Namun kendaraan
apapun yang datang itu, apakah militer atau sipil keduanya sama-sama berbahaya
bagi mereka. Bila kejadian ini diketahui Belanda maka pembalasan yang
mengerikan akan menimpa penduduk Marpuyan.
“Itu power
tentara Belanda!” Suman yang anggota fisabilillah, yang datang bersama si
Bungsu dari Pekanbaru berkata.
Mereka bergegas
menaikkan mayat-mayat itu ke atas jeep. Menggulingkan di bak belakang.
Suara power
yang merupakan sejenis truk perang itu makin menakutkan.
“Siapa yang
menyetir mobil?” tanya si Bungsu. Kedua temannya yang dari Pekanbaru
menggeleng.
“Maarif…kau
saja…!” Pemilik kedai bicara pada salah seorang pejuang dari perhentian
Marpuyan yang tadi ikut menikam Belanda.
“Dia biasa
membawa truk!” pemilik kedai itu berkata cepat.
Pejuang bawah
tanah yang bernama Maarif itu tak banyak cakap. Dia melompat ke balik stir.
Kemudian menghidupkan mesin. Si Bungsu dan kedua temannya melompat pula ke bak
belakang. Demikian pula pejuang yang satu lagi, yaitu temannya si Maarif.
“Kemana kita?”
Maarif berkata sambil menjalankan jeep.
“Arahkan ke
Buluh Cina…” tanpa sadar sepenuhnya si Bungsu berkata.
Jeep itu segera
membelok ke kiri. Meninggalkan pemilik kedai dan kedua perempuan itu tegak di
pinggir jalan.
“Katakan kepada
mereka, teman mereka mengejar pejuang….!” Si Bungsu berteriak pada pemilik
kedai tersebut. Pemilik kedai hanya sempat mengangguk.
Hanya selang
tiga menit, power wagon yang berisi selusin KNIL dan KL sampai pula disana.
“Hmm, sudah
sampai kalian di kampung he..?” seorang Leutenant bertanya pada gadis yang baru
turun itu. Yang masih saja tegak di pinggir
jalan.
Gadis cantik
itu hanya menunduk. Matanya membersitkan kebencian. Dan Leutenant itu nyengir.
Pemilik kedai tegak dengan tegang. Sebab semakin lama tentara Belanda ini
berhenti di depan kedainya, bisa bocor pembunuhan yang baru saja terjadi
beberapa menit yang lalu.
Kalau saja ada
diantar mereka yang bermata tajam, maka mereka akan melihat bercak-bercak darah
pada kerikil di jalanan. Tapi untunglah hal itu tak kejadian. Sehabis nyengir
pada gadis cantik yang telah mereka nodai itu, si Leutenant bertanya pada
pemilik lepau dengan berteriak:
“He pak tua,
mau ke mana Sergeant Rudolf dengan jeepnya itu?”
“Mengejar
pejuang yang baru saja lewat di sini…”
“Pejuang yang
lewat”
“Ya. Ada tiga
orang…!”
Para tentara
Belanda di atas power itu saling pandang.
“Godverdome!
Ayo kejar…!!”perintah leutenant itu mengguntur. Dan power wagon itu segera
meraung-raung ke kiri dan melaju ke arah Buluh Cina.
“Semoga kalian
mampus semua…!”gadis cantik yang dinodai Belanda itu menyumpah.
Di atas jeep
yang dikemudikan oleh pejuang dari perhentian Marpuyan itu tengah terjadi
perundingan.
“Kita cegat
mereka di pendakian Pasir Putih…!” kata anggota fisabilillah yang berasal dari
Buluh Cina dan bernama Bilal. Pejuang ini adalah teman si Bungsu dari Pekanbaru
yang kena tampar KNIL di Simpang Tiga tadi.
“Kita tembak
mereka dengan senapan mereka sendiri?” temannya yang bernama Suman bertanya.
“Ya, agar
mereka rasakan betapa senjata makan tuan…” jawab Bilal.
“Bagaimana,
kita cegat mereka di mana?” Bilal bertanya pada si Bungsu.
Si Bungsu
menatap pada mitraliyur 12,7 yang tegak di bak belakang jeep. Melihat pelurunya
yang berantai panjang.
“Apakah kalian
mempunyai cukup peluru untuk berperang?” si Bungsu balik bertanya. Para pejuang
itu saling bertukar pandang.
“Tak begitu
banyak…” Bilal menjawab jujur.
“Kalau begitu
kita hajar mereka tanpa buang peluru…..” si Bungsu berkata pasti.
“Bagaimana
caranya?”
Dan cara mencegat
tanpa menghamburkan peluru itu diatur oleh si Bungsu.
Sementara itu,
power wagon yang memuat selusin serdadu Belanda itu meraung-raung membelah
jalan kecil menuju ke Buluh Cina itu. Tiba-tiba di depan mereka, di tengah
pendakian, mereka melihat dua orang sosok tubuh tentara Belanda. Sebab pakaian
loreng yang mereka pakai menunjukkan hal itu.
Tubuh itu makin
didekati makin nyata berlumuran darah.
“Jahanam!
Berhenti. Mereka ternyata telah membunuh serdadu kita….” Leutenant yang
memimpin patroli itu menyumpah.
Dia segera
mengenali bawahannya itu sebagai serdadu KNIL yang ikut dengan sersan di Jeep
tersebut. Kulit mereka yang hitam membuktikan bahwa mereka adalah tentara KNIL.
Power itu
segera dihentikan persis di tengah-tengah pendakian di dekat tubuh kedua
serdadu KNIL tersebut. Leutenant itu kemudian melompat turun.
“Ayo. Tolong
angkat!” serunya.
Empat orang
tentara Belanda lainnya berlompatan turun. Kemudian mengangkat tubuh teman
mereka itu. Namun begitu mereka menyentuh tubuh yang tertelungkup itu,
tiba-tiba saja kedua “mayat” tersebut melonjak.
Yang pertama
menjadi korban adalah seorang Kopral. Tubuh yang akan diangkat membalik. Dan
sebilah samurai menghajar dadadnya. Kontan dadanya belah. Temannya seorang
soldaat tertegun, dan saat itulah dadanya juga ditembus samurai.
Dalam waktu
hanya beberapa detik, keduanya rubuh dimakan samurai “mayat” yang akan mereka
angkat.
“Mayat” yang
satu lagi, yang ternyata adalah si Bilal, anggota fisabilillah yang berasal
dari Buluh Cina itu juga beraksi.
Dia adalah
seorang pesilat aliran Pengian yang tangguh. Begitu dia merasakan tangan
menjamah tubuhnya, dia segera menelentang. Dan kakinya menghujam ke atas. Tumitnya
mendarat persis di kerampang sergeant yang tadi akan mengangkatnya.
Demikian
kuatnya tendangan itu. Hingga tubuh sergaent itu terangkat sehasta dari
tempatnya berpijak. Kemudian terguling. Sergeant ini tak sempat menjerit. Hanya
wajahnya yang menjadi kelabu tiba-tiba. Gelandutnya pecah dan nyawanya melayang
saat itu.
Saat
berikutnya, tubuh Bilal ini melentik dengan manis lalu berdiri. Dan
tendangannya kemudian menghajar seorang soldaat teman si sergeant yang berniat
mengangkat tubuhnya tadi. Tendangan itu agak meleset. Sebab si soldaat sempat
mundur selangkah.
Bilal memburu.
Dan kali ini dua buah jari tangan kanannya meluncur ke depan seperti kecepatan
seekor ular yang marah. Dan soldaat itu tak sempat mengelak lagi. Jurus tusukan
dari silat Pangian itu menghujam kedua matanya. Dan seiring dengan pekik
kesakitan, kedua matanya terlompat keluar dimakan jari-jari Bilal.
Perkelahian di bahagian
si Bilal ini berakhir beberapa detik setelah perkelahian di pihak si Bungsu
berakhir. Sebenarnya tak dapat disebut perkelahian. Sebab dalam suatu
perkelahian senantiasa ada lawan ada yang melawan. Sedangkan dalam peristiwa di
pendakian Pasir Putih ini keempat Belanda itu tak ada yang melawan. Katakanlah,
mereka sebenarnya tak punya kesempatan untuk melawan sedikitpun. Kejadian ini
tak pernah mereka duga. Terlalu cepat kejadiannya bagi mereka. Mereka semua
menyangka yang mati tergolek di pendakian itu adalah serdadu KNIL yang
tadi ikut dengan jeep itu mengantarkan
dua perempuan yang telah mereka kerjakan di Perhentian Marpuyan. Tak tahunya di
balik pakaian loreng itu ternyata tubuh para ekstremis. Tubuh kaum perusuh dan
pemberontak, menurut istilah mereka.
Dan inilah
jebatan yang diatur oleh si Bungsu itu. Yaitu jebakan yang tak mempergunakan
peluru sebagai pengganti jebakan yang direncanakan oleh Bilal yang akan
mencegat Belanda di pendakian ini dengan menghajar mereka memakai senjata 12,7.
Si Bungsu
menerangkan rencananya itu sambil membuka pakaian KNIL yang tergolek di bak
belakang jeep. Kemudian memakainya. Pejuang-pejuang Indonesia lainnya jadi
mengerti. Dan yang berminat ikut bersama si Bungsu untuk pura-pura jadi mayat
adalah Bilal.
Dia disebut
dengan panggilan Bilal adalah karena sehari-harinya di Buluh Cina tugasnya
adalah memang jadi Muazin dan imam di Mesjid. Nama aslinya jarang orang yang
tahu. Sebab sejak kecil, sejak pandai mengaji, dia telah jadi muazin
dikampungnya. Dan nama Bilal melekat pada dirinya. Dia memang pesilat yang
tangguh. Di Buluh Cina ada puluhan muridnya yang menjadi pendekar yang disegani
orang. Dan si Bungsu menyetujui pendakian Pasir Putih itu sebagai tempat
memasang jebakan. Pendakian itu cukup tinggi. Di bawahnya mereka melalui sebuah
sungai dangkal yang melintang di jalan. Dasar sungai itu berpasir sangat putih
dan airnya sangat jernih. Di kiri kanannya terdapat tebing yang berhutan dan
bersemak lebat.
“Kita turun di sini,
dan antarkan jeep ini ke balik pendakian” si Bungsu berkata sambil melompat
turun.
Bilal dan kedua
pejuang lainnya juga menghambur turun. Jeep itu terus ke puncak pendakian.
Kemudian lenyap dari pandangan.
Tak lama
kemudian sopirnya muncul. Si Bungsu dengan cepat menyuruh pejuang itu
bersembunyi di tebing kiri dan kanan tebing tersebut.
“Engkau
menunggu di jeep….” Dia berkata pada Suman. Suman jadi kaget.
“Kenapa harus
di sana?”
“Rencana ini
belum tentu berhasil seluruhnya. Kalau kami gagal, maka engkau menjadi harapan
terakhir untuk menyudahi mereka dengan mitraliyur itu..”
“Tapi,,,”
“Mereka bukan
orang bodoh Suman. Mungkin saja kami segera mereka kenali. Nah, kalau hal itu
terjadi, maka kami akan jadi korban sia-sia. Kalau mereka mengenali kami dan
mereka justru tak berhenti, mereka tentu akan melindas tubuh kami dengan truk
itu.
Yang
bersembunyi di tebing itu takkan ada artinya. Nah, bila hal ini terhadi. Maka
komando kami serahkan padamu. Bila truk itu ternyata sampai ke puncak pendakian
itu berarti aku dan Bilal sudah jadi mayat dilindasnya. Engkau sambut mereka
dengan mitraliyurmu….”
Suman dan yang lainnya
segera jadi mengerti. Tanpa banyak tanya lagi Suman yang sama-sama datang dari
Pekanbaru itu segera berlari ke jeep di balik pendakian itu.
Namun ternyata
Belanda-Belanda itu memakan umpan yang dipasang si Bungsu. Mereka berhenti dan
berniat mengangkat “mayat” teman-temannya. Dan di situlah kesalahan mereka. Begitu
keempat serdadu Belanda itu selesai dalam waktu yang tak sampai sepuluh
hitungan, dari tebing yang berhutan dipinggir truk melompat kedua pejuang
lainnya ke atas truk. Dan sebelum para Belanda itu menyadari apa yang terjadi,
mereka telah dimakan oleh tikaman pejuang-pejuang itu. Bilal sendiri segera
melompat ke atas truk tersebut dan kaki serta tangannya bekerja pula.
Akan halnya si
Bungsu segera berhadapan dengan Leutenant yang memimpin patroli itu. Leutenant
itu bukan main marahnya mendapatkan kenyataan tersebut.
Dia mencabut
pistolnya. Si Bungsu masih membiarkan. Samurainya yang berdarah sudah
disisipkan ke dalam sarungnya. Dan kini samurai itu dia pegang dengan tangan
kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas. Pistol Leutenat itu keluar
dari sarungnya. Kemudian terangkat tinggi. Si Bungsu masih membiarkan. Jarak
tegak mereka hanya dua depa. Leutenat itu berteriak:
“Godverdoom!
Kubunuh kowe monyeeeet!!” dan telunjuknya menarik pelatuk pistol tersebut.
Dan saat itulah
si Bungsu bergerak. Tangan kanannya yang tergantung lemas bergerak seperti
kilat. Mencabut samurai dan melangkah selangkah ke depan. Kemudian samurainya
menyilang dari kiri atas ke kenan bawah. Yang dia babat pertama adalah tangan
kanan leutenat yang memegang pistol itu. Sedetik sebelum pistol meledak, tangan
leutenant itu putus hingga sikunya. Leutenant itu belum sempat memekik, sabetan
samurai yang kedua menyusul pula. Membabat dadanya dari kiri mendatar ke kanan.
Dadanya belah persis dipertengahan kantong. Ada beberapa lembar uang dan
beberapa lembar foto cabul dalam kedua kantong baju leutenant itu dan semuanya
terpotong dua bersama dadanya.
Dan leutenant
itu memang tak pernah sempat menjerit diakhir hayatnya ini. Demikian cepatnya
samurai si Bungsu.
Akan halnya di atas
truk itu, perkelahian lebih banyak menguntungkan pihak pejuang.
Mereka memang
pesilat-pesilat yang telah masak seperti halnya Bilal. Maka perkelahian dalam
truk dengan jarak dekat itu memang merupakan makanan empuk bagi mereka.
Sementara di pihak Belanda yang umumnya hanya mahir mempergunakan bedil
panjang, dihadapkan pada situasi yang hampir-hampir bergumul ini jadi kalang
kabut.
Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 060
No comments:
Post a Comment