Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 061

Namun kendaraan apapun yang datang itu, apakah militer atau sipil keduanya sama-sama berbahaya bagi mereka. Bila kejadian ini diketahui Belanda maka pembalasan yang mengerikan akan menimpa penduduk Marpuyan.



“Itu power tentara Belanda!” Suman yang anggota fisabilillah, yang datang bersama si Bungsu dari Pekanbaru berkata.



Mereka bergegas menaikkan mayat-mayat itu ke atas jeep. Menggulingkan di bak belakang.

Suara power yang merupakan sejenis truk perang itu makin menakutkan.



“Siapa yang menyetir mobil?” tanya si Bungsu. Kedua temannya yang dari Pekanbaru menggeleng.

“Maarif…kau saja…!” Pemilik kedai bicara pada salah seorang pejuang dari perhentian Marpuyan yang tadi ikut menikam Belanda.

“Dia biasa membawa truk!” pemilik kedai itu berkata cepat.



Pejuang bawah tanah yang bernama Maarif itu tak banyak cakap. Dia melompat ke balik stir. Kemudian menghidupkan mesin. Si Bungsu dan kedua temannya melompat pula ke bak belakang. Demikian pula pejuang yang satu lagi, yaitu temannya si Maarif.



“Kemana kita?” Maarif berkata sambil menjalankan jeep.

“Arahkan ke Buluh Cina…” tanpa sadar sepenuhnya si Bungsu berkata.



Jeep itu segera membelok ke kiri. Meninggalkan pemilik kedai dan kedua perempuan itu tegak di pinggir jalan.



“Katakan kepada mereka, teman mereka mengejar pejuang….!” Si Bungsu berteriak pada pemilik kedai tersebut. Pemilik kedai hanya sempat mengangguk.



Hanya selang tiga menit, power wagon yang berisi selusin KNIL dan KL sampai pula disana.



“Hmm, sudah sampai kalian di kampung he..?” seorang Leutenant bertanya pada gadis yang baru turun itu. Yang masih saja tegak  di pinggir jalan.



Gadis cantik itu hanya menunduk. Matanya membersitkan kebencian. Dan Leutenant itu nyengir. Pemilik kedai tegak dengan tegang. Sebab semakin lama tentara Belanda ini berhenti di depan kedainya, bisa bocor pembunuhan yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.

Kalau saja ada diantar mereka yang bermata tajam, maka mereka akan melihat bercak-bercak darah pada kerikil di jalanan. Tapi untunglah hal itu tak kejadian. Sehabis nyengir pada gadis cantik yang telah mereka nodai itu, si Leutenant bertanya pada pemilik lepau dengan berteriak:



“He pak tua, mau ke mana Sergeant Rudolf dengan jeepnya itu?”

“Mengejar pejuang yang baru saja lewat di sini…”

“Pejuang yang lewat”

“Ya. Ada tiga orang…!”



Para tentara Belanda di atas power itu saling pandang.



“Godverdome! Ayo kejar…!!”perintah leutenant itu mengguntur. Dan power wagon itu segera meraung-raung ke kiri dan melaju ke arah Buluh Cina.

“Semoga kalian mampus semua…!”gadis cantik yang dinodai Belanda itu menyumpah.



Di atas jeep yang dikemudikan oleh pejuang dari perhentian Marpuyan itu tengah terjadi perundingan.



“Kita cegat mereka di pendakian Pasir Putih…!” kata anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina dan bernama Bilal. Pejuang ini adalah teman si Bungsu dari Pekanbaru yang kena tampar KNIL di Simpang Tiga tadi.

“Kita tembak mereka dengan senapan mereka sendiri?” temannya yang bernama Suman bertanya.

“Ya, agar mereka rasakan betapa senjata makan tuan…” jawab Bilal.

“Bagaimana, kita cegat mereka di mana?” Bilal bertanya pada si Bungsu.



Si Bungsu menatap pada mitraliyur 12,7 yang tegak di bak belakang jeep. Melihat pelurunya yang berantai panjang.



“Apakah kalian mempunyai cukup peluru untuk berperang?” si Bungsu balik bertanya. Para pejuang itu saling bertukar pandang.

“Tak begitu banyak…” Bilal menjawab jujur.

“Kalau begitu kita hajar mereka tanpa buang peluru…..” si Bungsu berkata pasti.

“Bagaimana caranya?”



Dan cara mencegat tanpa menghamburkan peluru itu diatur oleh si Bungsu.

Sementara itu, power wagon yang memuat selusin serdadu Belanda itu meraung-raung membelah jalan kecil menuju ke Buluh Cina itu. Tiba-tiba di depan mereka, di tengah pendakian, mereka melihat dua orang sosok tubuh tentara Belanda. Sebab pakaian loreng yang mereka pakai menunjukkan hal itu.

Tubuh itu makin didekati makin nyata berlumuran darah.



“Jahanam! Berhenti. Mereka ternyata telah membunuh serdadu kita….” Leutenant yang memimpin patroli itu menyumpah.



Dia segera mengenali bawahannya itu sebagai serdadu KNIL yang ikut dengan sersan di Jeep tersebut. Kulit mereka yang hitam membuktikan bahwa mereka adalah tentara KNIL.

Power itu segera dihentikan persis di tengah-tengah pendakian di dekat tubuh kedua serdadu KNIL tersebut. Leutenant itu kemudian melompat turun.



“Ayo. Tolong angkat!” serunya.



Empat orang tentara Belanda lainnya berlompatan turun. Kemudian mengangkat tubuh teman mereka itu. Namun begitu mereka menyentuh tubuh yang tertelungkup itu, tiba-tiba saja kedua “mayat” tersebut melonjak.

Yang pertama menjadi korban adalah seorang Kopral. Tubuh yang akan diangkat membalik. Dan sebilah samurai menghajar dadadnya. Kontan dadanya belah. Temannya seorang soldaat tertegun, dan saat itulah dadanya juga ditembus samurai.

Dalam waktu hanya beberapa detik, keduanya rubuh dimakan samurai “mayat” yang akan mereka angkat.

“Mayat” yang satu lagi, yang ternyata adalah si Bilal, anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina itu juga beraksi.

Dia adalah seorang pesilat aliran Pengian yang tangguh. Begitu dia merasakan tangan menjamah tubuhnya, dia segera menelentang. Dan kakinya menghujam ke atas. Tumitnya mendarat persis di kerampang sergeant yang tadi akan mengangkatnya.

Demikian kuatnya tendangan itu. Hingga tubuh sergaent itu terangkat sehasta dari tempatnya berpijak. Kemudian terguling. Sergeant ini tak sempat menjerit. Hanya wajahnya yang menjadi kelabu tiba-tiba. Gelandutnya pecah dan nyawanya melayang saat itu.

Saat berikutnya, tubuh Bilal ini melentik dengan manis lalu berdiri. Dan tendangannya kemudian menghajar seorang soldaat teman si sergeant yang berniat mengangkat tubuhnya tadi. Tendangan itu agak meleset. Sebab si soldaat sempat mundur selangkah.

Bilal memburu. Dan kali ini dua buah jari tangan kanannya meluncur ke depan seperti kecepatan seekor ular yang marah. Dan soldaat itu tak sempat mengelak lagi. Jurus tusukan dari silat Pangian itu menghujam kedua matanya. Dan seiring dengan pekik kesakitan, kedua matanya terlompat keluar dimakan jari-jari Bilal.



Perkelahian di bahagian si Bilal ini berakhir beberapa detik setelah perkelahian di pihak si Bungsu berakhir. Sebenarnya tak dapat disebut perkelahian. Sebab dalam suatu perkelahian senantiasa ada lawan ada yang melawan. Sedangkan dalam peristiwa di pendakian Pasir Putih ini keempat Belanda itu tak ada yang melawan. Katakanlah, mereka sebenarnya tak punya kesempatan untuk melawan sedikitpun. Kejadian ini tak pernah mereka duga. Terlalu cepat kejadiannya bagi mereka. Mereka semua menyangka yang mati tergolek di pendakian itu adalah serdadu KNIL yang tadi  ikut dengan jeep itu mengantarkan dua perempuan yang telah mereka kerjakan di Perhentian Marpuyan. Tak tahunya di balik pakaian loreng itu ternyata tubuh para ekstremis. Tubuh kaum perusuh dan pemberontak, menurut istilah mereka.



Dan inilah jebatan yang diatur oleh si Bungsu itu. Yaitu jebakan yang tak mempergunakan peluru sebagai pengganti jebakan yang direncanakan oleh Bilal yang akan mencegat Belanda di pendakian ini dengan menghajar mereka memakai senjata 12,7.

Si Bungsu menerangkan rencananya itu sambil membuka pakaian KNIL yang tergolek di bak belakang jeep. Kemudian memakainya. Pejuang-pejuang Indonesia lainnya jadi mengerti. Dan yang berminat ikut bersama si Bungsu untuk pura-pura jadi mayat adalah Bilal.

Dia disebut dengan panggilan Bilal adalah karena sehari-harinya di Buluh Cina tugasnya adalah memang jadi Muazin dan imam di Mesjid. Nama aslinya jarang orang yang tahu. Sebab sejak kecil, sejak pandai mengaji, dia telah jadi muazin dikampungnya. Dan nama Bilal melekat pada dirinya. Dia memang pesilat yang tangguh. Di Buluh Cina ada puluhan muridnya yang menjadi pendekar yang disegani orang. Dan si Bungsu menyetujui pendakian Pasir Putih itu sebagai tempat memasang jebakan. Pendakian itu cukup tinggi. Di bawahnya mereka melalui sebuah sungai dangkal yang melintang di jalan. Dasar sungai itu berpasir sangat putih dan airnya sangat jernih. Di kiri kanannya terdapat tebing yang berhutan dan bersemak lebat.



“Kita turun di sini, dan antarkan jeep ini ke balik pendakian” si Bungsu berkata sambil melompat turun.



Bilal dan kedua pejuang lainnya juga menghambur turun. Jeep itu terus ke puncak pendakian. Kemudian lenyap dari pandangan.

Tak lama kemudian sopirnya muncul. Si Bungsu dengan cepat menyuruh pejuang itu bersembunyi di tebing kiri dan kanan tebing tersebut.



“Engkau menunggu di jeep….” Dia berkata pada Suman. Suman jadi kaget.

“Kenapa harus di sana?”

“Rencana ini belum tentu berhasil seluruhnya. Kalau kami gagal, maka engkau menjadi harapan terakhir untuk menyudahi mereka dengan mitraliyur itu..”

“Tapi,,,”

“Mereka bukan orang bodoh Suman. Mungkin saja kami segera mereka kenali. Nah, kalau hal itu terjadi, maka kami akan jadi korban sia-sia. Kalau mereka mengenali kami dan mereka justru tak berhenti, mereka tentu akan melindas tubuh kami dengan truk itu.

Yang bersembunyi di tebing itu takkan ada artinya. Nah, bila hal ini terhadi. Maka komando kami serahkan padamu. Bila truk itu ternyata sampai ke puncak pendakian itu berarti aku dan Bilal sudah jadi mayat dilindasnya. Engkau sambut mereka dengan mitraliyurmu….”



Suman dan yang lainnya segera jadi mengerti. Tanpa banyak tanya lagi Suman yang sama-sama datang dari Pekanbaru itu segera berlari ke jeep di balik pendakian itu.

Namun ternyata Belanda-Belanda itu memakan umpan yang dipasang si Bungsu. Mereka berhenti dan berniat mengangkat “mayat” teman-temannya. Dan di situlah kesalahan mereka. Begitu keempat serdadu Belanda itu selesai dalam waktu yang tak sampai sepuluh hitungan, dari tebing yang berhutan dipinggir truk melompat kedua pejuang lainnya ke atas truk. Dan sebelum para Belanda itu menyadari apa yang terjadi, mereka telah dimakan oleh tikaman pejuang-pejuang itu. Bilal sendiri segera melompat ke atas truk tersebut dan kaki serta tangannya bekerja pula.



Akan halnya si Bungsu segera berhadapan dengan Leutenant yang memimpin patroli itu. Leutenant itu bukan main marahnya mendapatkan kenyataan tersebut.

Dia mencabut pistolnya. Si Bungsu masih membiarkan. Samurainya yang berdarah sudah disisipkan ke dalam sarungnya. Dan kini samurai itu dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas. Pistol Leutenat itu keluar dari sarungnya. Kemudian terangkat tinggi. Si Bungsu masih membiarkan. Jarak tegak mereka hanya dua depa. Leutenat itu berteriak:



“Godverdoom! Kubunuh kowe monyeeeet!!” dan telunjuknya menarik pelatuk pistol tersebut.



Dan saat itulah si Bungsu bergerak. Tangan kanannya yang tergantung lemas bergerak seperti kilat. Mencabut samurai dan melangkah selangkah ke depan. Kemudian samurainya menyilang dari kiri atas ke kenan bawah. Yang dia babat pertama adalah tangan kanan leutenat yang memegang pistol itu. Sedetik sebelum pistol meledak, tangan leutenant itu putus hingga sikunya. Leutenant itu belum sempat memekik, sabetan samurai yang kedua menyusul pula. Membabat dadanya dari kiri mendatar ke kanan. Dadanya belah persis dipertengahan kantong. Ada beberapa lembar uang dan beberapa lembar foto cabul dalam kedua kantong baju leutenant itu dan semuanya terpotong dua bersama dadanya.

Dan leutenant itu memang tak pernah sempat menjerit diakhir hayatnya ini. Demikian cepatnya samurai si Bungsu.



Akan halnya di atas truk itu, perkelahian lebih banyak menguntungkan pihak pejuang.

Mereka memang pesilat-pesilat yang telah masak seperti halnya Bilal. Maka perkelahian dalam truk dengan jarak dekat itu memang merupakan makanan empuk bagi mereka. Sementara di pihak Belanda yang umumnya hanya mahir mempergunakan bedil panjang, dihadapkan pada situasi yang hampir-hampir bergumul ini jadi kalang kabut.



Pendekar Dari Kaki Gunung Sago ; Bagian 060

No comments:

Post a Comment