Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 062



Maka tak heran beberapa orang lalu berusaha untuk terjun ke bawah agar bisa memanfaatkan bedil di tangan mereka. Dan yang punya kesempatan untuk berbuat itu hanya Kopral yang jadi sopir. Semula dia ingin terjun ke bawah dan naik ke bak belakang ikut dalam perkelahian itu. Tetapi otaknya memang cerdas. Dari pada susah-susah turun, bukankah lebih baik menembak dari sini, pikirnya. Power wagon yang dipergunakan itu adalah truk perang yang terbuka. Di bahagian belakang ada kursi kayu yang dipakukan pada dinding kiri kanannya. Pada kursi kayu yang dicat hitam inilah Belanda itu duduk berbaris. Sopir itu mengambiol stegunnya. Kemudian tegak di tempat duduk. Dan suatu saat stegunnya menyalak. Yang jadi korban adalah pejuang dari Marpuyan yang menyopiri jeep Belanda tersebut. Tengkuk dan kepalanya dimakan empat peluru. Kontan tubuhnya tercampak ke bawah. Kemudian suara stennya berhenti. Dia menanti kesempatan lain untuk bisa menembak. Sebab dalam truk itu tengah terjadi pergumulan. Salah-salah dia bisa membunuh teman sendiri. Kini Bilal tegak membelakanginya tanpa ada penghalang. Stegunnya terangkat.



Saat itu pula perkelahian antara si Bungsu dengan Leutenant itu berakhir. Dia mendengar suara stengun yang tadi menyudahi nyawa pejuang dari Marpuyan yang jadi sopir tadi.

Si Bungsu berbalik. Dan melihat sopir berpangkat itu membidikkan stennya. Dalam waktu yang sangat singkat, perkelahian dengan serdadu Jepang membayang di kepalanya.

Betapa suatu subuh dia dan Datuk Penghulu mencegat truk berisi tentara Jepang setelah kematian istri dan anak Datuk Penghulu. Keadaannya persis seperti sekarang.

Saat itu seorang perwira tengah membidikkan pistolnya dari tempat duduk depan ke arah tengkuk Datuk Penghulu yang berada di depan truk berkelahi dengan tentara Jepang.

Si Bungsu waktu itu berada dibelakang truk. Dan untuk menolong Datuk Penghulu, samurainya dia lemparkan dengan perhitungan yang cermat.

Samurai itu meluncur, menembus kaca pemisah antara ruang belakang dengan ruang depan truk. Kemudian menancap ditengkuk perwira Jepang itu.



Dan kini, di pendakian Pasir Putih menjelang Buluh Cina ini, tindakan itu pula lah yang diambil si Bungsu. Bedanya yang dulu dan yang sekarang adalah dalam soal letak. Dulu lawannya Jepang. Kini Belanda!

Dahulu dia berada di belakang. Kini di depan. Dahulu dia harus melemparkan samurainya dengan tenaga ganda. Sebab harus menembus kaca tebal pemisah ruang belakang dengan ruang depan. Kini hal itu tak perlu. Sebab Kopral yang memakai sten ini berdiri, dan sebahagian badannya ke atas terbuka pula melewati batas kaca power yang terbuka itu. Samurai si Bungsu meluncur seperti anak panah. Dan menancap di bawah belikat kiri Kopral itu! Namun stennya meledak juga. Hanya yang kena bukanlah Bilal, tapi nyasar entah ke mana. Tubuh kopral itu terjungkal dan mati.

Di bahagian belakang truk itu, ketiga pejuang tersebut telah membunuh dua serdadu Belanda. Berarti dengan yang dibunuh si Bungsu dan Bilal, ditambah dengan sopir power itu, mereka telah berhasil membunuh tujuh orang belanda tanpa sebutir pelurupun.

Dua orang lagi berhasil turun melompat dari truk. Mereka memburu ke depan. Dan di depan truk mereka menemui si Bungsu tanpa senjata.



“Anjing! Mati kowe!” bentak mereka sambil serentak menembak. Nyawa si Bungsu di ujung tanduk. Dia tak bersamurai. Dan itu sama dengan bertelanjang. Satu-satunya harapan baginya adalah gerak “lompat tupai”!!



Dia bergulingan. Namun terlambat! Serentetaan tembakan sten menghajar tubuhnya. Dia jatuh bergulingan ke tanah. Tapi bukan dengan jurus lompat tupai itu. Dia bergulingan karena dihantam peluru!



“Mati kowe!” kedua Belanda itu serentak berseru dan menembak lagi.



Namun tembakannya terdengar kalah keras dengan tembakan yang tiba-tiba datang dari puncak pendakian!

Serentetan tembakan mitraliyur terdengar merobek rimba di Pasir Putih itu. Dan kedua tentara Belanda itu seperti dilanda Badai. Terdongak-dongak. Terpental-pental!

Di puncak pendakian berdiri Suman dengan 12,7 ditangannya! Dengan demikian sepuluh orang Belanda telah mati. Sisanya yang tiga orang tiba-tiba mengangkat tangan.



“Maaf, eh ampun tuan. Kami menyerah” seorang KNIL berkata dalam bahasa Indonesia.



Sementara dua tentara Belanda aslinya lainnya tegak dengan menggigil.

Namun dari puncak pendakian 12,7 si Suman tak memberi keampunan. Mitraliyur menyalak lagi. Dan ketiga Belanda yang menyerah itu terpental-pental. Menjerit dan rubuh.



“Suman!!” Bilal berteriak.



Namun teriakannya percuma. Mitraliyur ditangan Suman menyalak lagi. Menyikat ketiga tubuh tentara Belanda itu. Dia baru berhenti ketika merasa puas. Kemudian mencampakkan 12,7 nya lalu berlari bersama yang lain ke tubuh si Bungsu. Tiga peluru menghajar bahu, lengan dan perutnya. Nafasnya memburu. Darah membasahi tubuhnya.



“Bungsu…” teriak Suman tertahan.



Anak muda itu membuka mata. Merasakan linu dan sakit yang bukan main di tiga bahagian tubuhnya.



“Bagaimana yang lain?” tanyanya perlahan sekali.

“Kami selamat semua Bungsu….” Bilal menjawab.



Si Bungsu menelan ludah. Bibirnya pucat dan retak-retak.



“Kulihat Maarif kena tembak…” Si Bungsu menyanggah keterangan Bilal. Mereka jadi tertunduk.

“Bagaimana dia…?”

“Ya, dia meninggal…” Bilal berkata perlahan.



Si Bungsu menatap keliling. Menatap teman-temanya itu. Dia melihat wajah pejuang-pejuang yang tangguh. Yang rela berkorban untuk Negaranya. Dan tiba-tiba dia jadi terharu. Terharu karena tak bisa membantu mereka lebih banyak.



“Saya bangga, kalian pejuang yang militan. Sayang saya harus pergi jauh….sampai di sini janjian saya…” katanya. Dan air mata meleleh di sudut matanya.



Suman, Bilal dan seorang pejuang dari Marpuyan lainnya, yang bernama Liyas terdiam.



“Mari kita terus ke Buluh Cina….” Bilal berkata sambil mengangkat tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini menggeleng.

“Pak…barangkali nyawa saya tak bisa bertahan ke kampung bapak. Jangan potong dulu pembicaraan saya. Kalau saya mati, ambil cincin ini, kirimkanlah ke Bukittinggi. Pada seorang gadis bernama Salma, katakan saya telah mati….hanya dia tempat saya berkabar berita. Tak ada yang lain. Semua keluarga saya telah punah. Dialah yang telah mengobati saya dari sakit, dari resah dan rindu..”



Dia terhenti. Nafasnya memburu. Dan dari mulutnya darah mengalir. Nampaknya dia memang tak lagi bisa tertolong. Ada bahagian dalam dari tubuhnya yang terkena parah. Hingga darah tak saja keluar lewat luka, tapi juga keluar lewat mulut.



“Saya sedih…karena dendam keluarga saya belum saya balaskan….sebelum saya mati!

“Saya rasa Liyas harus pulang ke Marpuyan. Pulang segera dengan jalan kaki. Sampaikan pada penduduk untuk siang ini juga menghilangkan jejak kedua mobil ini. Jangan ada Belanda yang tahu, bahwa kedua kendaraan ini telah kemari. Kalau mereka tahu, maka penduduk Marpuyan dan Buluh Cina akan mereka bunuh semua.

Pulanglah, dan hilangkan jejak mobil ini. Mungkin dihapus dengan menyapu pakai daun kelapa, atau dengan cangkul. Pokoknya tak ada jejak dari Marpuyan sampai kemari.

Kalau Belanda datang bertanya ke Marpuyan katakan saja bahwa setelah mereka menurunkan gadis dan ibunya itu, mereka meneruskan perjalanan ke Taratak Buluh. Mungkin terus ke Teluk Kuantan. Katakan saja begitu….dan mayat-mayat yang ada ini, termasuk kendaraannya, menjadi tanggungjawab Suman dan Bilal untuk menghilangkannya..”



Dia terhenti lagi. Ketika akan bicara, dia muntah darah. Dan jatuh terkulai. Dengan terkejut Bilal mendengarkan detak dadanya. Kemudian membuka matanya yang terpejam. Teman-teman menanti dengan tegang.



“Dia masih bernyawa. Kita harus menyelamatkan nyawanya. Sekarang tugas kita bagi. Liyas pulanglah ke Marpuyan. Turutkan petunjuk si Bungsu tadi. Saya akan memakai jeep itu, semua senjata akan saya bawa ke Buluh Cina bersama si Bungsu. Jeep ini akan saya benamkan dalam batang Kampar.

Tugas Suman adalah menghilangkan mayat dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan kaki ke Buluh Cina. Semua senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti….” Dan tanpa menunggu jawab, Bilal segera saja memangku tubuh anak muda itu ke atas jeep di puncak pendakian.



Kemudian dibantu kedua temannya mereka menaikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke atas jeep. Mayat Bidin dan Maarif juga, sebab mayat itu harus dikubur baik-baik. Jeep itu segera saja dilarikan oleh Bilal.  Jalannya tak menentu. Dia memang pernah membawa truk dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka jalannya melompat-lompat. Mereka menatap jeep itu menghilang di tikungan di antara belantara di jalan kecil itu.



“Kau pulanglah ke Marpuyan Liyas…” Suman berkata.

“Ya, saya akan pergi. Merdekaa!!”

“Merdekaa!!”



Liyas kemudian bergegas kembali ke arah darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal sendirian lalu menaikkan mayat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu.

Kemudian membersihkan bekas-bekas perkelahian di sana. Setelah itu dia menarik nafas panjang. Nah, kini tugasnya adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan raya. Dia memandang sekeliling. Dia kenal sangat dengan daerah ini. Sebab dia juga adalah penduduk kampung Buluh Cina.

Dahulu sebelum masuknya tentara Jepang, dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh ikan di boncengan belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian dari rumahnya. Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan Kapten Nurdin di Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan berjuang melawan fasis Jepang. Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.



Dia adalah bekas sopir ketika mula-mula Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa power wagon itu. Dia mendaki terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang Dunia ke II di Pasifik itu ke daerah yang bernama Kelok Petai.

Di sini dia membelokkan truk itu ke dalam semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar. Sebab hanya ditumbuhi oleh Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada jalan sama sekali. Dia masuk menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi rumah.

Dengan terseok-seok dia meneruskan perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya dia sampai ke sebuah sungai. Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga meter dan dalamnya sekitar dua atau tiga meter pula. Sungai ini merupakan bahagian hilir dari sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih tadi. Dan ke dalam sungai kecil di tengah belantara ilalang inilah dia membuangkan mayat-mayat Belanda itu.



Dia tahu dengan persis, bahwa dari sini sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau jalan kecil. Sungai ini menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak kaki manusia. Dan puluhan kilometer dari tempatnya sekarang sungai ini akan bermuara di Batang Kampar. Yaitu jauh di hilir kampung yang bernama Langgam. Dan dengan demikian, bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia. Sebab sebelum mencapai sungai Kampar, mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan dan cacing di sepanjang sungai dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai muara, maka mayat ini akan menjadi santapan buaya-buaya besar yang sarangnya memang di muara sungai ini di Batang Kampar sana. Nah, dengan mengusap peluh, akhirnya mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu masuk ke sungai! Kemudian dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja di tepi sungai di bawah pohon yang sangat rimbun.



Sepanjang jalan menuju keluar, dia membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi dilindas truk itu. Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan. Nah, kini selesailah bahagian tugasnya.

Dia yakin, Belanda takkan pernah menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan dalam sejarah perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat kalang kabut oleh lenyapnya secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka itu.

Dan sampai penyerahan kedaulatan secara penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.

Suman kini menuju ke arah Buluh Cina. Menjelang menuruni hutan di tepi Batang Kampar, dia tiba di kampung Kutik. Kampung kecil ini adalah persimpangan ke Pangkalan dan ke Buluh Cina. Ke Pangkalan jalan ke kiri dan Buluh Cina ke kanan.

Penghulu kampung itu segera menemuinya ketika melihat dia datang. Dan Suman lalu menceritakan apa yang telah mereka alami.



“Ya. Baru sebentar ini kami melihat Bilal lewat. Nampaknya sangat terburu. Hingga kami tak sempat bertanya…”



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 061

No comments:

Post a Comment