Maka tak heran
beberapa orang lalu berusaha untuk terjun ke bawah agar bisa memanfaatkan bedil
di tangan mereka. Dan yang punya kesempatan untuk berbuat itu hanya Kopral yang
jadi sopir. Semula dia ingin terjun ke bawah dan naik ke bak belakang ikut
dalam perkelahian itu. Tetapi otaknya memang cerdas. Dari pada susah-susah
turun, bukankah lebih baik menembak dari sini, pikirnya. Power wagon yang
dipergunakan itu adalah truk perang yang terbuka. Di bahagian belakang ada
kursi kayu yang dipakukan pada dinding kiri kanannya. Pada kursi kayu yang
dicat hitam inilah Belanda itu duduk berbaris. Sopir itu mengambiol stegunnya.
Kemudian tegak di tempat duduk. Dan suatu saat stegunnya menyalak. Yang jadi
korban adalah pejuang dari Marpuyan yang menyopiri jeep Belanda tersebut.
Tengkuk dan kepalanya dimakan empat peluru. Kontan tubuhnya tercampak ke bawah.
Kemudian suara stennya berhenti. Dia menanti kesempatan lain untuk bisa
menembak. Sebab dalam truk itu tengah terjadi pergumulan. Salah-salah dia bisa
membunuh teman sendiri. Kini Bilal tegak membelakanginya tanpa ada penghalang.
Stegunnya terangkat.
Saat itu pula
perkelahian antara si Bungsu dengan Leutenant itu berakhir. Dia mendengar suara
stengun yang tadi menyudahi nyawa pejuang dari Marpuyan yang jadi sopir tadi.
Si Bungsu
berbalik. Dan melihat sopir berpangkat itu membidikkan stennya. Dalam waktu
yang sangat singkat, perkelahian dengan serdadu Jepang membayang di kepalanya.
Betapa suatu
subuh dia dan Datuk Penghulu mencegat truk berisi tentara Jepang setelah
kematian istri dan anak Datuk Penghulu. Keadaannya persis seperti sekarang.
Saat itu
seorang perwira tengah membidikkan pistolnya dari tempat duduk depan ke arah
tengkuk Datuk Penghulu yang berada di depan truk berkelahi dengan tentara
Jepang.
Si Bungsu waktu
itu berada dibelakang truk. Dan untuk menolong Datuk Penghulu, samurainya dia
lemparkan dengan perhitungan yang cermat.
Samurai itu
meluncur, menembus kaca pemisah antara ruang belakang dengan ruang depan truk.
Kemudian menancap ditengkuk perwira Jepang itu.
Dan kini, di
pendakian Pasir Putih menjelang Buluh Cina ini, tindakan itu pula lah yang
diambil si Bungsu. Bedanya yang dulu dan yang sekarang adalah dalam soal letak.
Dulu lawannya Jepang. Kini Belanda!
Dahulu dia
berada di belakang. Kini di depan. Dahulu dia harus melemparkan samurainya
dengan tenaga ganda. Sebab harus menembus kaca tebal pemisah ruang belakang
dengan ruang depan. Kini hal itu tak perlu. Sebab Kopral yang memakai sten ini
berdiri, dan sebahagian badannya ke atas terbuka pula melewati batas kaca power
yang terbuka itu. Samurai si Bungsu meluncur seperti anak panah. Dan menancap
di bawah belikat kiri Kopral itu! Namun stennya meledak juga. Hanya yang kena
bukanlah Bilal, tapi nyasar entah ke mana. Tubuh kopral itu terjungkal dan mati.
Di bahagian
belakang truk itu, ketiga pejuang tersebut telah membunuh dua serdadu Belanda.
Berarti dengan yang dibunuh si Bungsu dan Bilal, ditambah dengan sopir power
itu, mereka telah berhasil membunuh tujuh orang belanda tanpa sebutir
pelurupun.
Dua orang lagi
berhasil turun melompat dari truk. Mereka memburu ke depan. Dan di depan truk
mereka menemui si Bungsu tanpa senjata.
“Anjing! Mati
kowe!” bentak mereka sambil serentak menembak. Nyawa si Bungsu di ujung tanduk.
Dia tak bersamurai. Dan itu sama dengan bertelanjang. Satu-satunya harapan
baginya adalah gerak “lompat tupai”!!
Dia
bergulingan. Namun terlambat! Serentetaan tembakan sten menghajar tubuhnya. Dia
jatuh bergulingan ke tanah. Tapi bukan dengan jurus lompat tupai itu. Dia
bergulingan karena dihantam peluru!
“Mati kowe!”
kedua Belanda itu serentak berseru dan menembak lagi.
Namun
tembakannya terdengar kalah keras dengan tembakan yang tiba-tiba datang dari
puncak pendakian!
Serentetan
tembakan mitraliyur terdengar merobek rimba di Pasir Putih itu. Dan kedua
tentara Belanda itu seperti dilanda Badai. Terdongak-dongak. Terpental-pental!
Di puncak
pendakian berdiri Suman dengan 12,7 ditangannya! Dengan demikian sepuluh orang
Belanda telah mati. Sisanya yang tiga orang tiba-tiba mengangkat tangan.
“Maaf, eh ampun
tuan. Kami menyerah” seorang KNIL berkata dalam bahasa Indonesia.
Sementara dua
tentara Belanda aslinya lainnya tegak dengan menggigil.
Namun dari
puncak pendakian 12,7 si Suman tak memberi keampunan. Mitraliyur menyalak lagi.
Dan ketiga Belanda yang menyerah itu terpental-pental. Menjerit dan rubuh.
“Suman!!” Bilal
berteriak.
Namun
teriakannya percuma. Mitraliyur ditangan Suman menyalak lagi. Menyikat ketiga
tubuh tentara Belanda itu. Dia baru berhenti ketika merasa puas. Kemudian
mencampakkan 12,7 nya lalu berlari bersama yang lain ke tubuh si Bungsu. Tiga
peluru menghajar bahu, lengan dan perutnya. Nafasnya memburu. Darah membasahi
tubuhnya.
“Bungsu…”
teriak Suman tertahan.
Anak muda itu
membuka mata. Merasakan linu dan sakit yang bukan main di tiga bahagian
tubuhnya.
“Bagaimana yang
lain?” tanyanya perlahan sekali.
“Kami selamat
semua Bungsu….” Bilal menjawab.
Si Bungsu
menelan ludah. Bibirnya pucat dan retak-retak.
“Kulihat Maarif
kena tembak…” Si Bungsu menyanggah keterangan Bilal. Mereka jadi tertunduk.
“Bagaimana
dia…?”
“Ya, dia
meninggal…” Bilal berkata perlahan.
Si Bungsu
menatap keliling. Menatap teman-temanya itu. Dia melihat wajah pejuang-pejuang
yang tangguh. Yang rela berkorban untuk Negaranya. Dan tiba-tiba dia jadi
terharu. Terharu karena tak bisa membantu mereka lebih banyak.
“Saya bangga,
kalian pejuang yang militan. Sayang saya harus pergi jauh….sampai di sini
janjian saya…” katanya. Dan air mata meleleh di sudut matanya.
Suman, Bilal
dan seorang pejuang dari Marpuyan lainnya, yang bernama Liyas terdiam.
“Mari kita
terus ke Buluh Cina….” Bilal berkata sambil mengangkat tubuh si Bungsu. Namun
anak muda ini menggeleng.
“Pak…barangkali
nyawa saya tak bisa bertahan ke kampung bapak. Jangan potong dulu pembicaraan
saya. Kalau saya mati, ambil cincin ini, kirimkanlah ke Bukittinggi. Pada
seorang gadis bernama Salma, katakan saya telah mati….hanya dia tempat saya
berkabar berita. Tak ada yang lain. Semua keluarga saya telah punah. Dialah
yang telah mengobati saya dari sakit, dari resah dan rindu..”
Dia terhenti.
Nafasnya memburu. Dan dari mulutnya darah mengalir. Nampaknya dia memang tak
lagi bisa tertolong. Ada bahagian dalam dari tubuhnya yang terkena parah.
Hingga darah tak saja keluar lewat luka, tapi juga keluar lewat mulut.
“Saya
sedih…karena dendam keluarga saya belum saya balaskan….sebelum saya mati!
“Saya rasa
Liyas harus pulang ke Marpuyan. Pulang segera dengan jalan kaki. Sampaikan pada
penduduk untuk siang ini juga menghilangkan jejak kedua mobil ini. Jangan ada
Belanda yang tahu, bahwa kedua kendaraan ini telah kemari. Kalau mereka tahu,
maka penduduk Marpuyan dan Buluh Cina akan mereka bunuh semua.
Pulanglah, dan
hilangkan jejak mobil ini. Mungkin dihapus dengan menyapu pakai daun kelapa,
atau dengan cangkul. Pokoknya tak ada jejak dari Marpuyan sampai kemari.
Kalau Belanda
datang bertanya ke Marpuyan katakan saja bahwa setelah mereka menurunkan gadis
dan ibunya itu, mereka meneruskan perjalanan ke Taratak Buluh. Mungkin terus ke
Teluk Kuantan. Katakan saja begitu….dan mayat-mayat yang ada ini, termasuk
kendaraannya, menjadi tanggungjawab Suman dan Bilal untuk menghilangkannya..”
Dia terhenti
lagi. Ketika akan bicara, dia muntah darah. Dan jatuh terkulai. Dengan terkejut
Bilal mendengarkan detak dadanya. Kemudian membuka matanya yang terpejam.
Teman-teman menanti dengan tegang.
“Dia masih
bernyawa. Kita harus menyelamatkan nyawanya. Sekarang tugas kita bagi. Liyas
pulanglah ke Marpuyan. Turutkan petunjuk si Bungsu tadi. Saya akan memakai jeep
itu, semua senjata akan saya bawa ke Buluh Cina bersama si Bungsu. Jeep ini
akan saya benamkan dalam batang Kampar.
Tugas Suman
adalah menghilangkan mayat dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan
kaki ke Buluh Cina. Semua senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti….” Dan
tanpa menunggu jawab, Bilal segera saja memangku tubuh anak muda itu ke atas
jeep di puncak pendakian.
Kemudian
dibantu kedua temannya mereka menaikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke
atas jeep. Mayat Bidin dan Maarif juga, sebab mayat itu harus dikubur
baik-baik. Jeep itu segera saja dilarikan oleh Bilal. Jalannya tak menentu. Dia memang pernah
membawa truk dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka jalannya
melompat-lompat. Mereka menatap jeep itu menghilang di tikungan di antara
belantara di jalan kecil itu.
“Kau pulanglah
ke Marpuyan Liyas…” Suman berkata.
“Ya, saya akan
pergi. Merdekaa!!”
“Merdekaa!!”
Liyas kemudian
bergegas kembali ke arah darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal
sendirian lalu menaikkan mayat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu.
Kemudian
membersihkan bekas-bekas perkelahian di sana. Setelah itu dia menarik nafas
panjang. Nah, kini tugasnya adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan
raya. Dia memandang sekeliling. Dia kenal sangat dengan daerah ini. Sebab dia
juga adalah penduduk kampung Buluh Cina.
Dahulu sebelum
masuknya tentara Jepang, dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh
ikan di boncengan belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian
dari rumahnya. Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan Kapten Nurdin di
Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan berjuang melawan fasis Jepang.
Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.
Dia adalah
bekas sopir ketika mula-mula Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa
power wagon itu. Dia mendaki terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang
Dunia ke II di Pasifik itu ke daerah yang bernama Kelok Petai.
Di sini dia
membelokkan truk itu ke dalam semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar.
Sebab hanya ditumbuhi oleh Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada
jalan sama sekali. Dia masuk menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi
rumah.
Dengan
terseok-seok dia meneruskan perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya
dia sampai ke sebuah sungai. Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga
meter dan dalamnya sekitar dua atau tiga meter pula. Sungai ini merupakan
bahagian hilir dari sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih
tadi. Dan ke dalam sungai kecil di tengah belantara ilalang inilah dia
membuangkan mayat-mayat Belanda itu.
Dia tahu dengan
persis, bahwa dari sini sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau
jalan kecil. Sungai ini menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak
kaki manusia. Dan puluhan kilometer dari tempatnya sekarang sungai ini akan
bermuara di Batang Kampar. Yaitu jauh di hilir kampung yang bernama Langgam.
Dan dengan demikian, bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia. Sebab
sebelum mencapai sungai Kampar, mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan
dan cacing di sepanjang sungai dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai
muara, maka mayat ini akan menjadi santapan buaya-buaya besar yang sarangnya
memang di muara sungai ini di Batang Kampar sana. Nah, dengan mengusap peluh,
akhirnya mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu masuk ke
sungai! Kemudian dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja di tepi sungai di bawah
pohon yang sangat rimbun.
Sepanjang jalan
menuju keluar, dia membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi
dilindas truk itu. Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan. Nah, kini
selesailah bahagian tugasnya.
Dia yakin,
Belanda takkan pernah menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan
dalam sejarah perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat
kalang kabut oleh lenyapnya secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka
itu.
Dan sampai
penyerahan kedaulatan secara penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.
Suman kini
menuju ke arah Buluh Cina. Menjelang menuruni hutan di tepi Batang Kampar, dia
tiba di kampung Kutik. Kampung kecil ini adalah persimpangan ke Pangkalan dan
ke Buluh Cina. Ke Pangkalan jalan ke kiri dan Buluh Cina ke kanan.
Penghulu
kampung itu segera menemuinya ketika melihat dia datang. Dan Suman lalu
menceritakan apa yang telah mereka alami.
“Ya. Baru
sebentar ini kami melihat Bilal lewat. Nampaknya sangat terburu. Hingga kami
tak sempat bertanya…”
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 061
No comments:
Post a Comment