“Kini tugas
kita menghilangkan jejak jeep itu…” Suman berkata.
“Kau teruslah
ke Buluh Cina, tentang jejak jeep ini serahkan pada kami di sini. Jangan
khawatir”
Suman jadi
lega. Dia lalu melanjutkan perjalanan ke Buluh Cina. Dari desa Kutik itu dia
harus meliwati hutan belantara sejauh dua kilometer. Baru kemudian tiba di kampung
Bontu yang terletak di tepi Batang Kampar. Dari kampung ini dia dapat kabar
bahwa Bilal sudah diantar menyeberang ke Buluh Cina bersama anak muda yang luka
itu. Senjata ditinggalkan di sebuah rumah pejuang anggota fisabilillah di Bontu
tersebut. Dan dengan sampan, Suman diantar pula ke kampungnya, ke Buluh Cina.
Tugas utama mereka semua, yaitu menyampaikan berita pada keluarga Pak Rajab,
bahwa dia selamat, kini bertambah tugas lain. Yaitu lari dari kejaran Belanda
dan menyelamatkan nyawa si Bungsu.
Dan
sepeninggalnya, penghulu kampung segera mengumpulkan penduduk yang jumlahnya
hanya puluhan orang. Kepada mereka dia ceritakan perjuangan yang telah dilakukan
pejuang-pejuang dari Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan itu.
Dan dengan
semangat perjuangan yang tebal, penduduk ini segera turun tangan. Menghilangkan
jejak jeep yang tadi dibawa oleh Bilal. Mereka bekerja sepanjang siang, sore
dan malam. Dan menjelang Isya pekerjaan itu selesai. Mereka pulang dengan
perasaan tenteram.
Kesibukan
tentara Belanda segera saja meningkat karena kehilangan sebuah power wagon
dengan enam belas tentaranya itu. Malam itu juga sepasukan tentara yang terdiri
sebuah truk penuh dan dua buah jeep bermitraliyur mendatangi Perhentian
Marpuyan. Penduduk segera saja diinterogasi. Ditanya apakah mereka melihat jeep
dan power wagon itu.
Penduduk
Marpuyan yang jumlahnya tak sampai seratus orang itu telah “diatur” oleh
pemilik kedai yang juga adalah Imam di kampung itu. Dan semua penduduk dengan
suara pasti menjawab bahwa mereka memang melihat jeep dan power wagon itu. Jeep
yang pertama setelah menurunkan gadis dan ibunya itu terus ke arah Taratak
Buluh. Tak lama kemudian datang power wagon dengan selusin tentara di atasnya.
Power wagon itu
juga terus ke arah Teratak Buluh. Tentara Belanda itu meneruskan jalannya ke
Teratak Buluh dalam usaha mencari jejak patroli yang tak kembali itu. Namun
mereka dibuat kaget. Sebab di Teratak Buluh, tak satupun orang yang pernah
melihat kedua kendaraan itu muncul!.
Mereka lalu
kembali lagi ke Simpang Tiga. Yaitu ke Pos penjagaan terjauh dari kota
Pekanbaru. Mereka hanya berani bergerak malam dengan kekuatan besar. Dan malam
itu hanya sampai di sana penyelidikan mereka. Mereka tak berani bergerak di malam
hari lebih lanjut. Takut akan serangan para pejuang. Mereka menanti hari siang
untuk melanjutkan pencaharian. Dan begitu hari siang, pasukan segera ditambah
dari Pekanbaru. Kini dengan enam buah kendaraan yang terdiri dari dua buah jeep
bermitraliyur, dua buah kendaraan lapis baja, dan dua buah power wagon yang
semuanya berkekuatan empat puluh pasukan berpakaian loreng mulai bergerak
meninggalkan Simpang Tiga. Tujuan mereka hanya satu, Perhentian Marpuyan.
Hari masih
subuh, ketika kampung kecil itu sudah dikepung oleh tentara Belanda tersebut.
Semua penduduk
dikumpulkan di lapangan dekat sebuah sekolah. Anak-anak, lelaki perempuan, tua
muda, tak ada yang tersisa satupun. Termasuk di dalamnya Liyas yang kemaren
bersama si Bungsu menyikat Belanda di pendakian Pasir Putih itu.
Mereka
dikumpulkan di lapangan dengan dikurung oleh panser dan jeep bermitraliyur yang
dihadapkan pada mereka. Seorang KNIL segera maju. Kemudian mengajukan
pertanyaan.
“Kalau kalian
tak menjawab, maka kalian akan ditembak…” KNIL itu menggertak.
Tak ada yang
menjawab. Karena kanak-kanak malah mendekat panser dan jeep bersenjata berat.
Mereka terheran-heran melihat kendaraan itu.
“He, kowe lihat
jeep dan truk lewat di sini?” seorang KNIL bertanya pada seorang anak yang
mendekati pansernya. Anak itu melihat dengan heran.
“Kowe lihat
jeep lewat sini? Nanti kowe saya kasi bon-bon..” KNIL itu bertanya lagi dengan
bujukan sambil mengambil gula-gula dari kantongnya.
Liyas yang
pejuang itu hanya melihat dengan tenang dari kejauhan. Dia tak usah khawatir
bahwa rahasia akan terbongkar dari mulut anak-anak itu.
Soalnya bukan
karena anak-anak itu seorang patriot. Tidak. Tapi sebabnya adalah karena hal
lain. Dan hal lain itu segera terbukti, takkala anak yang ditanya dan
disodorkan gula-gula itu menghadap pada teman sebayanya disampingnya tegak dan
bertanya.
“Apo nyie
bowuok go ang..?”Apa kata monyet ini? Temannya segera menjawab :
“Inyo maagie
ang gulo-gulo”(Dia memberi engkau gula-gula)
Anak itu
tertawa. Mengambil gula-gula itu.
“Mokasi yo
wuok” (makasih nyet)
Kemudian
membuka bungkusnya dan memakannya. Lalu pergi dari sana ke arah kumpulan orang
banyak, tanpa mengacuhkan pertanyaan KNIL itu. Soalnya anak-anak di kampung itu
seperti umumnya anak-anak di kampung lain di seluruh Indonesia, tak pandai
berbahasa Indonesia. Bahasa mereka adalah bahasa kampung mereka sendiri. Saat
itu belum berapa orang jumlah yang mengecap bangku sekolah. Dan yang tak berapa
orang itu, semuanya adalah anak-anak yang berdiam di kota. Bukan di kampung.
KNIL yang
gula-gula diambil itu hanya bisa garuk-garuk kepala. Dan dari mereka, serta
dari penduduk, tak ada keterangan yang diperdapat. Jawaban tetap seperti kemaren.
Yaitu kedua kendaraan itu menuju ke Teratak Buluh.
Tak lama
kemudian, dua belas pencari jejak yang disebar kembali melapor pada Mayor yang
memimpin operasi pencaharian itu. Kedua belas orangnya melaporkan tak menemukan
jejak apapun! Rupanya Liyas dan penduduk Marpuyan telah bekerja dengan
sempurna. Jejak kedua kendaraan itu memang berhasil dihapus seperti yang
dikatakan si Bungsu. Demikian sempurnanya, sehingga tentara Belanda yang dalam
perang Dunia ke II yang baru lalu tugas khususnya adalah mencari jejak kini tak
menemukan apa-apa.
Liyas yang
menanti kembalinya pencari jejak itu dengan perasaan tenang jadi merasa lega
takkala dia lihat kedua belas pencari jejak itu melapor dengan perasaan kecewa.
Akhirnya
penduduk dibubarkan dengan ancaman-ancaman. Mayor yang memimpin itu adalah
Mayor Antonius. Dalam perang Dunia ke II melawan Jepang di Pasifik dia memimpin
Kompi Gerak Cepat bersama sepasukan tentara Amerika di Pulau Guam.
Dan kali ini,
firasat Mayor itu mengatakan bahwa jeep dan power yang lenyap misterius itu
pastilah melewati jalan kecil menuju Buluh Cina ini kemaren. Tapi dia merasa
heran, kenapa pencari jejak yang tangguh itu tak menemukan apa-apa?
Dia
memerintahkan untuk menyelusuri jalan kecil itu terus ke pedalaman. Enam
kendaraan yang siap perang itu segera merayap mengikuti jalan yang kemaren
memang ditempuh si Bungsu dan teman-temannya. Liyas dan pejuang-pejuang lainnya
menjadi tegang takkala melihat bahwa Belanda itu meneruskan jalan ke Buluh
cina.
“Bagaimana
sekarang?” seorang pejuang bertanya pada Liyas.
“Kita hanya
bisa berserah diri pada Tuhan…” jawab Liyas.
“Kita bisa ke
Buluh Cina lewat Teratak Buluh”
“Tak mungkin
lagi. Untuk ke sana dibutuhkan satu jam pakai sepeda. Kemudian dengan sampan
enam jam ke buluh Cina. Sedangkan mereka dalam waktu satu jam sudah akan
sampai…” Suman berkata perlahan sambil menatap kendaraan itu lenyap di
tikungan.
“Bagaimana
kalau ketahuan?”
“Ada dua
kemungkinan. Pertama semua kita mereka tembak dan Buluh Cina mereka gempur.
Kedua mereka kita cegat ketika kembali”.
“Itu berarti
bunuh diri. Kita tak punya kekuatan apa-apa. Di sini kita hanya ada sebelas
orang dengan empat pucuk senjata api, selebihnya hanya memakai kelewang,
parang, pisau dan bambu runcing!”
“Bagaimana
putusan kita?”
“Saya berharap
mereka tak menemukan apa-apa. Semoga lewat Bancah Limbat hujan turun malam
tadi. Dan jejak terhapus sama sekali…..”
Dan memang
itulah yang terjadi. Malam tadi hujan meski tak lebat, tapi turun di bahagian
hutan lewat rawa yang bernama Bancah Limbat sampai Kutik. Dan semuanya
melenyapkan jejak kemaren. Belanda meneliti tiap jengkal yang mereka lewati
dalam usahanya mencari jejak patroli yang lenyap itu. Tak lama kemudian mereka
berhenti di sebuah sungai kecil yang melintasi jalan. Sungai itu jernih sekali
airnya. Jernih dan sejuk dengan pasir putih di dasarnya. Mayor Antonius
menyuruh berhenti jeep komandonya. Dia tegak di bangku. Memandang dengan
teropong kependakian di seberang sungai dangkal itu. Tak ada apa-apa yang
mencurigakan. Dia turun. Mencuci muka disungai kecil yang sejuk itu. Meminum
airnya yang juga terasa sejuk. Sementara dia mencuci muka dan minum itu,
pasukannya siap di kedua sisi jalan dengan senjata siaga.
“Kita kembali!”
perintahnya. Dan semua kendaraan itu, satu persatu berputar di sungai kecil
tersebut.
Daerah di bawah
pendakian itu memang cukup lebar untuk berputar. Kendaraan berputar disana
sambil menambah air untuk kendaraan mereka. Dan putusan Mayor itu termasuk hal
yang menyelamatkan penduduk kampung Kutik, Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan!.
Sebab, kalau
saja Mayor itu meneruskan langkahnya agak dua puluh meter lagi ke pertengahan
pendakian dari sungai kecil di mana dia mencuci muka dan minum, maka dia pasti
akan menemukan jejak pertempuran kemaren yang terkikis oleh hujan, dan tak
terlenyapkan oleh penduduk Kutik.
Jejak itu
berupa lobang-lobang bekas terkaman peluru 12,7 yang dimuntahkan oleh Suman! Di
pertengahan pendakian itu ada lebih dari selusin jejak peluru. Kemaren memang
ditimbun baik oleh Suman maupun penduduk Kutik. Tapi hujan yang turun malam
tadi membuat timbunanitu melorot ke dalam. Dan jejak itu justru muncul lagi.
Tapi untunglah, Tuhan masih melindungi mereka semua!
Dan sebelum
petang datang, pasukan Belanda itu cepat-cepat menuju ke markas kembali. Mereka
memang tak berani berada di daerah Republik itu di malam hari meski dengan
kekuatan persenjataan yang tak tanggung-tanggung.
Mereka hanya
berani berpatroli di siang hari. Dan begitu malam akan turun mereka cepat-cepat
menarik diri ke markas.
Besoknya
pencarian dilanjutkan lagi. Namun jejak yang mereka cari semakin lenyap. Dan
akhirnya pencaharian itu dihentikan sama sekali. Sebab setelah itu, Belanda
disibukkan oleh peperangan-peperangan dengan tentara Indonesia.
Di Buluh Cina.
Rumah-rumah
kampung itu semuanya adalah rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi. Kampung
itu terletak di seberang sungai Kampar, kalau datang dari arah Pekanbaru.
Sungai itu senantiasa menghanyutkan airnya yang berwarna jernih ke hilir.
Hanya ada
sekitar seratus rumah di kampung itu. Memanjang di tepian sungai Kampar dari
Barat ke Timur. Di bagian tengah kampung ada sebuah mesjid. Di bagian agak ke
hulu ada pandam pekuburan kampung.
Kampung
dipenuhi oleh rumpun kelapa. Di bawah bayang-bayang daun kelapa ini rumah-rumah
penduduk didirikan. Rumah dibuat tinggi dari tanah dengan dua maksud. Pertama
menghindarkan banjir dari sungai Kampar yang selalu datang melanda. Kedua
menghindarkan diri dari serangan harimau yang sering mengganas di kampung itu.
Mata
pencaharian penduduk tak ada yang tetap. Itu bukan berarti di sana banyak
sekali mata pencahariannya. Tidak. Sumber kehidupan mereka hanya tiga hal. Satu
karet, kedua ikan dan ketiga berladang.
Karet dan ikan
merupakan mata pencaharian yang agak tetap. Sementara hasil ladang hanya cukup
untuk keperluan anak beranak. Mereka masih menerapkan sistim berladang kaum
Nomaden. Hari ini berladang di suatu tempat yang subur. Kalau akan membuka
ladang, terlebih dahulu harus menebas hutan belantara. Kemudian dibiarkan
kering. Lalu dibakar. Dan setelah itu bekas bakar dibersihkan ala kadarnya.
Kemudian
langsung ditanami jagung dan padi. Selama proses ini tak kenal penggunaan
cangkul atau alat-alat pertanian lainnya. Untuk menanam padi atau jagung lobang
dibuat dengan menghujamkan tugak, yaitu sepotong kayu sebesar lengan yang
diruncingkan ujungnya kebawah dan dihentakkan ke tanah. Ke lobang itu benih
jagung atau padi dimasukkan.
Dan hanya
proses waktu dan alam saja yang mereka tunggu selanjutnya untuk menumbuhkan,
membesarkan dan membuat padi dan jagung itu panen. Tapi begitu panen sudah
dipetik, maka ladang itu mereka tinggalkan. Tahun depan mereka merambah hutan
yang lain pula untuk berladang. Begitu terus.
Ini menyebabkan
mereka tak pernah mempunyai ladang yang tetap. Tak pernah berladang di mana
tumbuh tanaman keras. Mereka pindah terus dari satu hutan ke hutan lain untuk
berladang meski ladang terdahulu tanahnya masih tetap subur untuk beberapa
tahun lagi.
Kebun karet
mereka umumnya tak terurus. Ditumbuhi semak belukar dan dijalari rotan. Bahagian
yang baik hanyalah sedikit di sekitar pohon yang akan ditakik saja. Tak heran
kalau kebun karet yang mereka sebut dengan kebun para itu menjadi sarang
harimau. Dan tak heran pula banyak penakik-penakik getah itu menjadi mangsa
raja hutan tersebut.
Mata
pencaharian yang ketiga adalah ikan. Mereka menangkapi ikan di sepanjang batang
Kampar atau di dua danau kecil yang terdapat di balik kampung itu.
Karet dan ikan
inilah mata pencaharian mereka yang agak memadai. Memadai dalam arti sekedar
cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sebab baik memotong karet
maupun menangkap ikan mereka lakukan secara tradisionil.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 062
No comments:
Post a Comment