara
Belanda tersebut. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Ketiga serdadu
yang memeriksa itu berjalan ke tempat Leutenat yang memimpin mereka. Melaporkan
hasil pemeriksaan. Namun mata Leutenat itu menatap tepat-tepat pada Bilal.
Bilal yang tahu bahwa dia sedang diperhatikan mencoba untuk tak acuh. Mencoba
menatap ke bawah. Si Bungsu juga melihat kelainan tatapan mata Leutenant
tersebut. Dan tiba-tiba saja Leutenant itu melangkah mendekati mereka.
“Dia kemari…!”
si Bungsu berbisik.
“Ya, mau apa
dia?” balas Bilal sambil menoleh ke tempat lain acuh tak acuh. Padahal hatinya
berdebar keras.
“Apakah bapak
dia kenali?” Bungsu bertanya.
“Saya tak
tahu….” Jawab Bilal.
Pembicaraan itu
terhenti takkala tiba-tiba saja tangan Leutenant itu menjambak rambut Bilal.
Menyentakkan ke atas sehingga kepalanya tertengadah. Hampir saja Bilal
menghantam kerampang Leutenant itu dengan lutut karena berangnya. Tapi untung
dia dapat menahan emosi. Dia sadar, kalau berbuat yang tidak-tidak, banyak
penduduk yang akan jadi korban sia-sia. Dia menahan amarahnya sambil mengikuti
sentakan pada rambutnya hingga dia berdiri. Mata Leutenant itu menatap wajahnya
dengan teliti.
“Hei, bukankah
ini orang yang lewat di Simpang Tiga beberapa bulan yang lalu?” Leutenant itu
berseru pada anak buahnya.
Anak buahnya
menatap pada si Bilal. Dan si Bilal segera ingat pada saat mereka diperiksa di
penjagaan Simpang Tiga. Yaitu ketika dia dengan si Bungsu dan Suman. Disaat
dimana dia diludahi oleh seorang tentara KNIL. Lelaki yang lain pada berkuak. Tentara
Belanda ini sebenarnya datang ke Buluh Cina bukannya mencari Bilal atau si
Bungsu. Peristiwa lenyapnya tentara Belanda dengan sebuah Jeep dan sebuah Power
Wagon tiga bulan yang lalu tak ada sangkut pautnya dengan kedatangan mereka
kini.
Mereka datang
kemari dalam rangka memburu seorang pembunuh. Seorang lelaki pribumi telah
membunuh seorang pedagang di teratak Buluh. Pedagang itu orang asli Teratak
Buluh yang terletak tiga jam bermotor tempel di hulu Teratak Buluh. Dan Belanda
memburunya sampai kemari bukan tanpa alasan. Ada dua alasan kenapa tentara
Belanda memburu pembunuh yang menghiliri sungai Kampar itu. Pertama, pedagang
yang dibunuh itu adalah mata-mata Belanda. Kedua memang menegakkan hukum dengan
baik meski di tanah jajahannya.
Mereka
menyangka bahwa pembunuh itu berada di Pasar Jumat ini. Makanya mereka
menghentikan motor tempel mereka di hulu. Kemudian dengan jalan kaki mengepung
Pasar jumat ini. Tapi Leutenant yang memimpin pemburuan itu ternyata mengenali
Bilal. Dan karena dia mengenal Bilal, dia segera ingat kembali akan lenyapnya
teman-temannya tiga bulan yang lalu. Yaitu persis setelah lewatnya Bilal dengan
kedua temannya di Simpang Tiga!
“Benar, dialah
yang kita periksa dulu. Saya ingat benar, dia saya ludahi waktu dalam pos
pemeriksaan…”
“Kalau begitu
dia punya hubungan dengan lenyapnya teman-teman kita tiga bulan yang lalu. Cari
temannya yang lain!” perintah leutenant itu menggelegar.
Si Bungsu kaget
mendengar perintah itu. Dia ingin bertindak, namun tindakannya tinggal beberapa
detik dari tindakan yang diambil oleh Bilal. Bilal yang pesilat itu, merupakan
salah seorang pejuang dari pasukan Fisabilillah, segera menyadari bahwa bahaya
yang hebat mengancam mereka bila dia tertangkap. Makanya begitu leutenant itu
memerintahkan untuk mencari temannya yang lain, yang tak lain dari si Bungsu
dan Suman, Bilal segera bertindak.
Saat leutenant
tersebut masih mencekal rambut di kepalanya. Dengan sebuah tendangan yang penuh
kebencian, lututnya menghantam perut leutenant itu. Leutenant itu mendelik
matanya menahan sakit. Cekalannya pada rambut Bilal lepas. Kedua tangannya
segera saja memegang perut yang dimakan lutut pejuang itu. Dan Bilal tak
berhenti sampai disana, dia segera mencekik leher leutenant itu dari belakang.
Kemudian sebilah pisau yang dia simpan di balik pinggang celananya segera saja
keluar dan ditekankannya kuat-kuat ke dada sebelah kiri si Belanda .
“Kubunuh anjing
ini kalau kalian bergerak!!” dia berteriak mengancam tentara Belanda yang lain.
Yang semuanya masih tertegun kaget.
Seorang sersan
mayor coba mengokang bedil. Namun saat berikutnya dia terhenti bersamaan dengan
pekik si leutenant. Bilal rupanya memang tak sekedar menggertak.
Begitu dia
lihat sersan itu mengokang bedil, pisau beracunnya dia tekankan. Demikian
kuatnya, hingga menembus baju loreng si Letnan dan menembus dadanya. Meski
pisau itu hanya menembus kira-kira sejari, tapi sakit dan kagetnya leutenant
itu bukan alang kepalang. Kejadian tiba-tiba jadi tegang. Semua pada terdiam.
Bilal sendiri tak tahu apa lagi yang akan dia perbuat. Dan si Bungsu segera
menangkap keraguan ini. Dia bangkit dan melangkah. Namun gerakannya justru
melindungi seorang kopral dari tatapan mata Bilal.
Kopral itu
menyambar seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Dan persis seperti yang
diperbuat Bilal, Kopral KNIL ini menodongkan bedilnya persis ke pelipis gadis
kecil itu.
“Lepaskan
leutenant itu, atau anak ini saya hancurkan benaknya!” kopral itu ganti
menggertak.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 063
No comments:
Post a Comment